Current Trends in Aquatic Science III(1), 106-112 (2020)

Optimasi Dosis Formalin sebagai Desinfektan dalam Media Pemeliharaan terhadap Kelangsungan Hidup dan

Pertumbuhan Larva Lobster Pasir (Panulirus homarus)

I Gede Yoga Vikananda Giri a*, Pande Gde Sasmita Julyantoro a, Ni Putu Putri Wijayantia Bedjo Slamet b

a Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Bali-Indonesia b Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan, Banjar Dinas Gondol, Penyabangan Gerokgak, Buleleng, Bali-Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-812-398-760-33 Alamat e-mail: yogagiri549@gmail.com

Diterima (received) 24 Desember 2019; disetujui (accepted) 28 Februari 2020

Abstract

This study aimed to determine the optimum formaldehyde dosage as a disinfectant to support the survival and growth of Sand Lobster larvae (Panulirus homarus). The research was conducted from January to February 2019 at Indonesian Center for Marine Aquaculture Research and Fisheries Counseling (BBRBLPP) Gondol, Bali. The research used experimental and a completely randomized design (CRD) with 4 treatments and 3 replications. The object research in this study was Sand Lobster larvae with the density of 200 ind/tank. The dosage of formaldehyde used namely S0 (control) without addition of formaldehyde, while the treatment of S1, S2, and S3 were added by 10, 20, 30 ppm of formaldehyde respectively. The main parameters observed were larval total length, survival (SR), and water quality. The data obtained were statistically tested using one way ANOVA. The results showed that addition of formaldehyde dosage in S1 treatment resulted in the highest total length of 1,8 mm on the day 20th and the highest survival (SR) 1,67% on the day 28th culture period. This indicates that the addition of 10 ppm formaldehyde has a positive effect on survival (SR) and total length of sand lobster larvae (Panulirus homarus). Anova test results showed that the addition of 10 ppm formaldehyde produced the highest total length and survival (SR) of sand lobster larvae and significantly different from other treatment (p <0,05) but did not significantly affect water quality parameters (P> 0,05) between treatments.

Keywords: Formalin; Panulirus homarus; Survival Rate; Total Length.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis formalin yang optimum sebagai desinfektan dalam media pemeliharaan terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva Lobster Pasir (Panulirus homarus). Penelitian ini dilaksanakan pada Januari sampai Februari 2019 di Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP) Gondol, Bali. Penelitian ini bersifat eksperimental dan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Obyek dalam penelitian ini adalah larva lobster pasir dengan kepadatan 200 ind/bak. Dosis formalin yang digunakan yaitu perlakuan S0 (kontrol) tanpa penambahan formalin, sedangkan perlakuan S1 (penambahan formalin 10 ppm), S2 (20 ppm), dan S3 (30 ppm). Parameter penelitian yang diamati yaitu panjang total larva, kelangsungan hidup (SR) larva, dan parameter kualitas air. Data yang diperoleh diuji secara statistik menggunakan one way ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan dosis formalin pada perlakuan S1 menghasilkan panjang total tertinggi sebesar 1,8 mm pada hari ke-20 dan kelangsungan hidup tertinggi sebesar 1,67% pada hari ke-28. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan 10 ppm formalin berpengaruh positif terhadap kelangsungan hidup dan panjang total larva lobster pasir (Panulirus homarus). Hasil uji anova menunjukkan bahwa penambahan 10 ppm formalin (S1) menghasilkan panjang total dan kelangsungan hidup larva lobster pasir yang paling tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05) namun tidak berbeda nyata terhadap (P>0,05) terhadap parameter kualitas air antar perlakuan.

Kata Kunci: Formalin; Kelangsungan Hidup; Panulirus homarus; Panjang Total.

