Keanekaragaman Makrozoobetos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan di Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali
on
Current Trends in Aquatic Science III(1), 88-96 (2020)
Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan di Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali
Ari Isnen Sobari a*, Ni Luh Watiniasih b, Dewa Ayu Angga Pebriani c
a Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Bali-Indonesia
* Penulis koresponden. Tel.: +62-821-3933-8274
Alamat e-mail: sobariariisnen@gmail.com
Diterima (received) 23 Desember 2019; disetujui (accepted) 28 Februari 2020
Abstract
Ngurah Rai Forest Park (Tahura) is one of the mangrove ecosystem areas in Bali which is an area of brackish forest type. Ngura Rai Tahura is based on administration in two city districts namely Badung and Denpasar. The Tahura Ngurah Rai area is surrounded by housing, restaurants, hotels, malls, and shops as centers of community activities that have the potential to cause disruption to the balance of the aquatic ecosystem. The purpose of this research was to determine the diversity of macrozoobenthos and the condition of water quality in the mangrove ecosystem area in Tahura Ngurah Rai, Bali. This research used descriptive quantitative method that was exploratory in order to obtain facts of the conditions that exist through surveys in the field and identification in the laboratory. The sampling technique used was purposive sampling with transect quadrant measuring 1 × 1 m with transect determination area of 5 m × 5 m. Sampling was carried out at four stations which included macrozoobenthos samples, measurement of water quality parameters (temperature, salinity, pH, DO, turbidity), and analysis of water-based substrates performed visually. Data from research conducted at three different locations in the Ngurah Rai Tahura mangrove ecosystem area were 55 species with a total abundance at station 1 of 6.68 ind/m2, station 2 of 4.52 ind/m2, and station 3 of 3.55 ind/m2 from the class Gastropoda, Crustacea, Bivalvia, and Polychaeta. Diversity index at the three stations is classified as moderate level with water conditions that have experienced pressure or disturbance.
Keywords: makrozoobentos; water quality; mangrove; Tahura Ngurah Rai
Abstrak
Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai adalah salah satu kawasan ekosistem mangrove di wilayah Bali yang merupakan kawasan bertipe hutan payau. Tahura Ngurah Rai berdasarkan administrasi berada didua kabupaten kota yaitu kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Kawasan Tahura Ngurah Rai ini dikelilingi oleh perumahan, restaurant, perhotelan, mall, dan pertokoan sebagai pusat kegiatan masyarakat yang berpotensi mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem perairan. Tujuan dilakukannya penilitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobentos dan kondisi kualitas perairan pada kawasan ekosistem mangrove di Tahura Ngurah Rai, Bali. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang bersifat eksploratif guna mendapatkan fakta dari kondisi yang ada melalui survei di lapangan dan identifikasi di laboratorium. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan transek kuadran berukuran 1 x 1 m dengan luas wilayah penetapan teransek 5 m x 5 m. Pengambilan sampel dilakukan pada empat stasiun yang meliputi sampel makrozoobentos, pengukuran parameter kualitas perairan (suhu, salinitas, pH, DO, kekeruhan), dan analisa substrat dasar perairan dilakukan secara visual. Data hasil penelitian yang dilakukan pada tiga lokasi berbeda di kawasan ekosistem mangrove Tahura Ngurah Rai ditemukan 55 spesies dengan jumlah total kelimpahan pada stasiun 1 sebesar 6,68 ind/m2, stasiun 2 sebesar 4,52 ind/m2, dan stasiun 3 sebesar 3,55 ind/m2 yang berasal dari kelas Gastropoda, Crustacea, Bivalvia, dan Polychaeta. Indeks keanekaragaman pada ketiga stasiun tergolong tingkat keanekaragaman sedang dengan kondisi perairan telah mengalami tekanan atau gangguan.
Kata Kunci: makrozoobentos; kualitas perairan; mangrove; Tahura Ngurah Rai
Ekosistem Mangrove di Indonesia memiliki wilayah terluas di dunia yang berkisar 4,2 juta ha dan tersebar di daerah yang di pengaruhi oleh pasang surut air laut (Tarigan, 2008). Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai adalah salah satu kawasan ekosistem mangrove di wilayah Bali yang merupakan kawasan bertipe hutan payau. Keberadaan Tahura Ngurah Rai ditetapkan berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan pada Tahun 1993 yang menetapkan taman ini dengan luas sekitar 1373,5 ha. Secara geografis wilayah Taman Hutan Raya Ngurah Rai terletak antara 0o 41’–08o 47’ LS dan 115o 10’ – 115o 15’ BT.
