Current Trends in Aquatic Science II(2), 94-98 (2019)

Tingkat Kematangan Gonad dan Fekunditas Abalon (Haliotis squamata)

Dewa Ayu Angga Pebriani a* , I Ketut Wija Negara a aProgram StudiManajemen Sumberdaya Perairan/FakultasKelautan dan Perikanan, UniversitasUdayana, Bukit Jimbaran, Badung, Bali-Indonesia

*Penulis koresponden. Tel.: +62-812-496-979-65

Alamat e-mail: [email protected]/ [email protected]

Diterima (received) 23 Juni 2019; disetujui (accepted) 13 Agustus 2019;

Abstract

This study aimed to find out the relationship between the maturity level of female abalone gonads with fecundity and egg diameter size of abalone. The results obtained showed that abalone having gonadal maturity level 1 was in the range of 3-4.5cm; gonadal maturity level 2 in the range size of 4.6-6 cm; and gonadal maturity level 3 in the size range> 6 cm. The results of the abalone gonad histology test showed that abalone with gonadal maturity level 1 had more ootid distribution than the primary oocyte. Gonadal maturity level 2 has more ootid distribution, primary oocytes than secondary oocytes. Whereas in gonadal maturity level 3 it appears that secondary oocytes dominate which means the gonads are mature and ready to be spawned. The oocyte diameter is getting bigger and more similar simultaneously with an increasing level of gonad maturity. Abalone with gonadal maturity level 1 has an average oocyte diameter of 187 μm gonadal maturity level 2 of 190 μm, and gonadal maturity level 3 of 217 μm.Abalone fecundity for gonadal maturity level 1 ranged from 60,480-86,190 oocytes; TKG 2 ranges from 196,560-214,520 oocyte grains; and TKG 3 ranges from 483,600-518,880 oocyte grains. Based on the results obtained, it can be concluded that the higher the level of maturity of the abalone gonad, the greater the fecundity with the distribution of more secondary oocytes seen in the results of the gonad abalone histology test.

Keywords: gonadal maturity level; fecundity; oosit diameter

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat kematangan gonad abalone betina dengan fekunditas dan ukuran diameter telur abalone. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa abalon yang memiliki TKG 1 berada pada kisaran ukuran 3-4,5cm; TKG 2 pada kisaran ukuran 4,6-6 cm ; dan TKG 3 pada kisaran ukuran >6 cm. Hasil uji histologi gonad abalon menunjukkan bahwa abalon dengan TKG 1 memiliki sebaran ootid yang lebih banyak dibandingkan oosit primer. TKG 2 memiliki sebaran ootid, oosit primer yang lebih banyak dibandingkan oosit sekunder. Sedangkan pada TKG 3 terlihat oosit sekunder mendominasi yang mengartikan gonad dalam keadaan matang dan siap untuk dipijahkan. Diameter oosit semakin besar dan seragam seiring dengan semakin meningkatnya tingkat kematangan gonad abalone. Abalon dengan TKG 1 memiliki rerata diameter oosit sebesar 187 µm, TKG 2 sebesar 190 µm, dan TKG 3 sebesar 217 µm. Fekunditas abalon untuk TKG 1 berkisar antara 60.48086.190 butir oosit; TKG 2 berkisar antara 196.560-214.520 butir oosit; dan TKG 3 berkisar antara 483.600-518.880 butir oosit. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kematangan gonad abalon maka fekunditasnya semakin banyak dengan sebaran oosit sekunder lebih banyak yang terlihat pada hasil uji histologi gonad abalon.

Keywords: tingkat kematangan gonad; fekunditas;, diameter telur

  • 1.    Pendahuluan

Kegiatan budidaya semakin berkembang seiring dengan semakin bertambahnya populasi manusia yang menyebabkan kebutuhan pangan meningkat. Beberapa kegiatan budidaya laut yang ada di Bali

diantaranya budidaya kerapu, bandeng, kakap, udang, dan abalon. Budidaya abalone masih sangat jarang dilakukan karena pertumbuhannya yang lambat. Namun kegiatan budidaya abalone memiliki potensi dan dapat mejadi salah satu usaha yang menjanjikan di masa yang akan datang.

Permintaan dunia terhadap abalone dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Adapun pasar utama abalone di negara Asia yaitu Cina, Hongkong, Korea, Jepang dan Singapura, selain Amerika Serikat dan negara Uni Eropa. Namun, hingga saat ini mayoritas produksi abalone dunia masih didominasi dari hasil tangkapan di alam. Pada tahun 2002 diperkirakan produksi abalone dunia mencapai 22.600 ton, dari jumlah tersebut hanya kurang lebih 8.600 ton dihasilkan dari kegiatan budidaya (Rusdi et al., 2010).

