p-ISSN: 2338-8811, e-ISSN: 2548-8937

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 10 No 2, 2022

Analisis Kapasitas dan Pemberdayaan Masyarakat di Desa Wisata Bagot, Samosir

Bernadet Sihombinga,1, John Suprihantoa,2

1 [email protected], 2 [email protected]

a Magister Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada

Abstract

New tourist villages generally face general problems such as a lack of understanding about tourism and community empowerment, so the community's lack of ability to cultivate the potential of the region. By equipping themselves with the CCB concept of good management can maximize the performance of tourist villages. The problems that arise related to the capacity faced by the Bagot Tourism Village. The purpose of this study is to identify the capacity of individuals, organizations, and communities in the Bagot Tourism Village and to evaluate the capacity for community empowerment in the Bagot Tourism Village. A qualitative approach was used in this study by conducting in-depth interviews with informants who benefited directly and indirectly from the Bagot Tourism Village. The results of the analysis that has been carried out that it was found that the Bagot Tourism Village at the individual, organizational and community level has a moderate capacity. The evaluation carried out on the empowerment and capacity of the Bagot Tourism Village shows that the social empowerment and psychological empowerment of the Bagot Tourism Village community are in the high category and political empowerment which is felt to be in the medium category.

Keywords : Community capacity; Empowerment; Tourism village

  • I.    PENDAHULUAN

Berdasarkan Statistik Potensi Desa 2018 oleh Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, tercatat Indonesia memiliki 7.275 desa wisata yang tersebar merata di seluruh provinsi. Menjamurnya desa wisata di Indonesia tentu dikarenakan dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat, seperti memicu peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, mengurangi urbanisasi masyarakat dari desa ke kota, dan meningkatkan keberadaan industri kecil dan menengah yang memanfaatkan produk lokal. Dampak-dampak positif tersebut juga yang menyebabkan masyarakat Lumban Sitanggang terdorong untuk membentuk Desa Wisata Bagot. Desa Wisata Bagot terletak di Desa Parlondut, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir.

Desa Wisata Bagot menawarkan atraksi berupa minuman khas Batak, yaitu tuak, yang merupakan minuman hasil fermentasi dari buah nira. Desa Wisata Bagot sendiri dikelola oleh Pokdarwis Desa Wisata Bagot. Awal pembentukan Desa Wisata Bagot karena didorong keinginan masyarakat untuk memajukan kampungnya setelah melihat kesuksesan beberapa desa wisata di media sosial. Menurut Ghaderi et al (2018), permasalahan umum yang dihadapi oleh desa wisata baru adalah kurangnya pemahaman mengenai pariwisata serta kurangnya kemampuan untuk mengolah informasi, sehingga masyarakat desa memiliki ketergantungan dengan tenaga ahli yang berasal dari luar daerah. Permasalahan lain yang dimiliki oleh desa wisata yang baru berkembang adalah belum maksimalnya pemberdayaan masyarakat sehingga kurangnya kemampuan masyarakat untuk mengolah potensi daerahnya (Nzama, 2010).

Memperlengkapi diri dengan kapasitas pengelolaan yang baik dapat memaksimalkan kinerja desa wisata sehingga mengoptimalkan manfaat desa wisata serta membantu mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi (Noho, 2014). Noho (2014) menambahkan bahwa kapasitas masyarakat dapat diketahui melalui identifikasi kebutuhan serta permasalahan yang dihadapi oleh pengelola desa wisata terlebih dahulu. Kesadaran pentingnya identifikasi kapasitas dicetuskan pertama kali oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1970-an, dengan nama community capacity building atau CCB. Community capacity building dicetuskan dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan tentang kebijakan namun tetap mempertimbangkan batasan serta kebutuhan masyarakat setempat (United Nations Committee of Experts on Public Administration, 2006).

CCB didefinisikan sebagai sekumpulan aset yang digunakan oleh komunitas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kemampuan dalam menganalisis dan mengevaluasi (Ghaderi et al., 2018). Beberapa ahli menyatakan bahwa CCB merupakan komponen penting dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata khususnya di pedesaan karena CCB mendorong partisipasi masyarakat setempat (Ghaderi et al., 2018). Sebab jika kapasitas masyarakat lokal tidak memadai, maka akan terjadi dominasi pelaku pariwisata dari luat sehingga manfaat pariwisata tidak sampai pada masyarakat lokal (Ahmeti, 2013).

Konsep pemberdayaan masyarakat juga tidak terlepas dari dari konsep CCB. Sebab melalui identifikasi kapasitas komunitas maka pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan secara optimal dan merata serta masyarakat dapat melihat peluang dari pengembangan pariwisata di daerahnya

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 10 No 2, 2022

(Laverack & Thangphet, 2009). Pemberdayaan sendiri bermanfaat agar masyarakat dapat secara mandiri mengorganisirnya diri, membantu masyarakat untuk berani mengungkapkan aspirasinya, membantu menyelesaikan persoalan-persoalan dalam dinamika pembangunan.

Namun implementasi CCB masih belum dilakukan di sebagian besar pengembangan pariwisata sehingga menjadi salah satu alasan mengapa pariwisata terhambat (Aref, 2011). Hal yang sama juga terjadi Desa Wisata Bagot, karena menurut pengakuan dari ketua Pokdarwis, CCB belum diimplementasikan karena sebagian besar masyarakat Lumban Sitanggang memiliki latar belakang pekerjaan sebagai petan dan penenun sehingga pemahaman mengenai pariwisata relatif minim. Sementara itu menurut Ghaderi et al (2018) belum diterapkannya CCB pada pengembangan pariwisata dapat mengakibatkan kurang tepatnya solusi dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh pengelola pariwisata.

Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Desa Wisata Bagot adalah belum tampaknya hasil yang signifikan dari pelatihan-pelatihan yang diikuti, seperti pelatihan digital marketing yang pernah diadakan oleh Kemenparekraf kepada beberapa desa wisata yang ada di Samosir. Sayangnya pengelolaan platform yang digunakan untuk digital marketing, seperti Facebook, belum dikelola secara maksimal. Kemudian Pokdarwis Desa Wisata Bagot belum melakukan kerja sama dengan pihak swasta. Publikasi dari pihak luar yang tersebar di media massa selama ini merupakan inisiatif dari pihak luar saja. Permasalahan lain yang dihadapi keanggotaan Pokdarwis yang didominasi dari masyarakat Lumban Sitanggang, meskipun seluruh masyarakat dari Desa Parlondut diajak bergabung ke Pokdarwis.