Peranan ekosistem mangrove di Tahura Ngurah Rai membantu perputaran mata rantai makanan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu dengan menyediakan makanan berupa serasah daun bagi organisme penetap (Nontji, 1993) dan secara tidak langsung sebagai tempat tinggal, pemijahan dan asuhan yang terlindung (Valiela, 1984) diantaranya biota penempel pada pohon, membenamkan diri dan biota yang merangkak di dasar perairan, semua biota ini merupakan komunitas makrozoobentos (Tapilatu dan Pelasula, 2012). Timbal balik yang diberikan oleh komunitas makrozoobentos adalah membantu mangrove dalam mendapatkan nutrien dengan cara membantu proses dekomposisi material organik (Ulfah et al., 2012).
Faktor yang mendasari penggunaan hewan makrozoobentos sebagai organisme indikator suatu perairan adalah karena memiliki sifat yang relative pasif atau memiliki mobilitas yang rendah, dengan demikian makrozoobentos akan tetap tinggal dalam paparan cemaran (polutan) lingkungan yang tidak baik, sehingga memiliki kemampuan merespon kondisi kualitas air secara terus-menerus (Indarmawan dan Manan, 2011). Berdasarkan hal di atas dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan di kawasan ekosistem mangrove Tahura Ngurah Rai.
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan ekosistem hutan mangrove Tahura Ngurah Rai (dapat dilihat pada Gambar 1) dari bulan Desember 2018 –
Januari 2019. Pengambilan sampel dilakukan pada tiga lokasi berbeda yaitu stasiun 1 yang berlokasi di Suwung Kauh, Pemogan merupakan kawasan mangrove yang dekat dengan pelabuhan kapal nelayan, adanya aktivitas wisata bahari. Stasiun 2 berlokasi di Segara Batu Lumbang, Pemogan dimana lokasi ini berada dekat dengan Waduk Muara Denpasar. Kawasan mangrove pada lokasi ini dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat seperti nelayan dan terdapat banyak sampah yang berasal dari hotel, mall, dan rumah tangga. Stasiun 3 yang berlokasi di Kampung Kepiting, Tuban dimana kawasan ini dekat dengan jalan tol dan restaurant yang diduga juga dapat mempengaruhi keberadaan makrozoobentos.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
-
2.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: DO meter, refraktometer, pH
pen,turbidity, GPS, transek kuadrat 1×1 m, nampan, kantong plastik, toples, sarung tangan (Glove), cool box, kamera, kertas label, cool box, peralatan tulis, buku identifikasi Bunjamin Dharma (1988) dan Fao Species Identification Guide For Fishery Purposes (Carpenter dan Niem 1998). Sementara bahan yang digunakan yaitu sampel makrozoobentos, alkohol 70%, dan aquades.
-
2.3 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang bersifat eksploratif guna mendapatkan fakta dari kondisi yang ada melalui survei di lapangan dan identifikasi di laboratorium. Penetapan titik sampel dilakukan dengan teknik Purpossive Sampling dimana penentuan titik dan
pengambilan data sampel berdasarkan ciri atau karakteristik tertentu yaitu secara line transek lurus ke arah laut dengan jarak 20 m yang mewakili gambaran keseluruhan ekosistem. Teknik sampling yang digunakan yaitu transek kuadran berukuran 1×1 m dengan luas wilayah penetapan teransek 5×5 m. Setiap stasiun terdiri dari 3 titik, dan pada masing-masing titik ditetapkan 5 petakan transek pengambilan sampel.
-
2.4 Pengambilan Sampel
-
2.4.1 Makrozoobentos
-
Tahap pengambilan sampel makrozoobentos antara lain dilakukan dengan cara mengambil secara langsung makrozoobentos epifauna dan menggali substrat sampai kedalaman kurang lebih 15 cm untuk makrozoobentos infauna, penyaringan, penyortiran, pengawetan, dan identifikasi. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan saringan dan pinset sehingga sampel makrozoobentos terpisah dari serasah dan sedimen. Makrozoobentos yang telah disortir dimasukkan ke dalam wadah sampel yang telah diberi label, kemudian sampel diawetkan menggunakan alkohol 70%. Hasil pengambilan sampel makrozoobentos pada setiap stasiun kemudian dibawa ke laboratorium Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana untuk diidentifikasi menggunakan kaca pembesar dan buku identifikasi makrozoobentos yang berjudul Siput dan Kerang Indonesia, Dharma (1988) dan Fao Species Identification Guide For Fishery Purposes (Carpenter dan Niem, 1998).
-
2.4.1 Kualitas Air
Pengukuran kualitas air dilakukan secara in situ di lapangan dengan pengulangan sebanyak tiga kali agar data kualitas air yang diambil valid pada masing-masing titik. Pengukuran kualitas air yang dilakukan pada tiga titik disetiap stasiun, yaitu sebagai data pendukung dalam kaitannya dengan keberadaan makrozoobentos meliputi suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, dan kekeruhan. Sedangkan analisa substrat dasar perairan dilakukan secara visual.