Terdapat 7 jenis abalone yang tersebar di perairan laut Indonesia, yaitu H. asinina, H. varia, H. squamata, H. ovina, H. glabra, H. planata, dan H. crebrisculpta (Dharma, 1988 dalam Setyono, 2006). H. asinina, H. ovina, H. squamata dan H. varia merupakan jenis abalon tropis yang terdapat di Indonesia yang telah memiliki pasar internasional, terutama China, Taiwan, dan Korea. Namun dari tujuh jenis abalon tersebut, abalone jenis H. asinina dan H. squamata yang telah berhasil dibudidayaka di Balai Karangasem dan Balai Perikanan Gondol di Bali.

Abalone tergolong hewan yang memiliki nilai eksotik, dan bernilai ekonomis tinggi. Pada daerah tertentu, jenis abalone H. asinina dalam kondisi hidup dijual dengan harga Rp 200.000,-/kg, tetapi jenis lainnya H. squamata dengan harga Rp 600.000,-/kg (Susanto et al., 2010). H. squamata merupakan komoditas budidaya laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Abalone umumnya memiliki nilai gizi daging yang tinggi sehingga sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan variasi sumber protein (Bidaryati et al., 2009).

Budidaya abalone di dunia masih terus dikembangkan untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat, di samping itu harga jual abalone yang cukup tinggi dan cenderung terus meningkat juga merupakan salah satu daya tarik dalam pengembangannya. Abalone memilki prospek pengembangan di masa datang karena berbagai pertimbangan, antara lain teknik budidaya relatif sederhana baik perbenihan maupun pembesaran, dapat dijadikan sebagai mata pencaharian alternatif atau sampingan tanpa harus alih profesi. Pemberian pakan alami berupa makroalga di antaranya Gracillaria dan Ulva sp. yang sementara ini masih melimpah dan bisa diperoleh dari alam (Rusdi et al., 2010).

Kegiatan budidaya abalone dapat berjalan secara berkelanjutan apabila mampu menghasilkan benih secara periodik. Oleh karena itu diperlukan ilmu sebagai dasar untuk membudidayakan abalone dengan hasil produksi yang maksimal. Hal ini dapat dilakukan melalui pemilihan induk yang berkualitas dilihat dari tingkat kematangan gonadnya, fekunditas, dan ukuran diameter telur yang dihasilkan. Selain itu manajemen pemeliharaan yang terkontrol juga perlu diperhatikan seperti manajemen pakan, manajemen kualitas air, dan manajemen kesehatan untuk meningkatkan hasil produksi perikanan laut sehingga kebutuhan protein hewani mampu terpenuhi.

Pengamatan oosit perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi reproduksi abalon sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam kegiatan pembenihan abalone khususnya dalam pemilihan calon induk abalone.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Perikanan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana. Kegiatan penelitian meliputi pengamatan Tingkat Kematangan Gonad (TKG), fekunditas, dan ukuran diameter telur. Sampel diperoleh dari Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP) Gondol sebanyak 9 abalon betina dimana 3 abalon mewakili masing-masing TKG.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sectio set, nampan, cawan petri. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah abalone, air laut, akuades, tisu.

Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan dengan variabel yang lain. Penelitian kuantitatif, adalah penelitian dengan memperoleh data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan (Sugiyono, 2003).

  • 2.1    Penentuan Tingkat Kematangan Gonad

Pengamatan TKG dilakukan dengan melihat bagian samping posterior. Gonad yang sudah matang akan terlihat menggelembung dan tumpul

pada ujung hepatopankreas. Ciri-ciri abalone jantan adalah dengan melihat gonad yang berwarna putih krem, sedangkan ciri-ciri abalone betina adalah dengan melihat gonad yang berwarna kehijauan. Parameter yang menjadi acuan untuk mengetahui TKG abalone adalah melalui ukuran, warna, dan bobot.

Suminto et al. (2010) menyatakan TKG abalone didasari oleh perbandingan Visual Gonad Bulk (VGB) dengan digestive gland atau kelenjar pencernaannya, yaitu:

TKG 1 : gonad stadia recovery, persentase VGB

<25%

TKG 2 : gonad stadia maturing, volume VGB 25

49,99%

TKG 3 : gonad stadia ripe, persentase VGB >50%

Pada umumnya gonad siap memijah pada TKG 3 dengan kondisi gonad gonad penuh dan volumenya melewati bagian cangkangnya dengan persentase >50% dibandingkan dengan kelenjar penceraannya. Melalui bobot tubuh dan bobot gonad dapat diketahui indeks kematangan gonad abalone.

  • 2.2    Diameter Telur

Diameter telur diamati dengan menggunakan mikroskop. Masing-masing telur diletakkan di atas objek glass cekung, diamati dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler untuk melihat ukuran diameter telur (Susanto, 2006).

