p-ISSN: 2338-8811, e-ISSN: 2548-8937

Jurnal Destinasi Pariwisata

Vol. 5 No 2, 2018

Hambatan Desa Munggu Sebagai Desa Wisata Di Kabupaten Badung

Ni Putu Enik Purwaningsih a, 1, I Gusti Agung Oka Mahagangga a, 2

Abstract

This research was conducted in Munggu village, Mengwi subdistrict, Badung Regency. This research aims to identify the obstacles experienced by Munggu village as a tourism village in Badung regency. This research used qualitative method, which prefers the descriptive data or the data in the form of sentences instead of numbers. This data was obtained through observation, interviews, literature study and documentation. The data obtained were analyzed using the concept of obstacles.

The results of this study indicate that obstacles experienced by Munggu village as a tourism village in Badung regency consists of two types of obstacles, internal obstacles and external obstacles. Internal obstacles are related about the tourism product that is not maximized yet, limited funds and lack of village facilities completeness, managerial organization that is not optimal, and community participation is still lacking. Meanwhile, external obstacles are related about to the absence of standardization from the government for tourism villages, the role of local government is still lacking and Munggu tourism village has not been incorporated in the network of tourism villages.

Keywords: Barriers, Tourism Village, Development Strategy

PENDAHULUAN

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, kepariwisataan di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran; melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan mempererat persahabatan antar bangsa. Demikian, pembangunan kepariwisataan dapat dijadikan sarana untuk menciptakan kesadaran akan identitas nasional dan kebersamaan dalam keragaman. Berdasarkan data Disparda Propinsi Bali tahun

Data historis menunjukkan bahwa setiap tahun pencapaian jumlah kunjungan wisman semakin meningkat. Peningkatan yang tertinggi untuk Bali terjadi pada tahun 2014 yaitu sebanyak 14.94 yakni 3.768.362 orang wisman. Melihat semakin tingginya angka kunjungan wisman ke Bali, untuk menyikapi hal tersebut maka Pemerintah Propinsi Bali melalui Dinas Pariwisata dan instansi terkait lainnya berupaya membenahi dan menata obyek-obyek dan daya tarik wisata yang ada serta mengembangkan desa-desa yang memiliki potensi pariwisata di seluruh kabupaten di Bali.

2010, kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali mengalami peningkatan yang signifikan, khususnya dalam 5 tahun terakhir. Berikut jumlah kunjungan wisatawan ke Bali pada tahun 2004-2010 pada tabel 1.1 :

Tabel 1.1

Jumlah Kunjungan Wisman Ke Bali Tahun 2010-2015

Tahun

Jumlah Wisman ( orang )

Pertumbuhan

2010

2.493.058

11,80

2011

2.756.579

10.57

2012

2.892.019

4.91

2013

3.278.598

13.37

2014

3.768.362

14.94

2015

4.001.835

6.24

Disparda Provinsi Bali, 2015

Agar keberlangsungan pariwisata di Bali tetap terjaga, seluruh komponen pendukung dan pemangku kebijakan pariwisata diharapkan tetap menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan alam dan budaya sebagai modal dasar pariwisata Bali, sebagaimana telah ditetapkan dalam Perda No 3 tahun 1991 tentang pariwisata budaya yang diterapkan di Bali.

Berdasarkan PERBUP Badung No. 47 Tahun 2010, Sejak tahun 2010 Kabupaten Badung memiliki 11 Desa Wisata yang semuanya terletak di kawasan Badung Utara

dan Badung Tengah yang salah satunya ialah Desa Munggu, Kecamatan Mengwi. Kesebelas desa wisata yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Bupati tersebut belum semuanya berkembang seperti yang diharapkan.

Sebagai suatu kawasan yang dikembangkan menjadi Desa Wisata, Desa Munggu mengalami perkembangan baik dari segi fasilitas maupun atraksi wisata salah satunya adalah pembangunan toilet yang di kawasan pantai Munggu untuk para wisatawan yang datang berkunjung. Berbagai pembangunan infrastruktur dilakukan untuk mendukung perkembangan pariwisata di daerah ini.

