Kendala Pengembangan Pariwisata di Destinasi Pariwisata Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur
on
Jurnal Destinasi Pariwisata p-issn: 2338-8811, e-issn: 2548-8937
Vol. 8 No 2, 2020
Kendala Pengembangan Pariwisata di Destinasi Pariwisata Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur (Studi kasus komponen produk pariwisata)
Antonius Sugiarto a, 1, I Gusti Agung Oka Mahagangga a, 2 antoniussugiarto96@gmail.com 1, 2 [email protected] a Program Studi S1 Destinasi Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, Jl. Dr. R. Goris, Denpasar, Bali 80232 Indonesia
Abstract
Labuan Bajo is wellknown tourism destination to foreign countries. The uniqueness of Labuan Bajo is in the natural panorama and marine tourism. This makes Labuan Bajo become a super priority destination of Indonesia's tourism development. Tourism development includes attractions, accessibility, amenities, and ancillary. Labuan Bajo is still faced with contraints regarding the development of the four components of tourism products, so that the tourism potential has not been optimally developed. The purpose of this study is to find out the tourism potential in Labuan Bajo, and contraints in the development of four components products. The data analysis technique used is qualitative descriptive. The Data collected by interview, observation, and documentation study methods are interpreted to obtain a comprehensive analysis.
The results of the study show that many tourism potentials that can be developed into a tourist attraction. All of this potential is supported by good amenities and branding of Labuan Bajo as a world class tourism destination. But there are fundamental problems in the development of tourism in Labuan Bajo. These problems are human resources that are not qualified in shaping tourist attraction, geographical conditions that require a lot of costs in developing accessibility, spatial planning that has not supported the development of amenities, and mismatches between the central government and local government in tourism development.
E. Keywords: Development of destinations, tourism potential, attractions, accessibility, amenities, ancillary and constraints.
Pengembangan destinasi pariwisata menjadi salah satu program prioritas dalam masa kepemerintahan jokowi (tahun 2014-2019). Ada begitu banyak langkah penting yang dibuat Pemerintah Indonesia dalam pengembangan destinasi pariwisata. Langkah-langkah yang dibuat tersebut tentunya tidak terlepas dari harapan akan tingginya pendapatan Negara dari sektor pariwisata. Salah satu contohnya adalah pembentukan sepuluh destinasi wisata yang biasa disebut dengan sepuluh “Bali” baru pada tahun 2016 sebagaimana yang dijelaskan di dalam Surat Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Nomor S-54/Menko/Maritim/VI/2016. Sepuluh destinasi Bali baru tersebut meliputi: Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Pulau Seribu, Candi Borobudur, Mandalika, Gunung Bromo Tengger, Wakatobi, Labuan Bajo, dan Morotai. Namun Seiring berjalan waktu Pemerintah kemudian mengevaluasi pengembanganya dengan alasan mempercepat pembangunan infrastruktur dan utilitas Bali baru ini. Hasil evaluasi menetapkan lima destinasi yang dijadikan super prioritas yang meliputi Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Likupang dan Labuan Bajo (kompas. com 8 november 2019)
Cakupan pengembangan kepariwisataan pada suatu destinasi pariwisata tentunya sedikit lebih kompleks. Hal ini dikarenakan pengembangan destinasi meliputi komponen produk pariwisata yang terdiri dari atraksi wisata, aksesbilitas, amenitas, dan ancillary atau kelembagaan (Pitana 2009).
Sebagai salah satu destinasi pariwisata yang sudah dikenal sampai ke mancanegara Labuan Bajo juga tidak luput dari pengembangan kepariwisataan. Status Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas tentunya mendorong pengembangan kepariwisataan lebih lanjut. Penetapan status tersebut kemudian diikuti oleh sejumlah program pemerintah pusat sebagai wujud dukungan penuh terhadap perkembangan pariwisata di Labuan Bajo.
Meskipun demikian, ada beberapa realita yang menandakan bahwa pengembangan kepariwisataan di Labuan Bajo masih berhadapan dengan kendala. Misalnya soal tawaran atraksi wisata yang masih minim sehingga kunjungan ke Labuan Bajo masih identik dengan hanya melihat komodo. Kemudian pemandangan kurang menarik di beberapa titik penting di Labuan Bajo yang bertebaran sampah menandakan karakter pariwisata dari masyarakat Labuan Bajo masih kurang. Krisis air minum yang seringkali terjadi di Labuan Bajo terutama saat musim kemarau menandakan bahwa ada persoalan mendasar yang harus mendapat penanganan cepat di destinasi Pariwisata Labuan Bajo.
Hal ini penting dianalisis karena pengembangan pariwisata akan berjalan maju, dan sesuai dengan tujuan apabila kendala mengenai pengembangan itu dapat diminimalisir dan mendapat dukungan dari berbagai pihak yang masuk dalam subjek pengembangan kepariwisataan Labuan Bajo. Tujuanya adalah percepatan pembangunan itu sendiri, efisiensi anggaran dan meningkatkan nilai manfaat dari eksistensi pariwisata Labuan Bajo.
