Jurnal Destinasi Pariwisata                                                  p-issn: 2338-8811, e-issn: 2548-8937

Vol. 9 No 2, 2021

Strategi Pelestarian Cagar Budaya:

Studi Kasus Daya Tarik Cagar Budaya Gereja Protestan Kota Kupang Kelurahan Lai Lai Besi Koepan

Yudha Eka Nugrahaa,1, Mely Hasni Tadua,2

aPoliteknik Negeri Kupang, Kupang, Indonesia

Abstract

The Protestant Church of Kupang City (GPKK) is one of the cultural heritages established by the Ministerial Decree NoKM.51 / OT.007 / MKP / 2004. This church was founded in 1614, at that time it was located inside the Fort Concordia (TNI Fortress Dormitory). The cultural heritage of this building category is the potential of Kupang City as a cultural heritage from the Dutch colonial. However, over time, development around the cultural heritage area is getting faster. Many old buildings with historical value are starting to be abandoned or rebuilt into new buildings. Even though historical buildings, especially cultural heritage, are important assets of the state to maintain the historical value of the nation in order to remain sustainable. The objectives of this study are (1) Describe the latest condition of the cultural heritage site of the Protestant Church in Kupang City, (2) Describe the use of cultural heritage sites as tourist attractions, and (3) Recommend strategies for preserving cultural heritage to the authorities. This research uses descriptive qualitative method. The data collected were obtained from field observations, in-depth interviews, documentation, and literature studies related to the preservation of cultural heritage. The results of this study indicate that (1) GPKK as a cultural heritage that has historical value has been managed by the Cultural Heritage Conservation Center (BPCB) for the Bali, NTB and NTT areas since 2004. All Dutch heritage in the GPKK is an important part. from the preservation of the GPKK Cultural Heritage as a cultural tourist attraction. The problems in preservation and management seen in the GPKK arise due to the lack of attention from the Congregation, Church Managers, and the Government in the maintenance of heritage objects. (2) Currently, GPKK is still actively used as a place of worship for the Kupang City congregation. (3) The government is currently in the process of increasing public awareness to protect the site as a cultural heritage of Kupang City. This effort is in order to optimize the use and care factors around the cultural heritage so that it remains sustainable.

Keyword: Site Preservation, Cultural Heritage, Protestant Church in Kupang City, Cultural Heritage

  • I.    PENDAHULUAN

Dikenal dengan istilah Ring of Beauty, Provinsi Nusa Tenggara Timur menyimpan berbagai daya tarik wisata alam, budaya, dan buatan yang masih terjaga keasliannya. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk memperkenalkan destinasi tersebut dengan festival seperti Semana Santa di Larantuka, Festival Pasola, di Sumba, bahkan Festival Sarung dan Musik di Kota Kupang, (Fajriana, 2019). Berbagai festival ini dilakukan untuk membuka peluang peningkatan kunjungan wisatawan dan memicu lama waktu tinggal untuk wisatawan di NTT.

Pemerintah provinsi NTT telah menjadikan sektor pariwisata sebagai unggulan daerah. Mengusung jargon seperti New Tourism Territory (NTT), pariwisata diharapkan menjadi prime mover sebagai penggerak perekonomian masyarakat NTT, untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat NTT. Menurut Musthofa, 2019 daya tarik wisata NTT memiliki potensi wisata yang bila dikelola akan berdampak pada kesejahteraan sosial masyarakat lokal dimana sejalan dengan UU Kepariwisatan No. 10 Tahun 2009, kawasan strategis pariwisata adalah tempat yang memiliki pengaruh penting dalam aspek ekonomi, sosial dan budaya, mempertahankan kemanan lingkungan hidup dan pemberdayaan.

Pada cakupan yang lebih kecil, sektor pariwisata yang sedang dikembangkan adalah Kota Kupang sebagai Heritage (Therik, 2017). Kota Kupang merupakan ibu kota Provinsi NTT yang telah lama berdiri. Kemunculan Kupang ditandai dengan keberadaan benteng fort Concordia yang didirikan pada tahun 1640. Selain benteng, Kota Kupang memiliki potensi wisata sejarah yang kental seperti bangunan-bangunan bersejarah, panorama alam seperti

pantai, dan tugu perjuangan yang dapat ditemukan di Kota Kupang. Dengan beragamnya daya tarik wisata yang berada di Kota Kupang, terdapat elemen kepariwisataan yang membentuk kekhasan dari wisata sejarah di Kota Kupang.

Elemen dalam kepariwisataan mencakup beragam pembentuk seperti bangunan-bangunan, jalan, taman-taman, ataupun suasana yang terekam akibat perpaduan elemen tersebut. Perpaduan ini akan membentuk karakter unik yang menjadi khas tertentu dalam suatu wilayah. Ke khas an suatu wilayah yang paling menonjol dapat dilihat dari bangunan dan infrastruktur yang masih mengadopsi gaya colonial Belanda (Sukarno, 2014).

Bangunan-bangunan khas yang masih terjaga melalui upaya konservasi. Konservasi adalah istilah yang memayungi seluruh kegiatan pelestarian. Istilah ini dirumuskan pada Piagam Burra pada tahun 1981. Konservasi merupakan sebuah proses pengelolaan suatu bangunan yang sarat dengan makna historis dan kultural untuk mempertahankan nilai-nilai yang dimiliki agar dapat dilanjutkan ke generasi selanjutnya. Konservasi meliputi berbagai kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah. Salah satu bentuk nyata dari konservasi ini adalah pelestarian cagar budaya (Karmadi, 2007).

Cagar budaya harus dikelola manusia sebagai bentuk warisan budaya yang sifatnya kebendaan seperti struktur cagar budaya, kawasan cagar budaya, benda cagar budaya, dan situs cagar budaya agar kelestariannya tetap terjaga dan generasi berikutnya dapat merasakan kekayaan budaya yang menjadi aset sejarah. Cagar budaya ditentukan melalui proses penetapan dan biasanya memiliki nilai penting terkait pendidikan, agama, sejarah, kebudayaan,

Vol. 9 No 2, 2021

dan ilmu pengetahuan. Cagar budaya merupakan merupakan aset suatu wilayah untuk mengembangkan pariwisata (Wirastari, 2012).

