Pengembangan Pariwisata di Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat
on
Jurnal Destinasi Pariwisata p-issn: 2338-8811, e-issn: 2548-8937
Vol. 8 No 1, 2020
Pengembangan Pariwisata di Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat
Shifa Paramitha 1 a, 1, Gde Indra Bhaskara 2 a, 2
-
1 [email protected] 1, 2 [email protected] 2
a Program Studi S1 Destinasi Pariwisata, Fakultas Pariwisata,Universitas Udayana, Jl. Dr. R. Goris, Denpasar, Bali 80232 Indonesia
Abstract
Culture has an important role in the tourism industry as one of the factors that attract tourists to visit tourist attractions. One of the cultural tourism areas in West Java is Kampung Naga in Tasikmalaya Regency. Tourism has begun in this traditional village since the 1970s, but its development can be said to be slow because many tourism principles are considered not following customary rules. Unique even though tourism development is not recognized by the community, but continues to run and also benefits the community.
This study uses a qualitative method that aims to identify the development of tourism in Kampung Naga. The types of data used are quantitative data and qualitative data with data collection carried out by observation, in-depth interviews, and documentaries. The data analysis used is qualitative descriptive analysis with an inductive approach.
The results of this study show that the development of tourism in Kampung Naga has reached the second stage in the theory of the tourism area life cycle. Besides, there are community organizations that in charge of tourism issues in Kampung Naga, namely the Association of Indonesian Guides. Meanwhile, there are two Regional Organizations that have authority in Kampung Naga, which are the Tourism, Youth and Sports Departement and the Education Departement. The obstacle in developing tourism in Kampung Naga is a conflict between the government and local communities regarding regulations that are not obeying the customary rules in Kampung Naga.
Keyword: tourism development, cultural tourism, traditional village, development obstacle, tourism area life cycle
Pariwisata budaya merupakan salah satu industri yang terus berkembang sejak tahun 1990-an melebihi perkembangan pariwisata lainnya. Salah satu alasan pariwisata budaya terus diminati adalah karena terdapat kerinduan terhadap nilai-nilai yang lebih dalam seperti agama, seni, dan sastra terutama oleh wisatawan yang sibuk dengan hiruk-pikuk kehidupan modern. (World Trade Organization dalam Larasati, 2017)
Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaannya. Dari Aceh hingga Papua, setiap daerah memiliki keunikannya masing-masing. Hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak wisatawan unruk berwisata ke Indonesia. Budaya memiliki peranan penting dalam industri pariwisata yakni sebagai salah satu faktor penarik wisatawan untuk berkunjung ke daya tarik wisata. Menurut
Pariwisata di Indonesia saat ini sedang berkembang pesat, hal tersebut dibuktikan dengan keberadaan sektor pariwisata di urutan kedua sebagai penyumbang devisa terbesar Indonesia (Menurut Ahman Sya pada travel.detik.com, 2019). Pariwisata dianggap sebagai usaha yang tidak membutuhkan banyak modal tetapi menghasilkan pendapatan yang besar, sehingga memotivasi masyarakat untuk turut berkecimpung di dunia pariwisata. Realitanya memang pariwisata merupakan aktivitas yang dapat menghasilkan devisa secara “instan”, tetapi terkadang tanpa disadari telah menjual segala hal termasuk kebudayaan.
Pariwisata budaya merupakan salah satu jenis pariwisata yang memanfaatkan perkembangan potensi hasil budaya manusia sebagai objek daya tariknya (Simanjuntak:2014). Agar pariwisata budaya tetap berjalan dengan baik, tentunya daya tarik wisata budaya haruslah dilestarikan. Menjaga kebudayaan agar tetap seperti sedia kala memang tidak mudah, tetapi terdapat beberapa tempat yang keaslian budayanya masih terjaga dengan baik seperti di Desa Wisata Tenganan, di Kampung Adat Baduy, dan di Kampung Wae Rebo.
Terdapat satu daya tarik wisata budaya yang unik di Provinsi Jawa Barat yaitu Kampung Naga. Kampung Naga terletak di perbatasan antara Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Meskipun berada di area pinggiran kota, Kampung Naga tetap dapat mempertahankan kebudayaannya dengan tidak menggunakan listrik sebagai penunjang hidup.
Untuk memasuki Kampung Naga pun wisatawan harus menuruni sekitar 700 anak tangga yang cukup curam. Menurut penuturan salah satu tour guide di Kampung Naga, Kang Ijad, Kampung Naga sudah menerima kunjungan wisatawan sejak tahun 1990-an. Oleh masyarakat lokal, wisatawan harus diperlakukan sebaik mungkin dan tidak boleh meminta imbalan apapun. Anggapan tersebut dilandasi oleh kepercayaan bahwa wisatawan adalah saudara yang sedang berkunjung, sehingga sesama saudara tidak boleh saling meminta imbalan. Akan
Vol. 8 No 1, 2020
tetapi jika wisatawan yang memberikannya dengan ikhlas maka masyarakat Kampung Naga dapat menerimanya.
Meski begitu, masyarakat tetap tidak mengakui adanya pengembangan pariwisata di Kampung Naga. Masyarakat menganggap bahwa wisatawan yang berkunjung hanyalah tamu biasa. Selain itu, masyarakat tidak ingin mengakui pengembangan pariwisata karena telah terjadi beberapa konflik antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Salah satunya dikarenakan penetapan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang Retribusi Lahan di Kampung Naga yang mana Pemerintah Daerah menetapkan bahwa setiap wisatawan yang berkunjung ke Kampung Naga harus membayar retribusi parkir. Keputusan tersebut membuat masyarakat lokal marah dan melakukan penolakan dengan cara menutup Kampung Naga bagi wisatawan selama beberapa hari.
Hal tersebut membuat banyak wisatawan kecewa sehingga akhirnya Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya meninjau kembali keputusan tersebut dan memungut retribusi parkir dengan sukarela. Alasan penolakan keputusan retribusi parkir oleh masyarakat lokal selain karena mereka menganggap wisatawan adalah saudara yang berkunjung, mereka juga tidak setuju apabila Kampung Naga dijadikan sebuah daya tarik wisata yang jika wisatawan sudah membayar retribusi parkir kemudian wisatawan akan bebas melakukan apapun di Kampung Naga. Masyarakat lokal takut perilaku wisatawan yang terkadang semena-mena akan merusak kebudayaan di Kampung Naga.
