Jurnal Destinasi Pariwisata                                       ISSN: 2338-8811

Vol. 3 No 1, 2015

PERANAN MASYARAKAT NELAYAN DALAM AKTIVITAS KEPARIWISATAAN DI PANTAI JEMELUK DESA PURWAKERTI KECAMATAN ABANG KABUPATEN KARANGASEM

Putu Lilis Aristiarini a, 1, I Gst. Ag. Oka Mahagangga a, 2 1[email protected], 2[email protected] a Program Studi S1 Destinasi Pariwisata, Fakultas Pariwisata,Universitas Udayana, Jl. Dr. R. Goris, Denpasar, Bali 80232 Indonesia

Abstract

Indonesia is well-known as a maritime for centuries. Lots of Indonesian work as fishermen. Not to mention in Bali, eventhough tourism now become a prospective sector to work in, but in several coastal point, people still work as a fisherman. These people are strong and open-minded, they usually easy to accept new concept. In East of Bali, at Karangasem Regency, fishermen collaborate marine tourism with their natural work in a great way.This is the phenomenon that occurs and interesting to be observed. In this paper, I use qualitative method as a main reseach frame. To get a valid data, depth interview was already applied. The result shows that particularly in Amed Beach, fishers who become members of Kelompok Nelayan (Fishers Group) Mina Prami finally formed specific group to organize tourism activity especially marine tourism. They specifically contributed to help provide a mode of transportation for tourists who want to do marine tourism activities such as diving, snorkeling and fishing. Fishermen has strong bond between one and other that formed since long time ago. They help each other without considering the benefit or loss they would get. Eventhough they are in same work field, everybody has their own job in society after go to the sea. Various roles of fishing communities in tourism can support the local economy and support alternative tourism in the area of East Bali.

Keywords: Role, fishermen, activity, tourism

I. PENDAHULUAN

Bali merupakan sebuah destinasi pariwisata yang terdiri atas beranekaragam daya tarik wisata, mulai dari wisata budaya, wisata perdesaan, wisata spiritual hingga wisata bahari. Kompleksitas daya tarik pariwisata Bali memungkinkan Bali untuk menarik wisatawan dari segala segmen pasar. Namun faktanya, kini yang semakin berkembang di Bali justru mass tourism. Chafe (2005) mengemukakan bahwa mass tourism adalah pariwisata berskala besar, dengan keuntungan langsung yang minim kepada masyarakat di daerah tujuan wisata dan kepemilikan usaha bersifat transnasional. Pendapat mengenai mass tourism tersebut sangat sesuai jika dianalogikan dengan kondisi kepariwisataan Bali saat ini. Pariwisata berskala besar, keuntungan ekonomi yang rendah bagi masyarakat dan paket tour merupakan realita yang ada dalam kepariwisataan Bali. Maraknya bus besar yang menjadi moda transportasi wisatawan baik domestik maupun mancanegara telah menjadi bukti penguat bahwa pariwisata Bali saat ini cenderung mengarah pada mass tourism. Padahal mass tourism tidaklah banyak memberikan kontribusi pada suatu destinasi. Salah satu isu yang paling krusial dalam mass tourism di Bali adalah isu ketersediaan sumber daya alam khususnya air bersih dan ketersediaan lahan produktif. Philip (2012) menyatakan bahwa setiap tahunnya 700 hektar tanah berubah

menjadi hotel atau tempat tinggal mewah bagi orang asing, setiap harinya 13.000 m3 sampah dibuang dan hanya setengahnya didaur-ulang dan kemacetan menjadi sesuatu yang tak dapat dihindarkan.

Tabel 1. Jumlah Kedatangan Langsung Wisatawan Mancanegara di Bali tahun 2007-2011

Bulan

Tahun

2007

2008

2009

2010

2011

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

1

Januari

109 875

147 799

174 541

179 273

209 093

2

Februari

118 483

161 776

147 704

191 926

207 195

3

Maret

119 458

160 708

168 205

192 579

207 907

4

April

125 393

154 911

188 776

184 907

224 704

5

Mei

129 039

167 463

190 803

203 388

209 058

6

Juni

145 500

178 404

200 566

228 045

245 652

7

Juli

164 972

190 854

235 198

254 907

283 524

8

Agustus

167 031

195 549

232 255

243 154

258 377

9

September

152 804

189 346

218 443

240 947

258 440

10

Oktober

146 385

189 234

221 282

229 904

247 565

11

November

142 124

173 077

184 803

199 861

221 603

12

Desember

147 467

175 963

222 546

227 251

253 591

T o t a l :