Namun dalam pengembangan Desa Munggu yang khas memiliki tradisi Ngerebeg (Mekotek) ini menjadi desa wisata belum begitu memaksimalkan potensi – potensi wisata yang dimiliki sehingga keterlibatan masyarakat pun dalam pengembangan pariwisata di daerah ini juga belum terlihat secara nyata. Bahkan tidak ada catatan berapa jumlah penduduk setempat yang terlibat sebagai karyawan swasta (termasuk industri pariwisata). Bahkan keterlibatan dari pihak terkait dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dapat dikatakan tidak maksimal. Idealnya dalam suatu pengembangan daerah tujuan wisata harus ada keterlibatan dari parapenyelenggara pariwisata yakni pihak pemerintah, swasta serta masyarakat. Melihat fenomena seperti ini dengan berbagai permasalahannya, sangat menarik untuk diadakan penelitian di Desa Munggu untuk menganalisis segala hambatan-hambatan yang dialami Desa Munggu sebagai desa wisata di Kabupaten Badung.

  • II.    TINJAUAN PUSTAKA

    • 2.1    Telaah Hasil Penelitian Sebelumnya

Adapun telaah hasil penelitian sebelumnya yang dijadikan acuan untuk penulisan ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Pardjono (2013). Penelitian tersebut berjudul “Analisis Faktor Penghambat Studi Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta”. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini ialah terletak pada lokus dari penelitian yang dilakukan. Penelitian sebelumnya berlokus di Program Pascasarjana UNY, sedangkan penelitian ini berlokus di Desa Wisata Munggu. Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah samasama berfokus pada analisis hambatan atau

penghambat yang terjadi, yang dilihat dari sisi internal dan eksternal. Penelitian sebelumnya memiliki fokus masalah terkait dengan faktor penghambat pada studi mahasiswa sedangkan penelitian ini mengambil fokus masalah mengenai hambatan Desa Munggu sebagai sebuah desa wisata di Kabupaten Badung.

Penelitian yang terkait dengan lokus penelitian adalah penelitian yang dilakukan oleh Gede Yoga Kharisma Pradana (2016) yang berjudul “Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung Pada Era Global”. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah terletak pada fokus penelitian, penelitian sebelumnya berfokus pada masih tetapnya masyarakat Desa Munggu melaksanakan tradisi Mekotek pada era Globalisasi, cara mereka melaksanakan tradisi tersebut, dan implikasinya bagi masyarakat Desa Munggu pada era Global. Penelitian ini berfokus pada hambatan yang dialami Desa Munggu sebagai desa wisata di Kabupaten Badung.

  • 2.2    Deskripsi Konsep & Teori

    1.    Konsep Desa Wisata

Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Suatu desa wisata memiliki daya tarik yang khas (dapat berupa keunikan fisik lingkungan alam pedesaan, maupun kehidupan sosial budaya masyarakatnya) yang dikemas secara alami dan menarik sehingga daya tarik pedesaan dapat menggerakkan kunjungan wisatawan ke desa tersebut (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2011).

  • 2.    Konsep Hambatan

Menurut Irianto(2002), hambatan yang terjadi dapat disebabkan oleh 2 (dua) jenis hambatan yaitu, Hambatan Internal dan Hambatan Eksternal

  • 3.    Konsep Budaya

Menurut Koentjeraningrat (1986), budaya atau kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

  • 4.    Konsep Community Based Tourism CBT)

CBT ialah sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 5 No 2, 2018

lingkungan, sosial dan budaya. CBT merupakan alat pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan. Atau dengan kata lain CBT merupakan alat untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan (Suansri, 2003).

  • 5.    Teori Tipologi Partisipasi Masyarakat

Dalam Tosun’s typology of participation yang dikemukakan oleh Tosun bentuk partisipasi masyarakat lokal dalam sektor pariwisata dapat dibedakan atas beberapa tipe untuk mengkaji partisipasi masyarakat dalam sektor pariwisata karena mengkolaborasikan setiap tipe partisipasi masyarakatnya dengan referensi khusus terkait industri pariwisata (Tosun, 2006).

  • III.    METODE PENELITIAN

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hambatan-hambatan yang dialami Desa Munggu sebagai desa wisata di Kabupaten Badung. Hambatan-hambatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala halangan maupun rintangan yang dialami Desa Munggu dalam perkembangannya sebagai suatu desa wisata di Kabupaten Badung, yaitu :

  • 1.    Hambatan internal, yaitu segala hambatan yang bersumber dari dalam Desa Wisata Munggu sendiri.