Ketika konsep CCB belum diimplementasikan dengan baik, maka akan timbul permasalahan yang berkaitan dengan kapasitas meskipun pelatihan-pelatihan yang berkaitan tentang peningkatan kapasitas telah diikuti oleh anggota Pokdarwis. Selain itu, pemberdayaan masyarakat masih tergolong kecil melihat dari jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pengelolaan Desa Wisata Bagot.

  • II.    METODE PENELITIAN

Penelitian ini akan dilakukan dengan metode kualitatif sebagai pendekatan penelitian, dengan tujuan dari penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah ingin memeriksa, menerangkan, menggambarkan, mendeskripsikan secara kritis, atau menggambarkan suatu fenomena sosial yang terjadi di masyarakat dan peneliti berperan untuk menemukan makna dari fenomena tersebut (Yusuf,

  • 2016) . Metode kualitatif sebagai metode yang paling cocok untuk mengevaluasi aktivitas kapasitas masyarakat atau community capacity building (selanjutnya disebut CCB) yang terdapat di pedesaan serta sikap para pemangku kepentingan pariwisata yang terdapat di desa (Ghaderi, 2018). Desa Wisata Bagot berdiri pada tanggal 11 September 2020 dan bersamaan pula dengan pendirian Pokdarwis Desa Wisata Bagot. Awal mula tercetusnya ide pendirian Desa Wisata Bagot berasal dari Pak Siboro. Ide dari Pak Siboro disambut baik oleh Kepala Desa Parlondut, kemudian dilakukan sosialisasi dengan masyarakat Lumban Sitanggang. Menurut ketua Pokdarwis Desa Wisata Bagot, masyarakat termotivasi untuk bekerja sama mendirikan Desa Wisata Bagot bukan karena faktor manfaat ekonomi yang akan didapat nantinya, melainkan kebanggaan bisa mengangkat desa mereka sebagai objek wisata. Peneliti tertarik untuk memiliki Desa Wisata Bagot sebagai lokasi penelitian sebab desa wisata tersebut relatif baru dan juga belum banyak organisasi Pokdarwis di kabupaten Samosir. Konsep CCB yang menjadi fokus penelitian masih belum banyak diterapkan padahal CCB menjadi salah satu prasyarat dalam pengembangan pariwisata (Aref, 2011; Ghaderi et al., 2018). Sehingga dengan memilih desa wisata yang relatif baru, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kebermanfaatan bagi desa wisata tersebut. Penentuan informan yang dilakukan menggunakan teknik snowball, yaitu informan yang dipilih berdasarkan rujukan dari informan semula yang diketahui sesuai dengan pertimbangan dan tujuan dari penelitian (Hayati, 2022).

Informan yang diwawancara merupakan anggota Pokdarwis serta masyarakat yang tinggal di Desa Wisata Bagot, Lumban Sitanggang yang terlibat secara langsung dalam kegiatan operasional Desa Wisata Bagot serta memperoleh manfaat langsung dari Desa Wisata Bagot, seperti ketua Pokdarwis, anggota Pokdarwis Desa Wisata Bagot yang terdiri dari seksi humas, paragat, pembangunan, peralatan dan perlengkapan, dokumentasi. Adapun juga informan yang tidak terlibat secara langsung dalam operasional Desa Wisata Bagot namun tinggal di sekitar dusun Lumban Sitanggang diwawancarai untuk mengetahui bagaimana para informan tersebut turut merasa pemberdayaan dari Desa Wisat Bagot. Para informan yang tidak terlibat secara langsung yaitu Kepala Desa Parlondut serta masyarakat yang tinggal di sekitar Lumban Sitanggang. Teknik pengumpulan data yang pertama dilakukan adalah wawancara, yaitu wawancara semi struktur yang

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 10 No 2, 2022

dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara bebas kepada orang yang diwawancarai, namun masih dalam koridor pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya (Sugiyono, 2018). Pada penelitian ini akan dilakukan analisis dengan menggunakan analisis interaktif model Miles & Hubberman (Biswan & Widianto, 2019), yang mana membagi langkah-langkah dalam kegiatan analisis data dengan beberapa bagian yaitu pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusions). Pengumpulan data melalui wawancara memakan waktu sekitar 2 minggu. Setelah itu, peneliti mengonversikan hasil wawancara maupun dokumentasi yang dilakukan menjadi sebuah transkrip, mengetik kembali catatan-catatan di lapangan, serta memilah-milah dan menyusun data tersebut sesuai dengan jenis dan peruntukan dari sumber informasi. Reduksi data merupakan kegiatan pemilahan, penyederhanaan, pemisahan data “mentah” dari catatan-catatan lapangan yang bertujuan untuk memberikan deskripsi atau gambaran yang lebih tajam terhadap hasil pengamatan yang telah dilakukan (Biswan & Widianto, 2019). Terdapat penentuan parameter untuk mengukur indikator yang digunakan dalam penelitian pada tahap ini. Parameter yang berkaitan dengan kapasitas masyarakat diambil dari penelitian terdahulu yaitu penelitian dari Noho (2014) dan Prafitri & Damayanti (2016). Indikator-indikator yang diuji diberi pembobotan dan terbagi dalam 3 nilai, dengan nilai 3 sebagai bobot tertinggi dan nilai 1 sebagai bobot terendah. Hasil pembobotan dari seluruh indikator tersebut menggunakan rumus interval seperti di bawah ini : Interval =

Skor tertinggi—skor terendah jumlah kelas

Nilai bobot tertinggi adalah 3 dan nilai bobot terendah adalah 1. Penarikan kesimpulan menurut Miles & Huberman (Biswan & Widianto, 2019) merupakan sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Desa Wisata Bagot

Desa Wisata Bagot terletak di huta (kampung) Lumban Sitanggang, Desa Parlondut, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. Desa Wisata Bagot sendiri terletak di dataran tinggi dan jarak dari jalan raya, yaitu Jl. Gereja sejauh 600 meter. Jarak Desa Wisata Bagot ke kota Pangururan sejauh 5 km atau menempuh perjalanan kurang lebih 10 menit. Pekerjaan utama dari masyarakat Lumban Sitanggang antara lain petani, paragat, dan penenun. Desa Wisata Bagot disahkan sebagai desa wisata oleh Bupati Samosir pada tanggal 20 September 2020 dan dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Wisata Bagot. Atraksi utama yang ditawarkan di Desa Wisata Bagot adalah bagot. Bagot merupakan minuman dari hasil fermentasi buah nira. Pohon nira memiliki buah yang dalam bahasa batak disebut sebagai halto. Buah halto umumnya juga dijadikan sebagai kolang kaling. Proses penyadapan buah nira yang dilakukan pertama adalah paragat (orang yang berprofesi sebagai penyadap pohon nira) memanjat pohon nira yang biasa tumbuh di sekitar tebing-tebing terjal.