Meskipun masyarakat tidak mengakui pengembangan pariwisata yang telah dilakukan di Kampung Naga, tetapi sebenarnya aktivitas pariwisata tetap berjalan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui realita pengembangan pariwisata di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya dengan berbagai implikasinya.
Penelitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam penelitian ini yang pertama adalah skripsi dari Amanah dengan judul “Mencipta Kampung Naga: Pergulatan Tradisi Adat Budaya dan Desa Wisata dalam Pandangan Masyarakat Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya” pada tahun 2018. Penelitian kedua berjudul “Respons Masyarakat Kampung Naga terhadap Pembangunan Pariwisata di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya (19752010)” yang dilakukan oleh Nugraha, dkk. pada tahun 2018. Kemudian, penelitian tahun 2014 dilakukan oleh Rani dengan judul “Pengembangan Potensi Pariwisata Kabupaten Sumenep, Madura Jawa Timur (Studi Kasis: Pantai Lombang)”.
Terdapat beberapa konsep yang digunakan
dengan maksud membantu analisis permasalahan. Konsep-konsep tersebut adalah Konsep Pengembangan Pariwisata, Konsep Promosi Pariwisata, Konsep Kawasan Pariwisata, Konsep Pariwisata Budaya, dan Konsep Tourism Area Life Cycle (TALC).
Lokasi penelitian ini terletak pada Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Kampung yang berada di pinggiran pusat kabupaten ini dapat dicapai menggunakan angkutan kota (angkot) dari pusat Kabupaten Tasikmalaya selama kurang lebih 30 sampai 45 menit. Meskipun berada di dekat pusat aktivitas, Kampung Naga dapat tetap melestarikan kebudayaannya tanpa membiarkan pariwisata merusaknya.
Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan dengan melakukan observasi non-partisipasif dan wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder seperti melalui penelitian terdahulu didapatkan melalui dokumenter. Untuk memperoleh data-data tersebut, peneliti menentukan informan dengan prosedur purposif. Beberapa informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia di Kampung Naga, Ketua Pelaksana Koperasi “Sauyunan”, dan Masyarakat Lokal.
Teknik analisis data dalam penelitian ini mengguanakan analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan induktif yakni berdasarkan data-data khusus di lapangan yang bermuara pada kesimpulan umum.
Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kampung ini merupakan satu-satunya kampung adat di Kabupaten Tasikmalaya yang hingga saat ini masih terjaga keaslian budayanya. Keberadaan kampung adat ini tidak diketahui sejak kapan, karena menurut penuturan sesepuh Kampung Naga, sekitar tahun 1950 terjadi pemberontakan di Kampung Naga oleh DI/TII yang dipimpin oleh Karto Suwiryo. Hal tersebut dikarenakan warga Kampung Naga tidak ingin ikut serta dengan DI/TII, yang mengakibatkan gerombolan Karto Suwiryo tersebut membakar segala bentuk dokumen serta benda-benda pusaka di Kampung Naga. Selain itu, orang tua jaman dahulu juga tidak menceritakan asal-usulnya kepada setiap orang dan hanya kepada orang-orang pilihan saja. Maka dari itu, sejarah mengenai asal-usul Kampung Naga dapat dikatakan pareumeun obor atau kehilangan jejak. Meski begitu, terdapat sebuah anggapan oleh Kuncen (Juru Kunci Adat) Kampung Naga, bahwa nenek moyang mereka bernama Eyang
Vol. 8 No 1, 2020
Singaparna dan berasal dari daerah timur. Saat itu beliau sedang bertugas sebagai utusan Raja Mataram untuk menyebarkan Agama Islam, kemudian ia sampai di sebuah lembah dan mendirikan sebuah bangunan sebagai tempat tinggal dan adalah rumah yang pertama kali berdiri, yakni Bumi Ageung. Setelah itu, daerah lembah tersebut dikenal sebagai Kampung Naga. Menurut Amanah (2018) nama Kampung Naga berasal dari Bahasa Sunda yaitu nagawir yang berarti tebing. Nama tersebut digunakan karena Kampung Naga berada di lembah dan dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi.
Kampung Naga berada di jalur regional antara Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya dengan jarak menuju ke ibukota Kabupaten Tasikmalaya sekitar 20 kilometer. Kampung yang berada di ketinggian 488 mdpl ini memiliki luas area sebesar 1,5 hektar, apabila hutan keramat juga dihitung maka luasnya akan mencapai sekitar 10 hektar. Kampung ini berbatasan dengan Sungai Ciwulan di utara dan timur, di barat berbatasan dengan Hutan Keramat, serta di selatan berbatasan dengan persawahan penduduk. Dengan lokasi yang berada di bawah tebing, jalan masuk menuju ke Kampung Naga harus dengan menuruni tangga berjarak kurang lebih 500 m hingga ke tepi Sungai Ciwulan yang memiliki kemiringan sekitar 45°.
Tahap Pengembangan Pariwisata di Kampung Naga, Tasikmalaya
Aktivitas pariwisata sudah berlangsung sejak tahun 1970-an di Kampung Naga (Nugraha, 2018). Menurut penuturan Pak Ucu Suherlan selaku Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HIPANA) dan Ketua Pelaksana Koperasi Warga Sauyunan, sejak awal banyak wisatawan yang mengunjungi Kampung Naga berprofesi sebagai pelajar. Para pelajar tersebut datang dari luar negeri seperti Swedia, Perancis, dan Belanda dengan maksud bermacam-macam, seperti melakukan penelitian, belajar mengenai kebudayaannya, dan ingin berbagi ilmu. Setelah itu, pada tahun 1980-an mulai berdatangan mahasiswa dalam negeri dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Udayana untuk meneliti mengenai kebudayaan di Kampung Naga. Hal-hal tersebut membuktikan bahwa Kampung Naga memiliki potensi sebagai wisata budaya dan wisata edukasi.
Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya pun mengetahui besarnya potensi wisata yang dimiliki oleh Kampung Naga. Maka dari itu, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya bekerja sama dengan Pemerintah Desa Neglasari untuk melakukan penyuluhan mengenai manfaat positif dari aktivitas pariwisata di Kampung Naga. Manfaat positif yang dimaksud adalah dapat menambah jumlah lapangan pekerjaan serta meningkatkan penghasilan dengan menjual kerajinan tangan, membuka warung
makanan, dan menjadi pemandu wisata. Akan tetapi, keinginan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya untuk mengembangkan pariwisata di Kampung Naga tidak selaras dengan keinginan masyarakat adat. Masyarakat adat berusaha mempertahankan kebudayaannya dengan mencegah pembangunan pariwisata di Kampung Naga. Walaupun masyarakat tidak mengakui adanya pengembangan pariwisata di Kampung Naga, tetapi masyarakat tetap merasakan hasil dari pengembangan pariwisata. Pengembangan pariwisata di Kampung Naga saat ini telah sampai pada tahap Involvement (Keterlibatan) berdasarkan teori Tourism Area Life Cycle (Siklus Hidup Destinasi). Tahapan involvement dalam pengembangan pariwisata di Kampung Naga dapat dijelaskan dengan indikator-indikator sebagai berikut:
Tingkat kunjungan wisatawan merupakan salah satu indikator untuk mengindentifikasi keberadaan suatu area wisata dalam siklus hidup area wisata. Tingkat kunjungan wisatawan yang dimaksud dalam penelitian ini dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara ke Kampung Naga. Adapun tingkat kunjungan wisatawan ke Kampung Naga, yakni sebagai berikut:
Tabel 1 Tingkat Kunjungan Wisatawan Ke Kampung Naga Tahun 2012-2017 | ||
Tahun |
Jumlah Kunjungan Wisatawan |
Pertumbuhan |
2012 |
44.391 |
- |
2013 |
55.321 |
10.93 % |
2014 |
75.746 |
20.425 % |
2015 |
45.275 |
-30.471 % |
2016 |
52.612 |
7.337 % |
2017 |
43.188 |
-9.424 % |
Sumber: HIPANA Kampung Naga
Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa tingkat kunjungan wisatawan ke Kampung Naga masih fluktuatif. Peningkatan kunjungan wisatawan dari tahun 2013 sebesar 10.93%, dari tahun 2014 merupakan peningkatan paling besar selama kurun waktu 2012-2017 yaitu sebesar 20.425%. Akan tetapi, terjadi penurunan yang cukup drastis dari tahun 2015 yaitu sebesar -30.471%. Kemudian, dari tahun 2016 kunjungan wisatawan mulai meningkat kembali yaitu sebesar 7.337%, tetapi kembali menurun dari tahun 2017 sebesar -9.424%. Penurunan tersebut hingga saat ini belum diketahui penyebabnya. Jumlah kunjungan wisatawan di Kampung Naga dibatasi oleh HIPANA, yaitu maksimal sebesar 1.000 orang/hari. Selain itu, wisatawan yang berkunjung juga harus melakukan konfirmasi jam kedatangan. Hal tersebut diwajibkan agar HIPANA dapat mengatur alur masuk dan keluar wisatawan, terutama wisatawan yang datang secara berkelompok. Apabila terdapat banyak wisatawan
Vol. 8 No 1, 2020
yang datang secara bersamaan, sebagian darinya akan diajak mengelilingi Kampung Naga terlebih dahulu dan sebagian lainnya akan menunggu di tempat parkir sambil diceritakan mengenai sejarah Kampung Naga dan beristirahat.
Menurut Mill (2000) fasilitas wisata adalah salah satu hal yang memenuhi kebutuhan dari wisatawan yang melakukan perjalanan wisata sesampainya di atraksi wisata. Fasilitas wisata tersebut dapat berbentuk akomodasi, tempat makan dan minum serta fasilitas penunjang tempat wisata. Di Kampung Naga, sudah terdapat beberapa fasilitas wisata seperti pintu gerbang, area parkir, musholla, toilet umum, warung telepon, listrik, sarana air bersih, kios cinderamata, serta tangga menuju lokasi Kampung Naga.
Fasilitas-fasilitas tersebut ada yang dibangun oleh pemerintah, non-government organization (NGO) dan oleh masyarakat lokal sendiri. Pintu gerbang, area parkir, listrik, sarana air bersih, tangga menuju ke Kampung Naga, papan petunjuk “Selamat Datang di Objek Wisata Kampung Naga, Welcome to Kampung Naga” serta beberapa kios cinderamata di area parkir dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya.
Anak tangga menuju ke Kampung Naga saat ini sudah disemen sehingga dapat dilalui dengan mudah. Jumlah anak tangganya sekitar 450 anak tangga dengan jarak sekitar 500 meter. Listrik di Kampung Naga hanya terdapat hingga bagian akhir tangga, setelah memasuki Kampung Naga maka tidak terdapat arus listrik dan masyarakat lokal menggunakan Accu untuk menggunakan beberapa peralatan elektronik.
Kemudian NGO membantu membangun toilet umum di Kampung Naga dan membuat sebuah gapura kecil bertuliskan “Wilujeng Sumping” yang adalah Bahasa Sunda dan memiliki arti “selamat datang”.
Pembangunan gapura tersebut menambah nilai estetika di Kampung Naga. Hingga saat ini, terdapat dua perusahaan yang memberikan dana Coorporate Social Responsibility (CSR) kepada Kampung Naga, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan PT. Telkom Indonesia. Selain membangun gapura, BRI juga memperbaiki toilet yang ada di Kampung Naga.
Dengan adanya perbaikan toilet tersebut, kebersihan dan kerapihan di Kampung Naga lebih terjaga. Sedangkan, PT. Telkom Indonesia membantu dalam hal perbaikan saluran air bersih.
Masyarakat lokal juga membangun beberapa fasilitas wisata seperti musholla dan Tugu Kujang Pusaka. Musholla berada di dekat gapura kecil di Kampung Naga, dibuat agar mempermudah wisatawan yang ingin sembahyang tidak usah menuruni anak tangga untuk menuju ke Masjid yang
ada di Kampung Naga terlebih dahulu. Tugu Kujang Pusaka merupakan tugu yang didalamnya terdapat kumpulan benda-benda pusaka. Tugu Kujang Pusaka terletak di area parkir dan juga di dekat gapura kecil.
Meskipun musholla tersebut tidak terlalu besar, tetapi kondisinya cukup bagus. Kebersihannya pun terjaga sehingga dapat membuat nyaman wisatawan yang ingin sembahyang.
