Jurnal Destinasi Pariwisata                                             p-issn: 2338-8811, e-issn: 2548-8937

Vol. 11 No 1, 2023

Strategi Resiliensi Usaha Jasa Co-Working Space Terhadap Krisis Di Kawasan Pariwisata

Canggu, Kecamatan Kuta Utara

Michaellino Aprilliando Gunawan a, 1, I Made Adikampana a, 2

  • a Program Studi Pariwisata Program Sarjana, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, Jl. Sri ratu Mahendradatta Bukit Jimbaran, Bali 80361 Indonesia

Abstract

This research was conducted to analyze the resilience strategy of the co-working space business in the Canggu Tourism Area against a crisis. Meanwhile, to analyze the data in this study used the four-function adaptive cycle concept application. The data used in this study is qualitative data obtained from primary and secondary data sources. Data collection techniques in this study consisted of interviews, observation, literature study, and documentation. The results showed that there were two stages in the four-function adaptive cycle that were not passed by co-working space business in the Canggu Tourism Area during the crisis, namely the growth phase and the conservation phase. Meanwhile, two other stages, namely the release phase and the reorganization phase, were passed during the crisis. The results show that during the release phase there were various problems that arose, starting from a lack of capacity, prices that were too high, as well as member safety and comfort. Meanwhile, in the reorganizing phase, the resilience of the co-working space comes from member loyalty which is built from various means, such as listening to members complaints and providing the best service that create word of mouth from the member itself.

Keyword: Resilience Strategy, Co-working Space, Digital Nomadism, Digital Nomad

  • I.    PENDAHULUAN

Sektor pariwisata dan teknologi belakangan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, kehadiran teknologi mendorong perkembangan dan memberi warna baru bagi sektor pariwisata. Kombinasi antara pariwisata dan teknologi ini kemudian memunculkan sebuah gaya hidup baru yang sering disebut digital nomadism. Digital nomadism merupakan tren gaya hidup baru yang tercipta sebagai kombinasi dari pariwisata, rekreasi, pekerjaan profesional jarak jauh (remote worker), perjalanan global dan kehidupan nomaden. Istilah digital nomadism pertama kali diperkenalkan oleh Makimoto dan Manners pada tahun 1997 yang memprediksi lahirnya pekerjaan jarak jauh di masa depan (Mouratidis, 2018).

Gaya hidup ini berusaha untuk memadukan hasrat bepergian (perjalanan) secara terus-menerus (nomaden) dengan pekerjaan digital jarak jauh (Mancinelli, 2020; Narrotama, 2018; Olga, 2020; Schlagwein dan Jarrahi, 2020; Thompson, 2019). Sedangkan orang yang melakukan praktik digital nomadism disebut sebagai wisatawan digital nomad. Meski terbilang baru, perkembangan digital nomadism sangatlah pesat yang perlahan namun pasti mendorong berbagai destinasi diseluruh dunia berlomba – lomba mengembangkan kawasan pariwisata yang mendukung tren atau gaya hidup digial nomadism.

Salah satu destinasi yang merespon kemunculan tren baru ini adalah Bali, pulau dengan julukan island of Gods ini telah memiliki dua kawasan yang menjadi sentra digital nomadism yakni Kawasan

Pariwisata Ubud dan juga Canggu. Cikal bakal perkembangan digital nomadism pertama kalinya ditandai dengan adanya pembangunan layanan coworking space pertama bernama Hubud di Kawasan Pariwisata Ubud pada tahun 2013 (Haking, 2017). Adapun urgensi dari pembangunan layanan tersebut adalah untuk mengakomodasi kebutuhan wisatawan digital nomad ketika hendak melakukan perjalanan.

Meski perkembangan digital nomadism diawali dengan pembangunan layanan co-working space di Kawasan Pariwisata Ubud, Kawasan Pariwisata Canggu belakangan berkembang jauh lebih pesat bahkan telah menggeser popularitas Ubud sebagai sentra digital nomadism. Pada akhir tahun 2018, website nomadlist.com. merilis Canggu sebagai destinasi terfavorit bagi digital nomad di dunia dan mendapatkan nomad score paling tinggi yaitu 5 (lima) dari skala tertinggi 5 (lima) dibandingkan kota-kota di negara lain (Mulyana, 2020). Kesiapan Canggu sebagai kawasan favorit para digital nomad juga dibuktikan dengan pembanguann berbagai fasilitas pariwisata mulai dari akomodasi penginapan, restoran atau rumah makan, dan yang tidak kalah penting layanan co-working space yang menjadi sebuah keharusan.