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
Artikel ini menggunakan tiga telaah penelitian sebelumnya yang terkait dan digunakan untuk memposisikan fokus dan lokus penelitian. Ketiga penelitian tersebut antara lain, penelitian pertama berjudul “Antara Potensi dan Kendala Pengembangan Pariwisata di Sumatra Barat, (Henny ferniza, 2017)” yang kedua “Peran dan Implementasi Strategi Pengembangan Disbudpar Kab. Sumba Tengah Provinsi NTT dalam Pembangunan Pariwisata suatu pendekatan kualitatif (Yelince Rambu Roku dan I Gst. Agung Oka Mahagangga, 2016)”, yang ketiga “Strategi Komunikasi Pemasaran Pariwisata Labuan Bajo oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Manggarai Barat NTT, (Rufalzih 2017)”. Penelitian ini menggunakan beberapa konsep terkait yang digunakan sebagai landasan dalam analisisnya. Konsep konsep tersebut antara lain: Konsep potensi wisata (Pendit 1999), konsep komponen produk pariwisata (Cooper 1993), konsep destinasi pariwisata (Davidson dan Maitland 1997), konsep teknik pengembangan destinasi pariwisata (Pitana 2009). Pengembangan pariwisata semestinya melalui perencanaan dan teknik yang tepat guna menjamin keberhasilan dalam pembangunanya.
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder (Hasan 2002). Data primer tersebut antara lain penjelasan mengenai potensi pariwisata yang penjabaranya dibagi menjadi potensi fisik dan potensi non fisik serta kendala pengembangan pariwisata di destinasi pariwisata Labuan Bajo. Kemudian data sekunder dalam penelitian ini mengenai persebaran potensi wisata di Labuan Bajo.
Mekanisme pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode observasi (Sugiyono 2013) guna mendapatkan data mengenai atraksi wisata yang ada di Labuan Bajo, kondisi sarana dan prasarana yang mencakup sarana umum dan sarana penunjang pariwisata dan aksesbilitas yang ada di Labuan Bajo sebagai destinasi wisata dunia. Kemudian metode wawancara yaitu wawancara terstruktur (Sugiyono 2013) guna menggali data terkait jenis dan jumlah atraksi wisata di destinasi wisata Labuan Bajo, dan data berkaitan dengan kendala pengembangan aksesbilitas, amenitas, dan ancilliary di destinasi wisata Labuan Bajo. Metode berikutnya yaitu studi kepustakaan (Sugiyono 2013) untuk menghimpun informasi terkait pengembangan pariwisata Labuan Bajo utamanya di level-level kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kelembagaan kepariwisataan di destinasi wisata Labuan Bajo. Adapaun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif dan kuantitatif (Sugiyono 2015) data kualitatif meliputi gambaran umum Labuan Bajo, kondisi sarana dan prasarana pariwisata, kebijakan
pengembangan pariwisata Labuan Bajo, dan kendala pengembangan pariwisata di Labuan Bajo. Kemudian data kuantitatif meliputi jumlah kunjungan wisatawan, demografi penduduk, dan jumlah potensi wisata yang tersebar di Labuan Bajo.
Data-data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif yang kenalkan oleh Bungin (2007) dengan tahap sebagai berikut: pengamatan terhadap fenomena baik sosial maupun ekonomi, melakukan kategorisasi tehadap informasi yang diperoleh saat melakukan penelitian di lapangan, menjelaskan kategorisasi tersebut, kemudian menjelaskan hubungan kategorisasi untuk ditarik kesimpulan-kesimpulan menyeluruh dan umum dari hasil penelitian, yang dalam hal ini peneliti mengamati fenomena kendala dalam pengembangan pariwisata di destinasi pariwisata Labuan Bajo yang terkait dengan pengembangan komponen produk pariwisata. Kemudian diuraikan kesimpulan untuk menjawab pertanyaan mengenai analisis yang sedang diteliti.
Labuan Bajo yang terletak di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi pariwisata di Indonesia. Labuan Bajo mulai dikenal masyarakat seiring dengan ditemukanya habitat Hewan Komodo yang berada di Taman Nasional Komodo (TNK) daerah Labuan Bajo. Letak Pulau Bajo sendiri berada di sebelah barat Kota Labuan Bajo, dan secara geografis terletak pada posisi 080 derajat 29’ 16” LS dan 119 derajat 52’ 10” BT. Pulau Bajo sendiri merupakan salah satu dari gugusan pulau-pulau kecil yang berada di sekitar Kota Labuan Bajo dan Kabupaten Manggarai Barat pada umumnya.