Bagot yang baru disadap berwarna putih, rasanya manis, dan tidak mengandung alkohol. Bagot tersebut disebut sebagai bagot na marhalto. Bagot yang kemudian dijual merupakan bagot hasil

Gambar 1. Minuman bagot (http://desawisatabagotparlondut.com/)

fermentasi dengan kulit kayu raru selama semalam yang kemudian bagot berubah rasa menjadi lebih pahit, mengandung alkohol dan berwarna kekuningan. Karena bagot yang dijual di Desa Wisata Bagot telah mengandung alkohol, maka pengelola melakukan pembatasan pemesanan bagot yang dikonsumsi di tempat, yaitu sebanyak 2 gelas. Dalam 1 hari, banyaknya bagot yang dapat dijual adalah sekitar 15 liter yang kemudian dijual dalam sebuah teko minum 1 liter untuk 4 orang. Bagot yang dijual umumnya habis dalam 1 hari, sehingga perkiraan

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 10 No 2, 2022

pengunjung yang datang sekitar 60 orang per harinya.

Atraksi utama yang ditawarkan di Desa Wisata Bagot adalah minuman bagot serta aneka makanan yang menggunakan bahan dasar dari bagot, antara lain serabi bagot, bolu bagot, serta aneka gorengan. Minuman bagot disajikan dalam gelas bambu yang sebelumnya dibakar terlebih dahulu serta teko yang disajikan juga terbuat dari bambu. Penggunaan bambu dapat menjaga keaslian dari rasa bagot serta kondisi baambu yang dipanaskan juga dapat menjaga cita rasa asli bagot itu sendiri. Wisatawan dapat menikmati bagot di pondok-pondok kayu yang berada di halaman depan rumah masyarakat Lumban Sitanggang. Terdapat 6 buah pondok kayu yang berbahan dasar bambu, kulit kayu serta terdapat ulos yang menghiasi pondok kayu tersebut. Selain menikmati bagot, pengelola juga menyediakan spot foto yang memiliki latar belakang Pusuk Buhit. Amenitas yang tersedia di Desa Wisata Bagot adalah tempat parkir yang sebenarnya merupakan halaman rumah warga Lumban Sitanggang, dengan panjang sekitar 30 meter dan lebar sekitar 10 meter. Tempat parkir juga tersedia di luar huta Lumban Sitanggang. Terdapat sebuah homestay dari rumah salah satu warga Lumban Sitanggang yang telah disiapkan untuk dihuni oleh wisatawan, namun perizinan pengoperasian homestay masih belum didapat oleh Desa Wisata Bagot. Toilet umum baru dapat dibangun pada tahun 2022, sebab biaya pembangunan toilet baru dapat dianggarkan dalam dana desa pada tahun 2022. Selama 1,5 tahun, wisatawan yang berkunjung ke Desa Wisata Bagot harus menggunakan kamar mandi warga Lumban Sitanggang.

Wisatawan yang hendak berkunjung ke Desa Wisata Bagot harus menggunakan kendaraan pribadi, sebab masih belum ada transportasi umum untuk menuju Desa Wisata Bagot. Dari jalan utama, Desa Wisata Bagot berjarak 600 meter dengan kondisi jalan yang terus menanjak. Kondisi jalan menuju Desa Wisata Bagot cukup baik, namun ada beberapa titik kerusakan pada rabat beton. Lebar dari jalan menuju Desa Wisata Bagot sekitar 4 meter, atau hanya muat untuk 1 motor dan 1 mobil. Akses informasi yang dapat diakses oleh wisatawan ketika hendak berkunjung ke Desa Wisata Bagot adalah laman Facebook Desa Wisata Bagot. Desa Wisata Bagot sebenarnya juga memiliki website, namun pengelola tidak lagi menggunakan website tersebut untuk memperbaharui informasi mengenai kegiatan di Desa Wisata Bagot. Hal ini dikarenakan laman Facebook lebih dikenal dan mudah digunakan oleh pengelola untuk menyebarkan informasi.

Kapasitas Level Individu

Terdapat 4 indikator yang digunakan untuk mengukur kapasitas level individu, yaitu pemahaman pariwisata, mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan pariwisata, memiliki akses untuk memperoleh informasi mengenai pengoperasian kegiatan pariwisata, dan sense of community (Prafitri & Damayanti, 2016; Noho, 2014). Hasil wawancara dengan para anggota pokdarwis menunjukkan bahwa tidak semua anggota memiliki dasar pemahaman wisata kuliner, namun dapat menyebutkan apa saja yang menjadi daya tarik di Desa Wisata Bagot. Pengetahuan dan pemahaman mengenai pariwisata akan mempengaruhi sikap dan cara pengelola maupun masyarakat dalam mengelola pariwisata yang ada di tempatnya (Aref, 2011). Meskipun tidak didukung dengan pendidikan formal maupun non formal atau pengalaman pekerjaan di bidang pariwisata, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan ataupun ketrampilan dari pelatihan (Noho, 2014). Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa orang-orang yang bekerja di industri pariwisata yang memiliki pendidikan formal yang relatif rendah, sehingga melalui pelatihan-pelatihan yang relevan maka gap pengetahuan ataupun ketrampilan yang dibutuhkan tidak begitu besar (Victurine, 2012).

Menurut penyataan dari Ketua Pokdarwis dan kepala desa, setelah Desa Wisata Bagot berdiri, Dinas Pariwisata memberikan dukungan, salah satunya dengan menawarkan berbagai pelatihan untuk pengelolaan desa wisata. Pelatihan diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan bekerja sama dengan Badan Pelatihan Kerja (BLK) dari Dinas Ketenagakerjaan. Pelatihan-pelatihan yang ternyata tidak menjawab kebutuhan para anggota Pokdarwis Desa Wisata Bagot menjadi sia-sia sebab pelatihan tersebut tidak dapat diterapkan di Desa Wisata Bagot. Menurut pengakuan dari Ketua Pokdarwis bahwa mereka pernah mendapatkan undangan pelatihan homestay dari Dinas Kepariwisataan Kabupaten Samosir, sementara di Desa Wisata Bagot masih belum menyediakan homestay. Pelatihan-pelatihan yang tidak relevan tersebut akan berdampak pada tidak adanya penambahan ketrampilan dan pengetahuan dari anggota Pokdarwis sendiri. Pelatihan yang ditawarkan telah dirancang oleh Dinas Pariwisata dan pelatihan tidak bersifat wajib. Karena pelatihan telah dirancang sebelumnya oleh Dinas Pariwisata, berbagai pelatihan yang ditawarkan cenderung tidak menyasar dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat setempat.