Regulasi mengenai cagar budaya berkaitan dengan mulai digunakannya istilah Benda Cagar Budaya (BCB) pada tahun 1992. Istilah ini dipakai setelah disahkannya Undang-Undang RI No 5. Tahun 1992 mengenai Benda Cagar Budaya. Undang-Undang ini digunakan selama 18 tahun dan kemudian pada tahun 2010 diperbaharui dengan munculnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 mengenai Benda Cagar Budaya. Pasal kelima undang-undang tersebut menyatakan bahwa bangunan berbentuk benda dan struktur dapat diusulkan untuk ditetapkan sebagai Banda Cagar Budaya. Bangunan cagar budaya dan struktur cagar budaya dapat menjadi cagar budaya apabila diusulkan dan minimal berusia 50 tahun atau diatasnya. Kriteria ini ditetapkan karena diatas usia 50 tahun suatu benda atau struktur telah memiliki arti tersendiri bagi sejarah, pendidikan, ilmu pengetahuan, agama, kebudayaan dan penguatan kepribadian bangsa.

Alasan utama mengapa cagar budaya merupakan asset sebuah negara adalah karena benda cagar budaya memiliki sifat unik, langka, rapuh, dan tidak bisa diperbaharui. Cagar budaya tidak dapat digantikan oleh teknologi dengan bahan yang sama. Benda cagar budaya juga merupakan saksi sejarah mengenai kreatifitas dan bukti aktivitas manusia pada masa sebelum sekarang. Dengan demikian, penanganan cagar budaya dilakukan dengan hati-hati dan jangan sampai merusak. Karena kerusakan sekecil apapun pada benda cagar budaya dapat mengurangi nilai historis yang terkandung didalam entitas tersebut.

Peninggalan benda cagar budaya merepresentasikan gambaran tingkat kemajuan pada kehidupan sosial ekonomi, kehidupan religi, penguasaan teknologi, dan system kehidupan pada masa lalu. Minimnya apresiasi terhadap benda cagar budaya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ancaman seperti pencurian, perusakan, dan pemalsuan terhadap benda cagar budaya. Kondisi tersebut semakin memburuk ketika suatu wilayah tidak memiliki penegakan hukum yang kuat. Sehingga pelestarian cagar budaya di kawasan ini harus dilakukan dengan ketat menghindari penghancuran cagar budaya.

Pada umumnya, masyarakat masih belum memahami dan menghargai arti penting dari benda-benda cagar budaya. Ketiadaan edukasi dan sosialisasi terkait pentingnya benda-benda cagar budaya menyebabkan hal ini semakin sering terjadi. Kurangnya edukasi juga berdampak pada ketidakpedulian masyarakat yang merasa tidak memiliki kaitan erat dengan situs atau benda cagar budaya akibat perbedaan zaman (Sulistyo, dkk. 2019).

Salah satu peninggalan cagar budaya yakni berupa situs maupun cagar budaya di Pulau Jawa. Semua orang pasti sudah mengenal Candi Prambanan maupun Candi Borobudur sebagai situs cagar budaya yang berdasarkan keagamaan tertentu yakni Hindu dan Budha, dan sudah berusia ratusan tahun. Secara historis, situs cagar budaya ini bernilai sangat tinggi karena merupakan peninggalan dan kreatifitas masa terdahulu, namun sayangnya masyarakat sekarang memiliki perbedaan kepercayaan dan kultur (Rahardjo, 2013). Terutama masyarakat yang berada di sekitar cagar budaya sehingga hal ini menjadi penghalang terhadap penghargaan yang kurang terhadap cagar budaya tersebut dan mengalami pergeseran (Susanto, 2009).

Kejadian ini bisa terjadi di berbagai wilayah dengan cagar budaya yang ada, namun penelitian ini berupaya untuk menggambarkan kondisi cagar budaya pada lokasi yang berbeda yakni di Kupang. Gereja Masehi Injili di Timor Jemaat Kota Kupang (Gereja Protestan Kota Kupang (GPPK)) beralamat di Jalan Sukarno No. 23, Kelurahan LLBK, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang. Cagar budaya gereja ini berada di pusat kota dan dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun angkutan umum.

Gereja Kota Kupang berdiri sejak 1614 dimana gereja pertama dibangun di dalam benteng Fort Concordia (Asrama Benteng TNI). Pada kepemimpinan Pendeta J. F. Niks tahun 1887 Gereja Kota Kupang dipindahkan dan digunakan sebagai gedung kebaktian sampai sekarang. Gereja Kota Kupang Pernah direnovasi pada 1975 yaitu perubahan bangunan dan penggantian atap siarap dengan seng tapi tidak menghilangkan bentuk aslinya. Sebagai sebuah cagar budaya yang dimiliki Kota Kupang, sudah seharusnya bangunan Gedung Gereja diperhatikan dan dijaga. Sejauh ini, pemanfaatan gereja dijadikan tempat beribadah dan beberapa kunjungan wisatawan. Namun, seiring berkembangnya zaman, pengelola Gereja belum memiliki arah pengembangan berdasarkan pelestarian gereja, pengembangan fungsi ruang (revitalisasi) dan mengadaptasikan nilai-nilai sejarah Gereja Kota Kupang sebagai sebuah daya tarik wisata cagar budaya di Kota Kupang. Berdasarkan hasil observasi juga di beberapa bagian dan komponen peralatan gereja membutuhkan perawatan agar terhindar dari kerusakan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan upaya-upaya pelestarian cagar budaya gereja agar keberadaan gereja bersejarah di Kota Kupang tidak ditinggalkan termakan zaman dan tetap lestari sebagai nilai sejarah dan menjadi salah satu tujuan daya tarik wisata di Kota Kupang

Kajian Teori yang melandasi analisis penelitian ini terbagi menjadi 2 yakni mengenai strategi pelestarian cagar budaya. Cagar budaya diatur dalam UU No. 11 Tahun 2010. Regulasi tersebut menyebutkan bahwa pelestarian merupakan sebuah upaya yang dinamis dan mempertahankan eksistensi sebuah cagar budaya. Tujuan utamanya adalah dengan menjaga nilai yang terkandung didalamnya, perlindungan cagar budaya, pengembangan cagar budaya, dan pemanfaatan cagar budaya. Terdapat tiga aspek pelestarian cagar budaya yakni:

  • (1)    Pemanfaatan, yang berarti bahwa cagar budaya dapat dipergunakan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat sebesar-besarnya dengan tetap memperhatikan daya tampung untuk menjaga kelestarian daya tarik cagar budaya. Pemanfaatan cagar budaya meliputi beberapa kegiatan yakni; perizinan untuk pemanfaatan cagar budaya dan izin untuk melakukan dokumentasi cagar budaya untuk kepentingan komersial.