Labuan Bajo memiliki wilayah wisata bahari yang menjadi kekuatan utama mereka dalam bidang atraksi wisata. Kondisi geografis daya tarik pariwisata di Labuan Bajo yang sebagian besar ada pada gugusan pulau-pulau kecil ini menjadi sangat unik. Keberadaaan bukit-bukit di wilayah daratanya juga menjadi kawasan geografis yang menarik. Labuan Bajo merupakan kawasan kars yang hanya dipenuhi dengan padang savanna serta beberapa pepohonan kas Nusa Tenggara Timur yaitu pohon lontar. Kondisi geografis yang merupakan perpaduan antara perbukitan padang savanna dan wilayah pantai menjadi landscape yang sangat menarik di Labuan Bajo.
Labuan Bajo juga merupakan Ibu Kota kabupaten Manggarai Barat yang baru dibentuk sejak tahun 2003. Sebagai ibu kota kabupaten, Labuan Bajo menjadi pusat kegiatan perkantoran dengan mobilitas masyarakat tinggi. Pusat perkantoran dan instansi kepemerintahan kabupaten Manggarai Barat sebagian besar terintegrasi di wilayah Labuan Bajo.
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
Di Labuan Bajo juga terdapat begitu banyak sekolah mulai dari sekolah dasar sampai menengah dan satu instusi pendidikan tinggi.
Sebagai pusat kota yang sudah menggarap pariwisata sebagai leading sector, di Labuan bajo juga tersebar begitu banyak akomodasi wisata dan usaha jasa pariwisata dengan kepemilikan lokal maupun non lokal. Kedaan ini berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat Labuan Bajo. Sebagaian besar masyarakat angkatan kerja Labuan Bajo bekerja pada sektor priwisata, kemudian disusul oleh intansi kepemerintahan, sektor perikanan, dan pertanian. Secara demografi sebagian besar penduduk manggarai Barat beragama Khatolik dengan presentase 78,16%, Kristen Protestan 0,77 %, Islam 20,98%, dan selebihnya Hindu 0,08% dan Buddha 0,01% (BPS Manggarai Barat 2019)
Potensi pariwisata di destinasi pariwisata Labuan Bajo meliputi potensi fisik dan non fisik. dimana potensi fisik yang dimaksud adalah segala sesuatu yang berwujud sehingga dapat disaksikan langsung sebagai daya tarik wisata, sedangkan potensi non fisik yang dimaksud adalah segala sesuatu yang tidak berwujud namun dapat berpengaruh positif dalam mendukung pengembangan pariwisata di destinasi pariwsata Labuan Bajo.
-
a) Potensi wisata yang dapat dikembangkan untuk menjadi daya tarik wisata.
Sebagai destinasi wisata berbasis alam, Labuan Bajo memiliki potensi wisata yang sangat banyak. Potensi wisata yang ada ini, menyebar di beberapa gugusan pulau yang berada di sekitar Taman Nasional Komodo, dan beberapa di antaranya masih satu daratan dengan kota Labuan Bajo. Selama bertahun-tahun, wilayah potensial ini dikunjungi wisatawan karena inisiatif dari para guide untuk menambah pengalaman petualangan tamunya, atau berkunjung hanya karena permintaan wisatawan. Namun sama sekali tidak memberikan manfaat ekonomi baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintah karena manajemenya belum ada. Berikut merupakan matrik potensi wisata di destinasi wisata Labuan Bajo.
Matriks 4.1 Potensi Wisata di Destinasi Wisata Labuan Bajo
No |
Nama potensi wisata |
Keunikan/ daya tarik |
Jarak/cara tempuh dari Labuan Bajo |
1. |
Pulau bidadari |
Pantai pasir putih, dan taman laut |
7 mil/jalur laut |
2. |
Pulau Sture |
taman laut |
9 mil/jalur laut |
3. |
Wae Cicu |
Pantai pasir putih |
3km/ darat |
4. |
Wae Rana |
Pantai pasir putih |
2 km/darat |
5. |
Bukit Binongko |
Panorama, sunset,padang savana |
1,5 km/ darat |
6. |
Pulau Sabolo |
Taman laut |
10 mil/laut |
7. |
Pulau Seraya kecil |
Taman laut |
10 mil/laut |
8. |
Batu Gosok |
Pantai pasir putih |
10 mil/ laut |
9. |
Batu Susun |
Gua alam |
3 km/darat |
10. |
Klumpang |
Pantai pasir putih, tempat budidaya mutiara |
5 km/darat |
11. |
Tanjung rangko |
Taman laut |
4 mil/laut |
12. |
Taro sitangga |
Pantai pasir putih |
3,5 mil/laut |
13. |
Pulau ular |
Pantai pasir putih dan terdapat bererapa spesies ular |
5 mil/laut |
14. |
Pulau burung |
Pantai pasir putih |
4,5 mil/laut |
15. |
Pantai Mentjerite |
Pantai pasir putih |
4,5 mil/laut |
16. |
Pantai pede |
Pantai pasir putih |
1 km/darat |
17. |
Puncak pramuka |
Padang savanna, pantai pasir putih, dan panorama sunset |
0,7 mil /laut |
18. |
Pantai gorontalo |
Pantai panjang |
6 km/darat |
19. |
waraloka |
Situs megalitik |
Kurang lebih 6 mil/laut |
20. |
Lemes |
Situs megalitik |
Kurang lebih 6 mil/laut |
21. |
Kompo nepa |
Situs megalitik |
Kurang lebih 6 mil/laut |
22. |
Pulau Pungu |
Taman laut |
7,9 mil/ laut |
23. |
Pulau Kanawa |
Pantai pasir putih dan taman Laut |
Kurang lebih 6 mil/laut |
24. |
Pulau Sitonda |
Taman laut |
Kurang lebih 6 mil/laut |
25. |
Golo Mori |
Panorama alam dan sunset point |
10 km/darat |
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
26. |
Danau dolat |
Danau |
15km/darat |
Sumber: dinas pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Manggarai Barat 2019
-
b) Aksesbilitas menuju destinasi pariwisata Labuan
Bajo
Akasesbilitas menuju Labuan Bajo tergolong baik dan cukup menunjang kunjungan wisatawan. Pilihan transportasi menuju Labuan Bajo sama seperti destinasi lainya di Indonesia. Wisatawan bisa mengakses Labuan Bajo melalui jalur udara atau jalur laut. Akses ini didukung oleh prasarana seperti pelabuhan kapal dan bandara udara yang bagus dan beroperasi normal setiap harinya. Sehingga sangat mendukung dalam mobilitas wisatawan baik menuju Labuan Bajo maupun wisatawan yang pulang dari Labuan Bajo.