  • 1.    Pendahuluan

Lobster pasir (Panulirus homarus) merupakan komoditas ekspor bernilai ekonomis tinggi. Permintaan konsumsi lobster air laut terus meningkat dari tahun ke tahun (Drengstig dan Bergheim, 2013). Jumlah lobster dunia yang diperdagangkan pada tahun 2014 telah mencapai 170.156 ton (Pereira dan Josupeit, 2017). Berdasarkan data tersebut selain Negara Indonesia terdapat beberapa negara yaitu Amerika serikat dan Kanada merupakan pasar utama lobster dunia. Sebagai salah satu pemasok spiny lobster ke pasar global, produksi lobster Indonesia pada tahun 2013 sekitar 16.482 ton (FAO, 2015). Budidaya larva lobster dari telur yang menetas menjadi larva sampai benih belum berhasil karena secara biologi perkembangan larva lobster sangat komplek dan memerlukan waktu yang lama sekitar 63 hari atau 5 kali pergantian stadia untuk menjadi peurulus (post larva). Mengingat tingkat perkembangan pembenihan saat ini, kemungkinan besar tidak ada sumber pembenihan benih lobster untuk budidaya yang tersedia secara komersial di dekade berikutnya (Duggan dan Mckinnon 2003).

Upaya budidaya lobster telah banyak dilakukan sebagai upaya memenuhi kebutuhan permintaan pasar. Tetapi budidaya lobster sering mengalami masalah, terutama penyakit akibat parasit. Jenis-jenis parasit dan protozoa yang terdapat pada lobster pasir yaitu Vorticella sp. dan Epistylis sp. yang mengakibatkan menurunnya nafsu makan, mengganggu pergerakan lobster, molting larva, serta mengakibatkan stres bahkan kematian (Jithendran et al., 2010) dan berkurangnya tingkat pertumbuhan lobster pasir (Dias et al. 2006). Salah satu metode untuk menghambat pertumbuhan parasit yang banyak dilakukan pembudidaya lobster adalah dengan menggunakan desinfektan seperti formalin.

Formalin adalah senyawa kimia berbentuk gas dan memiliki bau sangat menusuk, mengandung 37% air, ditambahkan methanol sebagai stabilisator sebanyak 15%. Formalin berfungsi sebagai antimikroba yang dapat membunuh bakteri, jamur bahkan virus. Sehingga formaldehid yang terkandung dalam formalin mampu digunakan sebagai desinfektan. Formaldehid dapat mematikan jaringan dengan cara

mendenaturasi protein sehingga jaringan kehilangan fungsi biologisnya. Penggunaan formalin harus hati-hati karena konsentrasi yang tinggi dapat membahayakan lingkungan, hewan, dan manusia (BMA, 2015).

Salah satu kendala dalam pembenihan lobster pasir adalah kegagalan dalam media pemeliharaan dan kelangsungan hidup pada larva. Pada saat fase ini sering terserang penyakit parasit dari golongan jamur dan protozoa, sehingga perlu adanya pengelolaan/pencegahan penyakit pada larva lobster pasir. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan penambahan formalin ke dalam air media pemeliharaan larva. Penambahan formalin ini berfungsi sebagai anti parasit, dan mikroorganisme merugikan lainnya sehingga diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan kesintasan dari organisme yang dibudidayakan. Dosis optimum formalin yang digunakan dalam media budidaya lobster sampai saat ini belum banyak diteliti. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dosis optimum formalin sebagai desinfektan dalam media pemeliharaan dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva lobster pasir (Panulirus homarus).

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari empat perlakuan konsentrasi formalin dan tiga kali ulangan pada setiap perlakuan. Perlakuan S0 (kontrol) yaitu tanpa penambahan formalin, perlakuan S1 yaitu dengan penambahan formalin 10 ppm, perlakuan S2 dengan penambahan formalin 20 ppm, dan perlakuan S3 dengan penambahan formalin 30 ppm.

  • 2.1    Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Februari 2019. Lokasi penelitian yaitu di Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP) Gondol.

  • 2.2    Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari alat tulis, kamera, laptop, DO meter YSI 55, pH meter Metrohm, thermometer, refraktometer, spectrometer, mikroskop Nikon SMZ1000, bak fiber, bak plastik, aerasi, dan jangka sorong. Bahan yang digunakan yaitu air laut, formalin, induk lobster, dan larva lobster.

  • 2.3    Persiapan Penelitian

Wadah pemeliharaan induk lobster pasir pada penelitian ini menggunakan bak fiber dengan volume 50 liter sedangkan wadah larva lobster digunakan bak plastik dengan volume 5 liter. Panjang karapas lobster pasir yang digunakan sebagai induk beukuran 8 cm dan berat basah 200300 gram dengan jumlah individu sebanyak 2 ekor induk lobster.

