Faktor Penyebab Komodifikasi Tari Barong Sebagai Atraksi Wisata Di Desa Batubulan
on
Jurnal Destinasi Pariwisata p-issn: 2338-8811, e-issn: 2548-8937
Vol. 9 No 1, 2021
Faktor Penyebab Komodifikasi Tari Barong Sebagai Atraksi Wisata Di Desa Batubulan Erfa Arya Putra a, 1, I Gusti Agung Oka Mahagangga a, 2
-
a Program Studi Sarjana Destinasi Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, Jl. Dr. R. Goris, Denpasar, Bali 80232 Indonesia
Abstract
Batubulan Village is one of the tourist visiting areas in Bali with barong dance show as famous tourist attraction. There are five barong dance performance groups that perform barong dance for tourist consumption in this village every day and in the same period. As culture performances, barong dance also stil sacred used to religious ritual tool by local people. The research method used qualitative research paradigm. The qualitative research used in-depth interview technique, observation and qualitative documents and also used the role concept to reviewing the research. This study discusses the factor causing the commodification of Barong Dance as a tourist attraction in Batubulan Village, Gianyar Regency. The result of this study showed that barong dance as sacred dance are different performance between for ritual ceremony and for tourist consumption. Although it can not be denied that commodification of the Barong Dance has been occurred since the 1930s.
Keywords: Barong Dance, Sacred, Commodification, Tourist, Consumption
Studi-studi awal tentang Bali menunjukkan bahwa kebudayaan Bali yang unik menjadi daya tarik wisata bagi para wisatawan. Budaya dalam arti luas, bersanding dengan alam Bali yang indah. Artinya, modal utama pariwisata Bali sejak awal kedatangan wisatawan adalah kebudayaan. Kebudayaan Bali secara tangible maupun intangible adalah modal utama pembangunan dan pengembangan kepariwisataan. Kebudayaan Bali yang dominan berbeda dengan kebudayaan asal wisatawan menambah rasa penasaran, rasa ingin mengetahui dan berkemauan melihat langsung autentisitas kebudayaan tersebut (Mahagangga, dkk., 2019).
Bali sebagai daerah tujuan pariwisata dunia tentunya akan banyak menerima pengaruh budaya dari luar yang di bawa oleh para wisatawan. Budaya sebagai nilai, ideologi, praxis dan hasil karya akan saling mempengaruhi dan berakulturasi dengan budaya lokal.
Budaya, masyarakat dan keindahan alam telah menjadi image kepariwisataan di Bali. Perubahan sosial-budaya memang sulit dihindari, tetapi tetap diperlukan daya-upaya untuk mempertahankan kebudayaan tradisional sebagai identitas lokal ditengah derasnya pengaruh globalisasi.
Pemerintah provinsi Bali dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 14 menyatakan Kepariwisataan Budaya Bali adalah
kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana.
Hadirnya pariwisata di suatu daerah maka akan memunculkan bentuk seni baru, disamping bentuk seni yang sudah ada. Kategori seni yang sudah ada tersebut merupakan produk masyarakat yang hasilnya dipergunakan untuk kepentingan mereka sendiri, kategori seni ini disebut “art by destination”. Kategori seni ini erat kaitannya dengan pakem tradisional masyarakat yaitu suci dan sakral. Tarian Bali mempunyai banyak keragaman, dari tiap-tiap ragam mempunyai nilai estetika tersendiri. Salah satu yang dimaksud adalah tari barong (Maquet dalam Putra, 2018).
Tari barong merupakan ranah agama, namun kemudian berkembang akibat kebutuhan wisatawan akan atraksi wisata (tourist art). Dalam praktik dan aktualisasinya pada kehidupan masyarakat Bali, tari barong diolah sedemikian rupa sehingga menjadi unik dan khas Bali, dalam hal ini menjaga hubungan harmoni budaya Bali dengan agama Hindu. Untuk kepentingan tourist, tari Barong tidak menggunakan Barong yang asli, yakni menggunakan Barong duplikat (profan dan tidak asli) yang khusus dibuat untuk atraksi wisata. Terdapat pengurangan ritus-ritus yang semestinya ada di tari barong yang disakralkan, dan komunikasi verbal dalam pertunjukan diminimalkan, kemudian diganti dengan komunikasi non-verbal (Pitana, 2006).