1 668

531

2 085 084

2 385

122

2 576 142

2 826 709

Growth (%

32.16

24.97

14.39

8.01

9.73

Sumber: Bali dalam Angka 2012

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa tiap tahunnya terjadi kenaikan jumlah kedatangan

Vol. 3 No 1, 2015

wisatawan mancanegara, bahkan mencapai lebih dari 2,8 juta wisatawan pada 2011 dan jumlah tersebut belum digabungkan dengan kedatangan wisatawan domestik. SCETO (Societe Centrale pour l'equpeent Touristique Ouetre-Mer) sebuah konsultan pariwisata dari Perancis yang melakukan riset analisis daya dukung Bali pada 1970 menyatakan bahwa sesungguhnya Bali mampu menampung maksimal 4 juta wisatawan (Picard, 2006). Jumlah yang diperkirakan SCETO ini jika dibandingkan kondisi Bali saat ini memperlihatkan bagaimana pariwisata Bali berada dalam ancaman serius dalam hal sumber daya, khususnya sumber daya alam. Oleh karena isu-isu kerusakan lingkungan kini menjadi isu yang global, strategi pembangunan berbasis keberlanjutan mulai banyak diterapkan, termasuk dalam industri pariwisata. Industri pariwisata mengenal istilah Sustainable Tourism atau pariwisata berkelanjutan yang menekankan pada kualitas kepuasan wisatawan sekaligus meningkatkan kesadaran wisatawan tentang isu-isu keberlangsungan lingkungan (WTO, dalam Weaver 2006).

Pemerintah serta lembaga-lembaga swasta yang tergerak dengan isu-isu kerusakan lingkungan yang ada saat ini, dengan aktif mempromosikan wisata alternatif sebagai salah satu jalan penerapan sustainable development. Wisata alternatif menekankan pada partisipasi masyarakat lokal dalam pariwisata demi tercapainya tujuan-tujuan positif. Wisata alternatif tepat dikembangkan di beberapa daerah yang masih asri dan jumlah kunjungan wisatawan belum terlalu tinggi, seperti Buleleng, Jembrana dan Karangasem. Karangasem, sebagai kabupaten yang terletak di bagian timur Pulau Bali, menyimpan keindahan alam, terutama keindahan alam bawah laut yang dikagumi oleh para pecinta aktivitas penyelaman atau yang dikenal dengan istilah diving. Nelayan sebagai masyarakat asli di Pantai Jemeluk, merupakan ujung tombak pengembangan pariwisata alternatif. Oleh sebab itu, kajian tentang peranan nelayan perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana peranan masyarakat nelayan dalam aktivitas kepariwisataan.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui peranan masyarakat nelayan dalam aktivitas kepariwisataan di Pantai Jemeluk Desa Purwakerti, Kecamatan Abang. Selain itu, penelitian ini juga dapat memberikan manfaat berupa penerapan materi perkuliahan yang

diterima, khususnya sosiologi pariwisata dan pariwisata berbasis masyarakat. Adapun manfaat lainnya yaitu adanya gagasan atau saran yang dapat diberikan guna meningkatkan kualitas aktivitas kepariwisataan di Pantai Jemeluk.

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan tentang Peranan (Role Theory)

Robbins (2001) mendefinisikan peran mendefinisikan peran sebagai seperangkat pola perilaku yang diharapkan dikaitkan dengan seseorang yang menduduki posisi tertentu dalam unit sosial. Menurut Dougherty dan Pritchard (1985), teori peran ini memberikan suatu kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam organisasi. Mereka menyatakan bahwa peran itu melibatkan pola penciptaan produk sebagai lawan dari perilaku atau tindakan. Lebih lanjut, Dougherty dan Pritchard (1985) mengemukakan bahwa relevansi suatu peran itu akan bergantung pada penekanan peran tersebut oleh para penilai dan pengamat (biasanya supervisor dan kepala sekolah) terhadap produk atau outcome yang dihasilkan. Dalam hal ini, strategi dan struktur organisasi juga terbukti mempengaruhi peran dan persepsi peran atau role perception (Kahn dkk, 1964)

Tinjauan tentang Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan didefenisikan sebagai usaha memberi sebagian daya atau kekuasaan (power-sharing)kepada kelompok yang dianggap kurang berdaya. Pemberiaan daya tersebut diharapkan akan memberi lebih banyak kesempatan kepada suatu kelompok tertentu untuk berkembang dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya maupun peluang yang tumbuh di luar kelompok (Adimihardja dan Hikmat, 2004). Payne dalam Adi (2003) mengemukakan bahwa pada intinya suatu proses pemberdayaan (empowerment) ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dia lakukan terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan, yang dilakukan dengan peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Shardlow dalam Adi (2003) melihat bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok maupun komunitas berusaha mengotrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk

Vol. 3 No 1, 2015

membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.