  • 2.4    Pelaksanaan Penelitian

    • 2.4.1    Pengamatan Perkembangan Larva

Penelitian menggunakan 12 wadah berupa bak plastik volume 5 liter yang dilengkapi dengan aerasi. Masing-masing bak berisikan 200 ekor larva. Larva diberi pakan 1 kali per hari berupa nauplii Artemia yang baru menetas sebanyak 2000 ekor/bak. Pergantian air dilakukan setiap hari sebanyak 60% dari volume air dalam wadah, kemudian ditambahkan 60% air yang telah diencerkan dengan dosis formalin yang sama dengan konsentrasi formalin dalam wadah. Pengambilan sampel larva sebanyak 3 ekor menggunakan beaker glass. Pengamatan larva dilakukan di bawah mikroskop dengan mengamati perkembangan larva (stadia dan panjang larva).

  • 2.4.2    Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran kualitas air seperti suhu, pH, DO, salinitas dilakukan setiap satu minggu sekali, sedangkan untuk amonia dan nitrit diukur di akhir pengamatan.

  • 2.4.3    Kelangsungan Hidup (Survival rate)

Survival rate diamati diakhir pengamatan untuk mengetahui persentase jumlah larva yang masih bertahan hidup. Survival rate dihitung menggunakan rumus (Shakir et al., 2014).

r -   ^^t

SR = =-l × 100%                              (1)

dimana SR adalah kelangsungan hidup larva lobster pasir (%); Nt adalah jumlah larva yang bertahan hidup (ind); N0 adalah jumlah larva awal.

  • 2.5    Analisis Data

Analisis yang dilakukan meliputi Analisis Ragam (ANOVA) one way untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter. Apabila berpengaruh nyata, untuk melihat perbedaan antar perlakuan akan diuji menggunakan Uji Duncan. Selanjutnya data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Hasil pengukuran dianalisis dengan analisis statistik menggunakan Software SPSS 18 (Statistical Product and Service Solutions).

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Kelangsungan Hidup Larva Lobster Pasir

Berdasarkan hasil pengamatan selama 28 hari menunjukkan bahwa pemberian formalin pada dosis yang berbeda menunjukkan tingkat kematian yang berbeda yang menunjukkan dari persentase kelangsungan hidup bisa dilihat pada (Gambar 1).

Gambar 1. Kelangsungan Hidup Larva Lobster Pasir

Berdasarkan hasil kelangsungan hidup larva lobster pasir yang diberi formalin dengan dosis yang berbeda pada pengamatan selama 28 hari memberikan hasil tingkat kematian yang berbeda. Perlakuan tanpa formalin (kontrol) menunjukkan kelangsungan hidup sebesar 1% pada H- 26, perlakuan S1 menunjukkan kelangsungan hidup sebesar 1,67% H- 28, perlakuan S2 menunjukkan kelangsungan hidup sebesar 3% pada H- 24, dan

pada perlakuan S3 menunjukkan kelangsungan hidup sebesar 1% pada H- 17. Semakin tinggi pemberian dosis formalin maka kelangsungan hidup juga semakin rendah. Diakhir pengamatan pada hari ke- 28, kelangsungan hidup larva lobster pasir pada seluruh perlakuan adalah 0% kecuali pada perlakuan dosis 10 ppm sebesar 1,67%.

  • 3.2    Panjang Total Larva Lobster Pasir

Hasil pengamatan terhadap panjang total larva lobster pasir selama 20 hari. Pada perlakuan S1 panjang total mulai menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. Panjang total pada perlakuan S2 dan S3 memiliki panjang total yang paling rendah dibandingkan perlakuan S1 dan S0. (Gambar 2).