  • 2.3    Perhitungan Fekunditas

Fekunditas merupakan jumlah telur yang dihasilkan pada masa satu kali memijah. Induk abalone mampu menghasilkan 1.400.000 butir telur setiap satu kali memijah. Penentuan fekunditas dilakukan dengan metode gabungan antara metode gravimetrik dan volumetrik dengan menggunakan rumus (Effendie, 2002):

G ×X ^

(1)


dimana F adalah fekunditas (butir); G adalah berat gonad total (gram); Q adalah berat telur contoh (gram); X adalah jumlah telur contoh (butir); dan V adalah volume pengenceran

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Tingkat Kematangan Gonad

Hasil TKG abalon berdasarkan variasi ukuran yang ada diperoleh hasil pada Tabel 1.

Tabel 1.

Hasil Pengamatan Tingkat Kematangan Gonad Abalon

TKG

(visual)

Ukuran (cm)

TKG (histologi)

1

3 - 4,5

~ EO

I op I

2

4,6 – 6

⅛? ® S np I

3

>6

' J OS I

HEτ⅞L^ *BKm9SMI

Abalon dengan TKG 1 berada pada rentang ukuran 3-4,5 cm dimana pada pengamatan histologi dapat jelas terlihat jaringan baru tersusun atas oogonia (OG) dan oosit primer (OP). Abalon pada tingkat kematangan gonad 2 berada pada kisaran 4,6-6 cm dengan hasil histologinya terlihat terdiri atas oogonis (OG), oosit primer (OP) dan OS (oosit sekunder) dimana perbandingan oosit sekunder lebih sedikit jumlahnya dibandingkan oogonia dan oosit primer. Abalon dengan TKG 3 memiliki ukuran >6 cm yang menandakan abalon sudah pada tahap dewasa dengan ditandai adanya oosit sekunder (OS) yang jumlahnya mendominasi dibandingkan oosit primer (OP). Ukuran telur pada TKG 3 hampir seragam pada stadia oosit

sekunder yang menandakan telur siap akan dipijahkan.

TKG abalon dapat dilihat melalui pengamatan secara visual ataupun dengan pengamatan histologi. Secara visual abalon yang telah matang gonad akan memiliki ukuran gonad yang lebih besar dibandingkan abalon yang belum matang gonad. Secara histologi dapat dilihat abalon dengan TKG 3 (matang gonad) akan memiliki sebaran telur dengan jumlah telur yang lebih banyak dan ukuran telur yang lebih besar dibandingkan dengan abalon yang belum matang gonad. Selain ukuran telur, parameter yang dapat dilihat perbedaannya antara TKG 1,2 dan 3 adalah fekunditas atau jumlah telur yang dihasilkan.

Sesuai dengan pernyataan Widodo (2013) yang menyampaikan bahwa semakin tinggi kedewasaan ikan betina maka produksi oosit sekunder di dalam ovariumnya semakin banyak, sedangkan semakin banyak jumlah oosit primer di dalam ovarium menandakan semakin rendahnya tingkat kedewasaan ikan. Gonad pada TKG 3 memiliki tingkat kematangan gonad terbaik dilihat dari persentase oosit sekundernya mencapai 80% dan oosit primernya 20%. Pada tahap ini abalone sudah mencapai pada tahapan gonad matang penuh (ripe).

  • 3.2    Diameter Oosit

Diameter oosit dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengetahui kualitas oosit. Tingkat Kematangan Gonad menjadi salah satu faktor yang menentukan besar kecilnya diameter telur. Hasil pengukuan diameter oosit dapat dilihat pada Tabel 2.

Ukuran rata-rata oosit abalone pada TKG 1 adalah 187 µm, TKG 2 sebesar 190 µm dan TKG 3 sebesar 217 µm. TKG secara langsung mempengaruhi ukuran diameter telur di dalamnya, karena semakin matang gonad maka diameter telur juga akan semakin besar. Menurut Suminto et al. (2010), diameter telur yang mampu dibuahi adalah pada stadia ripe yaitu TKG 3 dengan ukuran diameter telur berkisar antara 193,55-238,41 µm. Effendie (2002) menambahkan kualitas telur dapat dilihat dari ukurannya. Hal ini berhubungan langsung dengan semakin besarnya ukuran kuning telur yang berfungsi sebagai cadangan makanan saat larva. Gambar 1 merupakan hasil pengukuran diameter oosit dengan menggunakan mikroskop.




Gambar 1. Hasil Pengukuran Oosit Abalon (A: TKG 1; B: TKG 2; C: TKG 3)

Berdasarkan hasil pengukuran dari 3 sampel abalone untuk masing-masing TKG diperoleh hasil rata-rata diameter oosit abalone seperti pada Tabel 3. Oosit pada stadia ripe (matang gonad) akan mempertinggi tingkat FR (Fetching Rate). Kualitas oosit (diameter oosit dan fekunditas) sangat menentukan tingkat FR pada kegiatan pemijahan yang berdampak pada hasil produksi.