  • (2)    Revitalisasi, yakni kegiatan terkait dengan pengembangan yang bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan nilai penting cagar budaya melalui penyesuaian fungsi ruang, tata letak yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Revitalisasi pada sebuah cagar budaya bermanfaat untuk menjaga kondisi cagar budaya agar tetap memiliki performa yang maksimal dengan memperhatikan tata letak, tata, tata ruang, fungsi sosial, dan lansekap budaya asli berdasarkan kajian-kajian penyesuaian terlebih dahulu. Revitalisasi juga penting sebagai upaya penguatan sarana informasi mengenai cagar budaya (Sururi, 2018).

Vol. 9 No 2, 2021

  • (3)    Adaptasi yakni melakukan upaya-upaya terkait dengan pengembangan cagar budaya agar dapat diterima oleh perkembangan zaman. Sehingga pengelola cagar budaya dituntut untuk menyesuaikan diri melakukan perubahan yang tidak berlawanan dengan nilai-nilai cagar budaya sehingga cagar budaya tetap lestari dan memiliki tempat di hati wisatawan. Dalam aspek adaptasi, daya tarik cagar budaya tetap mempertahankan nilai-nilai mendasar yang sebelumna ada misalnya mempertahankan struktur asli suatu bangunan Cagar Budaya, mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada sebuah cagar budaya, menambahkan sarana, prasarana, fasilitas pendukung sesuai dengan kebutuhan permintaan wisatawan tanpa mengurangi nilai historical cagar budaya, mengubah susunan ruang dengan terbatas, mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi, dan keharmonisan estetika lingkungan.

Pada dasarnya Pemanfaatan, Revitalisasi dan Adaptasi merupakan tiga aspek yang dapat dilakukan dalam rangka menanamkan nilai-nilai penting Cagar Budaya sesuai dengan perkembangan zaman melalui fungsi-fungsi baru yang disesuaikan tanpa harus melakukan perubahan drastic yang berlawanan dengan prinsip-prinsip pelestarian cagar budaya. Peran serta stakeholder baik pemerintah, masyarakat, dan seluruh pihak yang berada di sekitar cagar budaya diwajibkan untuk menerapkan aspek-aspek tersebut agar timbul pelestarian cagar budaya. Menentukan sebuah lokasi, benda, atau struktur sebagai cagar budaya tidaklah mudah. Membutuhkan kriteria tertentu yang harus dipenuhi dan dibuatkannya SK Menteri yang menyatakan bahwa entitas tersebut adalah benar sebuah cagar budaya yang diakui. UU No. 11 Tahun 2010 mengenai Kawasan Cagar Budaya menyatakan bahwa Cagar Budaya merupakan warisan budaya yang bersifat kebendaan dapat berupa benda cagar budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs cagar Budaya, struktur Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Pada regulasi tersebut, berikut adalah kriteria yang harus dipenuhi sebagai sebuah cagar budaya: (1) Telah berusia paling tidak 50 tahun atau lebih, (2) Mewakili massa gaya paling tidak berusia 50 tahun, (3) Memiliki makna dan sumbangan khusus bagi perkembangan sejarah, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan/atau agama, (4) Memiliki nilai budaya sebagai penguat kepribadian bangsa.

Pelestarian pada bangunan dan struktur cagar budaya bermanfaat untuk menguatkan identitas bangsa melalui peningkatan harkat dan martabat. Selain itu pelestarian cagar budaya senantiasa mendorong karakter bangsa yang memiliki kepribadian, menjunjung kesejahteraan masyarakat, dan mempromosikan warisan budaya bangsa ke ranah internasional.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni analisis deskriptif kualitatif (Sugiyono, 2015). Data yang digunakan terdapat dua jenis data kualitatif yakni hasil dari wawancara dan FGD yang diaplikasikan secara berkelompok untuk meningkatkan hasil penelitian (O. Nyumba, 2018) bersama informan. Data kuantitatif adalah data yang bersumber dari data sekunder mengenai laporan-laporan terkait dengan pengembangan GPKK dan

dokumen penetapan cagar budaya. Teknik pengumpulan data primer menggunakan yakni observasi lapangan (Sugiyono, 2015:204) ke GPKK, dokumentasi (Sugiyono, 2015:329), dan wawancara terstruktur (Arikunto, 2013:199) bersama informan kunci yakni 2 orang Staff Gereja Kota Kupang, 2 orang Tokoh Masyarakat, dan Pihak Dinas Pariwisata yang ikut serta mengelola GPKK yang ditentukan dengan menggunakan teknik pemilihan informan melalui purposive sampling melalui penentuan kriteria tertentu (Sugiyono, 2016:85). Teknik analisis data menggunakan proses pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

  • II.    HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Sejarah Berdirinya Cagar Budaya GPKK

Pengenalan akan sejarah sangatlah penting, bagi penentuan sikap masa kini dan masa depan, sebab sejarah adalah rentetan peristiwa yang menentukan kehidupan masa kini dan perjuangan masa depan. Sejarah GPKK tidak terlepas dari kedatangan bangsa penjajah yakni Belanda ke Indonesia yang didorong oleh pertama motivasi Ekonomi untuk mencari daerah jajahan kolonial karena Kota Kupang terkenal dengan rempah-rempah cengkeh, yang kedua mencari daerah jajahan untuk dijajah dan memperkaya Belanda dan yang ketiga yaitu motivasi religi atau agama. Perkembangan misi gospel atau penyebaran agama Kristen Protestan di Timor berawal dari kehadiran (Ds) Matheos Van den Broeck yang dipindahkan pemerintah VOC dari Saparua Ambon. Misi ini berhasil dilakukan sehingga pada tahun 1613 Belanda mendirikan Benteng Fort Concordia (Asrama Benteng TNI sekarang) yang terletak di Jalan Pahlawan No. 10. Karena keinginan untuk beribadah juga maka pada tahun 1614 dibangunlah Pos pelayanan kecil di dalam Benteng Fort Concordia dengan jemaat pertama 9 orang. Sebagai misioner (Ds) Matheos Van den Broeck mendirikan dengan tujuan  utama untuk beribadah,

memelihara/, merawat rohani pegawai. Dalam waktu yang singkat (Ds) Matheos Van den Broeck berada di Kupang pekerjaannya sedikit menampakan hasil, sehingga (Ds) Matheos Van den Broeck dicatat sebagai pendeta protestan pertama yang diutus ke Pulau Timor. Karena semakin banyaknya jemaat dan karena gedung Gereja Kota Kupang yang hancur akibat gempa bumi maka dibuatlah gereja pada 1882 dibangun oleh J.H de Sis. Pada waktu itu dibantu oleh pendeta J.F Niks. Menggunakan uang gemeente (kotamadya). Dan gereja yang sekarang tidak jauh atau ± 150 Meter dari bangunan gereja yang pertama yang terletak di Benteng Fort Concordia.