Vol. 9 No 1, 2021
Berdasarkan latar belakang diatas, fokus penelitian adalah faktor penyebab komodifikasi tari barong sebagai atraksi wisata di Desa Batubulan. Penelitian tidak berupaya melakukan pengulangan penelitian yang sudah mapan dengan temuan sebelumnya. Tetapi berupaya untuk melihat progress tari Barong dan komodifikasinya di era saat ini. Mengingat kebudayaan bersifat dinamis yang peka terhadap segala perubahan dan kemajuan zaman.
Landasan konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut:
-
1. Batasan Konsep Art By Destination
Menurut Maquet (1971), hadirnya pariwisata di suatu daerah maka akan lahir bentuk seni yang lain, disamping bentuk seni yang sudah ada. Kategori seni yang telah ada merupakan produk masyarakat yang hasilnya digunakan untuk kepentingan mereka sendiri, kategori seni ini disebut “art by destination”. Sedangkan perpaduan domain seni milik masyarakat lokal atau daerah tempat wisata dengan domain industri pariwisata, bila keduanya bertemu akan menghadirkan satu produk seni yang baru dan khas yang disebut seni wisata atau tourist art.
-
2. Konsep Komodifikasi
Menurut Piliang (2006), mengacu kepada Marx komodifikasi berasal dari kata komoditas, yang bermakna sebagai segala sesuatu yang diproduksi dan diperjual belikan. Komodifikasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi, sehingga menjadi komoditi. Komodifikasi memiliki makna yang luas dan tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas barang dan jasa yang diperjual belikan akan tetapi termasuk juga didalamnya barang dan jasa yang didistribusikan dan dikonsumsi.
-
4. Konsep Local Genius
Ayatrohaedi (1986), menjelaskan Local genius adalah suatu unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk
mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar, serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli.
-
5. Konsep Tourist Art
Kusumastuti (2009) menjelaskan bahwa Tourist art merupakan seni kemasan, khusus diperuntukkan wisata merupakan bentuk kesenian yang sifatnya tiruan dari aslinya, durasi singkat atau padat, murah, dan penuh variasi.
-
6. Konsep Atraksi Wisata
Yoeti (1997) menyebutkan atraksi wisata adalah sesuatu yang dapat dilihat atau disaksikan melalui suatu pertunjukan (shows) yang khusus diselenggarakanuntuk para wisatawan.
Penelitian ini dilakukan di Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Ruang lingkup penelitian adalah faktor penyebab komodifikasi tari barong sebagai atraksi wisata secara eksternal dan internal.
Penelitian menggunakan Metode yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif (Winartha, 2006) dimana penelitian berfokus pada pemaparan-pemaparan data yang diperoleh saat penelitian berlangsung dilapangan berupa faktor penyebab komodifikasi tari barong sebagai atraksi wisata di Desa Batubulan.
Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti dan diperoleh dengan cara teknik pengumpulan data dari wawancara semi terstruktur dan observasi di tempat penelitian (Sugiyono, 2014). Data primer dalam penelitian ini mengenai faktor penyebab komodifikasi tari barong sebagai atraksi wisata di Desa Batubulan. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tertulis seperti buku, arsip, dan dokumen resmi (Moleong, 2012). Data sekunder dalam penelitian ini meliputi data profil Desa Batubulan dan Data Kunjungan wisatawan di Pemaksan Sahadewa.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara. Metode wawancara merupakan proses untuk mendapatkan data secara jelas dan mendalam dengan cara tanya jawab secara langsung dengan informan (Bungin, 2011). Wawancara dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data informasi mengenai faktor
Vol. 9 No 1, 2021
penyebab komodifikasi tari barong di Desa Batubulan.
Teknik analisis adalah cara analisis data yang dilakukan secara berkala dan interaktif sampai data tersebut tuntas, sehingga datanya jenuh (Miles dan Huberman dalam Gunawan, 2013). Analisis data dimulai dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi data.
Kebudayaan Bali yang diminati oleh wisatawan sebagai atraksi wisata adalah adalah seni pertunjukan. Seni sebagai tradisi di pulau Bali sulit untuk dikesampingkan karena berawal dari spirit nilai-nilai religius seperti upacara keagamaan.