Co-working space dipahami sebagai sebuah lingkungan atau ruang dimana beberapa profesi dapat bekerja dalam suatu area secara bersamaan baik dalam ruang privat ataupun ruang kerja terbuka (Metz & Archuleta, 2016). Ruang kerja pada coworking space digunakan oleh orang-orang dengan latar yang berbeda-beda antara lain yaitu, entrepreneur, freelancer, startup, asosiasi, konsultan,

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023

investor, seniman, peneliti, pelajar dan lain-lain (Leforestier, 2009: 03). Menurut Nash, dkk (2020) layanan co-working space merupakan ruang yang kerap dipilih oleh para digital nomad karena menyediakan beragam fasilitas fisik untuk bekerja, memberikan implikasi kooperatif, memfasilitasi interaksi sosial dan memungkinkan teknologi seluler mereka berfungsi dengan baik.

Kendati demikian, pariwisata merupakan sektor yang sangat sensitif terhadap masalah kesehatan, bencana alam, keamanan, epidemi, politik, citra dan reputasi destinasi (Chang dkk, 2020; Ma dkk, 2020; Mao dkk, 2010; Niyaz, 2015). Isu – isu yang ada kerap kali membawa dampak terhadap eksistensi pariwisata beserta seluruh fasilitas pariwisata yang termasuk di dalamnya, tak terkecuali usaha jasa co-working space. Memasuki akhir tahun 2020 sektor pariwisata dihadapkan pada sebuah krisis baru dalam bidang kesehatan yakni Pandemi Covid-19. Kemunculan pandemi menjadi momok yang menakutkan dan membawa dampak buruk yang cukup besar.

Penurunan jumlah kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara terjadi akibat kebijakan pembatasan yang dilakukan pemerintah. Hal ini juga mengakibatkan terjadinya penutupan sejumlah usaha di bidang pariwisata untuk mencegah penyebaran virus corona karena sektor pariwisata melibatkan interaksi dan perjalanan wisatawan dari daerah asal ke destinasi (Gossling dkk, 2020). Penutupan berbagai usaha di bidang pariwisata tidak hanya memberikan dampak finansial saja tetapi juga memberikan dampak yang lebih besar seperti kebangkrutan. Menariknya dalam penelitian ini hal yang berbeda ditunjukan oleh berbagai usaha di bidang pariwisata khususnya layanan co-working space di Kawasan Pariwisata yang masih bertahan selama krisis tersebut berlangsung.

Berbagai layanan co-working space di kawasan ini seolah menunjukan adanya resiliensi atau ketahanan terhadap krisis yang sedang berlangsung ketika beberapa layanan di kawasan pariwisata lainnya mengalami kebangkrutan dan tidak beroperasi kembali. Secara umum, resiliensi (ketahanan) dapat dipahami sebagai daya pegas atau daya kenyal yang dilakukan individu untuk bertahan terhadap setiap keadaan, tekanan, atau kesulitan yang dihadapi (Cahyani, 2019:14). Konsep resiliensi umumnya sangat identik dengan ilmu psikologi, namun pengaplikasian konsep ini sangat kompatibel di berbagai sektor pembangunan. Salah satunya oleh sektor pariwisata dimana resiliensi melihat sejauh mana kegiatan pariwisata mampu berjalan beriringan dengan perubahan masyarakat, tingkat resiliensi masyarakat diukur dari kemampuan beradaptasi dan merespon setiap keadaan dengan baik (Cheer dan Lew, 2018:5).

Ketahanan atau resiliensi layanan co-working space yang berada di Kawasan Pariwisata Canggu inilah yang kemudian menjadi penting untuk diteliti. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai layanan co-working space di Kawasan Pariwisata dapat bertahan terhadap sebuah krisis. Hasil penelitian ini penting sebagai bahan evaluasi pengelola layanan co-working space di kawasan pariwisata lain guna menghadapi krisis yang akan dihadapi dimasa mendatang.

  • II.    METODE PENELITIAN

Penelitian ini berlokasi di Kawasan Pariwisata Canggu yang dilakukan selama satu bulan yakni sejak bulan Mei hingga Juni 2022. Terdapat tiga layanan coworking space yakni Kinship Studio, Puco Rooftop dan Bwork Co-working Space yang dijadikan sebagai representatif layanan usaha co-working space di Kawasan Pariwisata Canggu. Adapun pengambilan data terkait resiliensi ini dilakukan saat Pandemi Covid-19 sebagai krisis yang sedang terjadi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yaitu data yang disajikan dalam bentuk kata verbal bukan dalam bentuk angka (Muhadjir, 1996; Kusmayadi, 2000). Untuk memperoleh data tersebut, terdapat dua sumber data yang digunakan yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan sehingga bersifat up to date ((Barlian, 2016; Radjab dan Jam’an, 2017) sedangkan, data sekunder merupakan data yang diperoleh tidak melalui penelitian secara langsung melainkan data yang diperoleh dari berbagai penelitian atau sumber-sumber, bahkan riset yang telah ada sebelumnya (Barlian, 2016; Silaen dan Widiyono, 2013).