Fasilitas wisata lainnya yang terdapat di Kampung Naga adalah akomodasi. Akomodasi merupakan berbagai jenis hotel dan fasilitas lainnya yang berhubungan dengan pelayanan bagi wisatawan, jika terdapat satu atau beberapa dari mereka yang ingin bermalam selama perjalanan wisata (Inskeep, 1991). Di Kampung Naga terdapat satu buah homestay di area lahan parkir yang bernama Homestay Inap Keluarga. Homestay Inap Keluarga tersebut dimiliki oleh Pak Ucu Suherlan yang merupakan salah satu sesepuh desa dan anggota di Koperasi Warga Sauyunan serta Himpunan Pramuwisata Indonesia. Kapasitas di homestay tersebut terus meningkat, berawal dari dibawah 100 orang, kemudian 150 orang, lalu bertambah menjadi kapasitas untuk 200 orang, dan sekarang berkapasitas untuk 250 orang. Pertambahan kapasitas tersebut secara bertahap karena harus memperhatikan fasilitas lainnya juga seperti toilet dan warung makan. Masyarakat lokal tidak ingin jika banyaknya wisatawan yang menginap akan mengganggu aktivitas masyarakat. (wawancara dengan Pak Ucu Suherlan)
Selain dapat menginap di homestay, wisatawan juga diperbolehkan untuk menginap di rumah warga. Biaya untuk menginap di rumah warga sebesar Rp 200.000/malam yang dapat dihuni hingga lima orang dengan biaya makan Rp 25.000/orang. Ketika wisatawan datang, akan disambut oleh pemandu wisata di Kampung Naga dan diarahkan ke rumah yang sudah ditentukan. Kemudian, malamnya akan diadakan pertemuan dengan sesepuh Kampung Naga dan dipersilahkan untuk melakukan tanya-jawab. Lalu, keesokan harinya wisatawan dipersilahkan untuk melakukan observasi lapangan dengan berkeliling di sekitar Kampung Naga.
Tidak sembarang wisatawan yang dapat menginap di Kampung Naga, tetapi hanya boleh untuk wisatawan yang memiliki tujuan untuk belajar atau meneliti. Untuk menginap di Kampung Naga, wisatawan harus mengirimkan surat izin penelitian kepada Ketua Adat Kampung Naga. Maksimal menginap di Kampung Naga adalah selama dua malam saja. Hal tersebut bukan tanpa alasan, melainkan demi menjaga kebudayaan di Kampung Naga agar terus lestari.
Pada tahun 2017 pemerintah juga sudah merencanakan sarana dan fasilitas yang perlu ditata dan dikembangkan (Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tasikmalaya, 2017), antara lain:
Vol. 8 No 1, 2020
-
a. Pengembangan Infrastruktur
-
1. Penataan jalan lingkungan
-
2. Pasokan air bersih
-
3. Listrik, lampu taman dan lampu penerangan jalan
-
4. Pengolahan limbah bersih dan limbah kotor
-
5. Telekomunikasi (pembangunan
wartel/warnet)
-
6. Sistem Drainase
-
7. Ruang terbuka hijau (Penghijauan dan taman)
-
b. Aksesbilitas
-
1. Emplacemen area parkir
-
2. Kantor administrasi
-
3. Pintu gerbang dan loket karcis
-
4. Pedestrian
-
5. Tourist Information Centre (TIC)
-
6. Billboard, petunjuk arah, dll.
-
c. Penunjang wisatawan
-
1. Penunjang aktivitas
-
2. Kebersihan
-
3. Pengamanan dan Kesehatan
-
4. Peribadatan
-
5. Perbelanjaan
-
6. Tempat istirahat
-
7. Hiburan
Meski sudah terdapat perencanaannya, Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya tidak bisa membangun semua fasilitas tersebut secara langsung. Apabila pembangunan akan diadakan, maka harus dirundingkan dahulu dengan masyarakat lokal dan sesepuh di Kampung Naga. Hal tersebut dilakukan agar tetap menjaga keaslian budaya di Kampung Naga.
Atraksi wisata merupakan komponen yang signifikan dalam menarik kedatangan wisatawan (Suwena, 2010). Atraksi wisata terdiri atas atraksi wisata alam, atraksi wisata budaya, dan atraksi wisata buatan. Atraksi buatan merupakan segala sesuatu yang menjadi daya tarik wisata yang sengaja diciptakan atau dibuat oleh manusia, seperti monument, candi, kesenian, festival, pesta ritual, dan lain-lain (Suwantoro, 2000 dalam Abdulhaji dan Yusuf, 2017). Terdapat sebuah atraksi wisata buatan di Kampung Naga yaitu Tugu Kujang Pusaka.
Tugu tersebut didirikan oleh Kaporwil Garut, yaitu Bapak Anton berdasarkan permintaan dari Ketua Adat Kampung Naga. Kujang merupakan senjata tradisional Jawa Barat yang disimbolkan sebagai senjata orang sunda asli yang memiliki nilai kesakralan tinggi. Sesuai dengan namanya, Tugu Kujang Pusaka berisikan benda-benda pusaka Kampung Naga, wisatawan dapat melihat benda-benda pusaka tersebut dari luar tugu, tetapi tidak
boleh dimasuki dan difoto secara sembarangan. Tugu ini merupakan tugu terbesar di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya yang diresmikan oleh Gubernur Ahmad Heryawan pada Kamis, 16 April 2009. Status tersebut tentunya merupakan kebanggaan bagi masyarakat Kampung Naga, karena dititipkan benda atau barang yang sangat berharga dan harus dirawat dengan sebaik-baiknya (Amanah, 2018).
Kampung Naga pada realitanya memiliki banyak sekali potensi wisata yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata buatan, tetapi hal tersebut tidak dilakukan karena masyarakat lokal tidak setuju dengan hal tersebut. Bagi masyarakat adat yang tidak mengakui adanya pengembangan pariwisata di Kampung Naga, pengembangan pariwisata yang membangun banyak atraksi wisata buatan baru tidak lebih dari sekedar hal yang membawa dampak buruk bagi kebudayaan di Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga memiliki sebuah prinsip hidup yang dimulai dari tuntunan karena adalah sebuah kampung adat. Maksud dari tuntunan adalah segala sesuatu masih mengandung makna atau filosofi tersendiri, serta masih memiliki segudang larangan. Berkebalikan dengan pariwisata yang dimulai dari banyak tontonan. Masyarakat tidak ingin, apabila wisatawan diharuskan membayar retribusi tiket masuk, maka wisatawan akan merasa bebas melakukan apapun di dalam Kampung Naga tanpa memperhatikan larangan-larangan atau peraturan adat yang ada.