Desa Batubulan merupakan desa yang terletak di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Desa Batubulan saat ini bertumpu pada beberapa sektor yaitu pertanian, seni, dan pariwisata. Sektor pariwisata adalah sektor yang paling menonjol dalam perkembangannya dengan daya tarik pementasan tari barong dan kecak. Tari barong yang dipentaskan merupakan hasil komodifikasi dari tari barong sakral yang semula menjadi "art by destination” di kehidupan masyarakat kemudian berkembang dan diduplikat sedemikian rupa sehingga menjadi seni profan yang bisa dipentaskan untuk atraksi wisata bagi wisatawan yang berkunjung di Desa Batubulan. Proses komodifikasi tari barong dipengaruhi oleh beberapa yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
Bali merupakan daerah tujuan wisata dunia tentunya akan banyak menerima pengaruh budaya dari luar yang dibawa masuk oleh para wisatawan yang berkunjung ke Bali dan budaya tersebut akan terus saling mempengaruhi dan berakulturasi dengan budaya lokal Bali.
Budaya baru yang muncul dari dampak globalisasi bisa saja masuk dan membawa pengaruh baik dan buruk ke dalam setiap kehidupan dan budaya masyarakat Bali, mau tidak mau, suka tidak suka akan terpengaruh. Globalisasi akan masuk kedalam aspek kehidupan
masyarakat, apalagi saat ini Bali merupakan daerah tujuan pariwisata dunia, maka proses akulturasi dengan budaya baru pasti akan terjadi dan tidak bisa dihindarkan lagi.
Tari Barong merupakan sebuah tarian sakral yang digunakan untuk kegiatan keagamaan masyarakat Bali, dengan adanya globalisasi dan akulturasi budaya, tari barong kemudian dikomodifikasi menjadi seni profan oleh sebagian masyarakat yang diperuntukan untuk atraksi wisata. Tari barong untuk atraksi wisata ini memiliki ciri khas yang lebih modern. Seperti perubahan penggunaan bahan pembuatan barong sakral dengan profan. Barong untuk kegiatan keagamaan masyarakat Desa Batubulan menggunakan kayu pule untuk dijadikan topeng atau kepala barong, bulu barong dari serat nanas, tanaman praksok (sejenis pandan) dan rambut kuda, sedangkan untuk barong profan jenis kayu yang digunakan beragam seperti kayu cendana, mahoni, dan sengon. Penggunaan bulu sintetis untuk badan barong dipilih supaya proses pengerjaan dan perawatan jadi lebih mudah, selain itu pemilihan bahan untuk topeng barong profan ini dipilih untuk mengurangi biaya produksi.
Perubahan alur cerita atau lakon dalam pementasan yang semula tari barong pada kegiatan keagamaan masyarakat menggunakan cerita Calonarang kemudian pada pementasan untuk tourist art berubah menjadi Kunti Sraya hal tersebut bertujuan untuk mempersingkat waktu pertunjukan. Perubahan juga terjadi dalam penggunaan bahasa pada tari barong sakral menggunakan bahasa Bali Alus, sedangkan tari barong untuk wisata sekarang selain menggunakan bahasa Bali Alus dan Madya juga sudah menggunakan bahasa asing “Bahasa Inggris” hal ini bertujuan supaya lebih menarik minat wisatawan untuk menonton pertunjukan barong dan wisatawan akan mudah memahami cerita dan makna pementasan tari barong tersebut.
Jadi, globalisasi yang terjadi di Desa Batubulan ini bukan hanya memunculkan
Vol. 9 No 1, 2021
inovasi baru akan daya tarik wisata dalam membuka kesempatan berkegiatan ekonomi dan mengambil keuntungan secara ekonomi. Tapi globalisasi juga merubah mayoritas masyarakat Batubulan untuk belajar tentang ide-ide baru, sistem baru, dan cara baru dalam pemanfaatan daya tarik wisata tari barong sebagai potensi daya tarik wisata lokal untuk menarik wisatawan datang berkunjung ke Desa Batubulan.