Sumber data tersebut kemudian diperoleh melalui berbagai cara seperti observasi, wawancara, dokumentasi dan studi kepustakaan. Adapun informan dalam penelitian ini ditentukan dengan metode purposive sampling yakni, metode penentuan sumber data dipertimbangkan terlebih dahulu, bukan diacak dengan kata lain informan ditentukan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian (Bungin, 2007). Melaui penelitian ini informan kunci yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengelola usaha jasa co-working space. Sedangkan, informan pendukung dalam penelitian ini adalah para pekerja di layanan co-working space dan wisatawan digital nomad yang menjadi member aktif di layanan co-working space yang ada. Untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan teknik deskriptif kualitatif yang terbagi ke dalam tiga tahapan yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data yang masih kasar yang diperoleh di lapangan. Reduksi data dilakukan selama penelitian berlangsung sampai

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023

laporan tersusun. Dalam penelitian ini, reduksi data merupakan bagian analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak diperlukan, dan mengorganisasi data sehingga kesimpulan final dapat diambil dan diverifikasi. Setelah mereduksi data yang ada, maka akan akan dilakukan penyajian data. Penyajian data merupakan tahap menyusun sekumpulan informasi – informasi, yang telah didapatkan baik di lapangan maupun hasil olah data. Adapun bentuk penyajian data dalam penelitian ini adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan bentuk ini maka akan memudahkan, untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.

Langkah selanjutnya, adalah tahap akhir dimana data yang telah disajikan akan disimpulkan. Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan untuk mencari atau memahami makna, keteraturan pola kejelasan, dan alur sebab akibat atau proporsisi Sebagaimana yang disampaikan Sugiyono (2015:252), bahwa kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan sebuah temuan baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Adapun temuan tersebut dapat berupa deskripsi atau gambaran tentang objek yang sebelumnya masih belum jelas sehingga diteli untuk lebih jelas dan juga dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsep resiliensi atau ketahan dari pariwisata kerap kali dikaitkan dengan adanya konsep sosio-ekologis. Holling & Mefffe (1996) menyebutkan bahwa konsep pengelolaan untuk resiliensi sosio-ekologis berkaitan dengan pemeliharaan sistem yang memberi sifat resiliensi tanpa mengorbankan kemampuan mereka untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap perubahan masa depan.

Adapun untuk menganlisis resiliensi atau ketahanan usaha jasa co-working space terhadap krisis dalam penelitian ini digunakan kerangka sistem resiliensi sosio-ekologis yang dikemukakan oleh Hooling (2001) yakni sebuah manifestasi kompleks adaptif pada skala temporal dan spasial yang mengarah kepada siklus berulang. Siklus tersebut kemudian dikenal dengan nama siklus adaptif empat fungsi (Gambar 1).

Terdapat empat fase perkembangan dalam siklus adaptif empat fungsi ini yakni: Fase Pertumbuhan (exploitation), Fase Konservasi (conservation), Fase Perombakan (release) dan Fase Pengorganisasiaan Kembali (reorganization). Fase pertumbuhan adalah tahapan dimana modal awal dan potensi yang dimiliki dikembangkan dan dikelola dengan baik. Selanjutnya, fase konservasi pada fase ini mulai dibentuklah pengorganisasian dan konektivitas internal untuk mendukung dan mengoptimalkan modal atau potensi yang ada.

Fase selanjutnya adalah fase pelesapan yang kerap kali mengiringi fase konservasi, pada fase ini terjadi berbagai permasalahan yang mendorong ke arah perubahan. Fase berikutnya adalah fase pengorganisasian kembali, dalam fase ini terjadi penataan ulang dan perubahan besar yang mendorong terciptanya sebuah resiliensi atau ketahanan.