-
2.5 Analisis Data
-
2.5.1 Kelimpahan Makrozoobentos
-
Kelimpahan makrozoobentos dihitung dengan menggunakan rumus menurut Brower et al. (1990):
ni
Di =
A
(1)
Keterangan:
Di : Kelimpahan individu jenis ke-I (ind/m2)
ni : Jumlah individu ke-i
A : Luas petakan pengambilan sampel (m2)
-
2.5.2 Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos
Keanekaragaman (H') mempunyai nilai terbesar jika semua individu berasal dari genus atau spesies yang berbeda-beda. Sedangkan nilai terkecil didapat jika semua individu berasal dari satu genus atau satu spesies saja. Berikut ini adalah rumus indeks keanekaragaman ShannonWiener (Krebs, 1989):
S
H' =
∑pi Inpi 1=1
(2)
Keterangan :
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
pi = Jumlah individu jenis ke-i per jumlah individu total (ni/N)
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah total individu
S = Jumlah spesies
-
2.5.3 Indeks Keseragaman Makrozoobentos
Indeks keseragaman (Evenness Index) diartikan sebagai nilai yang dapat menjelaskan penyebaran sebagai individu antar spesies yang berbeda dan diperoleh dari hubungan antara keanekaragaman (H') dengan keanekaragaman maksimalnya (Krebs 1989):
E =
H'
HmakS
(3)
Keterangan :
E = Indeks keseragaman
H’ = Indeks keanekaragaman
Hmaks = ln S
S = Jumlah spesies
-
2.5.4 Indeks Dominansi Makrozoobentos
Indeks dominansi digunakan untuk memperoleh informasi mengenai spesies yang mendominasi pada suatu populasi. Odum (1971) untuk mengetahui adanya pendominansian jenis tertentu dapat digunakan indeks dominansi Simpson dengan persamaan berikut:
C = Σ[f (3)
Keterangan :
C = Indeks Dominansi Simpson
ni = Jumlah Individu ke-i
N = Jumlah Total Individu
Rata-rata nilai kelimpahan pada stasiun 1 sebesar 6,68 ind/m2 (Tabel 1) merupakan nilai yang paling tinggi bila dibandingkan dengan stasiun 2 dan 3. Hal tersebut diduga faktor kondisi parameter kualitas air yang cenderung lebih baik sebagai salah satu faktor yang mendukung keberadaan makrozoobentos di stasiun 1. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi kelimpahan adalah substrat perairan dimana pada stasiun 1 substrat dasar perairan berupa berlumpur, pasir berlumpur, pecahan karang dan batu kerikil. Substrat tersebut merupakan yang paling banyak ditemukannya makrozoobentos karena substrat pasir, bebatuan, dan pecahan karang yang menjadi tempat perlindungan makrozoobentos dari arus. Hal tersebut senada dengan pernyataan Odum (1971) substrat dasar yang berupa batu-batu pipih dan batu kerikil merupakan lingkungan hidup yang baik bagi makrozoobentos.
Stasiun 2 yang berlokasi di Segara Batu Lumbang, Pemogan yang merupakan aliran anak sungai badung dan dekat dengan proyek waduk muara. Stasiun 2 memiliki tipe substrat lumpur, pasir berlumpur dan terdapat banyak sampah. Rata-rata nilai kelimpahan pada stasiun 1 didapatkan nilai sebesar 4,52 ind/m2 (Tabel 1) dimana pada stasiun tersebut ditemukan 21 spesies yang merupakan jumlah paling sedikit bila dibandingkan dengan stasiun 1 dan 3. Spesies yang ditemukan di stasiun 2 dengan nilai kelimpahan paling tinggi yaitu Cerithidea sp. sebesar 0,62 ind/m2 dan Pila ampullacea sebesar 0,60 ind/m2. Pila ampullacea banyak ditemukan
Tabel 1
Nilai Rata-rata Kelimpahan Makrozoobentos | ||||
No |
Spesies |
Stasiun (ind/m2) | ||
1 |
2 |
3 | ||
1 |
Acus dimidiata |
0,07 |
- |
- |
2 |
Batillaria diemenensis |
0,09 |
- |
0,53 |
3 |
Biplex perca |
- |
- |
0,02 |
4 |
Buccinum viridum |
- |
0,11 |
- |
5 |
Bullia sp. |