Letak GPKK berada di Kelurahan LLBK Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada Jalan Sukarno nomor 23. Berdasarkan keputusan Menteri dan kebudayaan dan pariwisata Nomor: KM.51/OT007/MKP/2004 Tentang penetapan Gereja Protestan Kota Kupang yang berlokasi di wilayah kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai Cagar Budaya, yang dilindungi oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 yang telah diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. Gereja Kota Kupang dengan Luas Tanah sebesar 1800 m² dan Luas Bangunan 150 m². Adapun batas-batas wilayah Gereja Kota Kupang sebagai berikut :

Vol. 9 No 2, 2021

Gambar 1. Denah Gereja Kota Kupang, sumber: dokumentasi penelitian, 2020



1


3



2



Gambar 2. Gambar Gereja dari Masa ke Masa, olahan penulis 2020

Keterangan gambar :

  • 1.  Gambar Gereja Awal yang berada di jalan Pahlawan atau lingkungan Yonif 743 yang dibangun tahun 1614.

  • 2.  Gereja pada jaman kepemimpinaan Pdt. J.D. Ale, ST.h (Alm) dan dirancang oleh Ir. Moritz pada tahun 1882.

  • 3.    Gedung Kebaktian Sekarang ini tahun 2020.

Vol. 9 No 2, 2021

1



2



3



5




4



6


Gambar 3. Peninggalan Bangsa Belanda, (Sumber : Olahan Penulis, 2020)

Keterangan gambar :

  • 1.    Nisan dari Kepala Perdagangan Belanda di Timor dan salah satu seni tokoh yang terlibat dalam pembangunan Gereja Kota Kupang.

  • 2. Lonceng Gereja yang pertama

  • 3. Alat-alat Sakramen Peninggalan Belanda

  • 4.    Orgen sejak tahun 1984

  • 5.    Makam Yohanes Van den Broeck

  • 6.    Plakat Pembangunan Gereja

Vol. 9 No 2, 2021

Faktor yang paling mendukung pelestarian Situs Cagar Budaya sebagai objek Wisata GPKK adalah Makam yang berada tepat di depan Gereja yang menjadi salah satu daya tarik menarik bagi wisatawan yang berkunjung. Karena pada makam tersebut tertulis dalam bahasa Belanda yang artinya dalam bahasa Indonesia yaitu “disini beristirahat (dikuburkan) Willem Adrian yang tinggal di Este. Kepala kapten, kepala desa dari Timor, lahir di Saparua tanggal 17 Maret 1736, meninggal 26 Agustus 1789”.

Faktor yang mendukung lainnya yaitu, adanya peninggalan bangsa belanda yang masih ada sampai sekarang ini seperti Lonceng Gereja yang pertama, alat-alat sakramen peninggalan Belanda, orgen yang dari tahun 1948 pemberian dari Pendeta Ds. E. Durkastra, dan makam Yohanes Van den Broeck Komandan Benteng Concordia yang pertama dan meninggal dalam pertempuran Belanda melawan portugis pada 16 April 1683 di Oekusi dan mayatnya dibawa ke Kupang dan dimakamkan di lokasi Benteng Concordia (sekarang benteng Yonif 743 TNI AD).

Pembahasan Berdasarkan Analisis SWOT Pelestarian Cagar Budaya GPKK

Analisis SWOT dalam penelitian ini digunakan untuk merumuskan strategi pelestarian Pariwisata di Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang. Berdasarkan hasil wawancara yang kemudian ditabulasikan, dan diorganisasikan hingga masuk masing-masing klasifikasi faktor internal yang terdiri dari kekuatan dan kelemahan, serta faktor eksternal yang terdiri dari peluang dan ancaman pada Daya Tarik Wisata Cagar Budaya GPKK.

Analisis digunakan untuk mengidentifikasi strategi berdasarkan faktor internal dan eksternal. Keempat strategi yang akan disajikan yakni dengan menggabungkan elemen SO (strenght-Opportunities) yaitu penciptaan strategi dengan menghimpun kekuatan yang ada dan menggunakan peluang terdata, ST (Strenght-Threats) yaitu menciptakan strategi terkait dengan meningkatkan kekuatan dan memperkecil ancaman, WO (Weakness-Opportunities) yaitu menciptakan strategi untuk memperkecil kelemahan dan memperbesar peluang, dan WT (Weakness-Threats) yaitu menciptakan strategi untuk meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Analisis ini menggunakan matriks SWOT yang akan menghasilkan strategi pengembangan pariwisata di Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang. Berikut merupakan hasil analisis SWOT :

Faktor Internal IFAS (Kekuatan dan Kelemahan) a. Kekuatan (strenght)

  • 1)    Memiliki Nilai Sejarah

Daya tarik Cagar Budaya GPKK ini adalah situs kedua gereja yang didirikan pada 1882. Dan gereja pertama didirikan pada 1614 yang terletak di benteng fort concordia atau Jl. Pahlawan atau markas tentara Yonif 743 sekarang. Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang adalah saksi sejarah masuknya agama Kristen Protestan di Kota Kupang. GPKK menjadi saksi bisu bahwa Belanda pernah ada di NTT terkhususnya di Kota Kupang. Sejak dahulu sampai saat ini GPKK merupakan tempat bagi jemaat protestan Kota Kupang untuk beribadah. Jemaat Protestan Kota Kupang yang beribadah di GPKK berada dalam wilayah pelayanan Badan Pekerja Klasis Kota Kupang yang termasuk jemaat tua di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Konon, jemaat ini sudah ada sejak VOC berdiri dan

sampai saat ini masih melayani umat Tuhan di GPKK secara turun temurun. GPKK sudah sejak tahun 1992 berstatus dilindungi sebagai salah satu cagar budaya berdasarkan UU Benda Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992 yang kemudian diperbaharui menjadi UU Nomor. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. Letaknya yang strategis di tengah Kota Kupang. Akses jalan di depan GPKK luas dan mudah dijangkau oleh kendaraan yang lewat. Warga Jemaat GPKK merupakan jemaat yang heterogen karena berasal dari berbagai suku yang tidak hanya suku NTT saja, namun seluruh Suku Bangsa, Bahasa dan Adat istiadat yang ada di Indonesia seperti : Sabu, Rote, Alor, Timor, Ambon, Batak, Manado, Jawa, dan lain-lain.