Gambar 1. Siklus Adaptif Empat Fungsi Sumber: Hooling, 2021

Selanjutnya, hasil analisis ketahanan atau resiliensi usaha jasa co-working space terhadap krisis Pandemi Covid-19 tersebut dipaparkan sebagai berikut:

Fase Pertumbuhan (Growth/Exploitation)

Dalam siklus adaptif yang dikemukakan oleh Hooling (2001) fase pertumbuhan merupakan sebuah fase awal siklus adaptif ini dimulai, yang ditandai dengan adanya kebangkitan secara perlahan-lahan sebuah usaha dari krisis yang sedang dihadapinya. Dalam penelitian ini fase ini dimulai ketika terjadi sebuah kebangkitan kembali layanan co-working space setelah mengalami berbagai permasalahan mulai dari penurunan kinerja kerja, penurunan jumlah member, hingga kerugian finansial akibat krisis tak kunjung usai.

Namun, menariknya hasil temuan di lapangan menunjukan hal yang berbeda dimana kehadiran Pandemi Covid-19 rupanya tidak memberikan dampak berupa penurunan baik kinerja kerja, jumlah member, hingga kerugian finansial pada usaha co-working space yang berada di Kawasan Canggu. Fase pertumbuhan yang dimaksudkan dalam siklus adaptif ini tidak terjadi sebagaimana yang seharusnya. Fase pertumbuhan layanan coworking space di Kawasan Pariwisata Canggu rupanya telah terjadi sejak tahun 2016 ketika berbagai layanan co-working space yang ada di kawasan ini mulai merintis usahanya. Para pengelola layanan co-working space menurutkan bahwa krisis yang dihadapi terjadi saat awal perintisan seperti jumlah member yang sangat minim, konsep yang tidak sesuai dengan permintaan pasar (digital nomad), hingga permasalahan terhadap perang harga antar satu layanan dengan yang lain.

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023

Fase Konservasi (Conservation)

Fase konservasi merupakan sebuah titik balik yang berlangsung hampir bersamaan dengan fase pertumbuhan, fase ini diartikan sebagai berbagai upaya pengorganisasian serta kolaborasi yang dilakukan guna mendukung pertumbuhan yang terjadi. Dalam penelitian ini fase konservasi merupakan fase dimana layanan co-working space yang berada di Kawasan Pariwisata Canggu mulai berbenah diri dan mengoptimalkan pertumbuhan kembali dengan menyediakan berbagi upaya seperti pengorganisasian dan kolaborasi.

Pengorganisasiaan diartikan sebuah langkah atau upaya yang dikeluarkan oleh sebuah destinasi, dalam hal ini co-working space untuk menunjang berbagai aktivitas wisatawan dengan penyediaan kebutuhan wisatawan digital nomad. Sedangkan, kolaborasi dimaksudkan sebagai bentuk kerjasama dan sistem pengelolaan bersama yang memberikan warna baru bagi layanan co-working space. Kendati demikian, hasil penelitian juga menunjukan hal yang menarik bahwa fase konservasi dalam siklus adaptif ini berlangsung jauh sebelum adanya Pandemi Covid-19 sama dengan fase pertumbuhan. Fase konservasi telah dimulai sejak akhir tahun 2016 hingga 2017 ketika layanan co-working space sudah mampu mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi pada fase sebelumnya.

Fase Perombakan (Release)

Perombakan yang terjadi pada fase ini diartikan sebagai sebuah permasalahan yang muncul dan mendorong ke arah perubahan ketika krisis berlangsung. Dalam penelitian ini fase perombakan terjadi saat adanya Pandemi Covid-19 di berbagai layanan co-working space yang berada di Kawasan Pariwisata Canggu. Hasil penelitian menunjukan selama pandemi berlangsung ditemukan berbagai permasalahan baru yang dihadapi layanan co-working space khususnya ketika layanan co-working space dibatasi dengan kebijakan pemerintahan seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSSBB Transisi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Adapun permasalahan yang muncul akibat kebijakan tersebut sangatlah beragam mulai dari, permasalahan terkait keterbatasan ketersediaan area kerja, harga co-working yang terlalu tinggi, hingga permasalahan terkait pelayanan dan kenyamanan member.

Permasalahan terkait dengan keterbatasan ketersediaan area kerja bagi para member terjadi karena adanya kebijakan pembatasan jumlah maksimal orang dalam suatu area indoor dan juga kebijakan menjaga jarak aman yang dikeluarkan pemerintah. Pengelola sejumlah layanan co-working space menuturkan bahwa kebijakan pemerintah ini mengharuskan mereka untuk melakukan pengurangan jumlah wisatawan digital nomad yang

dapat mengakses ruang kerja sehingga kerap kali wisatawan digital nomad yang datang tetapi bukan member tidak memperoleh area kerja. Layanan coworking space hanya menyediakan area kerja bagi para member tetap mereka.