- |
0,31 |
- |
6 |
Calliostoma sp. |
0,02 |
- |
- |
7 |
Cantharus sp. |
- |
0,38 |
- |
8 |
Cerithidea cingulata |
0,62 |
0,16 |
0,24 |
9 |
Cerithidea sp. |
0,42 |
0,62 |
0,13 |
10 |
Cerithium coralium |
- |
- |
0,09 |
11 |
Cerithium sp. |
0,29 |
- |
- |
12 |
Chicoreus capucinus |
0,38 |
0,16 |
0,18 |
13 |
Engoniophos unicinctus |
0,02 |
- |
- |
14 |
Erronea sp. |
- |
- |
0,04 |
15 |
Euspira sp. |
0,04 |
- |
- |
16 |
Fusinus sp. |
- |
- |
0,02 |
17 |
Littoraria sp. |
0,22 |
- |
- |
18 |
Littorina sitkana |
- |
0,09 |
- |
19 |
Littorina sp. |
- |
- |
0,02 |
20 |
Monoplex exaratus |
- |
0,02 |
- |
21 |
Natica sp. |
0,16 |
- |
- |
22 |
Nerita incurva |
0,02 |
0,02 |
0,02 |
23 |
Nerita sp. |
- |
0,11 |
0,13 |
24 |
Phasinella australis |
- |
- |
0,02 |
25 |
Pila ampullacea |
- |
0,60 |
- |
26 |
Pila sp. |
0,51 |
- |
- |
27 |
Pirenella cingulata |
0,40 |
- |
- |
28 |
Polinices sp. |
0,07 |
- |
- |
29 |
Sphaerassiminea miniata |
0,56 |
0,42 |
0,40 |
30 |
Talostolida sp. |
0,02 |
- |
- |
31 |
Tectus triserialis |
- |
- |
0,04 |
32 |
Telecopium telescopium |
0,60 |
0,27 |
0,36 |
33 |
Terebralia palustris |
0,29 |
- |
0,07 |
34 |
Terebralia sp. |
- |
- |
0,49 |
35 |
Terebralia sulcata |
0,47 |
0,20 |
- |
36 |
Turritriton tenuiliratus |
- |
- |
0,02 |
37 |
Vittina coromandeliana |
0,02 |
- |
- |
38 |
Vittina sp. |
- |
0,02 |
0,04 |
39 |
Alpheus lobidens |
- |
- |
0,07 |
40 |
Alpheus sp. |
0,02 |
- |
- |
41 |
Hemigrapsus sp. |
0,04 |
- |
- |
42 |
Ilyoplax sp. |
0,07 |
- |
- |
43 |
Metaplax elegans |
- |
0,09 |
- |
44 |
Metaplax sp. |
0,04 |
0,11 |
- |
45 |
Metopograpsus sp. |
0,07 |
- |
- |
46 |
Pachygrapsus sp. |
0,31 |
- |
- |
47 |
Anadara granosa |
0,11 |
- |
0,11 |
48 |
Anadara pilula |
- |
- |
0,02 |
49 |
Anadara sp. |
0,16 |
0,11 |
0,09 |
50 |
Arcuatula sp |
- |
0,16 |
- |
51 |
Pilsbryoconcha exilis |
- |
0,20 |
- |
52 |
Polymesoda erosa |
0,11 |
- |
- |
53 |
Polymesoda sp. |
- |
- |
0,11 |
54 |
Tapes literatus |
0,13 |
- |
- |
55 |
Nereis sp. |
0,33 |
0,36 |
0,29 |
Kelimpahan Total |
6,68 |
4,52 |
3,55 | |
Jumlah Spesies |
32 |
21 |
25 |
pada stasiun 2 diduga karena spesies tersebut terbawa arus aliran anak sungai Badung kemudian
bermuara di waduk muara. Sementara, spesies yang jumlahnya paling sedikit yaitu dari kelas gastropoda dan crustasea, hal tersebut dipengaruhi adanya kompetisi atau pemangsa, kondisi lingkungan fisika, dan kimia perairan yang kurang baik akibat banyaknya buangan limbah dan sampah yang tidak dapat terurai oleh dekomposer sehingga dapat menyebabkan rendahnya jumlah kepadatan individu dan spesies (Carpenter dan Niam, 1998).
Rata-rata nilai kelimpahan pada stasiun 3 didapatkan nilai sebesar 3,55 ind/m2 (Tabel 1) dimana merupakan nilai yang paling rendah bila dibandingkan dengan stasiun 1 dan 2. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat yang membuang sampah dan limbah yang berasal dari restaurant. Silaen, et al. (2013) menyatakan bahwa kelimpahan makrozoobentos dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan setempat seperti kualitas air dan adanya bahan pencemar seperti sampah, ketersediaan makanan, pemangsa dan kompetisi. Spesies makrozoobentos yang ditemukan dengan nilai kelimpahan yang paling tinggi yaitu dari spesies Batillaria diemenensis yang berasal dari kelas gastropoda. Makrozoobentos yang berasal dari kelas gastropoda banyak ditemukan di stasiun 3 karena memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan (Wulandari et al., 2016).