Desa Batubulan sejak awal tahun 1930an telah berkembang menjadi daerah tujuan wisata, dimana saat ini desa Batubulan menjadi salah satu Desa Wisata di Bali dengan daya tarik utama wisata budaya. Seni budaya oleh Desa Batubulan dijadikan sebagai potensi lokal desa dan dikembangkan untuk pemenuhan daya tarik wisata budaya dengan kemasan tari barong dan tari kecak yang di pertunjukan setiap hari di stage pertujukan yang ada di Batubulan, salah satunya di Pemaksaan Tari Barong Sahadewa. Selain pentas di stage, tari barong dari Desa Batubulan juga pentas di daerah-daerah kawasan wisata seperti ; Ubud, Nusa Dua, dan Sanur yaitu sebagai atraksi budaya lokal dengan fungsi pengantar tamu hotel yang sedang makan malam (dinner) di hotel.
Desa Batubulan selain menjadikan tari barong sebagai daya tarik utama, juga memiliki beberapa jenis pertunjukan lainnya, seperti ; Tari Kecak, Janger, Joget, dan Tari Topeng.
Saat ini di Desa Batubulan sudah terdapat lima pemaksan tari barong, yang setiap harinya melakukan pementasan secara rutin dalam waktu yang bersamaan juga yaitu setiap pukul 09.30 WITA sampai 10.30 WITA.
Berkembangnya dunia pariwisata, maka munculah suatu permintaan pasar atau minat wisatawan untuk melihat pementasan tari barong, sehingga timbulah proses komodifikasi tari barong yang pada awalnya merupakan sebuah tarian sakral masyarakat (art by destination) kemudian di komodifikasi
untuk dijadikan sebagai pertunjukan untuk wisatawan (tourist art).
Perkembangan pariwisata yang terjadi di Desa Batubulan masyarakat juga dituntut untuk mengembangkan sektor ekonomi kreatif dengan cara berinovasi dan berkreasi dalam menunjang kepariwisataan yang ada di Desa Batubulan. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah Desa Batubulan membentuk Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) untuk menunjang
kepariwisataan. Keberhasilan dalam
pembentukan POKDARWIS Desa
Batubulan mendapatkan penghargaan peringkat 1 Desa Sadar Wisata Nasional pada tahun 2012, penghargaan ini diberikan langsung oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Keberhasilan Desa Batubulan dalam
membentuk POKDARWIS, menjadikan sumber daya manusia yang ada menjadi lebih berkompetitif dalam kompetisi di era globalisasi. Masyarakat lokal tidak dijadikan sebagai penonton, namun dimasukan kedalam bagian penting dalam pengelolaan kepariwisataan desa.
Upaya pengembangan seni pertunjukan tari barong untuk pariwisata sejatinya telah di mulai sejak tahun 1930-an oleh seorang pelukis dan musisi berdarah Jerman bernama Walter Spies yang mempromosikan Bali dan tari barong kepada wisatawan luar negeri, dengan cara membuat brosur dari perusahaan perkapalan KPM, dan sejak itu ada sekitar 30.000an wisatawan mancanegara yang mengunjungi Bali (Picard, 2006).
Para wisatawan tersebut datang untuk menyaksikan tari barong yang digelar masyarakat untuk kegiatan keagamaan. Sejak adanya wisatawan tersebut, mulai muncul stage-stage pertunjukan tari barong, salah satunya Sahadewa yang berlokasi di Desa Batubulan.
Pemaksan tari barong sahadewa didirikan sejak tahun 1972 oleh I Dewa Nyoman Eka dengan tujuan sebagai
Vol. 9 No 1, 2021
panggung pertunjukan wisata budaya seni pertunjukan tari barong untuk wisatawan. Tari barong yang dipentaskan di sini sudah mengalami pergeseran dan perubahan lakon, yang semula menggunakan lakon Calonarang yang bersifat sakral, kemudian berubah menjadi lakon Kunti Sraya yang bersifat hiburan atau lawak. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan durasi waktu pertunjukan dan alur cerita yang mudah dan bisa dipahami oleh para penonton atau wisatawan.
Pesatnya perkembangan industri kepariwisataan di Bali memberikan perubahan terhadap kondisi kehidupan masyarakat dalam segi ekonomi dan budaya. Perkembangan pariwisata tersebut membuka pola pikir masyarakat yang lebih maju dan modern dalam mencari peluang usaha di industri pariwisata. Masyarakat di Desa Batubulan yang awalnya bermata pencaharian sebagai petani dan pengrajin ukiran batu padas, seiring berkembangnya sektor pariwisata di Desa Batubulan masyarakat kemudian mengembangkan profesinya dengan terlibat langsung di industri pariwisata. Dengan adanya stage pertunjukan tari barong Sahadewa telah membuka peluang lapangan pekerjaan untuk masyarakat lokal, mulai dari penari tari barong, guide, dan berjualan sourvernir dan makanan di dekat lokasi pertunjukan.