Tersedianya akses untuk memperoleh informasi khususnya yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata sangat penting bagi pengelola desa wisata untuk mengelola kegiatan pariwisata. Meskipun

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 10 No 2, 2022

masyarakat Lumban Sitanggang tidak memiliki latar belakang pendidikan maupun pekerjaan sebelumnya di bidang pariwisata, awal mula mereka memperoleh pandangan mengenai pariwisata dari Pak Siboro, mantan kepala bidang di Dinas Pariwisata. Menurut ketua pokdarwis, Pak Siboro terus memberikan motivasi kepada masyarakat setempat untuk berani membuka desa wisata. Semangat yang diberikan oleh Pak Siboro kemudian membuahkan hasil dan masyarakat Lumban Sitanggang memberikan sinyal positif dan kemudian masyarakat itu pula yang mulai merealisasikan desa wisata tersebut. Dukungan secara moril yang diberikan oleh Pak Siboro juga membuat masyarakat Lumban Sitanggang merasa percaya diri dengan potensi lokal yang mereka miliki sehingga menumbuhkan rasa keberanian untuk membuka Desa Wisata.

Adanya rasa bangga terhadap kegiatan pariwisata yang berlangsung di daerahnya merupakan salah satu bentuk ukuran untuk menilai sense of community. Rasa bangga terhadap kegiatan pariwisata dapat dalam bentuk berbagai macam. Di Desa Wisata Bagot, seluruh informan menjawab sangat bangga terhadap Desa Wisata Bagot. Mereka menyebutkan bahwa kebanggaan terhadap Desa Wisata Bagot timbul karena mereka melihat Desa Wisata Bagot sudah cukup terkenal di wilayah Samosir dan bahkan wisatawan dari luar kota pun datang berkunjung ke Desa Wisata Bagot. Selain kebanggaan karena Desa Wisata Bagot telah dikenal oleh banyak orang, pemerintah kabupaten Samosir sendiri telah memberikan perhatian terhadap Desa Wisata Bagot.

Kapasitas Level Organisasi

Terdapat 5 indikator yang digunakan untuk mengukur kapasitas level organisasi, yaitu kepemimpinan ketua pokdarwis, pelaksanaan rapat, kemampuan mempromosikan desa wisata, sistem pengelolaan keuangan, dan pengembangan atraksi di desa wisata (Prafitri & Damayanti, 2016; Noho, 2014). Ketua Pokdarwis dinilai mampu bekerja sama dengan seluruh anggota Pokdarwis. Ketua Pokdarwis Desa Wisata Bagot juga menjabat sebagai perangkat Desa Parlondut. Sehingga tidak sulit bagi ketua Pokdarwis untuk berinteraksi dengan masyarakat sebab ketua Pokdarwis memiliki hubungan kekerabatan yang relatif dekat dengan seluruh masyarakat di Lumban Sitanggang, ketua Pokdarwis telah lama bertempat tinggal di Lumban Sitanggang, dan aktif juga di kegiatan gereja. Ketua Pokdarwis dinilai memiliki semangat yang konsisten semenjak Desa Wisata Bagot berdiri. Hal tersebut dapat dilihat dari pemberian semangat dan motivasi yang rutin dilakukan oleh ketua Pokdarwis kepada para anggota. Pemberian motivasi tidak dilakukan dalam

suatu kegiatan formal seperti pertemuan, namun melalui interaksi yang dilakukan sehari-hari. Kondisi tempat tinggal yang berdekatan memudahkan ketua Pokdarwis untuk berinteraksi dengan para anggota.

Hubungan baik yang mampu diciptakan oleh ketua Pokdarwis menyebabkan seluruh masyarakat memberikan dukungan penuh terhadap Desa Wisata Bagot. Menurut pengakuan informan yang merupakan anggota Pokdarwis s5esksi humas, di awal pembangunan Desa Wisata Bagot, karena kekurangan dana, seluruh masyarakat Lumban Sitanggang baik dari anak-anak hingga lansia turut turun tangan untuk membantu apa yang bisa mereka kerjakan. Dapat dilihat dari Gambar 3 sebuah foto yang menunjukkan para ibu yang sudah memasuki kelompok usia lansia ikut memaku bambu yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sopo. Para ibu tersebut secara ikhlas hati membantu karena mereka melihat seluruh masyarakat Lumban Sitanggang berlomba-lomba memberikan tenaganya untuk membangun Desa Wisata Bagot.

Promosi Desa Wisata Bagot dilakukan melalui media sosial Facebook, namun administrator dari Facebook sendiri sudah jarang mengunggah promosi di Facebook. Ketua Pokdarwis menyebutkan hal tersebut dikarenakan pembatasan pariwisata di awal tahun 2021 menyebabkan administrator Facebook harus mengurangi aktivitas agar tidak terkena teguran dari satgas covid. Promosi Desa Wisata Bagot yang tersebar di media sosial saat ini didominasi dari unggahan wisatawan atau pihak luar yang ingin meliput Desa Wisata Bagot, mulai dari vlogger dari berbagai media sosial (Instagram dan Youtube), serta dari media massa (liputan televisi nasional dan radio). Liputan dari berbagai media luar dilakukan atas inisiatif pihak luar yang ingin meliput Desa Wisata Bagot. Liputan dari pihak luar tentu menguntungkan Desa Wisata Bagot untuk mendatangkan lebih banyak pengunjung, seperti pada saat kunjungan vlogger “Makan Mana” berdampak pada datangnya wisatawan keturunan Tionghoa yang ingin tahu mengenai minuman bagot. Anggota pokdarwis seksi promosi belum mengelola liputan-liputan dari pihak luar tersebut dengan baik. Hal tersebut tampak dari tidak teraturnya promosi yang diunggah di media sosial, sehingga ada kalanya dalam 1 bulan terdapat beberapa unggahan namun di lain waktu bisa tidak ada unggahan yang berkaitan dengan promosi sama sekali.