-
3.2 Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos
Indeks keanekaragaman pada ketiga stasiun memiliki nilai yang variatif dimana pada stasiun 1 didapatkan nilai sebesar 2,91 (Gambar 2) yang merupakan nilai yang paling tinggi bila dibandingkan dengan stasiun 2 dan 3. Nilai indeks keanekaragaman tersebut menurut Odum (1971), termasuk dalam kategori sedang sehingga dapat disimpulkan kondisi perairan telah mengalami tekanan atau gangguan ringan. Tingginya nilai keanekaragaman pada stasiun ini disebabkan karena spesies yang ditemukan heterogen, sehingga tidak ada spesies yang mendominasi pada stasiun tersebut. Sementara indeks keanekaragaman yang paling rendah didapatkan pada stasiun 2 yaitu sebesar 2,47 (Gambar 2). Rendahnya nilai indeks keanekaragaman pada stasiun 2 diduga disebabkan oleh kompetisi, pemangsa, dan kondisi lingkungan. Rentang nilai indeks keanekaragaman pada ketiga stasiun di kawasan ekosistem mangrove Tahura Ngura Rai
yaitu 2,91 - 2,47 dimana nilai tersebut masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh (Ulfa et al., 2018) di kawasan ekosistem mangrove Tahura Ngurah Rai, Bali.
Gambar 2. Diagram Indeks Keanekaragaman
-
3.3 Indeks Keseragaman Makrozoobentos
Hasil perhitungan nilai indeks keseragaman makrozoobentos pada ketiga stasiun menunjukan spesies yang didapatkan seragam dan tidak adanya spesies yang mendominasi. Pada stasiun 1 didapatkan nilai sebesar 0,84, stasiun 2 sebesar 0,81, dan stasiun 3 sebesar 0,79 (Gambar 3), berdasarkan hasil perhitungan indeks keseragaman pada ketiga stasiun menurut Odum (1971) termasuk dalam kategori komunitas stabil.
Gambar 3. Diagram Indeks Keseragaman
-
3.4 Indeks Dominansi Makrozoobentos
Hasil perhitungan nilai indeks dominansi makrozoobentos pada ketiga stasiun menunjukan tidak adanya spesies yang mendominasi. Pada stasiun 1 didapatkan nilai sebesar 0,05, stasiun 2 sebesar 0,07, dan stasiun 3 sebesar 0,08 (Gambar 4), berdasarkan hasil perhitungan indeks dominansi pada ketiga stasiun menurut Odum (1971) termasuk dalam kategori indeks dominansi rendah.
Gambar 4. Diagram Indeks Dominansi
-
3.5 Parameter Kualitas Perairan
Stasiun 1 yang berlokasi di Suwung Kauh, Pemogan memiliki sifat perairan yang payau. Kawasan hutan mangrove di Suwung Kauh memiliki nilai parameter kualitas air yang bervariasi. Pengukuran parameter fisika-kimia perairan ini dilakukan pada pagi hari dimana intensitas cahaya matahari yang diterima masih rendah dan kondisi air dalam keadaan pasang terendah. Data hasil pengukuran suhu pada stasiun 1 memiliki nilai kisaran sebesar 28-29 0C (Tabel 2), nilai tersebut termasuk dalam kategori optimum. Hal tersebut senada dengan pernyataan Nontji (1993) kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 18 sampai 30 0C. Selain itu, berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 menjelaskan bahwa kisaran suhu yang optimum untuk biota mangrove yaitu antara 28 – 32 0C.
Hasil pengukuran salinitas pada stasiun 1 didapatkan nilai kisaran sebesar 16-21 ppt (Tabel 2). Nilai tersebut masih termasuk dalam kisaran nilai optimal bagi kehidupan makrozoobentos. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Hutabarat dan Evans (1985) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan khususnya fauna makrozoobentos adalah 15-35 ppt.
Nilai pH berdasarkan hasil pengukuran pada stasiun 1 didapatkan nilai kisaran sebesar 7-8 (Tabel 2). Nilai tersebut masih dapat ditoleransi
oleh makrozoobentos, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2000) pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar 7-8. Menurut Pratiwi (2010) nilai pH yang menguntungkan bagi kehidupan biota akuatik seperti crustacea adalah tidak kurang dari 5 dan tidak lebih dari 9.