Tinjauan tentang Masyarakat Nelayan

Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut.Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategoris osial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan inilah yang menjadi pembeda antara masyarakat nelayan dengan kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumber daya kelautan.

Seperti juga masyarakat yang lain, masyaraka tnelayan menghadapi banyak masalah seperti politik, sosial dan ekonomi yang kompleks. Ragam masalah tersebut antara lain : 1) kemiskinan, kesenjangan sosial dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat, 2) keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar sehingga mempengaruhi dinamika usaha, 3) kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada, 4) kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik, 5) degradasi sumber daya lingkungan, baik di kawasan pesisir, laut maupun di pulau-pulau kecil, 6) belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional (Kusnadi, 2006).

Pada umumnya nelayan membentuk komunitas nelayan, yang diartikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu (terutama pesisir), yang bermata pencaharian sebagai penangkap ikan atau pekerjaan yang berhubungan dengan perikanan lainnya. Komunitas nelayan sangat berbeda dengan komunitas lain, karena adanya sistem kekerabatan, system pengelolaan ekonomi lokal, tipe lapisan sosial yang relatif berbeda dengan komunitas yang ada di sekitarnya (Kusnadi, 2000). Kondisi ini diperkuat oleh Pollnack dalam Satria (2001) yang mengemukakan bahwa komunitas nelayan dihadapkan pada situasi ekologis yang sulit dikontrol produknya mengingat perikanan tangkap bersifat open accesssehingga nelayan harus berpindah-pindah dan memikul elemen resiko yang lebih besar dibandingkan komunitas lain, misalnya petani. Selain itu nelayan harus

juga berhadapan dengan kehidupan laut yang keras, sehingga mereka umumnya bersikap tegas,keras dan terbuka sehingga cenderung lebih mudah menerima perubahan, termasuk perubahan dalam bidang pariwisata.

RUANG LINGKUP PENELITIAN

Untuk memperjelas permasalahan yang hendak dibahas, diperlukan pembatasan mengenai ruang lingkup penelitian. Adapun ruang lingkup penelitian yang ada dalam permasalahan adalah peranan masyarakat nelayan dalam aktivitas kepariwisataan. Dimana dalam penelitian ini, peranan masyarakat nelayan dibatasi hanya dalam aktivitas kepariwisataan yang melibatkan segenap golongan masyarakat tanpa memandang jenis kelamin serta usia serta konflik dan kendala yang dihadapi oleh masyarakat nelayan dalam aktivitas kepariwisataan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Pantai Jemeluk Desa Purwakerti, Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah observasi dan wawancara mendalam. Menurut Nawawi & Martini (1991) observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Menurut (Moleong, 2005 : 186) wawancara mendalam merupakan proses menggali informasi secara mendalam, terbuka, dan bebas dengan masalah dan fokus penelitian dan diarahkan pada pusat penelitian. Dalam hal ini metode wawancara mendalam yang dilakukan dengan adanya daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dalam penelitian ini observasi dan wawancara mendalam dibutuhkan untuk mengamati aktivitas keseharian nelayan baik dalam ruang lingkup pariwisata maupun dalam kehidupan sehari-hari serta menggali informasi yang dibutuhkan.

Penelitian ini menggunanakan analisis data kualitatif dimana data empiris yang digunakan merupakan kata-kata yang tidak dapat dikategorisasikan (Silalahi, 2006) Terdapat tiga jalur analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles and Huberman, 1992). Upaya penarikan kesimpulan dilakukan terus menerus selama peneliti berada di lapangan bersamaan dengan reduksi data hingga pada akhirnya ditemukan suatu kesimpulan utama. Adapun penyajian data dapat berbentuk teks naratif maupun matriks,

Vol. 3 No 1, 2015

grafik, jaringan dan bagan. Dimana dalam laporan ini penyajian data berbentuk teks naratif yang mendeskripsikan hasil penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Pantai Jemeluk

Pantai Jemeluk merupakan area berbentuk teluk kecil yang berada di dalam wilayah Banjar Amed dan Lebah di Desa PurwaKerti. Nama Pantai Jemeluk sendiri kini umum digunakan untuk menyebut nama pantai di sepanjang wilayah Desa Purwakerti. Selain istilah Amed, Pantai Jemeluk (Jemeluk Beach) lazim digunakan pengusaha untuk memberikan label alamat pada usaha yang dimiliki. Keistimewaan Teluk Jemeluk terletak pada ekosistem bawah laut yang terdiri atas ratusan jenis ikan dan terumbu karang beraneka warna dan kerap disebut coral garden. Coral garden merupakan suatu daya tarik tersendiri bagi wisatawan karena mampu menyajikan suatu pengalaman baru.