  • 2.    Hambatan eksternal, yaitu segala hambatan yang bersumber dari luar Desa Wisata Munggu.

Penelitian ini berlokasi di Desa Wisata Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali yang merupakan daerah dekat pantai dan memiliki luas wilayah 549 Ha. Desa Wisata Munggu berjarak sekitar 25 Km dari pusat Kota Denpasar atau Ibukota Provinsi dengan waktu tempuh kurang lebih selama 50 menit dengan menggunakan sepeda motor.

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Kualitatif (Muri Yusuf, 2014). Penelitian ini dikatakan menggunakan jenis penelitian kualitatif karena, penelitian ini mendeskripsikan mengenai bagaimana hambatan-hambatan yang dialami Desa Munggu sebagai sebuah desa wisata. Penelitian ini juga bersifat alami yang mengharuskan peneliti untuk terjun langsung ke lapangam dan melakukan wawancara mendalam dengan elit desa. Penelitian ini menggunakan dua sumber data yaitu : Data Primer, adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data (Sugiyono, 2007). Data Sekunder, diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media

perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain) berupa bukti catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam suatu arsip atau merupakan data dokumenter baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan (Sugiyono, 2007).

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: observasi, wawancara, studi kepustakaan, dan dokumentasi. Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah memilih orang yang memiliki keahlian terbaik tentang hal yang ingin kita teliti maka dimulai dari seorang informan pangkal. Informan pangkal sebaiknya memiliki keluasan informasi mengenai berbagai sektor dalam masyarakat yang kita teliti, mampu mengintroduksi peneliti ke informan pokok atau informan kunci (key person). Dan key informan ialah orang yang memiliki informasi mengenai kedalaman informasi yang mengkhusus mengenai masalah dari penelitian yang dilakukan (Koentjaraningrat, 1993).

Analisis data dilakukan secara kualitatif untuk kemudian dijelaskan dengan teknik deskriptif. Menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2007) aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan barlangsung terus menerus sampai tuntas, hingga datanya jenuh. Tahapan analisis tersebut yaitu :

  • 1.    Pengumpulan Data

  • 2.    Reduksi Data (Data Reduction)

  • 3.    Penyajian Data (Data Display)

  • 4.    Conclusion Drawing/Verification

  • IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata dalam hal ini adalah desa wisata selalu akan diperhitungkan dengan keuntungan dan manfaat bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Pengembangan pariwisata harus sesuai dengan perencanaan yang matang sehingga bermanfaat baik bagi masyarakat, baik juga dari segi ekonomi, sosial dan juga budaya. Namun, dalam proses suatu pengembangan, perkembangan maupun perencanaan suatu daerah tujuan wisata yang dalam hal ini adalah desa wisata tentunya berkemungkinan terjadinya suatu hambatan. Hal tersebutlah yang terjadi pada Desa Wisata Munggu, dalam perkembangannya sebagai suatu desa wisata, Desa Munggu mengalami hambatan-hambatan, sehingga membuat Desa

Wisata Munggu dikatakan tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung.

Berdasarkan konsep, hambatan adalah suatu halangan atau rintangan. Hambatan memiliki arti yang sangat penting dalam setiap melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan. Hambatan merupakan keadaan yang dapat menyebabkan pelaksanaan terganggu dan tidak terlaksana dengan baik. Hambatan dari pengembangan dan perkembangan Desa Wisata Munggu bersumber dari dalam Desa Wisata Munggu sendiri (hambatan internal) dan bersumber dari luar Desa Wisata Munggu sendiri (hambatan ekternal).

Hambatan Internal

Berdasarkan hasil penelitian di Desa Wisata Munggu, bahwa terdapat beberapa hambatan yang bersumber dari dalam Desa Wisata Munggu sendiri (hambatan internal) yaitu:

  • a.    Produk Pariwisata

Sebuah desa wisata haruslah memiliki produk wisata, sebagaimana hal tersebut merupakan bentuk obyek material dari proses perdagangan barang dan jasa yang dilakukan kepada wisatawan. Produk pariwisata yang dimiliki dan ditawarkan oleh sebuah desa wisata dapat berupa atraksi wisata, jasa wisata maupun usaha pariwisata yang ada di desa. Dalam hal ini, Desa Wisata Munggu tentu saja memiliki produk pariwisata sebagai objek material dari proses perdagangan barang dan jasa yang dilakukan kepada wisatawan. Desa Wisata Munggu memiliki produk pariwisata berupa atraksi budaya Ngerebeg (Mekotek) yang dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan sekali yaitu setiap Hari Raya Galungan; atraksi wisata Trecking mengelilingi lahan persawahan masyarakat Desa Wisata Munggu, yang rutenya sepanjang 4km; atraksi wisata pantai dengan pasir hitam dan ombaknya yang indah; dan wisata kuliner yang menawarkan berbagai macam masakan khas Bali, Indonesia, Chinese bahkan Italian.

Namun hambatannya ialah terletak pada keberlanjutan dari aktivitas pariwisata itu sendiri, karena atraksi budaya Ngerebeg (Mekotek) yang merupakan ikon utama dari kepariwisataan di Desa Wisata Munggu tersebut hanya dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan sekali yaitu bertepatan pada Hari Raya

Kuningan, sehingga sebelum maupun sesudah atraksi budaya tersebut dilaksanakan dan dipertontonkan kepada wisatawan, tidak ada aktivitas pariwisata lain yang terlaksana atau terjadi di Desa Wisata Munggu, yang menyebabkan kunjungan wisatawan pun menjadi berkurang bahkan tidak ada kunjungan sama sekali. Meskipun ditunjang dengan adanya atraksi wisata lainnya seperti trecking, wisata kuliner dan pantai, tetap saja aktivitas kepariwisataan yang terjadi dikatakan tidak sesuai karena atraksi tersebut lebih cenderung ke arah obyek wisata bukan menjadi suatu desa wisata.

Suatu desa wisata, selain menawarkan atraksi wisata yang dimiliki desanya hendaknya juga memberikan kesempatan wisatawan untuk berinteraksi dengan masyarakat desa. Dan dari semua daya tarik atau atraksi yang ditawarkan di Desa Wisata Munggu, tidak semua masyarakat desa ikut terlibat dan merasakan kegiatan pariwisata tersebut, yang otomatis hanya memberikan imbas kepada beberapa kelompok atau perseorangan yang mungkin saja akan menimbulkan suatu kecemburuan sosial, dan mengakibatkan perpecahan dari masyarakat desa itu sendiri. Padahal seharusnya, masyarakat desa bersatu untuk membangun desa wisata yang berkelanjutan.

Tidak semua kegiatan pariwisata yang dilaksanakan di desa adalah benar-benar bersifat desa wisata, oleh karena itu agar dapat menjadi pusat perhatian wisatawan, Desa Wisata Munggu pada hakikatnya harus memiliki hal-hal yang penting seperti :keunikan, keaslian, sifat khas, letak yang berdekatan dengan daerah alam yang luar biasa, berkaitan dengan kelompok atau masyarakat berbudaya yang secara hakiki menarik minat pengunjung dan memiliki peluang untuk berkembang baik dari sisi prasarana dasar maupun sarana lainnya.

Selain itu, terkait dengan atraksi budaya Ngerebeg (Mekotek) yang ditawarkan Desa Wisata Munggu sebagai produk utama pariwisatanya, terlebih dahulu harus diketahui mengenai sifat dari produk pariwisata tersebut. Apabila produk tersebut bersifat profan mungkin tidak terlalu banyak pertimbangan dalam pengembangannya. Namun pada kenyataannya produk pariwisata tersebut bersifat sakral, yang sangat sensitif terhadap masyarakat pendukungnya. Oleh sebab itu,

harus ekstra hati-hati dalam pengawasannya dan harus selalu mengacu pada teknik konservasi budaya. Begitu juga dengan produk pariwisata lainnya seperti alam yang sakral atau disakralkan hendaknya mengacu pada teknik konservasi alam dengan pendekatan budaya lokal.

  • b.    Dana Desa dan Kelengkapan Fasilitas

Ketersediaan dana yang dimiliki desa wisata adalah salah penentu untuk pembangunan prasarana dan sarana desa wisata tersebut. Prasarana dan sarana wisata atau kewilayahan merupakan salah satu komponen pembentuk desa wisata. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, Desa Wisata Munggu telah memiliki seluruh aspek prasarana kewilayahan yang tersebut diatas, hanya saja terdapat beberapa aspek sarana kewilayahan yang belum dimiliki Desa Wisata Munggu seperti:

  • a.    Belum lengkapnya fasilitas umum, fasilitas umum yang dimaksud disini adalah toilet umum yang dibangun di dalam Desa Wisata Munggu sendiri, toilet umum saat ini hanya tersedia di pantai Munggu dan masih terbatasnya tempat sampah umum.