Tabel 2
Kisaran Hasil Pengukuran Kualitas Air Setiap Stasiun
No |
Parameter Kualitas Air |
Stasiun | ||
1 |
2 |
3 | ||
1 |
Suhu (0C) |
28-29 |
29-31 |
27-30 |
2 |
Salinitas (ppt) |
16-21 |
5-14 |
16-19 |
3 |
pH |
7-8 |
6-8 |
7-8 |
4 |
DO(mg/L) |
4-7 |
3-4 |
4-5 |
5 |
Kekeruhan (NTU) |
9-14 |
19-34 |
13-20 |
Data hasil pengukuran DO pada stasiun 1 didapatkan nilai kisaran sebesar 4-7 mg/L (Tabel 2). Nilai DO tersebut merupakan nilai yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan nilai DO pada stasiun 2 dan 3. Tingginya nilai DO pada stasiun 1 dapat disebabkan karena suhu pada stasiun 1 cukup rendah sehingga daya larut oksigen dapat berkurang akibat kenaikan suhu air dan meningkatnya salinitas (Wijayanti, 2007) dalam (Pratiwi dan Ernawati, 2016). Nilai DO pada stasiun 1 masih pada kisaran optimal untuk kehidupan organisme akuatik berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No. 16 Tahun 2016 menyatakan bahwa DO yang baik untuk
kehidupan biota laut yaitu > 5 mg/L. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Subarijanti (2005) dalam Kadim et al. (2017), bahwa kandungan oksigen
dalam air yang ideal adalah antara 3-7 mg/L.
Data hasil pengukuran kekeruhan pada stasiun 1 didapatkan nilai kisaran sebesar 9-14 NTU (Tabel 2), dimana nilai tersebut merupakan nilai yang masih pada kisaran di bawah ambang batas yang berarti optimum bagi kehidupan makrozoobentos. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Pescod (1973) ambang batas maksimum kekeruhan untuk biota akuatik yaitu 30 NTU. Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika-kimia kualitas perairan di stasiun 1 menunjukkan kondisi kestabilan perairan yang masih bagus dan belum tercemar.
Stasiun 2 yang berlokasi di Segara Batu lumbang memiliki sifat perairan yang payau,
karena stasiun ini merupakan kawasan pertemuan air tawar dari aliran anak sungai Badung yang bermuara di waduk muara dengan air laut. Nilai suhu pada stasiun 2 memiliki nilai kisaran sebesar 29-31 0C (Tabel 2), nilai tersebut relatif tinggi bila dibandingkan dengan nilai suhu pada stasiun 1 dan 2. Tingginya nilai suhu tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kandungan oksigen terlarut yang rendah dan intensitas cahaya yang masuk ke dalam air. Kisaran nilai suhu yang diperoleh tersebut masih dalam batas normal bagi biota di kawasan estuaria. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51, (2004) suhu optimum untuk biota yang ada di sekitar kawasan estuaria berkisar antara 28 – 31 0C. Nontji (1993) juga mengatakan bahwa pada umumnya suhu permukaan perairan adalah berkisar antara 28 – 31 oC.
Hasil pengukuran salinitas pada stasiun 2 didapatkan nilai kisaran sebesar 5-14 ppt (Tabel 2). Nilai tersebut merupakan nilai yang paling rendah bila dibandingkan dengan nilai salinitas pada stasiun 1 dan 3. Berdasarkan pernyataan Hutabarat dan Evans (1985) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan khususnya fauna makrozoobentos adalah 15–35 ppt. Rendahnya nilai salinitas pada stasiun 2 dipengaruhi oleh outlet waduk muara yang dibuka sehingga air yang bersifat tawar dari waduk tersebut mengalir sescara terus-menerus. Air tawar yang mengalir dari waduk tersebut secara terus-menerus dalam kurun waktu tertentu mengakibatkan konsentrasi salinitas cendrung menjadi semakin rendah. Selain itu, banyaknya buangan limbah dan sampah yang tersuspensi ke dalam perairan.
Nilai pH berdasarkan hasil pengukuran pada stasiun 2 didapatkan nilai kisaran sebesar 6-8 (Tabel 2). Nilai tersebut relatif rendah bila dibandingkan dengan nilai pH pada stasiun 1 dan 3. Rendahnya pH dapat saja terjadi karena pH di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktivitas fotosintesa biota pada perairan tersebut, suhu, dan salinitas perairan. Kisaran pH hasil pengukuran yang diperoleh tersebut masih dapat ditolerir oleh
makrozoobentos karena masih di bawah ambang batas baku mutu perairan untuk pH berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Selain itu, menurut Odum (1971) nilai pH antara 6–8 sebagai batas aman pH perairan untuk kehidupan biota di dalamnya.
Data hasil pengukuran DO pada stasiun 2 didapatkan nilai kisaran sebesar 3-4 mg/L (Tabel 2), dimana merupakan nilai paling rendah bila
dibandingkan dengan stasiun 1 dan 3. Hal tersebut dipengaruhi oleh waduk muara, permukiman
warga, hotel dan mall sehingga di dalam perairan tersebut banyak terkandung bahan organik dan anorganik. Banyaknya bahan organik tersebut membuat aktivitas bakteri pengurai tinggi. Selain itu, pembuangan sampah dan limbah yang berasal dari rumah tangga, hotel, dan mall tersebut diduga juga menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan rendahnya nilai DO pada stasiun 2. Rendahnya DO diakibatkan oleh kandungan limbah yang tinggi di perairan sehingga banyak dibutuhkan oksigen oleh dekomposer untuk menguraikan bahan organik tersebut (Pratiwi, 2017). Bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Hermawati dan Rany, 2016) di kawasan ekosistem mangrove Kuta Selatan, nilai DO pada satsiun ini tergolong lebih tinggi, namun tetap berpotensi menyebabkan tertekannya keberadaan makrozoobentos.