-
c) Amenitas yang ada di destinasi pariwisata Labuan
Bajo.
Sebuah destinasi akan menjadi nyaman untuk dikunjugi apabila ketersediaan fasilitas wisata seperti akomodasi untuk penginapan mudah dijangkau. Untuk Labuan Bajo fasilitas pariwisata berupa akomodasi, restoran dan lain sebagainya sudah ada dengan beragam kelas. Kemudian fasilitas lainya yang menyatu dengan kegiatan umum seperti tempat ibadah dan perbankkan juga sudah ada. Hal ini turut mendukung kegiatan pariwisata dan dirasa cukup mengakomodir semua kebutuhan wisatawan.
Potensi non fisik adalah segala sesuatu yang tidak berwujud sebagai atraksi wisata namun mendukung pengembangan pariwisata di destinasi pariwisata Labuan Bajo. Hal ini menjadi penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari potensi fisik berupa yaitu daya tarik wisata ataupun infrastruktur penunjangnya.
-
a) Citra Labuan Bajo sebagai destinasi kelas dunia.
Citra Labuan Bajo sebagai destinasi kelas dunia merupakan hal positif yang mendukung pengembangan pariwisata. Hal ini tidak terlepas dari dinobatkanya varanus komodoensis sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Sejak penetapan itu wisatawan mancanegara beramai-ramai mengunjungi Labuan Bajo. Hal ini turut mengundang perhatian sejumlah public figur tersohor yang berasal dari kalangan pesepak bola, pembalab, dan artis Hollywood. Semuanya ini merupakan hal positif yang turut mendongkrak citra dan popularitas Labuan Bajo sebagai destinasi wisata kelas dunia.
-
b) Keramahtamahan penduduk lokal dalam menjamu wisatawan.
Hospitalitas merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam pengembangan sektor jasa
pariwisata. Bentuk sederhana dari hospitalitas adalah keramahan dalam menerima wisatawan, dan
mendukung dengan menciptakan situasi yang kondusif terhadap keberadaan wisatawan. Masyarakat Labuan Bajo secara keseluruhan terlihat mendukung keberadaan wisatawan karena selama ini belum ada tindakan kriminal yang dilakukan secara kolektif oleh masyarakat lokal sebagai bentuk protes terhadap keberadaan wisatawan.
-
c) Tren kunjungan yang meningkat setiap tahun
Citra positif Labuan Bajo sebagai destinasi wisata dunia turut mendongkrak kunjungan wisatawan setiap tahunya. Jika dilihat dari kunjungan wisatawan ke Labuan bajo dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, trenya meningkat. Tren kunjungan yang meningkat ini tidak hanya dari wisatawan mancanegara, tetapi juga dari wisatawan domestik. Kenyataan ini juga mematahkan pandangan bahwa pariwisata Labuan Bajo itu sangat mahal. Jadi harga untuk setiap destinasi dimanapun sangat bergantung pada aspek pelayanan dan fasilitas yang didapatkan saat berwisata.