  • b.    Belum lengkapnya fasilitas pendukung kegiatan wisata, yang dimaksud disini adalah akomodasi yang masih terbatas seperti penginapan, home stay, guest house, pondok wisata maupun sejenisnya namun tentunya yang khas dengan suasana desa, dalam artian bukan yang menawarkan kemewahan semata. Kemudian transportasi, meskipun banyak transportasi umum seperti taksi yang lalu lalang di kawasan Desa Wisata Munggu, namun belum terdapat pangkalan transportasi yang khusus di sana.

  • c.    Belum lengkapnya fasilitas atraksi wisata, dalam hal ini yang dimaksud adalah belum adanya tempat parkir pengunjung, belum tersedianya Tourist Information Centre, dan lain-lain.

  • c.    Keberadaan Organisasi Pengelola

Keberadaan organisasi pengelolaan dalam suatu desa wisata merupakan suatu hal yang wajib. Keberadaan organisasi pengelolaan menjadi sebuah jaminan bahwa desa wisata tersebut telah memiliki legitimasi dari sebuah pihak yang memanfaatkan dan mengelola produk pariwisata dengan mengatasnamakan desa. Organisasi desa yang dibentuk haruslah

memiliki kewenangan dan mewakili keberadaan desa, badan pengawas desa, kelompok organisasi kemasyarakatan di desa maupun mewakili desa. Dalam hal ini, organisasi pengelola desa wisata disebut dengan nama Pokdarwis atau Kelompok Sadar Wisata.

Seiring ditetapkannya Desa Munggu sebagai desa wisata pada tahun 2010, Desa Wisata Munggu pun melengkapi komponen pembentuk desa wisatanya dengan menyusun organisasi Pokdarwis Desa Wisata Munggu, yang kemudian diketuai oleh Bapak I Nyoman Nika Naya. Sejauh ini keberadaan organisasi Pokdarwis Desa Wisata Munggu belum memiliki program kerja yang terlaksana. Dikarenakan, program-program maupun strategi yang dimiliki oleh Desa Wisata Munggu kurang mantap atau matang dan tidak dapat terlaksana secara optimal karena sinergi antara Pokdarwis dengan pemerintah Desa Munggu yang kurang. Termasuk juga karena Pokdarwis Desa Wisata Munggu belum memiliki struktur organisasi dan belum memiliki kantor sekretariat sendiri. Pokdarwis seharusnya memiliki kantor kesekretariatannya sendiri sebagai pusat pengembangan atraksi-atraksi wisata yang dimiliki Desa Wisata Munggu.

Selain sinergi antara Pokdarwis dengan pemerintah desa yang kurang dan program maupun strategi pengembangan yang belum mantap atau matang. Hambatan yang terjadi juga disebabkan oleh kurang pahamnya elit Desa Wisata Munggu dengan program-program maupun strategi pengembangan desa mereka.

  • d.    Partisipasi Masyarakat Desa Wisata Munggu Partisipasi masyarakat Desa Wisata Munggu termasuk tipe partisipasi paksaan (Coersive   Participation), yang memiliki

karakteristik sebagai berikut:

  • 1.    Partisipasi bersifat top-down, partisipasi pasif dimanipulasi dan dibuat-buat yang diciptakan sebagai pengganti partisipasi yang sesungguhnya.

  • 2.    Partisipasi yang terjadi pada umumnya secara tidak langsung.

  • 3.    Tidak ada pembagian keuntungan bagi masyarakat lokal.

  • 4.    Masyarakat sering dihadapkan hanya pada satu pilihan sehingga cenderung menerima segala keputusan.

  • 5.    Sangat terasa dominasi pihak luar dibandingkan masyarakat lokal.

Masyarakat Desa Wisata Munggu dikatakan termasuk tipe partisipasi paksaan, karena masyarakat cuek terhadap aktivitas pariwisata yang terjadi di Desa Munggu tersebut, alasannya karena mereka tidak mendapatkan kontribusi apapun dari aktivitas pariwisata tersebut atau tidak ada pembagian keuntungan bagi masyarakat lokal.