Harga layanan co-working space juga kerap kali dirasa terlalu mahal mengingat kondisi sosial ekonomi saat pandemi yang tidak stabil. Hasil penelitian menemukan banyak wisatawan digital nomad baik member atau non-member yang mengeluhkan hal tersebut. Permasalahan yang juga kerap ditemui selama pandemi adalah keluhan terkait kenyamanan member yang berkurang akibat adanya penerapan kebijakan pemerintah seperti keharusan menggunakan masker saat berada di area indoor.

Fase Pengorganisasian Kembali (Reorganization)

Fase pengorganisasian kembali atau reorganization merupakan sebah fase yang dapat dikatakan sebagai solusi dari permasalahan yang ada pada fase pelepasan atau release. Dalam fase ini akan terlihat secara utuh perubahan tata kelola serta strategi resiliensi dari berbagai permasalahan yang ada di fase sebelumnya. Fase perorganisasian kembali dalam penelitian ini berlangsung ketika telah memasuki era new normal, dimana berbagai upaya telah diambil oleh para pengelola layanan co-working space dalam mengatasi berbagai permasalahan.

Era new normal diartikan sebagai sebuah era baru untuk hidup berdampingan dengan pandemi. Hal ini terlihat jelas dengan pengurangan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak seketat sebelumnya. Salah satu aksi adaptif yang diterapakan diseluruh layanan co-working space yang berada di Kawasan Pariwisata Canggu adalah penerapan protokol kesehatan mulai dari pengecekan suhu tubuh, kewajiban penggunaan masker, dan membatasi jarak ketika berada di ruangan yang diterapkan bagi para member dan seluruh pekerja. Sedangkan, untuk mengatasi permasalahan terkait harga layanan coworking space yang terlalu tinggi saat pandemic, berbagai layanan hadir dengan memberikan penawaran harga baru yang beragam dengan keunggulan masing – masing sehingga wisatawan digital nomad dapat menyesuaikan dengan kebutuhannya.

Dalam mencipatakan sebuah ketahanan atau resiliensi berbagai layanan co-working space di Kawasan Pariwisata Canggu memiliki cara yang berbeda. Berbagai layanan tidak menggunakan potongan harga, promosi besar-besaran, berbagai macam diverisifikasi produk dan hal-hal yang umumnya dilakukan berbagai usaha jasa atau produk ketika menghadapi sebuah krisis. Hasil penelitian menemukan bahwa kunci resiliensi atau ketahanan yang ada di berbagai layanan co-working space di Kawasan Pariwisata Canggu terletak pada loyalitas member itu sendiri. Adapun strategi atau upaya untuk

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023

membangun loyalitas tersebut antara lain sebagai berikut:

  • 1.    Mendengarkan Member (listening to the member).

Keberadaan dan kehadiran member merupakan kunci utama dari keberhasilan layanan co-working, member menjadi sumber pendapatan utama dan untuk bertahan khususnya dalam menghadapi sebuah krisis co-working space harus mampu mempertahankan membernya. Selama krisis Pandemi Covid-19, berbagai layanan co-working space harus menjamin kenyamanan, kesenangan, kepuasan, serta didukung dengan pembaharuan fasiltas yang sesuai dengan kebutuhan para member.

Pandemi Covid-19 tentu membawa dampak yang cukup signifikan bagi para member, untuk itu selain menjadi tempat untuk bekerja layanan coworking space harus dapat menjadi ‘rumah’ atau ‘safe place’ bagi para member untuk berkeluh kesah dan mendengarkan apa yang menjadi kebutuhannya ditengah krisis yang berlangsung. Dengan demikian, wisatawan akan merasa nyaman dan tentunya akan meningkatkan kemungkinan untuk tetap bertahan di layanan co-working space yang telah dipilihnya.

  • 2.    Memberikan Pelayanan Terbaik (services)

Pelayanan merupakan hal yang utama dalam sebuah usaha jasa dan bagi digital nomad ketika pelayanan sebuah layanan co-working sudah baik maka terdapat kecenderungan digital nomad akan tetap tinggal. Namun, jika pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan maka mereka kerap kali akan beralih dan memilih untuk mencari tempat lain. Hasil penelitian menemukan bahwa salah satu bentuk pelayanan yang paling banyak diterapkan di berbagai layanan co-working space yang berada di Kawasan Pariwisata Canggu ketika menghadapi krisis Pandemi Covid-19 adalah personalize services.