Meski begitu, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya memiliki rencana untuk menambah atraksi wisata buatan seperti outbond, photography, toko cinderamata, dan pergelaran seni. Selain itu, pemerintah juga memiliki rencana untuk membuat paket wisata yang memiliki aktivitas seperti penelitian, pengenalan alam, seni dan budaya, dan sebagainya.
Kampung Naga berada di bawah wewenang dua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yaitu Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tasikmalaya yang fokus untuk jasa dan fasilitas pariwisata dan Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya yang berfokus kepada pemanfaatan cagar budaya (Amanah, 2018). Meski begitu, masyarakat lokal memiliki partisipasi paling besar dalam pengembangan pariwisata di Kampung Naga. Meskipun pemerintah telah membuat sebuah peraturan, apabila masyarakat menolak maka pemerintah akan merevisi atau menghapus peraturan tersebut. Masyarakat di Kampung Naga menyalurkan kekuasaannya dengan bernegosiasi kepada pemegang kekuasaan, yakni pemerintah. Peraturan yang disepakati sebagai hasil dari negosiasi merupakan take and give, sehingga diharapkan tidak mengalami
Vol. 8 No 1, 2020
perubahan secara sepihak agar tidak terjadi konflik. Masyarakat di Kampung Naga juga melakukan negosiasi dengan pihak Non-Government Organization (NGO) dalam hal pendanaan. Masyarakat akan menerima NGO di Kampung Naga selama tidak harus menyediakan proposal untuk NGO tersebut. Masyarakat lokal juga merupakan pihak yang paling berperan dalam pengembangan pariwisata. Terdapat tiga stakeholder dalam pengembangan pariwisata di Kampung Naga yakni masyarakat lokal, pemerintah, dan non-government organization.
Pemerintah dalam artian Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, Dinas Koperasi dan Industri Dagang, serta Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tasikmalaya memiliki keterlibatan sebagai regulator yakni membuat Perda Kabupaten Tasikmalaya No. 2 Tahun 2005, Perda No. 16 Tahun 2006), membangun area parkir, beberapa kios cinderamata, anak tangga, papan petunjuk, lalu membuat pelatihan keranjinan tangan.
Kemudian, NGO di Kampung Naga adalah pengusaha pariwisata yang bertindak sebagai investor. Pengusaha pariwisata bergerak menjadi penyedia homestay, pemilik kios cinderamata, pemilik warung makan, serta pemandu wisata.
Terkahir adalah masyarakat yang memiliki keterlibatan dalam mengambil keputusa dan mengambil keputusan. Masyarakat yang tergabung dalam Himpunan Pramuwisata Indonesia cabang Kabupaten Tasikmalaya melakukan rapat setiap akhir bulan untuk mengevaluasi kegiatan yang sudah dilakukan. Sedangkan masyarakat yang tergabung dalam Koperasi Warga “Sauyunan” melakukan rapat setiap akhir tahun. Selain itu, masyarakat juga mendapatkan keuntungan dari dana CSR beberapa perusahaan yakni Bank BRI dan Telkom yang membantu membuat gapura kecil, memperbaiki kamar mandi, serta memperbaiki sarana air bersih di Kampung Naga.
Akan tetapi, tenaga kerja dalam sektor pariwisata di Kampung Naga hingga saat ini dikuasai oleh masyarakat lokal. Terserapnya penduduk bekerja disebabkan oleh adanya permintaan akan tenaga kerja (Rejekiningsih, 2004 dalam Putra, 2018). Tenaga kerja lokal merupakan tenaga kerja atau karyawan yang berasal dari masyarakat lokal yang bekerja di suatu perusahaan yang berada dalam lingkup wilayah masyarakat lokal tersebut. Tenaga kerja lokal dalam sektor pariwisata di Kampung Naga adalah masyarakat yang terhimpun di Himpunan Pramuwisata Indonesia (HIPANA), penyedia akomodasi, pemilik kios-kios cinderamata, dan pemilik warung makan. Semua tenaga kerja dalam sektor pariwisata di Kampung Naga harus merupakan masyarakat lokal di Kampung Naga. Untuk pengurus HIPANA di Kampung Naga merupakan suruhan dari Ketua Adat Kampung Naga. Awalnya, suruhan tersebut dilakukan untuk mencegah wisatawan yang
berkunjung melakukan tindakan yang melanggar aturan adat di Kampung Naga. Kemudian, masyarakat menyadari bahwa hal tersebut merupakan sebuah peluang kerja untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Sehingga saat ini seluruh masyarakat Kampung Naga yang memiliki pengetahuan mengenai sejarah Kampung Naga serta memahami aturan-aturan adatnya, dapat menjadi tour guide di Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga yang tidak ikut serta secara langsung dalam pengembangan pariwisata tetap memiliki hak untuk memberikan pendapatnya.
Kompetensi tenaga kerja lokal belum menjadi hal yang penting untuk menjadi pekerja di sektor pariwisata di Kampung Naga, melainkan tenaga kerja wajib dari masyarakat lokal di Kampung Naga. Menurut Pak Ucu Suherlan, masyarakat yang berkecimpung di sektor pariwisata di Kampung Naga memang masih lemah dalam segi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) karena masyarakat tersebut belajar secara otodidak. Kekurangan biaya merupakan salah satu faktor untuk melanjutkan pendidikan.
Himpunan Pramuwisata Indonesia (HIPANA) di Kampung Naga memiliki peranan besar dalam pelaksanaan pariwisata. HIPANA sudah dibentuk sejak tahun 1992, menggantikan Solidaritas Anak Pemangku Adat Naga (SAPAN) untuk mengawasi aktivitas pariwisata. Tugas utama dari HIPANA adalah menjaga agar wisatawan tidak melakukan sesatu yang melanggar aturan adat dan menjelaskan mengenai sejarah Kampung Naga. Jumlah pengurus dan anggota HIPANA saat ini berjumlah 22 orang.
Saat ini, HIPANA dan Koperasi Warga Sauyunan sedang bekerja sama untuk merintis sebuah Yayasan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta lembaga Bahasa Inggris. Agar selanjutnya yayasan dan lembaga tersebut yang mengurus pembuatan proposal untuk pemerintah dan sebagainya.
Saat ini, Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tasikmalaya turut terlibat dalam perbaikan fasilitas-fasilitas pariwisata di Kampung Naga. Selain itu, juga setiap enam bulan sekali diadakan pelatihan untuk masyarakat lokal yang menjadi tour guide serta sempat diadakan pelatihan Bahasa Inggris bagi anak-anak muda.