  • 2)    Karakteristik bangunan yang unik dan masih terjaga Sejak berdirinya tahun 1882 GPKK masih berfungsi untuk melayani jemaat. Perubahan yang terjadi akibat rehabilitasi yang dilakukan dari pendeta-pendeta dari waktu ke waktu terus terjadi tapi tidak pernah mengubah bentuk asli dari bangun ini. Karena agama disebarkan oleh bangsa Belanda arsitektur Belanda dan peninggalan Belanda sangatlah kental dalam gereja ini. Dan perbaikan terus dilakukan setiap tahunnya demi menjaga bentuk asli gedung.

  • 3)    Lokasi Yang Strategis

Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang sangat strategis karena berada di pusat Kota Kupang dan bisa ditempuh dengan semua jenis kendaraan. Lokasi Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang terletak di Kelurahan LLBK sangat mudah untuk dikunjungi dikarenakan akses jalan yang sudah beraspal dan tepat di tepi jalan raya sehingga memudahkan pengunjung untuk berkunjung.

  • 4)    Keramah-tamahan masyarakat

Sikap dan perilaku pengelola yang ramah dan sopan dalam berkomunikasi, memberikan pelayanan serta ringan tangan untuk membantu tampa pamrih. Hal ini mampu membuat pengunjung untuk kembali datang dan mengunjungi Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang.

  • 5)    Satu-satunya situs Cagar budaya Gereja

Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang merupakan salah satu situs budaya yang ada di Kota Kupang dan satu-satunya situs budaya yang berkaitan dengan makam.

  • b. Kelemahan (weakness)

  • 1)    Kurangnya kerjasama antara pemerintah dan pengelola

Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang belum dikelolah dan dikembangkan secara baik sebagai situs. Karena Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang hanya digunakan sebagai Gedung gereja dan sosialisai dari pemerintahlah yang sangat kurang dalam hal promosi dan dana yang masih kurang untuk upaya pelestariaan Gereja Kota Kupang sebagai Objek Cagar Budaya.

  • 2)    Fasilitas Arsip yang belum memadai

Fasilitas merupakan salah satu penunjang kegiatan pariwisata di Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang. Namun fasilitas penunjang seperti ruangan arsip untuk menyimpan peninggalan sejarah dari Gereja belum ada. Papan informasi mengenai Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang juga belum ada.

  • 3)    Perbaikan Gedung Gereja Kota Kupang

Akibat kurangnya kerja sama antara pengelola dan pemerintah sehingga masih ada saja kerusakan yang dapat dilihat seperti kaca jendela yang lubang dan cat yang sudah terkelupas.

  • 4)    Lemahnya Sumber Daya Manusia

Vol. 9 No 2, 2021

Masih minim nya sumber daya manusia menjadi salah satu penghambat dalam pengembangan pariwisata budaya di Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang.

  • 5)    Belum adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya Cagar Budaya Gereja.

Dalam memanfaatkan keberadaan Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang sebagai salah satu Pariwisata Edukasi, guna menarik minat belajar mengenai sejarah pada masa lampau. Hal ini dibuktikan dengan kurangnya aktifitas promosi wisata budaya ke sekolah-sekolah.

Faktor Eksternal EFAS (Peluang dan Ancaman)

  • a.   Peluang (opportunities)

  • 1)  Sektor Pariwisata yang semakin berkembang

Hal ini mempengaruhi minat kunjungan wisatawan untuk datang ke Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang, dikarenakan adanya pengembangan atau kemajuan di industry pariwisata yang tiap saat kian marak diberitakan oleh media. Pekembangan sektor pariwisata sejalan dengan tujuan pelestarian agar cagar budaya dapat meningkatkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal. Cagar budaya yang terjaga membuka peluang bagi warga sekitar untuk mengambil bagian dalam penyediaan jasa pariwisata di sekitar kawasan cagar budaya seperti membuka peluang jasa seperti pemandu wisata, toko souvenir, dan menyediakan jasa makanan minuman.

  • 2)    Adanya Pelestarian benda cagar budaya dapat meningkatkan keamanan

Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang akan menimbulkan dampak bagi masyarakat dimana yang dimaksud disini yaitu dampak keamanan lingkungan sekitar cagar Budaya Gereja Kota Kupang.

  • 3)    Adanya Pelestarian Objek Cagar Budaya Gereja Kota Kupang akan meningkatkan citra Publik terhadap Gereja Kota Kupang.

  • b.    Ancaman (threats)

  • 1)    Terjadinya Bencana Alam

Posisi Gereja Kota Kupang yang berada dekat dengan Pantai Tedis membuat situs ini rawan terkena imbas abrasi air laut dan tsunami.

  • 2)    Lemahnya koordinasi antara pengelola

Yang dimaksud dengan Lemahnya koordinasi antara pengelola

yang salah dalam hal ini adalah usaha pelestarian yang dilakukan dengan tujuan baik, tetapi dilakukan dengan tidak berkoordinasi dengan pihak-pihak yang berwenang. Berkaitan dengan situs Cagar Budaya Gereja Kota Kupang, ada satu hal yang menggangu yaitu adanya pengecatan namun karena kurangnya koordinasi maka catcat sering terkelupas dan ada kaca-kaca jendela yang sudah pecah.

  • 3)    Pengaruh Politik

Pengaruh ini merupakan salah satu ancaman yang cukup berbahaya terhadap Cagar Budaya Gereja Kota Kupang, karena stabilisasi politik di suatu daerah mampu mempengaruhi semua lini termasuk pariwisata dan memberikan peluang bagi investor asing mencari lahan di daerah dimana kita ada.

  • 4)    Banyaknya situs budaya di Kota Kupang

Banyaknya situs budaya yang ada di Kota Kupang bisa menjadi pesaing bagi situs Cagar Budaya Gereja Kota Kupang. Karena setiap situs memiliki sejarahnya yang berbeda-beda. Contohnya Situs Tugu Jepang yang berada di Jalan Antonov kelurahan Penfui, kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Gua Meriam di kelurahan Nunbaun Delha, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Gua Jepang di Liliba,

Meriam peningggalan perang Dunia II di Kelurahan Kelapa Lima, Tugu HAM di Kelurahan LLBK, Kompek Makam Raja Taebenu di Kelurahan Manutapen, Kecamatan Alak.