Gambar 2. Panjang Total di Akhir Pengamatan (H-20)

Berdasarkan hasil pengamatan panjang total pada perlakuan S0 dari hari ke 2 sampai hari ke 6 memiliki panjang total sebesar 1,2-1,4 mm, hari ke 8 sampai hari ke 13 memiliki panjang total sebesar 1,5-1,9 mm, dan pada hari ke 16 sampai hari ke 20 memiliki panjang total sebesar 1,5-1,7 mm. Pada perlakuan S1 memiliki panjang total dari hari ke 2 sampai hari ke 6 sebesar 1,4-1,4 mm, hari ke 8 sampai hari ke 13 memiliki panjang total sebesar 1,4-1,6 mm, dan pada hari ke 16 sampai hari ke 20 memiliki panjang total sebesar 1,6-1,8 mm. Pada perlakuan S2 memiliki panjang total dari hari ke 2 sampai hari ke 6 sebesar 1,4-1,5 mm, hari ke 8 sampai hari ke 13 memiliki panjang total sebesar 1,3-1,6 mm, dan pada hari ke 16 sampai hari ke 20 memiliki panjang total sebesar 1,1-1,6 mm. Dan panjang total pada perlakuan S3 dari hari ke 2 sampai hari ke 6 memiliki panjang total sebesar 1,3-1,4 mm, hari ke 8 sampai hari ke 13 memiliki panjang total sebesar 1,4-1,5 mm, dan pada hari ke 16 sampai hari ke 20 memiliki panjang total sebesar 0-0,5 mm.

  • 3.3    Parameter Kualitas Air

Kualitas air yang diukur pada pengamatan ini meliputi suhu, pH, DO, salinitas, amonia, dan nitrit. Berdasarkan pengukuran untuk suhu, nilai rata-rata didapat yaitu 28ºC pada semua perlakuan. Nilai DO yang diukur, memiliki nilai yang paling tinggi pada perlakuan S2 yaitu 5,615,96 ppm. Nilai rata-rata DO paling rendah terdapat pada perlakuan S0 yaitu 5,51-5,8 ppm. Pengukuran nilai salinitas memiliki nilai rata-rata yang paling tinggi yaitu pada perlakuan S2 dan S3 yaitu 32-35 ppt diikuti pada perlakuan S0 dan S1 yaitu 31-35 ppt dengan nilai terendah. Nilai rata-rata pH yang paling tinggi yaitu pada perlakuan S3 yaitu 8,02-8,17 ppt diikuti perlakuan S1 yaitu 8,05-8,1 ppt yang terendah. Pengukuran amonia dari nilai tertinggi ke rendah terlihat pada perlakuan S3 dengan nilai 0,2307 diikuti pada perlakuan S1 yaitu 0,1046, S2 yaitu 0,0931 dan yang terendah pada perlakuan S0 yaitu 0,0634 ppm. Nitrit memiliki nilai tertinggi terlihat pada perlakuan S1 yaitu 0,086 dan S0 yaitu 0,018 ppm, yang kemudian diikuti oleh perlakuan S2 yaitu 0,015 dan yang terendah pada perlakuan S3 yaitu 0,013 ppm, seperti yang terlihat pada tabel 1.

Tabel 1

Parameter Kualitas Air

Parameter

Perlakuan

S0

S1

S2

S3

Suhu (ºC)

28

28

28

28

DO (ppm)

5,51-5,8

5,7

5,88

5,61-5,96

5,87-5,9

Salinitas (ppt) pH

31-35

31-35

32-35

32-35

8,05

8,15

8,05

8,1

8,05-8,11

8,02

8,17

Amonia (ppm)

0,0634

0,1046

0,0931

0,2307

Nitrit (ppm)

0,018

0,086

0,015

0,013

  • 4.    Hasil dan Pembahasan

    • 4.1    Pengaruh pemberian formalin perkembangan dan kelangsungan hidup larva lobster pasir