Tabel 2

Rekapitulasi Jumlah Kunjungan Wisatawan Pada Objek Wisata di Kabupaten Karangasem dalam 2 (Dua) Tahun Terakhir

No

Nama Obyek Wisata

Tahun 2011

Tahun 2012

Wisman

Wisnu

Jumlah

Wisman

Wisnu

Jumlah

1

2

3

4

5

6

7

8

1

Puri Agung

5,420

742

6,162

6,152

265

6,417

2

Karangasem

77,487

17,849

95,336

84,526

18,603

103,129

3

Besakih

37,360

11,929

49,289

43,063

15,461

58,524

4

Tirtagangga

39,508

13,809

53,317

35,467

12,115

47,582

5

Tenganan

28,611

1,907

30,518

24,814

989

25,803

6

Padangbai

7,416

390

7,806

2,810

43

2,853

7

Jemeluk

20,836

4,056

24,892

24,207

3,896

28,103

8

Sungai Telaga

35,712

4,296

40,008

42,931

23,248

66,179

9

Waja

616

127

743

464

38

502

10

Tulamben

1,766

120

1,886

308

12

320

11

Yeh Malet / Alam

20,399

44,340

64,739

21,023

63,124

84,147

12

Candidasa / Alam

6

8

14

-

8

8

13

Taman Sukasada,

24

14

38

4

14

18

14

Ujung

-

-

-

-

-

-

15

Iseh Sibetan Putung Bukit Jambul

Jumlah

275,161

99,587

374,7748

285,769

137,816

423,585

Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem, 2013


Meskipun kunjungan wisatawan menurun, masyarakat setempat cenderung tenang dan tidak terpengaruh. Hal ini dikarenakan masyarakat setempat yang umumnya berprofesi sebagai nelayan mudah menerima perubahan (Pollnack dalam Satria, 2001).

Gambaran Umum Kelompok Nelayan Tunas Mekar

Masyarakat yang tinggal di Desa Purwakerti, pada umumnya berprofesi sebagai nelayan. Namun, perkembangan pariwisata telah memicu

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa Jemeluk merupakan suatu obyek wisata yang cukup banyak dikunjungi wisatawan. Namun jika dibandingkan dengan Tulamben, jumlah kunjungan wisatawan ke Jemeluk tentu tidak sebanding. Hal ini di satu sisi memberikan kerugian sekaligus keuntungan bagi pariwisata Jemeluk. Di satu sisi, kunjungan wisatawan yang tidak terlalu banyak dan cenderung menurun memang tidak memberikan banyak kontribusi bagi masyarakat. Namun jika ditinjau lebih jauh fenomena tersebut memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar, seperti adanya ruang yang dipertahankan oleh masyarakat, sehingga masyarakat tidak berbondong-bondong membangun sarana dan prasarana untuk mendukung pariwisata. Rendahnya kunjungan wisatawan pada tahun 2012 diyakini para pemilik usaha disebabkan oleh krisis ekonomi yang melanda Eropa.

alih profesi, terutama pada generasi muda di Desa Purwakerti. Meskipun arus urbanisasi ke Denpasar masih cenderung rendah di Desa Purwakerti, namun banyak generasi muda yang bersekolah ke desa-desa tetangga. Secara umum, nelayan yang tinggal di sekitar Pantai Jemeluk berada di bawah satu organisasi. Terdapat satu organisasi nelayan induk, membawahi lima organisasi nelayan kecil. Kelompok nelayan induk tersebut bernama Kelompok Nelayan Mina Prami. Seluruh kegiatan Kelompok Nelayan Mina Prami berpusat di

Vol. 3 No 1, 2015

sebuah balai yang juga merupakan bale Banjar Lebah. Kegiatan kelompok nelayan ini yang utama adalah menangkap ikan pada periode waktu tengah malam hingga pagi hari sekitar pukul 05.00-07.00 atau hingga 10.00 tergantung tangkapan. Semakin banyak ikan yang dapat ditangkap maka akan semakin lama nelayan melaut.