Tabel 4.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan 3 Tahun Terakhir
NO. |
Jenis wisatawan |
Jumlah kunjungan 3 tahun terakhir | ||
2016 |
2017 |
2018 | ||
1. |
Wisatawan mancanegara |
54.335 orang |
66.601 orang |
80.683 orang |
2. |
Wisatawan nusantara |
29.377 orang |
43.556 orang |
49.987 orang |
Sumber: Data BPS Manggarai Barat 2019
-
d) Religiusitas masyarakat lokal
Mayoritas penduduk lokal Labuan Bajo merupakan pemeluk agama katolik. Iman serta sikap religiusitas masyarakat turut menambah citra Labuan bajo sebagai destinasi yang nyaman untuk dikunjungi oleh wisatawan. Di Labuan Bajo sejauh ini belum ada intervensi berlebihan dari lembaga agama (agama katolik) mengenai praktik pariwisata. Misalnya atraksi wisata atau akomodasi wisata yang ditambah dengan embel-embel agama. Sehingga kebijakan lembaga agama juga tidak bersinggungan dengan pariwisata. Dengan kata lain antara praktik pariwisata dengan kehidupan sosial keagamaan masyarakat lokal masih berjalan beriringan.
-
e) Keamanan dan kenyamanan
Keamanan dan kenyamanan merupakan faktor yang penting untuk dijaga dalam pengembangan sebuah destinasi. Daerah yang terlibat konflik secara terus menerus pasti tidak akan pernah menjadi pilihan untuk dikunjungi (kecuali wisatawan minat khusus). Keamanan dan kenyamanan di Labuan Bajo masih terjaga dengan sangat baik. Pengamanan ketat di setiap jalur masuk wisatawan sebagai upaya meminimalisir tindakan kriminal giat dilakukan oleh pihak berwenang. Tindakan pencurian juga masih jarang terjadi.
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
-
f) Semangat masyarakat (generasi muda) untuk mendukung kegiatan pariwisata sebagai dinamika sosial.
Pembangunan aksesbilitas serta akomodasi pariwisata yang cukup massif di Labuan Bajo menyemangati masyarakat untuk memahami pariwisata sebagai dinamika sosial baru. Pariwisata yang dulunya hanya digeluti oleh beberapa kalangan saja turut membuka pikiran masyarakat (generasi muda) untuk menyiapkan diri agar bisa mengambil bagian di dalamnya. Berdirinya berbagai tempat kursus bahasa asing di Labuan Bajo tentunya berdasarkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya sektor pariwisata sebagai industri yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomi. Sehingga untuk menjadi bagian dari industri ini, prasyarat yang harus dipenuhi juga harus disiapkan. Sekolah pariwisata yang dulunya sepi peminat menjadi ramai bahkan jumlahnya bertambah setiap tahun.
-
C. Kendala Pengembangan Pariwisata Di Destinasi Pariwisata Labuan Bajo (studi kasus komponen produk pariwisata)
Pengembangan pariwisata di destinasi pariwisata Labuan Bajo, terindikasi masih berhadapan dengan kendala yang bersifat mendasar. Kendala tersebut berada pada empat pilar wajib sebuah destinasi pariwisata yang meliputi atraksi wisata, aksesbilitas, amenitas, dan ancillary atau kelembagaan. Berikut merupakan penjabaran mengenai kendala
pengembangan pariwisata di destinasi pariwisata Labuan Bajo.
Berwisata ke Labuan Bajo identik dengan melihat komodo dan pulau padar adalah pandangan yang salah. Labuan Bajo masih memiliki potensi wisata yang begitu banyak untuk dijadikan sebagai atraksi wisata. Namun segala potensi ini kemudian menjadi tidak optimal karena pengembagannya masih berhadapan dengan banyak kendala. Adapun beberapa kendala yang ditemukan adalah sebagai berikut:
-
a) Keterbatasan anggaran dari Pemerintah Daerah untuk pengembangan pariwisata.
Manggarai Barat, menetapkan pariwisata sebagai leading sector dalam pembangunan dan peningkatan pendapatan daerah. Namun hal ini diakui oleh kepala dinas pariwisatanya bahwa penetapan tersebut tidak berbanding lurus dengan anggaran yang diporsikan untuk dinas pariwisata untuk mendukung program tersebut. Sehingga mempersempit ruang gerak mereka dalam menunjang atraksi wisata sebagai basis dari kegiatan pariwisata itu sendiri. Sehingga mustahil untuk membentuk atraksi baru, bahkan dana untuk melakukan pelatihan terhadap masyarakat yang ada di sekitar daya Tarik wisata yang sudah beroperasi saja tidak cukup dan seringkali mengharapkan anggaran pemerintah pusat atau menunggu pelatihan yang diadakan langsung
oleh pemerintah pusat. Kemudian fasilitas yang pernah diadakan untuk kegiatan budaya masyarakat tidak dipelihara karena anggaran hanya sebatas pada pengadaan saja sedangkan dana dari pemerintah daerah untuk pemeliharaanya tidak ada. Misalnya panggung untuk atraksi budaya yang dibangun di desa Batu Cermin pada saat event Nasional sail komodo tahun 2013 lalu, kondisinya sangat memprihatinkan dan sepertinya tidak pernah digunakan lagi setelah event Sail komodo tersebut.
-
b) Ego sektoral dalam pengelolaan pariwisata.