Umumnya desa wisata menawarkan keaslian dari desa tersebut baik dari keindahan alamnya, kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya dan juga kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Tetapi, di Desa Wisata Munggu tidak terjadi aktivitas wisata yang menawarkan atau menjual kehidupan sosial ekonomi maupun kehidupan sosial budaya masyarakatnya sehari-hari. Padahal, hal tersebut merupakan salah satu produk pariwisata yang dapat menarik kunjungan wisatawan apabila dikemas dengan strategi yang matang dan tentunya tidak lepas dari adanya partisipasi spontan dari masyarakat Desa Wisata Munggu sendiri.

Selain tingkat partisipasi masyarakat yang masih kurang, kesiapan atau kurang pahamnya masyarakat desa terkait apa dan bagaimana desa wisata itu seharusnya, maka perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat mengenai desa wisata. Masyarakat juga harus disiapkan dalam menerima sektor pariwisata bersinergi dengan sektor pertanian atau sektor lainnya.

Tidak adanya pelopor pariwisata di Desa Wisata Munggu juga menjadi salah satu hambatan yang dialami Desa Wisata Munggu. Pelopor pariwisata adalah orang yang mampu mengajak masyarakat desa tersebut untuk peduli akan keberlangsungan desa wisata mereka, serta rela mengabdi untuk kemajuan desa wisatanya tanpa mendapat suatu imbalan yang berlebih.

Hambatan Eksternal

Berdasarkan hasil penelitian di Desa Wisata Munggu, bahwa terdapat beberapa hambatan yang bersumber dari luar Desa Wisata Munggu (hambatan eksternal) yaitu:

  • a.    Tidak Adanya Standarisasi untuk Desa Wisata dari Pemerintah

Seperti halnya suatu DTW, suatu desa wisata seharusnya juga memiliki standarisasi

pengelolaan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Standarisasi pengelolaan dari DTW tersebut ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Bali No. 41 tahun 2010, yang menyebutkan bahwa DTW harus memiliki standarisasi sesuai dengan jenis DTW itu sendiri. DTW terdiri dari tiga jenis yaitu DTW alam, budaya dan buatan manusia, ketiga jenis DTW tersebut haruslah memenuhi standarisasi pengelolaan dengan konsep : THK (Tri Hita Karana), Tri Mandala dan Kepariwisataan Budaya Bali.

Selain itu, DTW alam dan budaya memiliki 12 persyaratan yang harus dipenuhi, dan DTW buatan manusia memiliki 22 persyaratan yang harus dipenuhi. Contohnya seperti: suatu objek wisata harus memiliki fasilitas berupa toilet yang memenuhi standar; lahan parkir; harus adanya tempat sampah yang cukup memadai; memiliki pengelola objek wisata dengan manajemen yang tertata dan disarankan berbadan hukum; memiliki informasi tentang DTW dan lain sebagainya.

Untuk suatu desa wisata sendiri saat ini belum ada standarisasi pengelolaan yang mengatur atau belum adanya persyaratan yang harus dipenuhi. Hal tersebutlah yang membuat ke-11 desa wisata yang ditetapkan dalam Peraturan Bupati Badung No 47 tahun 2010 tersebut yang salah satunya adalah Desa Wisata Munggu menjadi belum berkembang dengan maksimal. Karena dengan belum ditetapkannya standarisasi pengelolaan desa wisata, membuat pengelolaan ataupun pengembangan suatu desa wisata itu masih mengabang atau tidak adanya suatu kejelasan arahnya.

Penetapan 11 desa wisata di Kabupaten Badung salah satunya yaitu Desa Wisata Munggu semata-mata karena desa tersebut memiliki suatu daya tarik budaya maupun alam yang unik dan indah. Pada umumnya, suatu desa dapat dikatakan sebagai desa wisata apabila wisatawan datang sebagai konsumen untuk mengikuti keseharian dari masyarakat desa seperti menggarap lahan sawah, berkebun, berternak dan termasuk juga menikmati daya tarik budaya maupun alam itu sendiri, yang terpenting adalah adanya interaksi antara wisatawan dan masyarakat desa itu sendiri.