Personalize service diartikan sebagai sebuah upaya mendekatkan diri dengan para member, mengenal dan memahami lebih dalam. Setidaknya para pekerja di layanan co-working space harus mengenali wajah, mengatahui nama, dan hal-hal sederhana lainnya seperti menyapa para member dan menanyakan bagaimana kabar mereka. Pelayanan seperti inilah yang nantinya akan membuat para member merasa nyaman dan memutuskan untuk terus menjadi bagian dari sebuah layanan co-working space. Kerahmatahaman dari para pekerja serta budaya lokal juga kerap kali menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan wisatawan digital nomad ketika hendak memilih destinasi dan layanan coworking (Alexander, 2017).

  • 3.    Peran Member (word of mouth)

Resiliensi atau ketahanan yang dimiliki berbagai layanan co-working space yang berada di Kawasan Pariwisata Canggu juga tidak lepas dari peran serta member itu sendiri. Ketika layanan co-

working telah memberikan pelayanan terbaiknya, maka secara tidak langsung akan terbangun sebuah loyalitas member. Loyalitas inilah yang kemudian mendorong member untuk memberikan rekomendasi dan informasi kepada orang lain, teman, maupun keluarganya untuk juga ikut serta menjadi bagian dari layanan co-working space tersebut. Tindakan ini kerap kali disebut dengan istilah word of mouth.

Menurut Widjaja (2016) word of mouth adalah tindakan konsumen memberikan informasi kepada konsumen lain (antar pribadi) non-komersial baik merek, produk maupun jasa. Konsumen akan lebih percaya kepada merek yang sudah teruji di masyarakat (Kartajaya, 2017; Eriza, 2017). Hal inilah yang terjadi pada berbagai layanan co-working space di Kawasan Pariwisata Canggu. Meski berada ditengah krisis akibat pandemi ketika jumlah kunjungan wisatawan menurun, layanan co-working space di kawasan ini tidak pernah mengalami penurunan jumlah member aktif.

Hasil penelitian menunjukan hal sebaliknya, dimana wisatawan digital nomad yang hendak bergabung sangatlah banyak sehingga perlu ditetapkan waiting list mengingat pembatasan kapasitas selama pandemi. Rupanya hal ini terjadi karena adanya peran dari para member tetap yang merekomendasikan layanan co-working tersebut kepada teman sesama digital nomad yang dikenalnya maupun memberikan rekomendasi dan ifnormasi tentang layanan co-working tersebut dalam beragam grup komunitas digital nomad baik offline maupun online.

Disamping itu, sebagai upaya menunjang resiliensi atau ketahanannya layanan co-working space di Kawasan Pariwisata Canggu juga melakukan optimalisasi media sosial sebagai lahan marketing ketika krisis sedang berlangsung. Adapun alasan pemilihan strategi marketing menggunakan sosial media sangatlah terkait dengan biaya yang jauh lenih murah dan kemudahan menjangkau lebih banyak orang daripada harus melakukan strategi marketing seperti menggunakan jasa influencer atau content creator yang menawarkan harga yang jauh lebih tinggi dan efiensi dalam jangkauannya tidak seluas penggunaan sosial media.

  • IV. KESIMPULAN

Sebagaimana yang telah dibahas pada bagian sebelumnya analisis dalam penelitian ini menggunakan konsep siklus adaptif empat fungsi dari Holing (2001). Adapun hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat dua dari empat fase yang tidak dilalui layanan co-working space yang berada di Kawasan Pariwisata Canggu ketika krisis Pandemi Covid-19 yakni, fase pertumbuhan (growth/exploitation) dan fase konservasi (conservation). Kedua fase ini sudah dilalui diawal perintisan karir di tahun 2016 hingga

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023

2017 jauh sebelum pandemi berlangsung Sedangkan, dua fase lainnya yakni fase perombakan (release) dan fase pengorganisasian kembali (reorganization) dilalui ketika krisis Pandemi Covid-19 sedang berlangsung. Pada fase perombakan kembali, layanan co-working space dihadapkan dengan berbagai permasalahan mulai dari keterbatasan ketersediaan area kerja, harga co-working yang terlalu tinggi, hingga permasalahan terkait pelayanan dan kenyamanan member akibat penerapan kebijakan pemerintah saat krisis berlangsung.

Kendati demikian, permasalahan yang dibahas sebelumnya berhasil diatasi ketika memasuki fase pengorganisasian kembali yang ditandai dengan adanya peralihan ke era new normal (hidup berdampingan dengan pandemi). Adapun strategi resiliensi dan ketahanan yang ditunjukan layanan coworking space yang berada di Kawasan Pariwisata Canggu muncul dari adanya loyalitas member yang terbangun    dari beberapa upaya seperti:

mendengarkan keluh kesah member dan memberikan pelayanan terbaik, dan hadirnya word of mouth dari member layanan co-working itu sendiri.