Sikap keterbukaan dan keikutsertaan masyarakat. lokal dalam pementasan tari barong juga telah merubah tujuan pementasan tari barong yang semula dipentaskan ketika ada kegiatan keagamaan di lingkungan yang bersifat sakral, kemudian muncul tujuan baru yaitu untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Sikap tersebut dilandasi atas keinginan masyarakat lokal untuk menunjukan karya seni yang dimiliki kepada wisatawan, selain itu juga dilandasi atas rasa kepedulian masyarakat lokal dalam mempertahankan karya seni atau budayanya dari pengaruh budaya
luar yang masuk ke Bali akibat perkembangan pariwisata.
Sejak dibukanya Bali sebagai daerah tujuan wisata, kehidupan masyarakatnya mulai mengalami perubahan. Pendidikan yang diperoleh bagi sebagaian warga masyarakat Bali melalui sekolah-sekolah yang dibuka oleh pemerintah kolonial Belanda tampaknya secara perlahan-lahan telah memperluas wawasan mereka tentang berbagai hal terkait kehidupan. Dengan diberikannya peluang untuk mengenyam pendidikan membuat sebagian warga masyarakat Bali ketika itu mulai mengubah pola pikirnya, dari cara berpikir irasional menjadi rasional (Gde Agung, 1989).
Meskipun sosial-religi masyarakat Bali dengan tradisi yang sangat kuat, namun masyarakat Bali adalah masyarakat yang plural-terbuka, yang memberikan reaksi dan respon positif terhadap segala perubahan lingkungan atas masuknya budaya luar, khususnya terhadap perubahan sosial ekonomi. Masyarakat Bali selalu berusaha secara simultan mengendalikan (to control) dan melestarikan (to maintain) kebudayaan dengan mereka selalu memilih, menganalisis, kemudian mengintegrasikan segala unsur dan nilai budaya yang sesuai (Sujana, 1994).
Dalam kasus-kasus pariwisata seperti di Bali terjadi perbedaan dalam memahami globalisasi. Pariwisata Bali yang sudah berkembang sejak zaman kolonial Belanda sebagai upaya westernisasi maupun moderenisasi membawa implikasi secara positif maupun negatif (Anom, dkk., 2016).
Ternyata pariwisata Bali justru mampu melestarikan kebudayaan yang dimiliki. Globalisasi justru memberikan makna cenderung positif terhadap masyarakat Bali terutama di destinasi-destinasi wisata. Kehadiran kepariwisataan membawa berkah terhadap pelaku budaya lokal dan menuntut berkreasi dalam aspek pelestarian maupun revitalisasi budaya (Mahagangga, dkk., 2017).
Secara umum komodifikasi tari Barong terlihat pergeseran fungsi dari sakral menjadi seni pariwisata. Diantaranya adalah perubahan yang mengakibatkan terjadinya perbedaan gerak (komposisi tari ada tiga, yaitu
Vol. 9 No 1, 2021
pepeson/pembukaan, pengawak/pertengahan, pekaad/ penghabisan) dan tempat pementasan (Sudiana, 1999).
Temuan menarik oleh Anom (dkk., 2020) yaitu tourismmythmorphosis berarti suatu mitos (atau beberapa mitos) berkembang dari yang berupa tradisi lisan-origin sebagai tinggalan budaya lokal menjadi mitos-mitos yang dianggap relevan, mudah dan cepat diterima dan langsung kepada makna-makna menurut penuturnya (lokal) kepada para wisatawan. Dalam tourismmythmorphosis terjadi komodifikasi atau turistifikasi versi lokal yang meyakini memiliki kemampuan untuk “menggubahnya” agar sesuai dengan keinginan pasar wisatawan (Anom, dkk., 2020).