  • b.    Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Badung

Dalam pembentukan dan pengembangan suatu desa wisata, peran pemerintah sangatlah diperlukan yakni untuk meyakinkan, membina

Vol. 5 No 2, 2018

dan memberikan bantuan-bantuan kepada desa seperti permodalan, bantuan secara regulasi, kebijakan, membuka hubungan desa wisata dengan industri jasa pariwisata yang sudah mapan, membangun kerjasama desa wisata dengan LSM, perguruan tinggi atau akademisi bahkan membuka jejaring pemasaran di target wisatawan melalui upaya promosi ke luar negeri.

Selama 7 tahun penetapan Desa Munggu sebagai salah satu desa wisata di Kabupaten Badung, yaitu sejak tahun 2010, peranan pemerintah daerah Kabupaten Badung dalam pengembangan Desa Wisata Munggu baru hanya sebatas memberikan pembinaan tanpa dilakukannya peran-peran yang lainnya. Padahal, dalam Peraturan Bupati Badung No. 47 Tahun 2010 yaitu pada BAB IV tentang Hak dan Kewajiban, pasal 6 ayat 3 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban melengkapi sarana, prasarana dan infrastruktur yang dipandang perlu dalam rangka pengembangan desa wisata.

Berdasarkan wawancara dengan Kasi ODTW Dispar Kabupaten Badung, dijelaskan bahwa Pemda Badung bukannya melanggar kewajiban dalam perannya sebagai pemerintah daerah, hanya saja karena Desa Wisata Munggu dipandang belum siap sepenuhnya untuk menerima bantuan-bantuan tersebut. Selain itu, untuk mengetahui kondisi sesungguhnya dari Desa Wisata Munggu, apa dan bagaimana yang harus dilakukan Pemda Badung haruslah diadakan suatu pengkajian terlebih dahulu.

Pengadaan suatu kajian terhadap Desa Wisata Munggu juga sangat penting dilakukan agar mendapatkan hasil yang mendalam mengenai kondisi dari Desa Wisata Munggu sehingga dapat diambil keputusan mengenai segala sesuatu yang harus dilakukan kedepannya dengan bercermin pada hasil kajian yang diperoleh. Hasil kajian tersebut harus selalu ter-update sesuai dengan perkembangan jaman dan perkembangan dunia pariwisata.

  • c.    Jejaring

Sebuah desa wisata haruslah memiliki jejaring dalam upaya proses pendampingan, pengelolaan dan pengembangan produk dan jasa wisata yang dimiliki. Pengembangan jejaring di desa wisata dapat berupa pengembangan jejaring pemasaran, pengembangan jejaring produk wisata,

pengembangan jejaring peduli desa wisata hingga, pengembangan jejaring terkait dengan pendampingan pengembangan desa wisata yang dilakukan.

Desa Wisata Munggu sama sekali belum memiliki dan belum mengembangkan jejaring, baik itu jejaring pemasaran, pengembangan jejaring produk wisata, pengembangan jejaring peduli desa wisata hingga, pengembangan jejaring terkait dengan pendampingan pengembangan desa wisata yang dilakukan di Desa Wisata Munggu.

  • V. SIMPULAN DAN SARAN

  • 5.1    Simpulan

  • 1.    Hambatan internal yang dialami Desa Munggu sebagai desa wisata berupa produk pariwisata yang belum jelas, kurangnya dana desa dan kurangnya kelengkapan fasilitas yang mendukung, keberadaan organisasi pengelola yang belum optimal, dan partisipasi masyarakat yang kurang dalam bidang kepariwisataan di desa mereka.

  • 2.    Hambatan eksternal yang dialami Desa Wisata Munggu adalah tidak adanya standarisasi untuk suatu desa wisata dari pemerintah, sehingga membuat arah pembangunan dan perkembangan suatu desa wisata khususnya Desa Wisata Munggu menjadi tidak jelas atau mengambang. Kurangnya peran pemerintah dalam pengembangan Desa Wisata Munggu, dan Desa Wisata Munggu belum memiliki jejaring, baik jejaring pemasaran, pengembangan jejaring produk wisata, pengembangan jejaring peduli desa wisata hingga, maupun pengembangan jejaring terkait dengan pendampingan pengembangan desa wisata yang dilakukan di Desa Wisata Munggu.