Pengaruh formalin terhadap kelangsungan hidup larva lobster pasir menunjukkan bahwa perlakuan pemberian S1 mampu mempertahankan sintasan larva lobster selama 28 hari sebesar 1.67%. Sementara itu perlakuan yang lain baik S0 maupun pemberian dosis formalin S2 dan S3 tidak

mampu mempertahankan sintasan larva hingga 28 hari. Pada S0 mampu mempertahankan sintasan pada larva lobster pasir saat pemeliharaan yaitu selama 26 hari, perlakuan S2 mampu mempertahankan sintasan pada larva lobster pasir saat pemeliharaan yaitu selama 24 hari, dan pada perlakuan S3 mampu mempertahankan sintasan pada larva lobster pasir saat pemeliharaan yaitu selama 17 hari. Penelitian Ghelichpour dan Eagderi (2012) menyatakan bahwa formalin 10-25 ppm tidak mematikan dalam penggunaan selama 168 jam. Penggunaan dosis 15-25 ppm dapat mempertahankan hidup yang lebih lama (tergantung pada spesies dan tahap kehidupan). Formalin dapat disarankan sebagai pengobatan jangka pendek dan jangka panjang (BMA, 2015; Mendez et al., 2015; Pedersen et al., 2010).

Penggunaan formalin secara statistik menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan. Namun demikian nilai pertumbuhan panjang total larva lobster pada perlakuan S2 dan S3 menunjukkan nilai panjang total yang sangat rendah dibandingkan perlakuan S0 dan S1. Perlakuan S0 memberikan peningkatan pertumbuhan panjang total sebesar 1.7 mm lebih besar dibandingkan pada masing-masing perlakuan S2 dan S3. Perlakuan S1 memberikan peningkatan pertumbuhan panjang total sebesar 1.8 mm dibandingkan pada masing-masing perlakuan S2 dan S3. Penggunaan formalin dalam dosis berlebihan secara terus menerus dapat memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan larva lobster dimana pertumbuhan larva cenderung lebih lambat. Penggunaan formalin pada ikan mas (W = 0,8 g) dengan dosis 25, 50 dan 75 ppm secara terus menerus selama 4 minggu memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan (Chinabut et al., 1988). Pada penelitian tersebut diketahui bahwa dosis 75 ppm yang diaplikasikan dalam media pemeliharaan memberikan efek terhadap melambatnya tingkat pertumbuhan ikan mas. Dosis 25 ppm dinyatakan aman di gunakan selama 4 minggu, namun observasi secara mendalam melalui pendekatan histopatologi mengenai pengaruh formalin terhadap organ dalam tidak dilakukan. Konsekuensi negatif penggunaan formalin secara umum dapat merusak secara permanen pada insang (Valladão et al., 2016) dan perubahan sel mukosa (Buchmann et al., 2004). Pada dosis 10 ppm merupakan dosis yang optimum bagi larva lobster dibandingkan dengan dosis formalin yang 20 ppm dan 30 ppm.

  • 4.2    Kualitas air

Pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva lobster pasir selain dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan pada media pemeliharaan larva lobster pasir seperti suhu, salinitas, DO, pH, amonia, dan nitrit. Suhu merupakan parameter fisika yang mempengaruhi aktivitas metabolisme larva lobster. Berdasarkan hasil pengukuran pada media pemeliharaan larva lobster pasir yaitu 28ºC. Kondisi ini masih dalam kisaran optimum untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva lobster pasir. Hal ini sesuai dengan pendapat Vijayakumaran et al., (2010) yang menyatakan untuk kisaran suhu yang optimal pada pemeliharaan larva lobster berkisar antara 26 sampai 29ºC.

Pengukuran salinitas di media pemeliharaan larva lobster pasir di semua perlakuan dari minggu pertama hingga minggu kelima yaitu sebesar 31-35 ppt yang menunjukkan bahwa salinitas pada media pemeliharaan larva lobster pasir masih optimum. Hal ini sesuai dengan pendapat Vidya dan Joseph, (2012) yaitu untuk kisaran salinitas yang optimal pada pemeliharaan larva lobster berkisar antara 32-36 ppt.

Oksigen terlarut dalam media pemeliharaan larva lobster pasir sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Sumber oksigen dalam media pemeliharaan larva lobster pasir berasal dari pemberian aerasi. Pada media pemeliharaan larva lobster pasir dilengkapi dengan aerasi yang bertujuan untuk menyuplai oksigen. Pemberian aerasi dibuat sedang, karena jika aerasi terlalu kuat dapat mengakibatkan stres, kerusakan fisik, dan menghambat pertumbuhan larva lobster pasir, namun jika kadar oksigen terlarut rendah dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup bahkan dapat mengakibatkan kematian. Hasil pengukuran DO pada media pemeliharaan larva lobster pasir berkisar antara 5.51-5.96 ppm. Kisaran tersebut masih dalam batas toleransi untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva lobster pasir. Hal ini sesuai dengan pendapat Rathinam et al., (2014) yang menyatakan konsentrasi oksigen terlarut yang direkomendasikan untuk budidaya lobster adalah (>5 mg/L), sedangkan kandungan oksigen terlarut optimum pada biota laut adalah 5-6 gram/L (Kordi dan Ghufran, 2011).

Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu parameter yang penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva lobster pasir. Dari hasil pengamatan didapatkan nilai pH pada media pemeliharaan larva lobster pasir berkisar antara 8.02-8.17. Hal ini menunjukkan bahwa kadar pH untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva lobster pasir sangat optimum. Hal ini sesuai dengan pendapat Mojjada et al. (2012) yang menyatakan bahwa kisaran pH yang optimal untuk pemeliharaan larva lobster pasir adalah 8,08,5.

Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) oleh bakteri Nitrosomonas dan antara nitrat dengan gas nitrogen (denitrifikasi) oleh karena itu, nitrit bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen, dimana nitrit memegang posisi kunci dalam siklus nitrogen di laut bisa berupa nitrifikasi, denitrifikasi dan respirasi nitrat. Hasil pengukuran nitrit pada media pemeliharaan larva lobster pasir berkisar antara 0,013-0,086 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa kadar nitrit untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva lobster pasir sangat optimum. Hal ini sesuai dengan pendapat Makmur et al. (2010) bahwa kandungan nitrit yang direferensikan untuk budidaya lobster adalah kurang dari 0,1 mg/L.

Pengukuran amonia pada media pemeliharaan larva lobster pasir berkisar antara 0.0634-0.2307 ppm, hal ini diduga bahwa amonia adalah produk sisa metabolisme yang utama dari larva lobster pasir, dikeluarkan melalui insang dan urin. Kisaran kadar amonia untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva lobster pasir sangat optimum. Hal ini sesuai dengan pendapat Rathinam et al. (2014) bahwa nilai amonia yang ideal untuk kegiatan budidaya lobster adalah tidak lebih dari 0,1 mg/L.

Simpulan

Dosis Formalin lebih dari 10 ppm pada penelitian ini berpengaruh negatif terhadap kelangsungan hidup dan panjang total larva lobster pasir. Dosis formalin yang optimum dalam media pemeliharaan terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva lobster pasir adalah perlakuan S1 (pemberian formalin 10 ppm).

Ucapan terimakasih

Terima kasih saya ucapkan kepada Kepala Balai, staf dan pegawai BBRBLPP Gondol yang telah membantu dan memfasilitasi selama penelitian.

Daftar Pustaka

Buchmann, K., Bresciani J., & Jappe, C. (2004). Effects of formalin treatment on epithelial structure and mucous cell densities in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss (Walbaum), skin. Journal of Fish Diseases 27(2), 99–104.

BMA. (2015). Formalin.   [Online]   Tersedia di:

http://www.bma.ch/files/page_attachment/newsl etter-formalindef.-16.09.15.pdf, [diakses: 6 Januari 2016].

Chinabut, S., Limsuwan, C., Tonguthai, K.,  &

Pungkachonboon, T. (1988). Toxic and Sublethal Effect of Formalin on Freshwater Fishes, Rome, Italy: FAO.

Dias, R J. P., D’Avila, S. M., & D’Agosto. (2006). First Record of Epibionts Peritrichids and Suctorians (Protozoa, Ciliophora) on Pomacea lineata (Spix, 1827). Journal Brazilian Arch. Bio. Techno., 49(5), 809.

Drengstig, A., & Bergheim, A. (2013). Commercial LandBased Farming of European lobster (Homarus gammarus L.) in Recirculating Aquaculture System (RAS) Using a Single Cage Approach. Journal of Aquacultural Engineering, 53, 14-18.

Duggan, S., & McKinnon, A. D. (2003). The early larval developmental stages of the spiny lobster Panulirus ornatus (Fabricius, 1798) cultured under laboratory conditions. Crustaceana-International Journal of Crustacean Research, 76(3), 313-332.