Hasil penelitian ini juga memiliki dua implikasi yakni teoritis dan juga praktis. Secara teoritis penelitian ini memiliki implikasi dalam merumuskan konsep destinasi digital nomadism dan konsep strategi resiliensi yang belum dikembangkan sebelumnya. Konsep ini kemudian dapat menjadi landasan yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya maupun dikembangkan sesuai indikator yang lebih baik dan mutakhir. Disamping itu, penelitian juga berkontribusi dalam meperkaya literatur mengenai strategi resiliensi usaha jasa dalam menghadapi krisis yang masih sangat minim.

Sedangkan, secara praktis hasil penelitian mengimplikasikan adanya strategi resiliensi atau ketahanan usaha jasa co-working space yang dapat digunakan sebagai bahan evaluasi para pemangku kepentingan (stakeholder) pariwisata di berbagai kawasan tidak hanya Canggu dalam mendukung keberlangsungan usaha jasa co-working space saat krisis di masa yang akan datang. Sejumlah strategi tersebut didasarkan pada hasil analisis berbasi fakta empiris yang sangat penting dalam perumusan kebijakan bagi pihak terkait pasca krisis.

REFERENSI

Aryadi, Yuswan. (2017). Co-working Space di Kota Pontianak. Jurnal Online Mahasiswa. Vol/5. No/2. Universitas Tanjungpura.

Barlian, Eri. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Padang: Penerbit Sukabina Press.

Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Putra Grafika.

Cahyani, P. W. A. (2019). Resiliensi Masyarakat Eks Lokalisasi Gandul Desa Gesing. Kecamatan Semanding Kabupaten Tuban Dalam Tinjauan Teori

Struktural Fungsi Talcott Parson. (Doctoral DisertationI). Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya.

Chang, Chia-Lin, Michael McAleer, Vicente Ramos. (2020). A Charter for Sustainable Tourism After COVID-19. Sustainability,                (12):                1-4

http://dx.doi.org/10.3390/su12093671.

Cheer, J.M. & Lew, A.A. (2018). Tourism, Resilience and Sustainability: Adapting to Social, Political and Economic Change (1st Edition). United Kingdom: Routledge.

Deguzman, Genevieve. Andrew Tang. (2001). Working in the “Un office” a Guide to Coworking for Indie Workers, Small Businesses, and Nonprofits. Night Owls Press. San Francisco, C.

Eriza, Z. N. (2017). Peran Mediasi Citra Merek dan Persepsi Risiko pada Hubungan antara Electronic Word of Mouth (E-WOM) dan Minat Beli (Studi pada Konsumen Kosmetik E-Commerce di Solo Raya). Komuniti:  Jurnal Komunikasi Dan Teknologi

Informasi.

Haking, J. (2017). Digital Nomad Lifestyle A Field Study in Bali. KTH Royal Institute of Technology School of Industrial Engineering and Management. Stocholm: Sweden.

Holling CS and GK Meffe. (1996). Command and Control and The Pathology of Natural Resource Management. Conservation Biology 10:328-337.

Holling CS. 2001. Understanding The Complexity of Economic, Ecological, and Social Systems. Ecosystems 4, 390–405.

Jordan, Elizabeth & Amy Javernick-Will. (2012). Measuring Community Resilience and Recovery: A Content Analysis of Indicators. Construction  Research

Congress. University of Colorado: Boulder.

Kartajaya,    Hermawan.    (2017).    Marketing   for

Competitiveness: Asia To The World-In The Age Of Digital. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Kartika, I Made, dkk. (2020). Pengaruh Perkembangan Pariwisata Terhadap Perubahan Ahli Fungsi Lahan di Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Jurnal Kajian Pendidikan FKIP Universitas Dwijendra. Vol/11. No/1. Universitas Dwijendra.

Kusmayadi dan Endar Sugiarto. (2000). Metodologi Penelitian dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Leforestier, A. (2009). The co-working space concept. Ahmedabad: CINE Term Project.

Ma, Haiyan, Yung-ho Chiu, Xiaocong Tian, Juanjuan Chang, Quan Quo. (2020). Safety or Travel: Which is More Important? The Impact of Disaster Events on Tourism. Sustainability,        12        (3038):        1-12.

http://dx.doi.org/10.3390/su12073038.