Anggota Pokdarwis agian dapur menjelaskan dalam sistem keuangan di Desa Wisata Bagot, pendapatan yang diperoleh melalui penjualan bagot tiap harinya dialokasikan ke dalam 2 bagian, yaitu kas Pokdarwis dan kas dapur. Kas dapur diperuntukkan biaya operasional sehari-hari. Pembagian alokasi yang disepakati oleh Pokdarwis adalah 60%-70%

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 10 No 2, 2022

perolehan pendapatan harian akan disalurkan ke kas Pokdarwis, dan sisanya disalurkan ke dalam kas dapur. Kemudian untuk gaji, yang disebut juga sebagai uang capek, disisihkan dari kas Pokdarwis. Pembagian berapa banyak pendapatan per harinya yang masuk ke dalam kas dilakukan di antara para anggota Pokdarwis bagian dapur dan kemudian dicatat buku pembukuan. Setelah 1 minggu terkumpul, seluruh uang kas disetor kepada bendahara Pokdarwis. Seluruh informan menilai sistem pendanaan di Desa Wisata Bagot berjalan dengan baik karena keseluruhan proses sangat terbuka dan siapapun bisa mengakses informasi mengenai keuangan Desa Wisata Bagot.

Atraksi-atraksi yang dapat ditawarkan oleh Desa Wisata Bagot saat ini adalah menikmati kuliner bagot, 1 spot foto yang menghadap Pusuk Buhit, tarian tor-tor yang dipersembahkan oleh anak-anak Lumban Sitanggang serta atraksi pengambilan bagot secara langsung. Salah satu anggota Pokdarwis menyebutkan untuk biaya atraksi tidak dipatok dengan harga tertentu, namun disesuaikan dengan peruntukkan atraksi yang ditampilkan. Penentuan atraksi tersebut merupakan kesepakatan bersama anggota Pokdarwis dalam rapat Pokdarwis, yang biasanya rapat ini lebih berfokus pada pengelolaan event yang dilaksanakan di Desa Wisata Bagot. Atraksi seperti tor-tor dan tur mengikuti pengambilan bagot yang ditawarkan saat ini ditawarkan jika ada permintaan dari wisatawan sebelumnya. kedua atraksi tersebut belum menjadi atraksi wisata yang tetap. Tarian tor-tor yang disajikan juga tidak memiliki ciri khas tertentu dan tidak dilakukan secara profesional karena masyarakat Lumban Sitanggang sendiri tidak ada yang berprofesi menjadi penari atau mengikuti sanggar tari. Atraksi wisata yang dapat langsung dinikmati oleh wisatawan yang datang berkunjung ke Desa Wisata Bagot adalah kuliner khas bagot serta berfoto di sebuah spot foto. Hingga 2 tahun Desa Wisata Bagot berdiri, masih belum ada inovasi pengembangan atraksi wisata baru ataupun pembahasan mengenai pengembangan atraksi wisata.

Para informan yang merupakan anggota Pokdarwis menyebutkan bahwa rapat tidak terlalu sering dilakukan, kecuali pada saat ada acara yang diadakan di Desa Wisata Bagot. Ketua Pokdarwis membenarkan bahwa rapat memang jarang sekali dilakukan. Namun mereka cukup rutin, sekitar sebulan sekali, melakukan briefing. Briefing dilakukan untuk melihat kelalaian apa saja yang terjadi selama beberapa waktu dan mencari cara bagaimana cara menyelesaikannya. Pernyataan dari ketua Pokdarwis disetujui oleh kepala desa Parlondut, bahwa untuk rapat-rapat resmi yang

diadakan oleh Pokdarwis pasti melibat pemerintah desa Parlondut. Sebab ketika ada pemberitahuan, kegiatan, atau hal lain dari pihak luar yang ditujukan kepada Pokdarwis atau Desa Wisata Bagot sendiri pasti melalui pemerintah desa Parlondut.

Identifikasi Kapasitas Level Komunitas

Terdapat 3 indikator yang digunakan untuk mengukur kapasitas level organisasi, yaitu partisipasi masyarakat dalam keanggotaan pokdarwis, pengambilan keputusan/ kebijakan desa wisata, dan keterlibatan masyarakat dalam event (Prafitri & Damayanti, 2016; Noho, 2014). Proses pembagian peranan di antara masyarakat Lumban Sitanggang dilakukan secara tiba-tiba dan pada saat itu selebaran mengenai pembagian seksi bersama nama yang sudah tertulis. Menurut pengakuan dari seorang informan yang merupakan anggota seksi promosi bahwa dia tidak memahami mengapa dipilih menjadi anggota seksi promosi, sementara kemampuan yang berkaitan dengan promosi tidak dimiliki sebelumnya. Sehingga tidak ada kontribusi yang maksimal yang dapat diberikan kepada Desa Wisata Bagot karena keterbatasan ketrampilan tersebut. Ditambah lagi pekerjaan sebagai penenun dan ibu rumah tangga yang cukup menyita waktu dan menyebabkan tidak maksimalnya kontribusi bekerja untuk Desa Wisata Bagot. Meskipun pembagian peranan terkesan tiba-tiba dan tanpa konfirmasi terlebih dahulu dengan yang bersangkutan, menurut pengakuan para informan, tidak menjadi masalah bagi mereka. Sebab peranan yang telah dibagi harus diterima dan diupayakan semaksimal mungkin kontribusi yang dapat diberikan. Para anggota Pokdarwis meyakini bahwa yang dapat memajukan Desa Wisata Bagot adalah mereka sendiri. Ketua Pokdarwis dan kepala Desa Parlondut melihat bahwa telah dilakukan pemaksimalan pada partisipasi komunitas, sehingga setiap anggota merasa turut dilibatkan. Namun lain hal dengan yang dialami oleh para anggota Pokdarwis yang melihat pembagian peranan dilakukan dari satu arah saja, dan mereka merasa tidak ada pertimbangan kemampuan dengan peranan yang diberikan.

Ketidaksesuaian kemampuan dengan peranan yang dipegang menyebabkan kinerja tidak maksimal serta terjadi pergantian peranan. Dari pengamatan yang dilakukan di lapangan, terdapat beberapa ibu yang bukan merupakan anggota seksi dapur, namun aktif bekerja di dapur. Hal ini dikarenakan mereka merasa lebih cocok untuk bekerja di dapur, dan adanya upah yang akan dibayarkan jika bekerja di dapur. Menurut World Bank (dalam Aref, 2011) menyebutkan bahwa partisipasi yang cukup rendah dalam suatu

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 10 No 2, 2022

komunitas menyebabkan terhambatnya pengembangan yang telah dirancang.