FAO. (2015).  Total World Lobster Production by

Country and Origin. Rome, Italy: Food and Agriculture Organization.

Fitzpatrick, M. S., Schreck, C. B., Chitwood, R. L., & Marking, L. L. (1995). Technical notes: Evaluation of three candidate fungicides for treatment of adult spring chinook salmon. The Progressive Fish‐Culturist, 57(2), 153-155.

Ghelichpour, M & Eagderi, S. (2012). Effect of formalin treatment on saltwater tolerance in Caspian roach (Rutilus rutilus caspicus). International Research Journal of Applied and Basic Sciences, 3(5), 10271031.

Jithendran, K. P., Poornima, P., Balasubramanian, C. P., & Kulasekarapadian, S. (2010). Diseases of mud crabs (Scylla sp.): an overview. Indian Journal of Fisheries, 57(3), 55-63.

Kordi, K., & Ghufran, H. M. (2011). Budidaya 22

Komoditas Laut untuk Konsumsi Lokal dan Ekspor. Yogyakarta, Indonesia: Lily Publisher.

Leal, J. F., Neves, M. G. P., Santos, E. B., & Esteves, V. I. (2018). Use of Formalin in Intensive Aquaculture: Properties, Application and Effects on Fish and

Water Quality. Reviews in Aquaculture, 10(2), 281295.

Makmur, Assad, I. J., Utoyo, Mustafa, A., Hendrajat, E.A., & Hasnawi (2010). Karakteristik Kualitas

Perairan tambak di Kabupaten Pontianak. Dalam Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 (pp.1165-1171).

Mendez, J. A. O., Melian, J. A. H., Arana, J., Rodriguez, J. M. D., Diaz, O.  G.,  & Pena, J. P (2015).

Detoxification  of waters  contaminated with

phenol, formaldehyde and phenol-formaldehyde mixtures using combination of biological treatments and advanced oxidation techniques. Applied Catalysis B: Environmental, 163, 63–73.

Mojjada, S. K., Joseph, I., Koya, M. K., Sreenath, K. R., Dash, G., Sen, S., Fofandi, D., Anbarasu, M., Bhint, H. M., Pradeep, S., Shiju, P., & Rao, G. S. (2012). Capture based aquaculture of mud spiny lobster Panulirus polyphagus (Herbst 1793) in open sea floating cages of Veraval, Northwest coast of India. Indian Journal of Fisheries, 59(4), 29-34.

Pedersen, L. F., Pedersen, P. B., Nielsen, J. L., & Nielsen, P. H. (2010). Long term/low dose formalin exposure to small-scale recirculation aquaculture systems. Aquacultural Engineering, 42(1), 1–7.

Pereira, G., & Josupeit, H. (2017). The World Lobster

Market. Rome,  Italy:  Food and Agriculture

Organization.

Rathinam, M. M., Kizhakudan, J. K., Vijayagopal, P., Jayakansar, V., Leslie, V. A., & Sundari, R. (2014). Effect of dietary protein levels in the formulated diets on growth and survival of juvenile spiny lobster Panulirus homarus (Linnaeus). Indian Journal Fisheries. 61(2), 67-72.

Shakir, C., Lipton, A. P., Manilal, A., Sugathanand, S., & Selvin, J. (2014). Effect of stocking density on the survival rate and growth performance in Penaeus Monodon. Journal of Basic and Applied Sciences, 10, 231-238.

Valladão, G. M. R., Alves, L. O., & Pilarski, F. (2016). Trichodiniasis in Nile tilapia hatcheries: diagnosis, parasite: host-stage relationship and treatment. Aquaculture. 451, 444-450.

Vidya, K, & Joseph, S. (2012). Effect of salinity on growth and survival of juvenile Indian spiny lobster Panulirus homarus (Linnaeus). Indian Journal Fisheries, 59(1), 113-188.

Vijayakumaran, V., Anbarasu, M., & Kumar, T. S. (2010). Moulting and growth in communal and individual rearing of the spiny lobster, Panulirus homarus. Journal of the Marine Biological Association India, 52(2), 274-281.

Curr.Trends Aq. Sci. III(1): 106-112 (2020)