Berdasarkan analisis SWOT di atas maka dapat dilihat bahwa Cagar Budaya Gereja Kota Kupang memiliki potensi untuk berkembang menjadi sebuah objek wisata unggulan dengan mengembangkan srategi-strategi pelestarian Cagar Budaya dapat dilakukan dengan memperhatikan strategi-strategi yang ada berkaitan dengan pengembangan pariwisata budaya yaitu :

  • 1.   Strategi SO

  • a.  Menjadikan Cagar Budaya Gereja Kota Kupang sebagai

education tourism dimana pengunjung yang melakukan perjalanan bertujuan untuk belajar, tentang sejarah perkembangan dan pelestarian Gereja Kota Kupang. dan dapat menarik minat pengunjung terutama anak sekolah dan mahasiswa.

  • b.    Masyarakat tetap melestarikan budaya, yaitu dengan diberlakukan kegiatan bersih-bersih setiap minggunya dikarenakan kaca jendela gereja yang pecah dan catcat yang sudah terkelupas

  • c.    Meningkatkan promosi melaui media. Peran promosi dalam hal ini masih sangatlah kurang oleh sebab itu perkenalan akan cagar budaya akan sangat cepat apabila di promosikan melalui media sosial seperti Instagram , facebook, dan lainnya.

  • d.    Meningkatkan Partisipasi dan peran serta masyarakat dalam membangun kebudayaan dan pariwisata. Kerjasama sangatlah diperlukan demi menjaga keaslian dari cagar budaya ini. Dan juga memupuk rasa memiliki dan cinta terhadap Cagar Budaya Gereja Kota Kupang.

  • 2.    Strategi WO

  • a.    Meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Pengelola Gereja Kota Kupang belum terlalu paham akan pelestarian dan kurangnya informasi tentang Gereja Kota Kupang sehingga banyak sejarah yang tersebar dibeberapa orang, sehingga diperlukan pelatihan bagi pengelola dalam hal peningkatan sumber daya manusia.

  • b.    Menambah fasilitas-fasilitas penunjang. Keberadaan fasilitas tentu menunjang segala kegiatan wisata yang ada di Cagar Budaya Gereja Kota Kupang. Fasilitas yang masih kurang disini yaitu ruang arsip benda-benda peninggalan Bangsa Belanda yang ada di Gereja Kota Kupang .

  • c.    Meningkatkan kesadaran masyarakat. Kesadaran masyarakat menjadi salah satu faktor pendukung dalam pengembangan pariwisata, namun masih kurangnya kesadaran diakibatkan kurangnya sosialisai terhadap Cagar Budaya Gereja Kota Kupang. maka peran pemerintah melalui sosialiai pentingnya Cagara Budaya demi kecintaan akan Sejarah dan Cagar Budaya.

  • d.    Melakukakan kerja sama antara pemerintah dan pengelola. Kerjasama antara pemerintah dan pengelola dalam hal menjaga dan melestarikan serta mengembangkan Pariwisata Berbasis Budaya atau Herritage Tourism. Kerjasama yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan keahlian dan dan sumber daya tenaga ahli dalam mempertahankan dan melestarikan cagar budaya Gereja Kota Kupang, melakukan kampanye gerakan sadar budaya untuk memperkenalkan Wisata Sejarah Gereja Kota Kupang kepada masyarakat umum bahkan mancanegara,

Vol. 9 No 2, 2021

serta membangun dan meperbaiki sistem manajemen terpadu agar pelestarian Gereja Kota Kupang sebagai Cagar Budaya dapat terus ditingkatkan dan dipertahankan.

  • 3.   Strategi ST

  • a.   Menjadikan keunikan situs Cagar Budaya Gereja Kota

Kupang menjadi lebih menonjol dan menarik agar membuat wisatawan tertarik dan terus berkunjung. Karena masih banyak peninggalan sejarah bangsa Belanda yang masih ada di Gereja Kota Kupang seperti, Gereja, Piano, Makam, Lonceng, Cawan.

  • b.    Melakukan kerja sama antara pemerintah dan pengelola dalam melakukan pelestarian situs Cagar Budaya Gereja Kota Kupang . Kerjasama antara pemerintah dan pengelola dalam hal menjaga dan melestarikan serta mengembangkan Pariwisata Berbasis Budaya atau Herritage Tourism. Kerjasama yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan keahlian dan dan sumber daya tenaga ahli dalam mempertahankan dan melestarikan cagar budaya Gereja Kota Kupang, melakukan kampanye gerakan sadar budaya untuk memperkenalkan Wisata Sejarah Gereja Kota Kupang kepada masyarakat umum

bahkan mancanegara, serta membangun dan memperbaiki sistem  manajemen terpadu agar

pelestarian Gereja Kota Kupang sebagai Cagar Budaya dapat terus ditingkatkan dan dipertahankan.

  • c.    Meningkatkan pendapatan jemaat Gereja Kota Kupang serta mendorong pendapatan asli daerah. Hal ini dapat dilakukan seperti melakukan produksi ekonomi kreatif, dengan menyediakan kerajinan khas NTT seperti tenun ikat. Tenun ikat dijadikan sebagai kreatifitas bernilai religi terkait dengan cagar budaya seperti bungkus sampul Alkitab, sebagai taplak meja perjamuan, dan kerajinan lain yang bisa dibawa sebagai oleh-oleh. Ekonomi kreatif merupakan upaya agar pendapatan jemaat GPKK bertambah dari kegiatan pariwisata.

  • d.    Dengan adanya sejarah dan peninggalan Belanda yang masih ada akan mampu bersaing dengan objek wisata budaya yang lain. Oleh karena itu perlu adanya satu ruangan arsip untuk menyimpan benda-benda peninggalan bangsa Belanda.

  • 4.  Strategi WT

  • a.  Meningkatkan Kualitas SDM melalui pengetahuan

menjadi local guide yang menguasai sejarah Kota

Kupang terlebih Sejarah Dari Gereja Kota Kupang sebelum dan sesudah di tetapkan menjadi Situs Cagar Budaya

  • b.    Meningkatkan akan pentingnya mempertahankan sejarah sehingga pengelola dan pemerintah mampu menjalin kerjasama dan menjadi lebih terbuka tentang sumber dana dan cara untuk mengelola Gereja Kota Kupang sebagai Situs Budaya.

  • c.    Meningkatkan kretifitas pengelola dalam menjaga dan mempromosikan Cagar Budaya Gereja Kota Kupang dengan mengikuti pelatihan tentang Cagar Budaya.

  • d.    Meningkatkan SDM dengan cara pemberdayaan pengelola dalam hal cara memandu wisatawan dengan baik agar selalu ada kesan baik setelah berkunjung.