Penentuan kebijakan yang berkaitan dengan operasional desa wisata, seluruh anggota Pokdarwis dilibatkan. Salah satu contohnya adalah pada saat penentuan jam operasional bagot. Para anggota Pokdarwis pada saat itu menyebutkan bahwa mereka tidak ingin waktu untuk melakukan aktivitas rutin lainnya menjadi terganggu dikarenakan kegiatan di Desa Wisata Bagot. Kemudian disepakati jam buka dari pukul 14.00 hingga 20.00 WIB.

Belum ada keterlibatan masyarakat luar Lumban Sitanggang ketika terdapat event yang diselenggarakan di Desa Wisata Bagot. Hal tersebut dikarenakan masyarakat dari luar Lumban Sitanggang masih cenderung pasif. Kepala desa Parlondut menyebutkan bahwa di awal pembentukan Desa Wisata Bagot, respon masyarakat dari luar Lumban Sitanggang cenderung negatif. Hal itu dikarenakan adanya kecemburuan sosial sebab Lumban Sitanggang yang dipilih menjadi objek wisata. Penyebab yang lain adalah dipilihnya bagot sebagai daya tarik utama dari desa wisata.

Dukungan dan sikap positif ditunjukkan oleh masyarakat luar Lumban Sitanggang meskipun tidak secara langsung saat ini. Perubahan sikap dari masyarakat luar Lumban Sitanggang tercermin dari perilaku sehari-hari, yang kemudian ditanggap oleh ketua Pokdarwis sebagai suatu tanda positif. Di awal tahun 2021, Desa Wisata Bagot tidak dimasukkan dalam rapat pembahasan APBDes karena sebagian masyarakat desa Parlondut kurang menyetujui adanya kegiatan Desa Wisata Bagot. Namun masyarakat memberikan penilaian yang berbeda pada rapat musrembang tahun 2022 yang dilakukan pada awal tahun, bahwa desa perlu mengalokasikan sebagian dana untuk pengembangan Desa Wisata Bagot. Perbedaan sikap tersebut kemudian dinilai oleh ketua Pokdarwis sebagai suatu dukungan dari masyarakat luar Lumban Sitanggang.

Analisis Kapasitas dengan Pemberdayaan Masyarakat Desa Wisata Bagot

Analisis pemberdayaan pada kapasitas suatu komunitas penting untuk dilakukan, sebab melalui pemberdayaan memberikan pemahaman bagaimana individu, organisasi, dan komunitas untuk berkembang (Boley & McGeHee, 2014). Pengelola menunjukkan bahwa semenjak adanya pariwisata, pemberdayaan secara psikologis telah dirasa meskipun kapasitas dalam mengelola pariwisata belum maksimal. Di Castri (2004) memaparkan bahwa pemberdayaan psikologis sebagai kemampuan pariwisata untuk memperbaharui rasa bangga masyarakat dalam nilai budaya dan lingkungan mereka, membantu masyarakat

mengevaluasi kembali nilai budaya dan lingkungan mereka, yang mengarah pada peningkatan harga diri dan kebanggaan masyarkat. Pemberdayaan secara psikologis mencapai nilai tertinggi di antara pemberdayaan yang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan seluruh informan yang menyebutkan rasa bangga terhadap desa mereka sebab Desa Wisata Bagot juga semakin dikenal di luar Samosir, begitu banyak wisatawan dari luar daerah yang datang berkunjung, serta perhatian dari pemerintah kabupaten yang besar kepada Desa Wisata Bagot.

Pemberdayaan secara sosial juga memperoleh kategori tinggi. Ketika seseorang menganggap pariwisata sebagai peningkatan hubungannya dengan masyarakat, hal tersebut mengarah pada pemberdayaan sosial (Boley & McGeHee, 2014). Scheyvens (dalam Boley & McGeHee, 2014), pemberdayaan sosial menghasilkan peningkatan ketahanan komunitas, ketika masyarakat merasa lebih terhubung dan mulai berkolaborasi. Kapasitas pada pengelola desa wisata masih pada kategori sedang, namun pemberdayaan secara sosial dirasakan oleh masyarakat Desa Wisata Bagot. Konsisten dengan pernyataan Boley & McGeHee, semenjak Desa Wisata Bagot hadir, kebersamaan antar anggota terasa semakin erat. Seperti pengakuan salah satu anggota Pokdarwis yang menyebutkan bahwa sebelumnya antar tetangga jarang berkomunikasi, sebab masing-masing sibuk dengan kegiatan di ladang maupun mengurus rumah tangga. Ketika Desa Wisata Bagot berdiri, ditambah dibentuknya organisasi Pokdarwis, seluruh masyarakat saling bekerja sama agar Desa Wisata Bagot dapat terus eksis. Begitu pula yang diamati oleh Kepala Desa Parlondut ketika melihat reaksi masyarakat yang tinggal di luar Lumban Sitanggang.

Sebelumnya terdapat kecemburuan sosial dan masyarakat luar cenderung apatis dengan kegiatan pariwisata di Desa Wisata Bagot. Namun saat ini, banyak di antara mereka sudah mulai memberikan perhatian dan mendukung kegiatan Desa Wisata Bagot. Hal tersebut tercermin ketika diadakannya Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrembang) Desa Parlondut yang dihadiri oleh perwakilan dari masyarakat Desa Parlondut. Masyarakat yang tidak berasal dari Lumban Sitanggang sepakat agar sebagian dana desa digunakan untuk pembangunan toilet di Desa Wisata Bagot, demi kenyamanan pengunjung yang datang. Sebab semakin nyaman pengunjung yang datang ke Desa Wisata Bagot akan berdampak pada jumlah kunjungan wisatawan yang datang. Dan tentu akan menjadi kebanggaan sendiri bagi masyarakat Desa Parlondut karena desanya semakin dikenal.