Hasil pengukuran kekeruhan pada stasiun 2 didapatkan nilai kisaran sebesar 19-34 NTU (Tabel 2), dimana nilai tersebut merupakan nilai dengan tingkat kekeruhan tertinggi bila dibandingkan dengan nilai kekeruhan pada stasiun 1 dan 3. Hal tersebut tidak lain dipengaruhi oleh lokasi stasiun 2 yang dekat dengan permukiman rumah, hotel, mall, dan waduk muara. Menurut Yunitawati et al. (2012) kekeruhan tertinggi diakibatkan banyak limbah dan bahan organik dari pabrik serta rumah tangga yang tersuspensi ke dalam perairan. Namun nilai kekeruhan pada stasiun 2 tersebut masih di bawah ambang batas maksimum. Menurut Pescod (1973) ambang batas maksimum kekeruhan untuk biota akuatik yaitu 35 NTU. Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika-kimia kualitas perairan di stasiun 2 menunjukkan kondisi kestabilan perairan telah mengalami tekanan atau gangguan.
Stasiun 3 yang berlokasi di Kampung Kepiting, Tuban memiliki sifat perairan yang payau karena stasiun ini merupakan kawasan pertemuan air tawar dari aliran anak Sungai Mati yang bermuara di stasiun tersebut. Nilai suhu pada stasiun 3 memiliki nilai kisaran sebesar 27-300C (Tabel 2), nilai tersebut termasuk dalam kategori optimum. Hal tersebut senada dengan pernyataan Nontji (1993) bahwa kisaran suhu yang baik bagi
kehidupan organisme perairan adalah antara 18 sampai 30 0C.
Hasil pengukuran salinitas pada stasiun 3 didapatkan nilai kisaran sebesar 16-19 ppt (Tabel 2). Nilai tersebut masih termasuk dalam kisaran nilai optimal bagi kehidupan makrozoobentos. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Hutabarat dan Evans (1985) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan khususnya fauna makrozoobentos adalah 15 sampai 35 ppt.
Nilai pH berdasarkan hasil pengukuran pada stasiun 3 didapatkan nilai kisaran sebesar 7-8 (Tabel 2). Nilai tersebut masih tergolong normal dan nilai pH tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil pengukuran yang dilakukan di ekosistem mangrove pulau Sembilan Sumatra utara oleh Nasution et al. (2016). Menurut Pratiwi (2010) pH yang menguntungkan bagi kehidupan biota akuatik seperti crustacea adalah tidak kurang dari 5 dan tidak lebih dari 9.
Data hasil pengukuran DO pada stasiun 3 didapatkan nilai kisaran sebesar 4-5 mg/L (Tabel 2). Semakin besar nilai DO dalam air, mengindikasikan bahwa air tersebut memiliki kualitas perairan yang baik, namun sebaliknya bila DO dalam air rendah, dapat diketahui bahwa perairan tersebut telah tercemar (berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004). Berdasarkan hasil pengukuran DO pada stasiun 3, dapat disimpulkan masih pada kisaran nilai optimal untuk kehidupan organisme akuatik khususnya makrozoobentos. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Subarijanti , 2005 dalam Kadim et al., 2017 kandungan oksigen dalam air yang ideal adalah antara 3-7 mg/L. Sementara hasil pengukuran kekeruhan pada stasiun 3 didapatkan nilai kisaran sebesar 13-20 NTU (Tabel 2), dimana nilai tersebut merupakan nilai yang masih pada kisaran di bawah ambang batas yang berarti optimum bagi kehidupan makrozoobentos. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Pescode (1973) ambang batas maksimum kekeruhan untuk biota akuatik yaitu 30 NTU.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpukan bahwa nilai indeks keanekaragaman makrozoobentos yang diperoleh di kawasan Tahura Ngurah Rai pada ketiga
stasiun tergolong dalam tingkat keanekaragaman sedang.
Kondisi perairan pada ketiga stasiun di Tahura Ngurah Rai berdasarkan Baku Mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 dan hasil nilai indeks keanekaragaman makrozoobentos menunjukkan kondisi perairan telah mengalami tekanan atau gangguan.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada Bapak Soma selaku ketua kelompok nelayan Simbar Segara, Bapak Agus selaku ketua kelompok nelayan Kampung Kepiting, dan jajaran staff Tahura Ngurah Rai yang telah membantu dalam proses pengumpulan data.