Strategi Pelestarian GPKK Berdasarkan Aspek Pemanfaatan, Revitalisasi, dan Adaptasi

  • 1.    Pemanfaatan

Keberadaan Daya Tarik Cagar Budaya GPKK di tengah-tengah masyarakat merupakan sebuah peluang yang dapat dimanfaatkan masyarakat. Pemanfaatan sebuah cagar budaya membutuhkan kolaborasi aktif dari masyarakat yang merupakan jemaat GPKK. Bentuk pemanfaatan cagar budaya adalah dengan melakukan penataan berkala ruang gereja dan informasi-informasi yang dapat ditambahkan sebagai storytelling perkembangan GPKK sejak dahulu sampai sekarang. Upaya ini membutuhkan partisipasi aktif masyarakat yang berbasis komunitas. Memanfaatkan promosi dan membuat konten yang baik mengenai GPKK juga merupakan sebuah upaya pemanfaatan untuk mendatangkan keuntungan. Keuntungan tidak selama-lamanya berbentuk ekonomis, namun juga dampak positif yang dapat membuat GPKK tetap lestari sebagai sebuah cagar budaya di Kota Kupang. Pelestarian dimanfaatkan dengan mempertahankan nilai-nilai yang telah terkandung sebagai daya tarik cagar budaya gereja yang bernilai spiritual. Setiap proses partisipasi masyarakat dalam upaya pemanfaatan, pemerintah melakukan pendampingan untuk menjalankan fungsi control dalam proses yang berjalan selama pelestarian berlangsung. Selanjutnya pemanfaatan Cagar Budaya untuk pendidikan dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi cagar budaya melalui pameran yang melibatkan anak-anak sekolah, program kunjungan situs yang melibatkan para pelajar, kegiatan sosialisasi cagar budaya dengan program “cagar budaya masuk sekolah” dan menjual paket wisata cagar budaya sebagai wisata edukasi.

  • 2.    Revitalisasi

Kegiatan revitalisasi dalam pelestarian cagar budaya merupakan upaya untuk mengembangkan cagar budaya serta menumbuhkan kembali nilai-nilai penting yang menjadi makna cagar budaya dengan berbagai penyesuaian agar dapat lebih diterima oleh pengunjung. Revitalisasi yang dilakukan berupaya untuk menyesuaikan fungsi ruang agar tidak bertentangan dengan pelestarian dan nilai kebudayaan yang ada di masyarakat. Revitalisasi merupakan sebuah aspek yang berusaha memviralkan kembali suatu cagar budaya yang dulunya pernah mendapat perhatian, akan tetapi mengalami penurunan karena perubahan zaman. Sangat sulit merawat kawasan kota lama Kupang menjadi suatu kawasan kota lama yang memiliki aset sejarah yang sangat banyak dengan berbagai peninggalan dari masa perang dunia ke dua. Kawasan GPKK adalah sebuah cagar budaya yang memiliki nilai sejarah tinggi, tempat ini adalah titik awal pertumbuhan Kota Kupang sehingga kawasan ini sudah memiliki citra yang baik di masyarakat. Sebelum padat seperti sekarang, GPKK belum dipagari namun dengan mulai bergeliatnya kegiatan pariwisata, semakin banyaknya jemaat yang beribadah di GPKK, serta kendaraan yang semakin ramai lalu Lalang. Kemudian dilakukan sebuah revitalisasi pembangunan kawasan GPKK dengan merenovasi fungsi lahan menambahkan pagar. Beberapa bagian bangunan yang sudah rusak juga diperbaiki dengan tidak mengubah bentuk asli bangunan bersejarah GPKK. Pemagaran juga dilakukan untuk mengindari tindakan merusak yang dilakukan oleh tangan tak bertanggung jawab. Selain itu juga memberi batas dimana batas sebuah kawasan cagar budaya dan tempat dimana masyarakat dapat membuka kegiatan ekonomi kreatif di sekitar cagar budaya GPKK.

  • 3.    Adaptasi

Vol. 9 No 2, 2021

Adaptasi yang merupakan upaya dalam sebuah pelestarian cagar budaya untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan yang ada dimasa kini. Penyesuaian dilakukan dengan melakukan perubahan terbatas pada beberapa aspek yang tidak menimbulkan efek kemerosotan nilai-nilai historis cagar budaya atau kerusakan pada bagian yang memiliki makna penting. Kawasan Kota Tua Kupang adalah kawasan yang menjadi tempat awal colonial penjajahan, penyebaran agama Kristen, dan pusat perdagangan oleh bangsa Portugis, Belanda dan Tionghoa. Kawasan kota tua merupakan sebuah kawasan yang menjadi kesatuan destinasi wisata Kota Lama Kupang bila seluruh elemen masyarakat berpartisipasi untuk mengembangkannya. Kota tua dijadikan kawasan dengan peninggalan cerita sejarah yang memiliki alur berbeda namun membentuk sebuah jalan cerita antara setiap daya tarik wisata yang menjadikan kawasan ini sebagai kawasan bernilai sejarah tinggi kedaulatan bangsa. Adapun tujuan utamanya adalah untuk memberikan edukasi pengetahuan sejarah pada generasi saat ini dan yang akan datang. Penerapan adaptasi juga dapat dilakukan melalui pengemasan cerita yang dipromosikan secara luas di kalangan pendidikan agar cerita-cerita sejarah penjajahan di Kota Kupang tetap teringat sepanjang masa. Sama halnya dengan pembangunan awal GPKK sebagai cagar budaya, pengemasan cerita mulai dari pembangunan, perpindahan, dan pelestarian GPKK sampai dengan saat ini. Saat ini, terdapat media informasi yang digunakan sebagai platform penyebaran informasi bagi masyarakat baik di dalam maupun di luar Kupang. Media informasi ini berbentuk aplikasi virtual tour dengan menggunakan voice guidance yang sementara sedang dikembangkan sehingga dapat memberikan berbagai informasi terkait sejarah, dan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah cagar budaya. Aplikasi ini berbasis website sehingga dapat diakses oleh semua orang. Tujuan aplikasi ini adalah untuk membantu pengunjung dalam memperoleh informasi mengenai tempat-tempat wisata yang berada di kawasan kota tua kota Kupang dan membangkitkan lagi wisata sejarah yang ada di kota Kupang. konsep lain yang dapat diberlakukan pada kawasan kota tua yaitu dberlakukannya penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai masyarakat. Hal ini pernah diterapkan sebelumnya di cagar budaya Lawang Sewu Semarang dibangun pada 1904, dahulu yang merupakan bangunan Belanda, sekarang di ahli fungsikan sebagai museum sekaligus daya tarik wisata, kedepannya dijadikan sebagai pusat belanja. Adaptasi pada cagar budaya GPKK dilakukan dengan mengupayakan seluruh informasi mengenai cagar budaya ditampilkan melalui internet di website pemerintahan daerah. Selain itu dengan memasukkan GPKK sebagai destinasi wisata pada aplikasi virtual tour agar masyarakat tetap dapat memahami nilai historis yang ada di GPKK sebagai benda cagar budaya di Kota Kupang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian strategi pelestarian situs Cagar Budaya Gereja Kota Kupang di Kelurahan LLBK, Kota Kupang. Maka kesimpulan yang diambil oleh penulis adalah :