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 10 No 2, 2022

Pemberdayaan secara politik berada di kategori sedang. Kapasitas pengelola desa wisata yang masih sedang, mengarahkan pemberdayaan politik pada kategori yang sedang juga. Pemberdayaan secara politik merupakan dimensi pemberdayaan yang penting dalam konteks pengembangan pariwisata, sebab semua masyarakat terwakili secara adil dan diberi jalan untuk mengkomunikasikan keprihatinan mereka mengenai pengembangan pariwisata (Scheyvens, dalam Boley & McGehee, 2014). Hal ini disebabkan segala rapat dalam penentuan kebijakan di Pokdarwis masuk dalam agenda rapat Desa Parlondut. Seluruh informan menyebutkan bahwa sebenarnya diberi kesempatan jika terdapat masukan untuk pengembangan Desa Wisata Bagot. Karena belum pernah mencoba memberikan masukan, para informan tidak mengetahui bagaimana masukan-masukan masyarakat diproses dan direalisasikan. Sementara untuk keputusan yang bersifat tidak krusial di Desa Wisata Bagot umumnya diselesaikan secara internal oleh anggota Pokdarwis. Masukan-masukan yang konstruktif dan tidak berisiko tinggi langsung diterima oleh ketua Pokdarwis dan diwujudnyatakan. Contohnya adalah pengadaan meteran listrik untuk Desa Wisata Bagot. Sebelumnya untuk operasi sehari-hari, listrik diambil dari rumah sekitar. Namun karena anggota Pokdarwis melihat bahwa Desa Wisata Bagot sudah dapat mengadakan meteran listrik sendiri, maka mereka mengusulkan adanya pengadaan meteran tersebut kepada ketua Pokdarwis.

Pengambilan keputusan dalam kegiatan pariwisata di Desa Wisata Bagot mempertimbangkan kebutuhan seluruh masyarakat. Hal ini tercermin dari kebijakan awal Desa Wisata Bagot didirikan. Pekerjaan utama masyarakat Lumban Sitanggang adalah petani dan penenun ulos. Ketika terdapat wacana untuk pendirian desa wisata, masyarakat Lumban Sitanggang dengan tegas menyebutkan bahwa mereka tidak ingin pekerjaan utama mereka di ladang atau pekerjaan ibu rumah tangga menjadi terganggu, sebab hasil yang diperoleh dari ladang masih lebih banyak mereka dapat. Akhirnya diputuskan jam operasi Desa Wisata Bagot adalah dari pukul 13.00 – 20.00. Selain itu pemerintah Desa Parlondut membentuk Pokdarwis Desa Wisata Bagot untuk mengelola Desa Wisata Bagot. Melalui Pokdarwis ini juga, kebijakan-kebijakan untuk Desa Wisata Bagot diputuskan dan masukan-masukan dari masyarakat untuk pengembangan pariwisata Desa Wisata Bagot ditampung.

  • IV.    KESIMPULAN DAN SARAN

  • 1.    Kapasitas masyarakat Desa Wisata Bagot, baik itu pada level individu, organisasi, dan

komunitas masuk dalam kategori sedang. Kategori sedang pada kapasitas masyarakat Desa Wisata Bagot menunjukkan bahwa terdapat beberapa indikator penilaian kapasitas yang tidak terpenuhi oleh masyarakat Desa Wisata Bagot sehingga memerlukan peningkatan kapasitas.

  • 2.    Kondisi level kapasitas masyarakat Desa Wisata Bagot mencerminkan pemberdayaan yang dialami yaitu pemberdayaan sosial dan psikologis masuk dalam kategori tinggi dan pemberdayaan politi masuk dalam kategori sedang.

Dari hasil analisis dan temuan di lapangan terkait dengan peningkatan kapasitas masyarakat Desa Wisata Bagot, terdapat beberapa rekomendasi yang perlu diperhatikan agar Desa Wisata Bagot dapat lebih berkembang dan berkelanjutan :

  • a.    Bagi pengelola Pokdarwis, yang telah bekerja sekitar 1,5 tahun mengelola Desa Wisata Bagot, sebaikanya memperhatikan kapasitas-kapasitas yang dari hasil analisis yang dilakukan cukup rendah nilainya.

Pengelola Pokdarwis dapat menggunakan hasil  analisis  tersebut sebagai bahan

pertimbangan    untuk    meningkatkan

kapasitas anggota Pokdarwis yang lain, baik nantinya bentuk peningkatan kapasitas dalam bentuk pelatihan, musyawarah, dan lain-lain.

  • b.    Bagi masyarakat Desa Wisata Bagot, dari hasil analisis kapasitas, dapat menjadi dasar pemahaman masyarakat mengenai potensi yang dimiliki serta bagaimana ketrampilan atau kemampuan yang harus dikuasai agar dapat berkontribusi secara maksimal untuk mengembangkan Desa Wisata Bagot. Sebab masyarakat sebelumnya bekerja dan dibagi peran masing-masing tanpa melalui suatu penilaian, sehingga beberapa orang merasa tidak dapat berkontribusi dengan maksimal. Dengan mengetahui kondisi kapasitas yang dimiliki serta adanya dukungan untuk meningkatkan     kapasitas     tersebut,

diharapkan masyarkat lebih proaktif dan Desa Wisata Bagot semakin berkembang.

  • c.    Bagi pemerintah daerah, hasil analisis kapasitas dan pemberdayaan menunjukkan bahwa setiap lokus memiliki perlakuan

khusus, yang tidak bisa disamaratakan

dengan lokus yang lain. Kebijakan-kebijakan selama ini yang dibuat masih didominasi top down,  sehingga  disarankan pemerintah

dapat  memulai  gerakan akar rumput

sehingga paham apa yang menjadi kebutuhan masyarakat atau pengelola

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 10 No 2, 2022

wisata     di     desa-desa.     Sehingga

kebermanfaatan dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah lebih dirasakan oleh masyarakat.

  • d.    Bagi peneliti berikutnya, dari hasil penelitian saat ini dapat dilakukan pengembangan topik penelitian mengenai strategi untuk peningkatan kapasitas sebagai pengelola desa wisata sehingga pemberdayaan yang dirasakan oleh masyarakat menjadi maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Abou-Shouk, M., Mannaa, M., Elbaz, A. (2021). Women’s empowerment and tourism development: A cross-country study. Tourism Management Perspectives, 37(2021), 100782.

Ahmad, N., Razzaq, A., & Maryati, M. (2019). Potential of community capacity building for ecotourism purposes in Tg.Piai, Johore. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 269 (012007),1-10.

Ahmeti, F. (2013). Building community capacity for tourism development in transitional countries : Case of Cosovo. European Journal of Scientific Research, 115(4), 536-543. Aref, F. (2011). Barriers to community capacity building for tourism development in communities in Shiraz, Iran.