Seyogianya ketika pemerintah daerah
menetapkan pariwisata sebagai leading sector, sektor lain yang berada di bawah kepemerintahan daerah mengikuti atau mendukung sektor pariwisata. Misalnya sektor pertanian dan perikanan seharusnya berhasil meyakinkan masyarakat petani dan nelayan bahwa antara ketiga sektor ini ada rantai kebutuhan yang mengaharuskan mereka bersinergi. Karena pada dasarnya sektor pariwisata tetap membutuhkan sektor lain dalam menunjang keberlangsunganya dan bisa menumbuhkan ekonomi lintas sektor. Bahkan apabila berwawasan pariwisata, sektor perikanan dan pertanian bisa membuat atraksi wisata. Contohnya wisata kuliner untuk sea food dan atraksi wisata berbasis pertanian atau perkebunan seperti yang dibuat oleh beberapa daerah lain di Indonesia. Sehingga kemudian berdampak positif pada efektifitas anggaran. Namun yang terjadi di Labuan Bajo sepertinya tidak demikian, masih ada ego sektoral dimana sektor pertanian dan perikanan menjalankan tupoksinya secara parsial dan disinyalir gagal karena nyatanya kebutuhan dasar masyarakat Labuan Bajo, seperti sayuran, ikan dan lain sebagaianya masih harus didatangkan dari Bima NTB. c) SDM (Sumber Daya Manusia) yang berasal dari masyarakat lokal belum mumpuni dalam pengembangan atraksi wisata.
Peraturan Daerah Kabupaten Manggarai Barat No. 3 tahun 2014 tentang rencana induk pembangunan kepariwisataan Kabupaten Manggarai Barat tahun 2014-2025 pada pasal 4 disebutkan bahwa visi pembangunan kepariwisataan daerah adalah “Terwujudnya Manggarai Barat sebagai destinasi pariwisata kelas dunia yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat berlandaskan prinsip ekowisata berbasis
masyarakat”. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukan bahwa minim sekali atraksi wisata di Labuan Bajo yang dibuat ataupun dikelola oleh masyarakat lokal. Alasanya selain karena minimnya anggaran pemerintah daerah dalam mewujudkan masyarakat yang sadar wisata melalui pelatihan-pelatihan kepariwisataan, juga karena karakter masyarakat belum bisa melihat pariwisata sebagai potensi yang bisa dijadikan sebagai matapencaharian baru selain pertanian dan perikanan. Yang lebih
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
parah lagi masyarakat Labuan Bajo sudah terlanjur memandang pariwisata sebagai industri yang mahal sehingga untuk menciptakan sebuah daya tarik baru membutuhkan biaya tinggi dan hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang bermodal atau pihak swasta. Dan hal ini sudah terjadi di Labuan Bajo contohnya perusahaan diving yang sebagaian besar berkepemilikan asing. Dan Berdasarkan pengakuan dari kepala dinas pariwisata Manggarai Barat juga bahwa masih ada perusahaan diving asing yang belum terdaftar dan beroperasi secara ilegal di wilayah perairan Labuan Bajo.
Ketersediaan dan kemudahan akasesbilitas merupakan syarat pengembangan sebuah destinasi. Aksesbilitas yang baik akan membuka jaringan perekonomian baru serta dapat menumbuhkan investasi dalam bidang pariwisata. Adapun beberapa kendala pengembangan aksesbilitas di destinasi pariwisata Labuan Bajo dapat dijabarkan sebagai berikut:
-
a) Kondisi Geografis
Wisata bahari merupakan kekuatan utama atraksi wisata alam di Labuan Bajo. Kondisi geografis berupa pulau-pulau kecil yang berada di wilayah perairan Labuan Bajo menjadi tantangan dalam pengembangan aksesbilitas. Satu-satunya cara untuk menjangkau daya tarik yang berada di pulau-pulau tersebut adalah dengan perahu atau kapal pinisi yang hargaya cukup bervariasi dari yang murah sampai yang mahal. Harga yang dipatok oleh pemilik kapal bergantung pada fasilitas yang disediakan. Hampir pasti bahwa untuk membangun koneksi berupa jalan raya sebagai penghubung antar pulau adalah suatu hal yang mustahil karena akan memakan biaya yang tinggi.
-
b) Jarak antara potensi wisata yang berjauhan
Jarak antara potensi wisata yang dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata merupakan kendala tersendiri dalam pengembangan aksesbilitas pariwisata di Labuan Bajo. Apalagi jika lokasi dari potensi wisata tersebut berada pada wilayah yang belum diakses sama sekali sebelumnya. Seperti yang terjadi pada situs Megalitik Batu Balok yang letaknya kurang lebih 10 km dari kota Labuan Bajo, yang belum ada aksesnya sama sekali. Dengan dukungan dana yang sedikit, Pemerintah Daerah tidak bisa membuka akses khusus untuk pariwisata karena aksesbilitas merupakan kebutuhan kolektif dan harus menjadi prasarana umum yang pemanfaatanya tidak bisa dikuhususkan hanya untuk pariwisata. Atau harus menyatu dengan aktivitas umum masyarakat.