Kelompok Nelayan Mina Prami terdiri atas 84 orang nelayan yang secara aktif terlibat dalam kegiatan kepariwisataan. Selain Kelompok Nelayan Mina Prami, terdapat pula Kelompok Tunas Mekar yang secara langsung berada di bawah pengawasan Kelompok Nelayan Mina Prami. Sesungguhnya, seluruh anggota Kelompok Tunas Mekar juga termasuk dalam Kelompok Nelayan Mina Prami. Perbedaannya terletak pada struktur organisasi, dimana orang yang menjabat sebagai pengurus kelompok berbeda. Namun dalam setiap rapat atau yang sering disebut paruman atau sangkep. Kelompok Tunas Mekar, selalu dilakukan bersamaan dengan paruman Kelompok Mina Prami.

Menurut Lee (2003), diferensiasi sosial berhubungan dengan hierarki sosial dan secara umum menggambarkan perbedaan-perbedaan sosial di masyarakat seperti etnis, pekerjaan, agama dan jenis kelamin. Secara jelas dapat dikatakan bahwa yang membedakan anggota Kelompok Nelayan Tunas Mekar dengan masyarakat lokal secara umum adalah variasi pekerjaan, yaitu sebagai nelayan sekaligus sebagai perantara transportasi wisatawan yang hendak melakukan aktivitas pariwisata di laut. Hal ini sesuai dengan pendapat Kim dan Kim (1996) yang menyebutkan bahwa pariwisata pesisir dapat dihubungkan dengan kegiatan nelayan serta desa nelayan di wilayah pesisir.

Peranan dalam Aktivitas Wisata Bahari dan Pelestarian Lingkungan

Peran nelayan yang utama dalam konteks diferensiasi sosial berdasarkan profesi adalah melaut, namun dewasa ini, kebutuhan finansial membuat nelayan memiliki peranan yang berbeda-beda. Peran nelayan dalam Kelompok Nelayan Tunas Mekar adalah sebagai pengemudi perahu yang disebut masyarakat Bali sebagai Bendega, yang secara khusus membantu aktivitas diving, snorkeling, dan fishing sebagai aktivitas utama yang dijalankan dengan rincian kegiatan sebagai berikut :

  • 1.    Setengah jam sebelum wisatawan datang, nelayan melakukan pengecekan terhadap

perahu untuk mencegah terjadinya kerusakan di tengah laut

  • 2.    Ketika wisatawan datang, nelayan menerima wisatawan yang biasanya datang bersama instruktur diving atau yang kerap disebut nelayan sebagai ‘guide’ di Bale Banjar Lebah

  • 3.    Nelayan menurunkan perahu dengan bantuan beberapa rekan. Hal ini tidak dapat dilakukan sendirian karena beban perahu yang cukup berat

  • 4.    Nelayan mengantar wisatawan ke tengah laut dengan perahu masing-masing. Maksimal perahu hanya dapat diisi dua wisatawan dan satu instruktur. Apabila terdapat tiga wisatawan dengan satu instruktur, wisatawan harus menggunakan satu perahu tambahan. Bila hal ini, dilanggar, nelayan akan dikenakan sanksi berupa denda atau tidak mendapat giliran pada putaran berikutnya

  • 5.    Selama satu sesi diving atau snorkeling, yaitu 45 menit nelayan akan menunggu di atas perahu. Terkadang sambil menunggu ketika air sedang tenang, nelayan juga turut melakukan penyelaman tanpa bantuan tabung oksigen (free diving) atau memancing untuk mengisi waktu luang. Hal ini dianggap tidak berbahaya karena nelayan telah mengenal kondisi laut sejak kanak-kanak. Selain itu, aktivitas diving juga tidak dilakukan jauh dari daratan sehingga apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, pertolongan oleh nelayan lain dapat segera dilakukan.

  • 6.    Setelah wisatawan selesai melakukan aktivitas diving selama satu sesi, nelayan akan mengantar wisatawan kembali ke pantai untuk istirahat selama satu jam. Pada periode break ini, nelayan menghabiskan waktu dengan beristirahat sejenak di dekat perahu.

  • 7.    Proses sesi diving atau snorkeling kedua sama seperti sesi sebelumnya, nelayan mengantarkan wisatawan dan instruktur ke tengah laut dan mengantarkan kembali ke pantai dengan selamat.

Uraian kegiatan tersebut sama halnya dengan aktivitas fishin gatau memancing, hanya saja untuk aktivitas memancing, biaya yang dikenakan sebesar Rp 300.000,00 per jukung, sementara untuk diving atau snorkeling, biaya yang dikenakan sebesar Rp 110.000,00.