  • 5.2    Saran

  • 1.    Untuk seluruh pihak internal dan eksternal agar menjalin hubungan yang bersinergi satu sama lain, sehingga segala hambatan yang bersumber dari dalam maupun luar Desa Wisata Munggu sendiri dapat diatasi dengan baik dan sigap.

  • 2.    Hambatan yang dialami Desa Munggu sebagai desa wisata di Kabupaten Badung harus ditindaklanjuti dengan serius dan direncanakan strategi pengembangan yakni solusi dan rencana jangka panjang

yang harus diimplementasikan di Desa Wisata Munggu. Mengingat status Desa Munggu sebagai salah satu desa wisata di Kabupaten Badung telah lama ditetapkan. Dalam mewujudkan hal ini pemerintah harus melibatkan semua pihak dalam hal ini para elit Desa Munggudalam menentukan kebijakan terkait dengan pengembangan Desa wisata Munggu.

  • 3.    Melihat adanya hambatan dari perkembangan Desa Munggu sebagai desa wisata di Kabupaten Badung, masyarakat setempat sebaiknya mempersiapkan diri dengan segala potensi yang mereka miliki, dan berpartisipasi aktif dalam segala kegiatan kepariwisataan yang terjadi di desa mereka. Kesadaran akan pentingnya hal ini dilakukan karena tujuan dari semua pengembangan Desa Wisata Munggu adalah untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Koordinasi yang tepat dan benar perlu dilakukan dengan pemerintah desa dan pemerintah daerah untuk dapat menentukan strategi yang tepat untuk pengmbangan Desa Wisata Munggu. Memaksimalkan fungsi dari organisasi kemasyarakatan untuk menghindari berbagai konflik yang mungkin terjadi dalam proses pengembangan desa tersebut.

  • 4.    Lembaga desa atau pemerintah Desa Wisata Munggu merupakan kunci dari keberlangsungan desa wisata tersebut, lembaga desa harus gencar dalam memerangi segala hambatan yang terjadi. Sehingga, desa wisata mereka dapat berkembang dengan baik dan dapat mensejahterakan masyarakat desa tersebut.

  • 5.    Untuk penelitian selanjutnya mungkin lebih bisa melakukan penelitian yang lebih luas dan mendalam yang mencakup komponen yang lebih banyak mengenai hambatan yang dialami Desa Munggu sebagai suatu desa wisata di Kabupaten badung dan dapat merencanakan strategi pengembangan yang lebih mantap lagi untuk pengembangan Desa Munggu sebagai desa wisata. Sehingga dapat melengkapi data-data dan informasi dari penelitian sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 1991. Perda No 3. Tentang pariwisata budaya yang diterapkan di Bali.

Anonym. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tentang kepariwisataan

Anonym. 2010. Peraturan Bupati Badung Nomor 47. Tentang Penetapan Kawasan Desa Wisata di Kabupaten Badung.

Anonym. 2010. Peraturan Gubernur Bali No. 41. Tentang Standarisasi Pengelolaan Daya Tarik Wisata.

Anonym. 2011. Peraturan Menteri Kebudayaan Dan

Pariwisata            Nomor            :

Km.18/Hm.001/Mkp/2011 Tentang Pedoman

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (Pnpm) Mandiri Pariwisata.

Anonym. 2015. Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Kedatangan Wisatawan Mancanegara yang Langsung ke Bali berdasarkan Kebangsaan Setiap Bulan Tahun 2010 s/d 2015.

Djoko Pekik Irianto. 2002. Dasar

Kepelatihan.Yogyakarta:    Fakultas Ilmu

Keolahragaan Universitas Ngeri Yogyakarta.

Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi.

Jakarta: Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. 1993. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.

Pardjono., dkk. 2013. Analisis Faktor Penghambat Studi Mahasiswa Pascasarjana Uny, Jurnal.

Pradana, Yoga Kharisma. 2016. Tradisi Makotek Di Desa Munggu, Badung Pada Era Global, Desertasi.

Suansri, Potjana. 2003. Community Based Tourism

Handbook. Thailand : Rest Project

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D: Alfabeta.

Tosun, C. 2006. Expected Nature of Community Participation in Tourism Development Tourism Management.

Yusuf, Muri. 2014. Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan.Jakarta: PT.

Fajar Interpratama

194