  • 1.    Kondisi potensi situs Cagar Budaya GPKK secara fungsi bangunan dimanfaatkan jemaat GPKK untuk beribadah, selain itu, bentuk fisik bangunan perlu dijaga kebersihannya untuk menjadikan GPKK sebagai cagar budaya yang lestari. Selain itu, pemerintah

bersama dnegan pengelola telah melakukan revitalisasi di beberapa bagian GPKK agar cagar budaya ini tetap terlindung dari pengrusakan. Walaupun masih dalam kondisi yang mampu untuk dioperasikan sebagai tempat ibadah, GPKK tetap membutuhkan partisipasi masyarakat dan jemaat untuk dapat terus dimanfaatkan dan mendatangkan keuntungan sehingga generasi yang akan datang tetap merasakan manfaatnya.

  • 2.    Pemanfaatan GPKK sejauh ini difungsikan sebagai media informasi jejak peninggalan bersejarah colonial Belanda yang pernah menjajah Indonesia dan Kupang pada khususnya. Terutama dalam kaitan dengan penyebaran agama Kristen ke Indonesia. Sejak saat itu, GPKK berdiri ditengah masyarakat sebagai institusi keagamaan yang setiap minggu beroperasi bersama dengan jemaat protestan GPKK.

  • 3.    Berdasarkan hasil analisis SWOT tentang strategi pelestarian situs Cagar Budaya Gereja Kota Kupang di Kelurahan LLBK, Kota Kupang. Langkah yang dapat dirumuskan yaitu melalui pembangunan jaringan kerja sama pihak pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat serta jemaat yang memanfaatkan potensi yang tersedia. Memanfaakan cerita sejarah yang dimiliki oleh situs Cagar Budaya Gereja Kota Kupang dan menambahkan konten-konten positif mengenai cerita GPKK sehingga masyarakat semakin banyak yang terpapar informasi positif terkait  GPKK,

memberdayakan masyarakat lokal dan jemaat, dan memanfaatkan lokasi untuk dijadikan wisata Edukasi.

Adapun saran yang bisa disampaikan oleh penulis adalah sebagai berikut : Pengelola sebagai salah satu hal yang terpenting adalah pengelola tetap menjaga dan melestarikan keaslian bangunan dan benda-benda sejarah peninggalan Belanda yang merupakan aset langsung yang masih ada sampai sekaarang ini. GPKK memerlukan revitalisasi fasilitas pendukung seperti seperti Ruang Arsip, papan Informasi menegnai Gereja Kota Kupang di Kelurahan LLBK, Kota Kupang. Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas SDM yang memdai dalam hal meleyani wisatawan dengan memberikan penyuluhan serta pelatihan mengenai kepariwisataan. Peningkatan Promosi dan publikasi tentang objek wisata Budaya Gereja Kota Kupang melalui media cetak dan media sosial. Bagi pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Pariwisata , dan Dinas Pendidikan Kebudayaan selaku penguasa agar mampu memberi Pengertian, sosialisai dan edukasi kepada Pengelola agar aset yang dimiliki dapat dikelolah lebih terarah dan mempersiapkan mental yang baik menjadi pelaku-pelaku Pariwisata.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian:   Suatu

Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Fajriana, M. (2019). Festival Sarung dan Musik Jadi Agenda Tahunan      di      NTT.      Diakses      dari

https://www.liputan6.com/lifestyle/read/3908995/fe stival-sarung-dan-musik-jadi-agenda-tahunan-di-ntt

Karmadi, A. D. (2007). Budaya lokal sebagai warisan budaya    dan    upaya    pelestariannya. Makalah

disampaikan pada Dialog Budaya Daerah Jawa Tengah. Semarang:  Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai

Tradisional Yogyakarta dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah.

Musthofa, B. M. (2019, December). STRATEGI ADAPTASI

Vol. 9 No 2, 2021

DESTINASI WISATA BUDAYA DI ERA DISRUPSI TEKNOLOGI. In Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (Vol. 2, No. 1).

O. Nyumba, T., Wilson, K., Derrick, C. J., & Mukherjee, N. (2018). The use of focus group discussion methodology: Insights from two decades of application in conservation. Methods in Ecology and evolution, 9(1), 20-32.

Rahardjo, S. (2013). Beberapa permasalahan pelestarian kawasan     cagar     budaya     dan     strategi

solusinya. Departemen Arkeologi Universitas Indonesia.

Sugiyono, P. (2015). Metode penelitian kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2016). Metode Peneliian Kombinasi (Mixed Methods). Edisi 8. Bandung: Alfabeta.

Sukarno, P. G. (2014). Karakter Visual Fasade Bangunan Kolonial  Belanda Rumah Dinas Bakorwil Kota

Madiun. NALARs, 13(2).

Sulistyo, W. D., Fintari, D. T., Febrianto, D., Putra, M. D. E., Afi, M. W., Hidayati, N., ... & Fitriani, Y. (2019). BAKTI DAN PENGENALAN SITUS CANDI KALICILIK PADA SISWA SD 1 CANDIREJO PONGGOK BLITAR. Jurnal Praksis dan Dedikasi Sosial (JPDS), 2(2), 54-61.

Sururi, A. (2018). Collaborative Governance Sebagai Inovasi Kebijakan Strategis (Studi Revitalisasi Kawasan Wisata Cagar Budaya Banten Lama). Humanika, 25(1), 24-37.

Susanto, E. H. (2009). Etnosentrisme, Pemekaran Wilayah dan Komunikasi Antar Budaya. Karya Ilmiah Dosen, 113.

Therik, J. A. (2017). Tenun Ikat Dari Timur (Keindahan Anggun Warisan Leluhur/(Ikat in Eastern Archipelago (An Esoteric Beauty of Ancestral Entity)): Diandra Kreatif. Diandra Kreatif.

Wirastari, V. A., & Suprihardjo, R. (2012). Pelestarian Kawasan Cagar Budaya Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus: Kawasan Cagar Budaya Bubutan, Surabaya). Jurnal teknik ITS, 1(1), C63-C67.

250