Dalam sebulan, saat low season anggota kelompok terkadang hanya mendapatkan dua atau tiga kali giliran mengantarkan wisatawan, namun demikian anggota kelompok tetap

Vol. 3 No 1, 2015 menjalankan kewajibannya dan menganggap bahwa berapapun nilainya, pendapatan yang diterima melalui pariwisata adalah rezeki yang tidak boleh ditolak. Demikian pula saat high season, anggota nelayan kerap menyebut periode high season sebagai ‘Galungan Tamu’. Istilah ini merupakan analogi antara datangnya wisatawan dalam jumlah besar dengan Hari Raya Galungan dimana pada hari raya tersebut umat Hindu beramai-ramai berkumpul di kampung atau rumah masing-masing. Periode ini jatuh pada bulan Juli dan Agustus dimana dalam sebulan nelayan dapat mengantar wisatawan hingga sepuluh kali.

Apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, seperti kerusakan mesin mendadak di tengah laut, nelayan lainnya akan datang membantu tanpa mengharapkan imbalan. Sama halnya ketika nelayan menurunkan perahu saat hendak melaut atau menaikkan perahu seusai melaut, nelayan tidak dapat melakukannya sendirian, maka rekan yang lain akan datang untuk membantu. Hal ini sesuai dengan pendapat sosiolog Alvin Gouldner (dalam Sarwono, 2002) yang menyatakan bahwa salah satu norma yang bersifat universal adalah norma timbal balik (reciprocity norm), yaitu seseorang harus menolong orang yang pernah menolongnya. Hal ini menyiratkan adanya prinsip balas budi dalam kehidupan bermasyarakat.

Terlepas dari peran sebagai nelayan dan pengemudi perahu untuk wisatawan, nelayan juga berperan dalam melestarikan lingkungan, khususnya ekosistem bawah laut. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas penanaman terumbu karang yang dilakukan nelayan pada saat-saat tertentu, seperti pada tanggal 28 Mei 2013 saat sebuah perusahaan kosmetika organik bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten Karangasem melakukan penenggelaman tiga patung yang telah diatur keasamannya, yaitu patung Ganesha, Hanoman dan Dewi Karang berwujud putri duyung. Penenggelaman patung ini dilakukan secara bersamaan dengan penanaman terumbu karang yang dilakukan oleh nelayan dengan tim penyelam gabungan dari Reef Check Foundation Indonesia, The Marine Foundation (Inggris), dan Coral Reef Alliance (CORAL). Sesungguhnya, cuaca dan iklim amat menentukan keberagaman dan keberlangsungan ekosistem bawah laut (Moreno dan Amelung, 2009). Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk menanggulangi kerusakan terumbu karang sebagai daya tarik utama akibat global warming.

Kondisi terumbu karang di Pantai Jemeluk, menurut survey Reef Check Foundation Indonesia pada tahun 2009, sesungguhnya angat memprihatinkan. Sebesar 40 dari seluruh tutupan terumbu karang mengalami pemutihan dan pada 2010, pemutihan semakin meluas menjadi 50-55 akibat kenaikan suhu global. Pemutihan terumbu karang (coral bleach) tidak hanya membawa efek negatif pada pariwisata, namun juga pada jumlah tangkapan ikan. Nelayan menyatakan bahwa pemutihan karang terjadi pada bulan-bulan tertentu dan tidak permanen, dengan kata lain terumbu karang yang sudah memutih dapat kembali normal pada waktu tertentu. Konsep ini tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Beberapa jenis terumbu karang memang dapat kembali seperti sedia kala setelah kondisi ekologis kembali normal, namun beberapa jenis lainnya dapat benar-benar mati setelah mengalami pemutihan. Kini dengan kesadaran masyarakat nelayan yang semakin meningkat untuk merehabilitasi dan melindungi warisan nenek moyang, kini secara berkala nelayan melakukan pemantauan terhadap terumbu karang dan jenis ikan yang boleh dibawa pulang atau dilepas saat memancing.

Variasi Peran Nelayan dalam Pariwisata

Selain peran dalam aktivitas wisata bahari dan pelestarian lingkungan, masyarakat juga memegang peranan yang berbeda di waktu dan tempat yang berbeda. Ketua Kelompok Tunas Mekar, Bapak Putu Budiarta contohnya, di waktu-waktu tertentu, saat paceklik ikan, beliau meninggalkan kampung halaman selama beberapa minggu untuk bekerja sebagai buruh bangunan, bahkan hingga ke Denpasar. Uniknya, hal ini beliau lakukan untuk memenuhi keinginannya, karena beliau senang melakukan pekerjaan pertukangan dan pendapatan yang beliau terima dianggap sebagai ‘bonus’ untuk dibawa kembali ke rumah. Selain melakukan pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan, Bapak Putu Budiarta juga memiliki warung makan sederhana yang melayani kebutuhan makan wisatawan bernama Warung Family.