Sedangkan Dinas Koperasi dan Industri Dagang (KOPERINDAG) Kabupaten Tasikmalaya terlibat dalam pengembangan pariwisata di Kampung Naga dalam hal pelatihan kerajinan tangan. Pelatihan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kreatifitas masyarakat yang pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan untuk membuat anyaman menggunakan bahan-bahan dari hasil alam. Sehingga kerajinan tangan tersebut dapat dijual kepada para wisatawan yang berkunjung ke Kampung Naga serta meningkatkan perekonomian masyarakat.
Vol. 8 No 1, 2020
Keterlibatan Non Goverment Organization (NGO) sudah dimulai sejak lama di Kampung Naga. Semenjak 1980-an, keterlibatan yang terjalin dengan Non Goverment Organization (NGO) sudah banyak dilakukan. Kerjasama yang dilakukan ada beragam bentuknya. Bentuknya lebih banyak mengarah pada berbagi ilmu kepada masyarakat dan wisatawan. beberapa diantaranya yaitu dengan perguruan tinggi negeri Universitas Indonesia yang membahas mengenai kebudayaannya. Selanjutnya kerjasama yang dilakukan dengan mahasiswa Universitas Gadjah Mada dengan Fakultas Hukum. Mereka meneliti mengenai hukum adat di Kampung Naga. Kerjasama dengan lembaga pendidikan tentunya membawa dampak positif, salah satunya adalah menambah pengetahuan masyarakat mengenai segala jenis ilmu.
Selain keterlibatan dengan lembaga pendidikan, masyarakat Kampung Naga juga terlibat dengan beberapa perusahaan seperti Telkomsel dan Bank BRI. Perusahaan Telkomsel pernah membantu masyarakat Kampung Naga dengan memperbaiki saluran air bersih di Kampung Naga. Sedangkan Bank BRI membantu dalam hal membuatkan gapura kecil untuk memasuki anak tangga menuju Kampung Naga yang semakin membuat indah pemandangan, serta memperbaiki kamar mandi di Kampung Naga yakni menyemen tembok kamar mandi. Kedua perusahaan tersebut terlibat dengan Kampung Naga dengan niatan membantu dan menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR).
Setelah Telkomsel dan Bank BRI, semakin banyak perusahaan atau komunitas yang memperhatikan Kampung Naga. Walaupun begitu, perhatian tersebut tidak membuat masyarakat Kampung Naga menjadi serakah dan ingin mengambil semua bantuan. Masyarakat Kampung Naga menyeleksi beberapa bantuan, dengan maksud untuk melihat bantuan mana yang memiliki visi yang sama dengan masyarakat yaitu untuk menjaga kelestarian budaya di Kampung Naga.
Promosi merupakan salah satu variabel di dalam bauran pemasaran yang sangat penting dilaksanakan oleh perusahaan dalam memasarkan produk atau jasanya. Agar promosi berjalan efektif, perusahaan harus menyusun strategi dalam memasarkan produknya. Hingga saat ini, masyarakat lokal di Kampung Naga belum pernah mempromosikan Kampung Naga sebagai sebuah Daya Tarik Wisata ataupun Kawasan Pariwisata. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian gambaran umum, masyarakat Kampung Naga tidak ingin di komersialkan. Sehingga masyarakat sangat menghindari promosi diri dalam bentuk apapun.
Promosi mengenai Kampung Naga terus terjadi meskipun masyarakat lokal tidak melakukannya. Sejauh ini, promosi dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan brosur, media online, dan mengajak tamu-tamu ke Kampung Naga. Selain itu, Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tasikmalaya juga melakukan promosi melalui media online. Lalu dari pihak travel agent juga mempromosikan Kampung Naga. Akan tetapi, masyarakat Kampung Naga belum pernah membuat perjanjian dengan pihak-pihak tersebut terkait promosi wisata. Dinas-dinas terkait melakukan promosi tersebut tanpa sepengetahuan masyarakat Kampung Naga.
Sebenarnya, untuk meningkatkan kunjungan wisatawan juga perlu dilakukan promosi pariwisata. Seperti kerjasama dengan travel agent, ataupun dengan platform pariwisata seperti TripAdvisor.com, Traveloka, serta Booking.com. Apabila bekerjasama dengan travel agent, masyarakat lokal juga dapat lebih mudah membatasi jumlah kunjungan wisatawan dalam satu harinya.
Sejak pertama kali pariwisata masuk ke Kampung Naga hingga saat ini, telah terjadi beberapa kali konflik antara Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dengan masyarakat lokal. Pada tahun 1976 konflik terjadi akibat Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya membuat rencana untuk mendirikan sebuah penginapan di Kampung Naga yang langsung ditolak mentah-mentah oleh masyarakat lokal.
Upaya pengembangan pariwisata di Kampung Naga oleh Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya tidak berhenti disitu, dimulailah pembangunan beberapa fasilitas pariwisata yaitu tempat parkir dan beberapa toko cinderamata di Kampung Naga pada tahun 1992. Fasilitas pariwisata tersebut dibangun di atas tanah yang dibeli dari penduduk setempat seluas 2.520m2 (Mudzakkir dalam Nugraha dkk., 2018). Selain itu, pemungutan retribusi parkir mulai dilakukan dengan jumlah sukarela. Masyarakat lokal tidak senang dengan pembangunan fasilitas pariwisata dan penarikan retribusi parkir tersebut, tetapi tidak melakukan penolakan karena pungutan dengan jumlah sukarela. Setelah itu, pembangunan pariwisata di Kampung Naga terus berlanjut.
Pada tahun 2002, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya membangun pos penarikan retribusi dan papan petunjuk yang bertuliskan “Objek Wisata Kampung Naga” dan “Selamat Datang di Kampung Naga, Welcome to Kampung Naga”. Akibat dari pembangunan tersebut, masyarakat marah karena merasa telah dikomersialisasikan lalu membakar pos
Vol. 8 No 1, 2020
penarikan retribusi dan menghancurkan papan petunjuk bertuliskan “Objek Wisata Kampung Naga”.