Daftar Pustaka
Brower, J., Zar, J., Ende, C.V., Kane, K. (1990). Field and laboratory methods for general ecology. Michigan, USA: W. C. Brown Publishers.
Carpenter, K. E. & Niem, V. H. (1998). The Living Marine Resource of the Western Central Pacific Seaweeds, Corals, Bivalves and Gastropods. Rome, Italy: Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Dharma, B. (1988). Siput dan Kerang Indonesia. Jakarta, Indonesia: PT Sarana Graha.
Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta, Indonesia: Kanisius.
Sari, A. H. W., & Ekawati, R. (2016). Profil Hemosit dan Aktifitas Fagositosis Kepiting Bakau (Scylla sp.) yang Terserang Ektoparasit di Ekosistem Mangrove Kuta Selatan, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 2(1), 34 – 39.
Hutabarat, S., & S. M, Evans. (1985). Pengantar
Oseanografi. Jakarta, Indonesia: UI Press.
Indarmawan, T., & Manan, A. (2011). Pemantauan
Lingkungan Estuaria Perancak Berdasarkan Sebaran Makrobenthos. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 3 (2), 215-220.
Kadim, M. K., Pasisingi, N., & Paramata, A. R. 2017. Kajian Kualitas Perairan Teluk Gorontalo dengan menggunakan metode STORET. Depik, 6(3), 235-241.
KLH. (2004). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta, Indonesia: Kementrian Lingkungan Hidup.
Krebs, C. J. (1989). Ecological Methodology. New York, USA: Harper & Row Inc. Publisher.
Nasution, N. A., Djayus, Y. & Mutadi, A. (2016). Sruktur Komunitas Makrozoobenthos di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat
Provinsi Sumatera Utara. Skripsi. Medan, Indonesia: Universitas Sumatera Utara.
Nontji, A. (1993). Laut Nusantara. Cetakan Kedua. Jakarta, Indonesia: Djambatan.
Odum, E. P. (1971). Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pergub Bali. (2016). Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup. Bali, Indonesia: Pemerintah Propinsi Bali.
Pescod, M. D. (1973). Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for Tropical Countries. Bangkok, Thailand: Asean Institut of Technology.
Pratiwi, I. (2017). Karakteristik parameter fisika kimia pada berbagai aktivitas antropogenik hubungannya dengan makrozoobentos di perairan pantai Kota Makassar. Skripsi. Makassar, Indonesia: Universitas Hasanudin.
Pratiwi, M. A., & Ernawati, N. M. (2016). Analisis
Kualitas Air dan Kepadatan Moluska pada Kawasan Ekosistem Mangrove, Nusa Lembongan. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 2 (2), 67-7.
Pratiwi, R. (2010). Asosiasi Krustasea di Ekosistem Padang Lamun Perairan Teluk Lampung. Ilmu Kelautan: Indonesian Journal of Marine Sciences, 15 (2), 66-76.
Silaen, I. F., Hendrarto, B., & Supardjo, M. N. (2013). Distribusi dan Kelimpahan Gastropoda pada Hutan Mangrove Teluk Awur Jepara. Journal of Management of Aquatic Resources, 2 (3), 93-103.
Tapilatu, Y., & Pelasula, D. (2012). Biota Penempel yang Berasosiasi dengan Mangrove di Teluk Ambon
Bagian Dalam. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 4 (2), 267-279.
Tarigan, M. S. (2008). Sebaran dan Luas Hutan
Mangrove di Wilayah Pesisir Teluk Pising Utara Pulau Kabaena Provinsi Sulawesi Tenggara. Journal of Makara Sains, 12(2), 108-112.
Ulfa, M., Juliantara, P. G. S., & Sari, A. H. W. (2018). Keterkaitan Komunitas Makrozoobentos dengan Kualitas Air dan Substrat di Ekosistem Mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 4(2), 179 – 190.
Ulfah, Y., Widianingsih, W., & Zainuri, M. (2012).
Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Wilayah Morosari Desa Bedono Kecamatan Sayung Demak. Journal of Marine Research, 1(2), 188-196.
Valiela, I. (1984). Marine Ecological Processes. New York, USA: Springer-verlag.
Wijayanti, H. (2007). Kualitas Perairan di Pantai Kota Bandar Lampung Berdasarkan Komunitas Hewan Makrobenthos. Tesis. Semarang, Indonesia: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro.
Wulandari., Wahyuningsih, H., & Muhtadi, A. (2016). Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Kawasan Mangrove Desa Bagan Deli Kecamatan medan Belawan. Jurnal Universitas Sumatera Utara, 14(4), 8293.
Yunitawati., Sunarto., Hasan, Z. (2012). Hubungan antara Substrat dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Sungai Cantigi, Kabupaten Indramayu. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 3(3), 221227.
Curr.Trends Aq. Sci. III(1): 88-96 (2020)
Discussion and feedback