Bapak Putu Budiarta memberikan kesempatan untuk putri tertuanya mengembangkan kemampuan memasak melalui warung tersebut. Meskipun hanya tamat SMA dan belajar melalui buku resep, namun putri Bapak Putu Budiarta mampu memasak beragam masakan ala seafood.Selain Bapak Putu Budiarta, nelayan yang menjalankan usaha warung makan, masih banyak lagi nelayan yang menjalankan

Vol. 3 No 1, 2015

usaha transportasi, penginapan, bahkan operator wisata bahari. Sekalipun telah memiliki usaha sendiri, masyarakat nelayan masih tetap melaut untuk sekadar berkumpul bersama teman-teman atau memenuhi keinginan pribadi.

Secara garis besar, dapat diidentifikasi bahwa dalam kegiatan kepariwisataan, nelayan memiliki peran yang berbeda-beda tergantung pada waktu dan tempat. Seorang ketua kelompok nelayan disaat tertentu menjalankan tugasnya mengatur sistematika pergiliran mengantar tamu, namun disaat lain juga mengelola usaha pribadi yang masih berkaitan dengan pariwisata. Begitu pula seorang anggota kelompok nelayan, pada saat melaut menjalankan tugasnya sebagai nelayan, namun di saat tidak melakukan pekerjaan utama, dapat melakukan pekerjaan lainnya seperti menjadi guide lokal.

Fenomena variasi peran ini merupakan refleksi teori perubahan sosial oleh Max Weber (dalam Soekanto, 1985) dimana terjadi perubahan sosial dalam masyarakat sebagai akibat dari pergeseran nilai yang dijadikan orientasi kehidupan masyarakat. Adanya perubahan orientasi seperti keinginan kuat untuk meningkatkan taraf hidup, memenuhi kesenangan pribadi atau mendapatkan prestise merupakan suatu alasan kuat terjadinya variasi peran dalam kelompok nelayan. Perubahan sosial ini tidak hanya terjadi pada kelompok nelayan, namun juga telah mempengaruhi sistem gender yang selama ini membatasi peran laki-laki dan perempuan.

Dalam suatu masyarakat nelayan, laki-laki memegang peranan utama untuk mencari nafkah. Istri tidak diperbolehkan melaut, cukup diam di rumah menunggu suami datang dan membantu menghitung jumlah tangkapan. Namun kini, iburumahtangga yang sehari-harihanyamembantusuamimenjualikan dan menghitung jumlah tangkapan, kini diberikan izin untuk bekerja,seperti menjual jasa pijat keliling. Jasa pijat keliling ini ditawarkan sembari berjalan kaki keliling desa dari satu penginapan ke penginapan lain. Tarif yang dikenakan beragam, antara 20-50 ribu rupiah tergantung lama pijat dan bagian tubuh tertentu yang hendak dipijat. Soal keahlian memijat, istri nelayan yang menjajakan jasa tersebut tidak belajar memijat professional, namun hanya berdasarkan naluri dan pengalaman.

Dewasa ini, anak-anak juga turut serta menjajakan barang dagangan seperti kerajinan tangan atau garam yang dikemas dalam wadah unik yang dijual seharga Rp 20.000. Anak-anak

nelayan melakukan hal tersebut untuk memperoleh penghasilan tambahan seusai sekolah agar dapat ditabung. Sayangnya, barang dagangan yang dijual oleh anak-anak nelayan tersebut merupakan barang yang dipasok dari Denpasar. Apabila ibu rumah tangga dan anak-anak memiliki kemampuan dan modal untuk membuat kerajinan sendiri, tentu akan sangat membantu dalam pertumbuhan perekonomian di Pantai Jemeluk mengingat saat ini belum ada art shop atau toko-toko yang menjual barang kerajinan di Pantai Jemeluk. Perubahan sosial seperti ini meskipun berjalan lambat, namun secara pasti membawa masyarakat nelayan ke arah modernisasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Peranan masyarakat dalam kegiatan pariwisata bervariasi tergantung dengan stratifikasi dan diferensiasi sosial di masyarakat. Perbedaan peran dilihat dari stratifikasi sosial dikarenakan adanya kelas atau penggolongan dalam masyarakat yang dianggap memiliki posisi lebih tinggi, seperti posisi ketua Kelompok Nelayan Tunas Mekar yang di suatu waktu dapat menjabat sebagai ketua, namun disisi lain dapat menjalankan tugas sebagai bagian dari Anggota Kelompok Nelayan Mina Prami. Selain itu, dilihat dari sisi diferensiasi sosial, masyarakat nelayan memiliki peran bervariasi tergantung waktu yang dimiliki. Saat tengah melaut, anggota kelompok melakukan peran sebagai nelayan, saat mengantar wisatawan, anggota kelompok melakukan peran sebagai pengantar tamu dan diluar kedua waktu tersebut, nelayan menjalankan peran yang berbeda-beda. Beberapa nelayan melakukan aktivitas yang masih berkaitan dengan pariwisata seperti menjadi guide, supir, mengelola restoran atau penginapan dll.