Diantara sekian banyak keuntungan yang diperoleh masyarakat ada pula hal negatif yang dirasakan dari pementasan tari Barong yang sudah dikomodifikasi ini diantaranya adalah hilangnya nilai-nilai kerohanian yang dirasakan oleh personil tari. Awalnya disajikan dengan maksud menarik perhatian penonton, membuat tulisan yang dicetak dalam brosur dan disebarkan kepada para wisatawan menjadi tidak relevan dengan tari Barong yang dipentaskan (Dewi, 2016).
Di era globalisasi, terlebih dunia pariwisata progress menjadi target sesuai dengan kepentingan ekonomi (sulit dihindari). Perkembangan atraksi wisata mengikuti kemajuan informasi dan teknologi. Mulai dari promosi, event, pengemasan dan jejaringnya. Terjadinya komodifikasi tari Barong sebagai atraksi wisata di desa Batubulan adalah fenomena alamiah sebagai proses sosial dalam pariwisata.
Komodifikasi dapat diterima karena peran serta masyarakat lokal, praktisi/pelaku seni dan dukungan dari segenap pihak termasuk industri pariwisata dan pemerintah. Tetapi ketika komodifikasi menjadi pertanyaan konsumen dalam hal ini adalah penonton tari Barong yaitu para wisatawan maka sebaiknya dievaluasi atau di-rethinking komodifikasi tersebut (hal ini terkait dengan kualitas seni pertunjukan untuk konsumsi wisatawan dan jika tidak diperbaiki beresiko akan ditinggalkan pasar).
Komodifikasi kesenian di Bali tampak diprakarsai oleh Walter Spies di tahun 1930-
an yang menambah corak dan memperkaya kebudayaan Bali khususnya seni lukis dan seni pertunjukan. Terjadi banyak penyesuaian-penyesuaian seperti pakem, alat, durasi, tema, dan kolaborasi sebagai akulturasi dengan tidak menghilangkan spirit Bali yang tradisional waktu itu. Hal ini dilakukan untuk kepentingan pasar wisatawan yang mulai melirik Bali sebagai destinasi wisata pulau surga, pulau seribu pura dan banyak sebutan lainnya.
Apa yang dilakukan Spies waktu itu, sesuai dengan keadaan zaman atau pasar wisatawan saat itu (era sebelum perang dunia II). Ketika perkembangan pariwisata Bali telah maju pesat dalam suatu jejaring globalisasi yang sulit untuk dihindari termasuk kemajuan informasi dan teknologi maka tidak menutup kemungkinan pementasan seni pertunjukan tari Barong Batubulan akan selalu berdinamika.
Harapannya adalah dinamika pentas seni pertunjukkan tersebut tidak meninggalkan-melupakan khasanah tradisional. Bali yang dikenal pariwisata budayanya sejak awal perkembangan pariwisata akan sulit bersaing dengan jenis-jenis wisata lain karena modal kuat pariwisata Bali adalah modal budaya.
Nilai-nilai Tradisional, moderen dan postmoderen sedang dirasakan dan dilalui oleh masyarakat dunia. Tampak melalui pariwisata nilai-nilai tersebut sebenarnya dapat menyatu, saling melengkapi dan memberikan makna positif bagi kemajuan zaman yang ketat dengan egoisme, pragmatisme, materialisme, hedonisme dan krisis lingkungan yang sudah disadari adalah ancaman di masa depan tetapi sulit untuk diantisipasi sejak dini.
Perkembangan pariwisata di Bali memunculkan inovasi seperti dalam pementasan tari barong bagi wisatawan. Tari barong yang sebelumnya sebagai ritual keagamaan yang sakral, dikomodifikasi menjadi seni profan untuk pertunjukan wisata. Proses komodifikasi tari barong di pengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi proses komodifikasi adalah; faktor globalisasi dan perkembangan
Vol. 9 No 1, 2021
industri pariwisata yang masuk ke Bali. Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi proses komodifikasi tari barong adalah adanya kreativitas dari para seniman tari barong dan keinginan masyarakat lokal untuk berperan aktif dalam industri pariwisata Bali. Keadaan ini disadari atau tidak mendorong terjadinya regenerasi seniman dalam menjaga kelestarian budaya lokal.
VI.SARAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disampaikan saran bagi pemaksan tari barong Sahadewa dan masyarakat lokal agar agar selalu berbenah diri dan meningkatkan kualitas pertunjukan tari barong karena atraksi wisata semakin kompetitif.