3.3 Fekunditas Tabel 2.


Hasil Pengukuran Diameter Oosiit Abalon

Berdasarkaan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa abalon pada TKG 1,2 dan 3 terlihat perbedaan jumlah telurnya. TKG 1 memiliki rata-

TKG

Diameter (µm)

Total

Rerata

1

2

3

1

190

180

190

560

187

rata fekunditas 77.050 butir telur, TKG 2 memiliki rata-rata 205.853 butir telur, dan TKG 3 memiliki

2

190

180

200

570

190

rata-rata 498.720 butir telur. Hal ini menunjukkan bahwa  semakin  tinggi  tingkat  kematangan

3

200

230

220

650

217

gonadnya maka fekunditasnya akan semakin banyak.


Jumlah oosit dalam gonad dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal salah


satunya diameter telur. Sesuai dengan pernyataan Nikolsky (1963) menyampaikan bahwa fekunditas organisme sangat dipengaruhi oleh diameter telur.

Tabel 3.

Fekunditas Abalon

TKG

Ulangan

Fekunditas

Rata-rata

1

60.480

1

2

84.480

77.050

3

86.190

1

206.480

2

2

196.560

205.853

3

214.520

1

518.880

3

2

483.600

498.720

3

493.680

Jumlah oosit dalam gonad dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal salah satunya diameter telur. Sesuai dengan pernyataan Nikolsky (1963) menyampaikan bahwa fekunditas organisme sangat dipengaruhi oleh diameter telur.

  • 4.    Simpulan

Abalon pada tingkat kematangan gonad yang lebih tinggi akan memiliki lebih banyak oosit sekunder dengan ukuran yang seragam dan jumlah telur (fekunditas) yang lebih banyak. Informasi dapat dijadikan sebagai acuan dalam pemilihan calon induk abalone dalam kegiatan pembenihan.

Ucapan terimakasih

Ucapan terimakasih disampaikan kepada pihak Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP) Gondol dalam penyediaan abalone yang digunakan sebagai sampel. DIPA PNBP Universitas Udayana yang telah membiayai

penelitian ini dan pihak lainnya yang terlibat dalam penyelesaian penelitian ini.

Daftar Pustaka

Bidaryati, A., J. & Chandra, F. Azhar. (2009). Pembenihan Abalon Haliotis asinina di Balai Budidaya Laut Lombok, Nusa Tenggara Barat. Program Kreativitas Mahasiswa. Bogor, Indonesia: Institut Pertanian Bogor.

Effendie, M. I. (2002). Biologi Perikanan. Yogyakarta, Indonesia: Yayasan Pustaka Nusantara.

Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. USA:

Academic Press.

Rusdi, I., Rahmawati, R., Susanto, B., Giri, A. (2010). Pematangan Gonad Induk Abalon Haliotis squamata melalui Pengelolaan Pakan. Jurnal Riset Akuakultur. 5(3), 383-391.

Setyono, D. E. D. 2006. Reproductive aspect of tropical abalone,  Haliotis  asinina,  & Lombok southern

Lombok waters,  Indonesia. Marine Research in

Indonesia. 30, 1-14.

Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Edisi 1, Bandung: Alfabeta.

Suminto, Sani, D. A. P.,  & Susilowati, T.  (2010).

Prosentase    Perbedaan    Pengaruh    Tingkat

Kematangan Gonad terhadap Fertilitas dan Daya Tetas Telur dalam Pembenihan Buatan Abalon (Haliotis asinina). Jurnal Saintek Perikan. 6(1), 79-87.

Susanto, B., Rusdi, I., Rahmawati, R., Giri, A., &Sutarmat, T.  (2010). Aplikasi Teknologi Pembesaran Abalon

(Haliotis squamata) dalam Menunjang Pemberdayaan Masyarakat  Pesisir.   Prosiding Forum Inovasi

Teknologi Akuakultur. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol. Bali. p:295-305.

Susanto, B., Rusdi, I., Ismi, S., & Rahmawati, R. (2010). Pemeliharaan Yuwana Abalon (Haliotis squamata) Turunan F-1 secara Terkontrol dengan Jenis Pakan Berbeda. Jurnal Riset Akuakultur, 5(2), 199-209.

Susanto, H.  (2006).  Biologi Reproduksi Ikan Tunisi

(Pristipomoides filamentosus, Valenciennes 1830) di Perairan Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi. Bogor, Indonesia: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Widodo, M. S. 2013. Penangkaran Ikan Gabus Lokal (Chana gachua) dalam Upaya Konservasi. Disertasi. Malang, Indonesia:   Program Pascasarjana, Universitas

Brawijaya.

Curr.Trends Aq. Sci. II(2): 94-98 (2019)