Kemudian, pembangunan pariwisata tetap dilanjutkan dengan memperbaiki anak tangga ke Kampung Naga menggunakan semen. Lalu, lahirlah Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya No. 2 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya (sekarang diganti menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya No. 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya) yang menyebutkan bahwa Kampung Naga adalah kawasan pariwisata yang diperuntukkan pariwisata budaya serta Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Retribusi Lahan Parkir di Kampung Naga dengan menentukannya besarannya, yaitu bus Rp 45.000; mikrobus Rp 30.000; minibus (sekelas Toyota) Rp 18.000; minibus (sekelas Suzuki Carry) Rp 12.000; jiep Rp 6.000; dan sepeda motor Rp 2.400 (Kompas, 1 Februari 2006 dalam Nugraha, 2018).
Hal tersebut kembali membuat masyarakat merasa marah karena telah dikomersialkan. Masyarakat Kampung Naga juga merasa tidak pernah dilibatkan dalam setiap perencanaan peraturan, sehingga mereka menutup Kampung Naga untuk wisatawan yang ingin berkunjung. Sebenarnya, area parkir tersebut dibuat oleh pemerintah agar menghindari kemungkinan laka lintas di jalan sekitar Kampung Naga. Hal tersebut karena dahulu sebelum terdapat area parkir, wisatawan yang berkunjung ke Kampung Naga memarkir kendaraannya disamping jalan raya, yang tentunya sangat berbahaya bagi para pengendara bermotor. Pembangunan area parkir tersebut salah satu bentuk kepedulian pemerintah terhadap Kampung Naga. Namun karena pemerintah membuat peraturan untuk memungut retribusi dengan harga yang cukup tinggi tanpa sepengetahuan masyarakat, maka membuat beberapa wisatawan yang merasa Kampung Naga telah mengkomersialkan dirinya dan hal tersebut menjadikan masyarakat kesal terhadap pemerintah.
Penutupan tersebut direspon cepat oleh DPRD Kabupaten Tasikmalaya dan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dengan mengadakan pertemuan bersama masyarakat Kampung Naga pada 9 Februari 2006. Pertemuan tersebut menghasilkan kata sepakat untuk revisi menjadi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2006 tentang Retribusi Lahan Parkir.
Setelah itu, konflik kembali terjadi yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak tanah akibat diberlakukannya kebijakan peralihan minyak tanah menjadi gas. Harga minyak tanah yang naik secara drastic melukai masyarakat karena pemerintah tidak bersikap adil dan tidak memperhatikan masyarakat, padahal mereka selalu patuh terhadap pemerintah. Masyarakat Kampung Naga merasa bahwa seharusnya pemerintah mendukungnya menjaga dan
melestarikan adat leluhur yaitu menggunakan minyak tanah, bukan memaksa untuk berubah mengikuti perubahan jaman. Konflik tersebut menjadikan masyarakat Kampung Naga kembali melarang kedatangan wisatawan mulai dari 14 Mei 2009. Penutupan tersebut mengundang reaksi dari wisatawan, pemerintah daerah, bahkan hingga pemerintah provinsi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat menganggap bahwa penutupan tersebut dapat memberikan citra buruk terhadap pariwisata di Jawa Barat. Padahal Kampung Naga merupakan kawasan pariwisata yang mampu menarik perhatian banyak wisatawan dan harus terus dilestarikan. Karena merasa Kampung Naga adalah aset bagi pemerintah, akhirnya Bupati Kabupaten Tasikmalaya memberikan subsidi minyak tanah sebesar Rp 2.900/liter dengan jumlah 5.000liter/3 bulan dan distribusinya dilakukan oleh koperasi. Pada saat itu, Kampung Naga belum memiliki koperasi, sehingga untuk sementara proses distribusi diatur oleh Kapolwil Priangan Timur. Maka dari itu, Kampung Naga dibuka kembali untuk wisatawan pada pertengahan September 2009.
Semenjak saat itu, mulai terbentuk organisasi masyarakat seperti Koperasi Warga Sauyunan untuk mendistribusikan minyak tanah subsidi, mengelola tempat parkir, dan mengelola sektor pariwisata yang bersinergi dengan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HIPANA) untuk melayani wisatawan, menjaga wisatawan agar tidak melanggar etika, adat, dan budaya Kampung Naga. Sejauh ini, konflik antara pemerintah dengan masyarakat lokal belum terjadi lagi Maka dari itu, penting untuk diketahui bahwa Kampung Naga saat ini berada pada tahap Keterlibatan (involvement).
Pengembangan pariwisata tanpa mempertimbangankan dimensi sosia-budaya memang sangat rentan terhadap konflik. Terlebih dalam pariwisata sudah dipastikan akan berhubungan dengan dimensi ekonomi. Pemahaman lintas budaya dalam kepariwisataan dapat menjadi formula harmonisasi iklim pariwisata, terutama dalam mencegah konflik berkepanjangan. Ekspektasi budaya masing-masing pihak harus dipetakan dan dipahami sebagai landasan penetapan strategi lintas budaya dalam kepariwisataan (Mahagangga, dkk., 2017).
Dimensi sejarah, dimensi sosio-kultural, dimensi politik, dimensi lingkungan bersama dimensi ekonomi akan menjadi kekuatan dalam pariwisata budaya secara berkelanjutan pada suatu daerah jika mampu disinergikan. Permasalahannya banyak perencanaan dan pengembangan pariwisata mengabaikan ragam dimensi dengan hanya berkaca kepada kondisi eksisting dan dimensi ekonomi (Anom, dkk. 2020).
Vol. 8 No 1, 2020
Pengembangan pariwisata di Kampung Naga saat ini belum diakui oleh masyarakat lokal meskipun masyarakat turut merasakan hasilnya. Hal tersebut dikarenakan masyarakat masih tertutup kepada pariwisata dengan harapan dapat melestarikan kebudayaan di Kampung Naga. Apabila ditinjau menggunakan teori Tourism Area Life Cycle dari Butler, pengembangan pariwisata di Kampung Naga saat ini sedang berada pada tahapan kedua yaitu Keterlibatan (Involvement). Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu tingkat kunjungan wisatawan, fasilitas pariwisata, pengembangan atraksi wisata buatan, kelembagaan, promosi pariwisata, dan hambatan dalam pengembangan pariwisata di Kampung Naga, Tasikmalaya.