Journal of Sustainable Tourism, 19(3), 347–359.

https://doi.org/10.1080/09669582.2010.517314Aref, F. & Redzuan, M. (2009). Community capacity building for tourism development.

Journal of Human Ecology, 27(1), 21-25.

Aref, F., Redzuan, M., & Gill, S. (2010). Community capacity building: A review of its implication in tourism development.

Journal of American Science, 6(1), 172-180.

Atkinson, R. & Willis, P. (2006). Community Capacity Building – A Practical Guide. Housing and Community Research Unit, 6, 1-16 Boley, B., McGehee, N. (2014). Measuring empowerment: Developing and validating the Resident Empowerment through Tourism Scale (RETS). Tourism Management, 45(2014), 85-94.

Butler, G. (2017). Fostering community empowerment and capacity building through tourism: perspectives from Dullstroom, South Africa. Journal of Tourism and Cultural Change, 15(3), 199-212.

Damanik, J. (2015). Peran negara dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata perdesaan : Catatan kritis atas PNPM pariwisata. Membangun Pariwisata dari Bawah. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Ghaderi, Z. Abooali, G., Henderson, J. (2018). Community capacity building for tourism in a heritage village: the case of Hawraman Takht in Iran. Journal of Sustainable Tourism, 26(4), 537-550.

Giampiccoli, A., Jugmohan, S., & Mtapuri, O. (2017). International Cooperation, Community-Based Tourism and Capacity Building : Results from a Mpondoland Village in South Africa. Mediterranean Journal of Social Sciences, 5(23), 657- 667.

Grindle, M. (1997). Getting Good Government Capacity Building in The public Sectors of Developing Countries, Cambridge : Harvard University Press.

Imbaya, B., Nthiga, R., Sitati, N., & Lenaiyasa, P. (2019). Capacity building for inclusive growth in community-based tourism initiatives in Kenya. Tourism Management Perspectives, 30, 11-18.

Khosravi, S. & Mohamed, B. (2015). Community Capacity for Conserving Natural Resources in Ecotourist Destinations: A Review of the Concept. Asia-Pasific Journal of Innovation in Hospitality and Tourism, 4(2), 235-256.

Koentjaraningrat. (1979). Metode wawancara. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Percetakan PT. Gramedia. Kusworo, H. A. (2015). Framing poverty: An institutional entrepreneurship approach to poverty alleviation through tourism. (Doctoral Thesis). University of Groningen. Netherlands.

Kompas.com. (2021). Desa Wisata Bagot di Parlondut, Samosir, Nikmati Kuliner Khas Toba. Retrived from :

https://travel.kompas.com/read/2021/03/28/161400927/d esa-wisata-bagot-di-parlondut-samosir-nikmati-kuliner-khas-toba?page=all

Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi. (2020). Pedoman Desa Wisata. Jakarta.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/ Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2020). Rencana Strategis Kementerian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif/ Badan Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Tahun 2020-2024. Jakarta. Retrived from : https://www.kemenparekraf.go.id/asset_admin/assets/uplo ads/media/pdf/media_1598887965_Rencana_strategis_2020 -2024.pdf

Laverack, G. (2003). Building capable communities: Experiences in a rural Fijian context. Health Promotion International, 18(2), 99–106. https://doi.org/10.1093/heapro/18.2.99

Laverack, G. (2006). Evaluating community capacity: Visual representation and interpretation. Community Development Journal, 41(3), 266–276. https://doi.org/10.1093/cdj/bsi047

Laverack, G. & Thangpet, S. (2009). Building community capacity for locally managed ecotourism in Northern Thailand. Community Development Journal, 1-14

Maclellan-Wright, M. F., Anderson, D., Barber, S., Smith, N., Cantin, B., Felix, R., & Raine, K. (2007). The development of measures of community capacity for community-based funding programs in Canada. Health Promotion International, 22(4), 299–306. https://doi.org/10.1093/heapro/dam024

Novianti, C. (Ed.). (2015). Buku Panduan Pengembangan Desa Wisata Hijau. Jakarta. Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia.

Nzama, T. (2010). Challenges of sustainable rural tourism development in KwaZulu-Natal. Inkanyiso: Journal of Humanities and Social Sciences, 2(1), 44-53.

Noho, Y. (2014). Kapasitas pengelolaan desa wisata religius Bongo kabupaten Gorontalo. Jurnal Nasional Pariwisata, 6(1), 8-21. Prafitri,G. R; Damayanti, M (2016). Kapasitas Kelembagaan dalam Pengembangan Desa Wisata (Studi Kasus: Desa Wisata Ketenger, Banyumas). Jurnal Pengembangan Kota,4 (1), 76-86.

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 10 No 2, 2022

DOI: 10.14710/jpk.4.1.76-86

Provia, K., Ronald, K. & Michelle, K. (2017). Community capacity building, local community involvement in tourism activities and community welfare in Uganda. Journal of Tourism, Hospitality and Sports, 27, 15-29

Putra, Nusa & Hendarman. (2013). Metode Riset Campur Sari. Jakarta : Indeks

Shafieisabet, N. & Haratifard, S. (2020). The empowerment of local tourism stakeholders and their perceived environmental effects for participation in sustainable development of tourism. Journal of Hospitality and Tourism Management, 45 (2020), 486-498.

Sithole, N., Giampiccoli, A., & Jugmohan, S. (2018). Community capacity building through tourism: The case of Shakaland Zulu Cultural Village. African Journal of Hospitality, Tourism and Leisure, 7(1), 1–14.

Strzelecka, M., Boley, B., Strzelecka, C. (2017). Empowerment and resident support for tourism in rural Central and Eastern Europe (CEE): the case of Pomerania, Poland. Journal of Sustainable Tourism, 25(4), 554-572.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Manajemen. Bandung : Alfabeta.

Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta

United Nations Committee of Experts on Public Administration. (2006). Definition of basic concepts and terminologies in governance and public administration. United Nations Economic and Social Council.

Verywellmind. (2019). How Does the Cross-Sectional Research Method Work?. Retrived from :

https://www.verywellmind.com/what-is-a-cross-sectional-study-2794978

Wiwin, I. (2018). Community based tourism dalam pengembangan pariwisata Bali. Pariwisata Budaya, 3(1), 69-75. Retrived from :https://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/article/view/424/ 344.

Yusuf, M. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan. Jakarta : Prenada Media.

264