Amenitas berkaitan dengan berbagai fasilitas pendukung sebuah destinasi guna memenuhi kebutuhan wisatawan. Bentukya dapat berupa akomodasi untuk menginap serta restoran atau warung untuk makan dan minum. Untuk di Labuan
Bajo sendiri, kendala mengenai pengembangan amenitas terletak pada tata ruang dan tata wilayah perkotaanya. Pembagian zona usaha di kota Labuan Bajo belum teratur dengan baik misalnya zona untuk pertokoan sendiri, untuk restoran dan hotel tersendiri, usaha travel agent tersendiri, pemukiman tersendiri, dan zona untuk usaha lainya juga tesendiri. Pembagian zona seperti ini belum terpikirkan oleh pemerintah daerah Labuan Bajo sehingga tidak jarang ada hotel megah dibangun di tengah permukiman warga. Begitu pula toko bangunan yang bersebelahan dengan restaurant menjadi pemandangan yang lumrah di Labuan Bajo dan kebanyakan tidak memiliki lahan parkir sendiri sehingga memanfaatkan setengah badan jalan sebagai area parkir.
Padahal pada dasarnya pembagian zona sangat membantu masyarakat ataupun pelaku usaha lainnya untuk merencanakan usaha atau mendirikan bangunan. Artinya masyarakat dan pelaku usaha akan memproyeksikan usahanya sesuai dengan zona atau lokasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Selain fungsinya untuk mendongkrak nilai estetika dari sebuah kota pariwisata, juga untuk menunjang kenyamanan dan kebersihan, dan yang lebih kompleks lagi adalah untuk menghindari dampak negatif langsung dari aktivitas pariwisata itu sendiri terhadap masyarakat lokal setempat.
Kelembagaan berkaitan dengan SDM yang mengurus sebuah destinasi agar berjalan sesuai dengan tujuan. Tugas mereka adalah mengelola sebuah destinasi agar bermanfaat dan memeberikan keuntungan kepada pihak terkait seperti masyarakat, pemerintah, wisatawan, lingkungan, dan para stakeholder lainya. Keberadaanya pada sebuah destinasi merupakan suatu hal yang diwajibkan karena mereka akan bertanggung jawab terhadap perencanaan, pembangunan, pengembangan, dan pengelolaan sebuah destinasi. Untuk kasus Labuan Bajo ada beberapa kendala mengenai pengembangan ancillary yang akan dijabarkan sebagai berikut: a) Ketidaksesuaian Visi Misi Antara Pemerintah
Daerah Dan Pemerintah Pusat Dalam Pengembangan Destinasi Wisata Labuan Bajo.
Visi Pemerintah daerah dalam mengembangkan Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata adalah “Terwujudnya destinasi pariwisata kelas dunia yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat berlandaskan prinsip ekowisata berbasis masyarakat” Apabila merujuk pada prinsip ekowisata dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan, ada beberapa prinsip yang harus diakomodir dalam pengembangan sebuah destinasi yang berkaitan dengan kelembagaan. Prinsip-prinsip tersebut antara lain partisipasi, keikutsertaan para pelaku (stakeholder), kepemilikan lokal, akuntabilitas, serta pelatihan. Jadi yang menjadi tugas pemerintah daerah
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
dalam pengembangan pariwisata Labuan Bajo adalah membentuk lembaga-lembaga masyarakat untuk mengelola pariwisata, serta mewadahi tujuan-tujuan masyarakat dalam pengembangan pariwisata.
Pada saat yang sama pemerintah pusat menetapkan Labuan Bajo sebagai destinasi prioritas yang diikuti dengan perpres mengenai kelembagaan dalam sistem kepariwisataan Labuan Bajo yang tertuang dalam perpres nomor 32 tahun 2018 tentang pembentukan Badan Otorita Pengelola (BOP) kawasan pariwisata Labuan Bajo. Lembaga ini berjalan sesuai tugas yang telah dibebankan pemerintah pusat untuk percepatan pembangunan Labuan Bajo. Sehingga yang terlihat di lapangan adalah mereka bekerja tidak menurut visi misi pemerintah daerah. BOP bekerja pada sekala besar kepariwisataan Labuan Bajo. Mereka melakukan promosi besar-besaran dan membuka keran investasi sebesar-besarnya untuk pembangunan pariwisata Labuan Bajo. Pariwisata Labuan Bajo, di bawah pengelolaan BOP berjalan seperti mass tourism. Pengembangan yang sama sekali tidak cocok dengan visi pemerintah daerah Labuan Bajo.
-
b) Keterbatasan anggaran dari pemerintah daerah
Anggaran yang tidak cukup dari pemerintah daerah untuk pengembangan pariwisata membuat dinas pariwisata Labuan Bajo kewalahan dalam memberikan pelatihan dan edukasi kepada masayarakat terkait pengelolaan pariwisata. Sehingga persis yang terjadi adalah lembaga-lembaga dari masyarakat lokal yang mengelola atau berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata belum muncul.