Tingkat kunjungan wisatawan di Kampung Naga saat ini masih fluktuatif meskipun cenderung meningkat. Saat ini fasilitas pariwisata yang tersedia adalah homestay, kios cinderamata, toilet umum, papan petunjuk, serta warung makan. Kemudian, untuk pengembangan atraksi wisata buatan di Kampung Naga belum banyak berkembang. Saat ini, hanya terdapat sebuah atraksi wisata di Kampung Naga, yaitu Tugu Kujang Pusaka. Tugu tersebut merupakan tugu terbesar di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
Masyarakat di Kampung Naga memiliki dua organisasi yakni Himpunan Pramuwisata Indonesia (HIPANA) dan Koperasi Warga Sauyunan. Pengurus dan anggota kedua organisasi tersebut seluruhnya adalah masyarakat lokal. Selain berpartisipasi dalam kedua organisasi tersebut, masyarakat juga memiliki keterlibatan dalam pengembangan pariwisata sebagai pemilik kios cinderamata, pemilik warung makan, dan penyedia jasa tour guide. Meski begitu, kualitas Sumber Daya Manusia di Kampung Naga dapat dikatakan masih cukup lemah. Terdapat dua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang memiliki wewenang di Kampung Naga yakni Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tasikmalaya untuk mengurus jasa dan fasilitas pariwisata serta Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya untuk mengurus pemanfaatan cagar budaya. Sedangkan untuk promosi pariwisata di Kampung Naga tidak dilakukan oleh masyarakat lokalnya, melainkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat serta Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tasikmalaya. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Kampung Naga tidak ingin mempromosikan dirinya sendiri yang nantinya akan dilihat sebagai komersialisasi budaya oleh tamu yang akan berkunjung.
DAFTAR PUSTAKA/REFERENSI
Amanah, Nita Agniestya. 2018. Mencipta Kampung Naga: Pergulatan Tradisi Adat Budaya dan Desa Wisata dalam Pandangan Masyarakat
Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya.
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
Anonim. 2006. Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2006 tentang Retribusi Lahan Parkir.
Tasikmalaya: Pemerintah Kabupaten
Tasikmalaya
Anonim. 2012. Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya No. 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2011-2031. Tasikmalaya: Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya
Anoma, I. P., Mahaganggab, I. G. A. O., & Suryawanc, I. B. (2020). Emerging Transdisciplinary Theory on Tourism Research: A Case from Bali. practice, 11(1).
Arnstein, Sherry R. 1969. A Ladder of Citizen Participation dalam Journal of the American Planning Association, 35:4, 216-224. London: Routledge
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana
Hall, Colin Michael. 2003. Special Interest Tourism: An Introduction to Tourism. Melbourne: Longman
Inskeep, Edward. 1991. Tourism Planning an Integrated and Sustainable Development Approach. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Kristiningrum, Nur Dwi. 2014. Heritage Tourism dan Creative Tourism: Eksistensi Pasar Seni (Central market) di Malaysia sebagai salah satu pasar bersejarah. Jurnal Hubungan Internasional tahun VII, No. 1 Januari-Juni 2014
Larasati, Ni Ketut Ratih dan Dian Rahmawati. 2017. Strategi Pengembangan Pariwisata Budaya yang Berkelanjutan Pada Kampung Lawas Maspati, Surabaya. Surabaya: JURNAL
TEKNIK ITS
Mahagangga, I. G. A. O., & NUGROHO, S.
(2017). Pemahaman lintas budaya dalam kepariwisataan. Cakra Press bekerja sama dengan Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana.
Maria, Siti, dan Rosyadi, Dewi Indrawati, dan Renggo Astuti. 1995. Sistem Keyakinan pada Masyarakat Kampung Naga dalam Mengelola Lingkungan Hidup (Studi tentang Pantangan dan Larangan). Jakarta: CV. Eka Putra.
Meray, Josie Geraldy, Ir. Sonny Tilaar, M.Si, dan Esli D. Takumansang, ST, MT. 2016. Partisipasi
Masyarakat terhadap Pengembangan
Pariwisata Pantai Mahembang Kecamatan Kakas. Manado: Universitas Sam Ratulangi
Mill, Robert Christie. 2000. Tourist the International Business. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Vol. 8 No 1, 2020
Mudzakkir, Amin. 2011. Revivalisme Masyarakat Adat dalam Politik Lokal di Indonesia Pasca-Soeharto: Studi Kasus Komunitas Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat. Jurnal
Masyarakat & Budaya, Vol. 13 No. 01
Mudzakkir, Amin. 2012. Antara Masyarakat Adat dan Umat: Masyarakat Kampung Naga dalam Perubahan. Jurnal MAARIF, Vol. 7, No. 1, hlm. 104-116
Nisrina, Ariz. 2018. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan dan Pengembangan Objek Wisata DAM Margotirto di Desa Gisting Bawah Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus. Bandar Lampung: Universitas Lampung
Nugraha, Awaludin, dkk. 2018. Respons Masyarakat Kampung Naga terhadap Pembangunan Pariwisata di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya (1975-2010). Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Padabain, Ferry Aryanto. 2017. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Kawasan Wisata Kabola di Kelurahan Kabola Kecamatan Kabola, Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bali: Universitas
Udayana
Pitana, I Gde dan I Ketut Sudiarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: C.V. Andi Offset
Presiden Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Putra, I Kadek Diana. 2018. Implikasi Erupsi Gunung Agung terhadap Sosial Ekonomi Pelaku
Pariwisata di Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali (Studi Kasus pada Usaha Akomodasi dan Restoran). Denpasar: Fakultas Pariwisata Universitas Udayana
Rani, Deddy Prasetya Maha. 2014. Pengembangan Potensi Pariwisata Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur (Studi Kasus: Pantai Lombang). Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, p. 412-421
Simanjuntak, Silvia G. 2014. Pengembangan Museum Batak Sebagai Atraksi Budaya di Desa Tomok, Kecamatan Simanindo. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada
Soekadijo. 2002. Memahami Pariwisata sebagai Systemic Linkage. Jakarta: PT. Gramedia
Sugiarti, Rara. 2008. Buku Ajar Berbasis Riset: Pariwisata Minat Khusus. Surakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UNS.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Suwena, I Ketut dan I Gusti Ngurah Widyatmaja. 2010. Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata. Bali: Udayana University Press
Yoeti, Oka. 1982. Pengantar Ilmu Pariwisata.
Bandung: Angkasa
Sumber lain:
https://travel.detik.com/travel-news/d-
3646924/kalahkan-minyak-dan-gas-pariwisata-penyumbang-devisa-nomor-2-ri (diakses pada 12 April 2019 Pukul 23.39 WITA)
112
Discussion and feedback