Saran kepada pemerintah khususnya pemerintah kabupaten Gianyar agar membuatkan aturan pakem dalam pemanfaatan tari barong sebagai atraksi wisata budaya sehingga kesakralan tari Barong tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Anom, I Putu, dkk., 2016. Problematika Pariwisata Bali: Merancang Paradigma Pariwisata Bali Masa Depan. Penelitian yang tidak dipublikasikan. Dana PNBP Hibah Unggulan Udayana. Denpasar: LPPM Universitas Udayana.
Anom, I. P. T., Mahagangga, I. G. O., SURYAWAN, I., & KOESBARDIATI, T. (2020). Case Study of Balinese Tourism: Myth as Cultural
Capital. Utopía y Praxis Latinoamericana, 25(6), 122-133.
Anom, M. Par., Dr. Drs. I Putu, dkk. 2020. Spektrum Ilmu Pariwisata: Mitos sebagai Modal Budaya dalam Pengembangan Pariwisata Bali. Jakarta: Kencana (Prenada Media Group).
-
A. Yoeti, Oka. 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta : Pradnya Paramita.
Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya
Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana
Dewi, A. P. (2016). Komodifikasi Tari Barong di Pulau Bali (Seni Berdasarkan Karakter
Pariwisata). Panggung, 26(3).
Gde Agung, Ide Anak Agung. 1989. Bali pada abad XIX: Perjuangan Rajyat dan Raja-Raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Gunawan, Iman. 2013. Metode Penelitiaan Kualitatif: Teori dan Pratilik. Jakarta: Bumi Aksara.
Kusumastuti, Eny. 2009. Seni Pertunjukan Wisata Sebagai Industri Ekonomi Kreatif. Universitas Negeri Semarang.
Lestari, Sri Dwi. 2014. “Komodifikasi Dramatari ‘Cak
Ramayana’ Desa Singapadu Dalam Industri Pariwisata”. Tesis : Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Universitas Udayana.
Mahagangga, I. G. A. O., & NUGROHO, S.
-
(2017) . Pemahaman lintas budaya dalam kepariwisataan. Cakra Press bekerja sama dengan Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana.
Marius, J. A. 2006. Perubahan Sosial. Jurnal Penyuluhan, 2(2). Google Scholar Link.
Moleong. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Maquet, J. 1971. Introduction to Aesthetic Anthropology. Massachusetts : Addison-Wesley.
Picard, M. (2006). Bali: pariwisata budaya dan budaya pariwisata. Kepustakaan Populer Gramedia.
Piliang, Yasraf Amir. 2006. “Menciptakan Keunggulan Lokal Untuk Merebut Peluang Global : Sebuah Pendekatan Kultural”. Makalah Seminar ISI Denpasar.
Pitana, I Gde. 2006. Industri Budaya Dalam Pariwisata : Reproduksi, Presentasi, Konsumsi, dan Konsentrasi, dalam Bali Bangkit Bali Kembali. Denpasar : Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata Republik Indonesia dan Universitas Udayana.
Pradnyani, Ida Ayu. 2005. “Pembangunan Pariwisata
Berbasis Kerakyatan (Kasus Pertunjukan Tari Wisata Di Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar)”. Tesis : Program Studi Magister Kajian
Pariwisata, Universitas Udayana.
Putra, Erfa Arya. 2018. ”Komodifikasi Bentuk Pementasan Tari Barong (Komodifikasi Art by Destination Menjadi Tourist Art di Desa Batubulan)”. Fakultas Pariwisata. Universitas Udayana.
Sudiana, I. (1999). Desakralisasi tari barong dalam kehidupan sosial budaya masyarakat
Bali (Doctoral dissertation, [Yogyakarta]: Universitas Gadjah Mada).
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung : Alfabeta.
Sujana, N. 1994. Manusia Bali di Persimpangan Jalan dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. I Gde Pitana (ed.). Denpasar Offset BP.
Winartha, Made. 2006. “Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi”. Yogyakarta: Andi Ofsset.
SUMBER LAIN
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 1 Ayat 14 Tentang Kepariwisataan Bali Yang Dijiwai oleh Ajaran Agama Hindu dan Falsafah Tri Hita Karana.
240
Discussion and feedback