SARAN

Adapun saran yang dapat diberikan, antara lain :

  • 1.    Untuk Akademisi

Akademisi khususnya di bidang kajian pariwisata sebaiknya meningkatkan perhatian untuk mengangkat permasalahan yang muncul di Bali bagian timur          khususnya          di

KabupatenKarangasem karena belum banyak masalah pariwisata Karangasem yang menjadi fokus penelitian

  • 2.    Untuk Pengusaha

Pemilik usaha di Pantai Jemeluk sebaiknya mulai memberikan perhatian terhadap perkembangan masyarakat

Vol. 3 No 1, 2015

sekitar melalui program-program CSR (Coorporate Social Responsibility) yang efektif seperti pemberian beasiswa bagi anak-anak nelayan atau membuka pelatihan instruktur diving agar tidak lagi mendatangkan instruktur dari luar Karangasem

  • 3.    Untuk Pemerintah

Pemerintah sebaiknya memperhatikan kesejahteraan nelayan melalui upaya proteksi terhadap harga ikan.Selain itu, pemerintah                  sebaiknya

mempertimbangkan untuk mendirikan SMK yang berbasis pariwisata atau kelautan di wilayah Desa Purwakerti mengingat tingginya potensi sumber daya manusia di desa tersebut.

KEPUSTAKAAN

Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas : Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI

Adimiharja, Kusnaka., & Hikmat, R. Harry.2004. Particapatory Research Appraisal : Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat. Bandung : Humaniora

Chafe, Zoe. 2005. "Consumer Demand and Operator Support for Socially and Environmentally Responsible Ecotourism".CESD/TIES Working Paper No. 104

Dougherty, T.W., & Pritchard R.D. 1985. The Measurement of Role Variables : Exploratory examination of a new approach. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 35,141-153

Kahn, R.L. 1964. Organizational Stress. New York : Wiley

Kim, Sung-Gwi,. & Kim, Y.J Edward.(1996). Overview of Coastal and Marine Tourism in Korea, The Journal of Tourism Studies, 7(2), 46-53

Kusnadi. 2000. Nelayan : Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung : Humaniora Utama Press

Kusnadi. 2006. Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Bandung : Humaniora Utama Press

Lee, Danielle. J. 2003. Social Differentiation : Patterns and Processes (Trends Project). Canada : University of Toronto Press

Miles, MB., dan Huberman, AM. Qualitative Data Analysis : A Sourcebook of New Methods. SAGE. Beverly Hills

Moleong , 2005. Metodologi Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Moreno, A,. & Amelung, B,. (2009). Climate Change and Coastal & Marine Tourism : Review and Analysis, Journal of Coastal Research, Special Issue (56), 1140-1144.

Nawawi, dan Martini Hadari. 1991. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Gajah Mada University Press

Philip, Bruno. 2012. How Mass Tourism Destroying Bali and Its Culture. An article posted at worldcrunch.com

Picard, M. 2006. Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata Edisi Terjemahan. Jakarta : Gramedia

Robbins, Stephen P. 2001. Perilaku Organisasi Edisi Terjemahan. Jakarta : PT Indeks Kelompok Gramedia.

Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta : Balai Pustaka

Satria, Arif. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan : Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Bandung : Humaniora Utama Press

Silalahi, U. 2006. Metode Penelitian Sosial. Bandung : Unpar Press.

Soekanto, Soerjojo.1982.Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta : CV Rajawali.

-----------------------. 1985. Max Weber. Konsep-Konsep Dasar Dalam Sosiologi. Seri Pengenalan Sosiologi I.Jakarta : Rajawali

Weaver, David. 2006. Sustainable Tourism : Theory and Practice. Oxford : Elsevier Butterworth-Heinemann.

16