Makimoto, T., & Manners, D. (1997). Digital nomad. New York: Wiley.

Makimoto, Tsugio. (2013). The Age of the Digital Nomad: Impact of CMOS Innovation. Appeared in IEEE Solid State Circuits, Vol.5, No.1, PP.40-47.

Mancinelli, Fabiola.  (2020). Digital Nomads: Freedom,

Responsibility and The Neoliberal Order. Information Technology and Tourism. Heidelberg: Springer Verlag GmbH.  https://doi.org/10.1007/s40558-

020-00174-2.

Mao, Chi-Kuo, Cherng G. Ding, Hsiu-Yu Lee. (2010). Post-SARS Tourist Arrival Recovery Pattern: An Analysis Based on a Catastrophe Theory. Tourism

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 11 No 1, 2023

Management,            31:            855-861.

https://doi.org/10.1016/j.tourman.2009.09.003.

Metz, Josh, & Gina Archuleta. (2016). Market Feasibility Study Coworking Space. Institute for Innovation & Economic Development.

Mohn, T. (2017). The Digital Nomad Life: Combining Work and Travel. The New York Times.

(Online).(https://www.nytimes.com/2017/04/03 /business/digital-nomads-work-     tourism.html,

diakses 11 Mei 2022 pukul 01.09 WITA).

Moreira, Antonio Carrizo.  (2013).  O Agora Das

Bibliotecaspublicasou a Biblioteca Agora. Trabalho De Grupo 2.Coimbra.

Mouratidis, Georgios. (2018). Digital nomadism: Travel, Remote Work and Alternative Lifestyles. Tesis. Lund: Lund                                  University.

https://lup.lub.lu.se/studentpapers/search/publica tion/8948916.

Muhadjir, Prof Dr. H. Noeng. (1996) Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasisn.

Mulyana, Cipta, dkk.  (2020).  Persepsi dan Motivasi

Wisatawan Digital Nomad Berwisata di  Desa

Tibubeneng, Canggu, Kuta  Utara. Jurnal  IPTA

(Industri Perjalanan Wisata). Vol/8. No/2. Universitas Udayana.

Narottama, Nararya. (2018). Pariwisata dan Digital Nomad di Bali: Konversi Modal Budaya menjadi Modal Ekonomi. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers Pariwisata dalam Pusaran Gelombang Revolusi Digital 4.0. Denpasar: Udayana University Press.

Nash, Evyn Caleece, Mohammad Hossein Jarrahi, Will Sutherland. (2020). Nomadic Work and Location Independence: The Role of Space in Shaping the Work of Digital nomads. Human Behaviour and Emerging Technologies:                                    1-12.

https://doi.org/10.1002/hbe2.234.

Novriandi, R. (2017). Lima Keuntungan Jadi Pekerja Nomad (https://www.kincir.com/chillax/job-education/5-keuntungan-jadi-pekerja-digital-nomad).

Olga, Hannonen. (2020). In search of a Digital nomad: Defining the Phenomenon. Information Technology & Tourism.

Prester, Julian,  Dubravka  Cecez-Kecmanovic. (2019).

Becoming a Digital nomad: Identity Emergence in The Flow of  Practice.  Munich:  Proceeding 40th

International Conference on Information Systems.

Purgat, Malgorzata Bartosik. (2018). Digital Nomads-

Entrepreneurship or New Lifestyle? Polandia Poznan University.

Septiani, Noni, Pedia Aldy, Yohannes  Firzal. (2017).

Perancangan Coworking Space  di Pekanbaru

Berdasarkan Prinsip Desain Ludwig Wies Van Der Rohe. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Teknik, 4 (1): 1-9.

Silaen, Sofar, Widiyono. (2013). Metodologi Penelitian Sosial untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Bogor : Penerbit In Media.

Sills, Campbell, A. & Stein, M. B. (2007). Psychometric analysis and refinement of the Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) validation of a 10-Item Measure of Resilience. Jurnal of Traumatic Stress. 20(6), 1019-1028.

Situmorang, Fransisco. (2022). Tourism Recovery Based on Digital Nomadism Post Covid-19 in Ubud Bali. Aceh: Syiah Kuala University Press.

Sugiyono (2015). Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung: Alfabeta.

Widjaja, A. T. (2016). Pengaruh Word Of Mouth dan Electronic Word Of Mouth Terhadap Purchase Intention: Sebuah Studi Kasus Mengenai Perilaku Konsumen Terhadap Jasa Ojek Online Gojek. Bisnis Dan Manajemen, 53, 241-253.

137