-
c) Belum ada karakter sadar wisata dari masyarakat
Masyarakat seharusnya merupakan pemilik utama dari sebuah daya tarik wisata. Ketika masyarakat memiliki karakter sadar wisata maka semestinya yang muncul adalah kreatifitas dan inovasi yang menunjang diversifikasi daya tarik wisata yang pembentukanya lahir dari masyarakat itu sendiri. untuk kasus Labuan Bajo, masyarakat sebenarnya sudah dilindungi undang-undang untuk mengelola dan mengembangkan daya tarik wisata yang ada. Tinggal kemudian apakah masyarakat berani memulai untuk membangun tanpa harus menunggu intervensi berlebihan dari pemerintah.
Namun karena karakter sadar wisatanya belum ada, sampai sekarang pun masyarakat tetap menjadi penonton untuk kegiatan pariwisata itu sendiri dan beberapa mengambil bagian hanya pada taraf sebagai karyawan di sektor pariwisata bukan sebagai pengambil kebijakan.
Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa:
-
A. Potensi Pariwisata di destinasi pariwisata Labuan Bajo masih banyak yang belum dikelola.
Labuan Bajo sebagai destinasi kelas dunia dengan atraksi ikoniknya Taman Nasional Komodo masih menyimpan begitu banyak potensi yang dapat digarap sebagai daya tarik wisata. Potensi yang ada sebagian besar berbasis keunikan alam dan landscape serta beberapa situs megalitik. Namun semuanya masih menjadi potensi wisata karena walauapun sudah dikunjungi wisatawan tetapi belum ada pengelolaan sehingga manfaat ekonomiya belum optimal. Baik terhadap masyarakat, pemerintah, maupun stakeholder lain yang berkecimpung di dunia pariwisata.
-
B. Kendala pengembangan pariwisata di destinasi pariwisata Labuan Bajo.
Ada begitu banyak potensi wisata yang belum digarap secara optimal di destinasi wisata Labuan Bajo. Kendala yang menjadi penghambat belum digarapnya potensi ini adalah minimnya anggaran pemerintah daerah untuk pengembangan komponen produk pariwisata, SDM yang belum mumpuni dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata, kondisi geografis yang cukup sulit, Tata ruang dan tata wilayah di zona pemanfaatan destinasi, serta ketidaksesuaian antara visi misi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengembangan pariwisata Labuan Bajo.
DAFTAR PUSTAKA/REFERENSI
Aryunda, Hanny 2011, ’Dampak Ekonomi Pengembangan Kawasan Ekowisata Kepulauan Seribu’, Journal of Regional City Planning, vol. 22, no. 1, hh. 1-16.
Bungin, Burhan. 2007. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Cooper, Chris., et al. 1993. Tourism principile & practice. United Kingdom: Longman
Grroup Limited.
Davidson, R., & Maitland, R.. 1997. Tourism
Destination. Houder & Stoughton: London.
Fakultas Pariwisata Universitas Udayana. 2017. Tren Pariwisata Milenium. Denpasar: Pustaka Larasan.
Ferniza, Henny 2017, ‘Antara potensi dan Kendala Pengembangan Pariwisata di Sumatra Barat’, Ijurnal pengembangan wilayah dan kota, vol, 13, No 1, hl. 56-68.
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 8 No 2, 2020
Hasan, M. Iqbal. 2002. Pokok-pokok Materi Statistika I (Statistik Deskriptif. Edisi kedua. PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Hermawan, Ali. 2008. Analisis Kebijakan Pariwisata Indonesia. Dimuat dalam Jurnal
Kepariwisataan Indonesia, volume 3, No.1, Maret 2008.
Judisseno, Rismy K. 2017. Aktivitas dan kompleksitas Pariwisata. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pitana, I Gde & I Ketut Surya Diarta 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, Andi, Yogyakarta.
Pendit, Nyoman S. 1999. Ilmu Pariwisata: Sebuah Pengantar Perdana. PT Bumi Angkasa: Jakarta
Rufalziyah. 2017. Strategi Komunikasi Pariwisata Labuan Bajo oleh Dinas Pariwisata Dan kebudayaan Kabupaten Manggarai Barat NTT. Skripsi program Sarjana. Yogyakarta. Universitas Islam Indoneisa.
Roku, Yelince Rambu & I. Gst. Agung Oka Mahagangga, 2016, Peran dan
Implementasi Strategi Pengembangan Disbudpar Kab. Sumba Tengah Provinsi NTT dalam Pembangunan Pariwisata (suatu pendekatan kualitatif), Jurnal Destinasi Pariwisata, vol, 4, No 2, hl. 82-91.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan
Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung: Alfabeta.
Sunarta, Nyoman & Nyoman Sukma Arida. 2017. Pariwisata Berkelanjutan. Denpasar: Cakra Press.
25
Discussion and feedback