Current Trends in Aquatic Science III(1), 54-61 (2020)

Keterkaitan Tingkat Kesuburan Perairan Keramba Jaring Apung dengan Fitoplankton di Desa Terunyan, Danau Batur, Bali

Ifan Martin Nopem a*, I Wayan Arthana a, Ayu Putu Wiweka Krisna Dewi a a Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Bali-Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-812-462-289-56

Alamat e-mail: [email protected]

Diterima (received) 28 November 2019; disetujui (accepted) 24 Februari 2020

Abstract

Aimed of this study was to determine the relationship of the level of water prosperity in the waters of cage with phytoplankton in Terunyan Village, Batur lake. Data collected once a week in three months from November 2018 -January 2019. This study used descriptive methods and sampling points were determined using a purposive sampling technique based on the number of cage in the lake which consists of 3 points. Points 1 was the maximum number of cage of ± 500 pieces. Points 2 has a smaller number of cage which was ± 200 pieces. Points 3 was in location of no cage site. The abundance of phytoplankton tend to be less in the point that had more cages and overall the study obtained 14 phytoplankton genera from 4 phyla. The value of phytoplankton Abundance ranges from 4647 -7374 sel/L which is cathegorized in mesotrophic waters. The results of measurement of water quality parameters in a row with the range TSS 5.0 - 6.7 mg/L; Ammonia 0.155 - 0.177 mg/L; Nitrate 0.288 - 0.306 mg/L; Phosphate 0.207 - 0.565 mg/L; pH 7.9 - 8.0; Temperature 26 - 270C, Turbidity 3.049 – 3.410 NTU; DO 6.4 - 6.9 mg/L; Brightness 135.3 - 140.1 cm and TDS 107.5 -130 mg/L.

Keywords: Abundance of Phytoplankton; Floating Cage; Mesotrophic

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan tingkat kesuburan perairan dengan fitoplankton di perairan KJA Desa Terunyan, Danau Batur. Pengambilan data dilakukan setiap satu minggu dalam waktu tiga bulan dari bulan November 2018 – Januari 2019. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan penetapan titik sampling dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling yang didasarkan atas jumlah KJA di Danau tersebut yaitu terdiri dari 3 titik. Titik 1 merupakan jumlah KJA yang paling banyak berjumlah ±500 buah. Titik 2 memiliki jumlah KJA yang lebih sedikit yaitu berjumlah ±200 buah. Titik 3 merupakan lokasi yang tidak terdapat KJA. Kelimpahan fitoplankton dimana cenderung lebih rendah dari pada titik yang padat KJA dan secara keseluruhan hasil peneltian mendapatkan 14 genus fitoplankton dari 4 filum. Nilai kelimpahan fitoplankton berkisar antara 4647 – 7374 sel/L yang termasuk ke dalam perairan mesotrofik. Hasil pengukuran parameter kualitas air secara berturut-turut dengan kisaran TSS 5,0 – 6,7 mg/L; Amoniak 0,155 – 0,177 mg/L; Nitrat 0,288 – 0,306 mg/L; Fosfat 0,207 – 0,565 mg/L; pH 7,9 – 8,0; Suhu 26 – 270C, Kekeruhan 3,049 – 3.410 NTU; DO 6,4 – 6,9 mg/L; Kecerahan 135,3 – 140,1 cm dan TDS 107,5 – 130 mg/L.

Kata Kunci: KJA; Kelimpahan fitoplankton; Mesotrofik

  • 1.    Pendahuluan

Danau Batur merupakan danau yang memiliki hasil pemanfaatan yang tinggi sehingga Danau

Batur termasuk danau yang diprioritaskan. Hal ini disebabkan banyak faktor, seperti kegiatan masyrakat, industri pariwisata, dan Danau Batur tidak memiliki outlet yang dapat berpengaruh

terhadap kualitas perairan. Penurunan kualitas perairan akan semakin meningkat dengan adanya peningkatan produktivitas perikanan berupa Keramba Jaring Apung (KJA).

Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan salah satu metode yang digunakan masyarakat dalam proses budidaya ikan air tawar. Umumnya KJA digunakan pada perairan tawar seperti danau dan waduk. Budidaya ikan di Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan kegiatan positif yang dapat meningkatkan pendapatan nelayan secara teratur. Selain berdampak positif budidaya ikan di Keramba Jaring Apung dapat berdampak negatif yaitu terjadinya penurunan kualitas air akibat limbah selama kegiatan budidaya. Proses penurunan kualitas perairan yang disebabkan oleh peningkatan produktivitas perikanan Keramba Jaring Apung diawali oleh sisa – sisa pakan ikan maupun hasil pencernaan ikan (feses) berupa unsur Nitrogen dan Fosfor.

Hasil pencernaan ikan (feses) ataupun sisa – sisa pakan mimiliki unsur Nitrogen dan Fosfor. Peningkatan Nitrogen dan Fosfor akan mempengaruhi mikroorganisme terkhususnya fitoplankton. Fitoplankton merupakan organisme yang sensitif terhadap perubahan nutrien seperti N dan P (Eddy, 2016). Fitoplankton merupakan makhluk hidup yang memiliki peranan penting dalam suatu ekosistem terutama terhadap zooplankton yang menjadi penghubung antara produsen pertama dengan konsumen kedua. Selain menjadi produsen dalam sistem rantai makanan, fitoplankton juga dapat digunakan menjadi indikator kesuburan perairan.

Kesuburan perairan merupakan tingkatan mengenai tinggi dan rendahnya unsur hara dalam perairan. Tingginya unsur hara dapat meningkatkan pertumbuhan fitoplankton dan dapat mengakibatkan buruknya status ekologi perairan (Zulfia dan Aisyah, 2016). Hal ini dikarenakan, unsur hara N dan P merupakan unsur hara yang penting dalam pertumbuhan fitoplankton. Maka dari itu, perlu adanya analisis terhadap keterkaitan tingkat kesuburan perairan di KJA dengan struktur plankton di Danau Batur, Desa Terunyan, Bali.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama tiga bulan yaitu dimulai Bulan November 2018 – Januari 2019 di Desa Terunyan, Danau Batur, Bali dengan pengambilan sampel setiap 1 bulan sekali (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Danau Batur Desa Terunyan,Bali

  • 2.2    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu suatu metode yang menjelaskan suatu keadaan melalui variabel-variabel yang bisa dijelaskan baik dengan angka maupun dengan kata-kata secara sistematik. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah metode purposive sampling dimana metode ini untuk menetapkan titik pengambilan sampel penelitian. Penetapan titik yang didasarkan atas jumlah KJA di Danau tersebut yaitu terdiri dari 3 titik. Titik 1 merupakan jumlah KJA yang paling banyak berjumlah ±500 buah. Titik 2 memiliki jumlah KJA yang lebih sedikit yaitu berjumlah ± 200 buah. Titik 3

merupakan lokasi yang tidak terdapat KJA. Terdapat 3 stasiun KJA berjumlah banyak, sedang dan tidak ada KJA.

  • 2.3    Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah plankton net 30µm, botol sampel, coldbox, DO meter (LUTRON, DO-5509), pH meter (VIVOSUN), secchi disk, turbidity meter (LUTRON, TU-2016), sedgewickrafter, meteran, pipet tetes, mikroskop (OLYMPUS CORPORATION, CX-21FS1), kamera mikroskop (opticlab), laptop, Buku identifikasi plankton Easy Identification of the Most Common Fresh water algae A Guide for the Identification of Microscopic Algae in South African Freswaters (Van

Vuuren et al., 2006), kamera dan alat tulis. Bahan formalin 4%, lugol 4%, air sampel dan aquades.

  • 2.4    Pengumpulan Data

Pengukuran kualitas air yang diukur secara in situ (suhu, pH, kekeruhan, kecerahan, dan DO) dan ex situ (nitrat dan fosfat) dilakukan di UPT. Balai Laboratorium    Kesehatan    Provinsi    Bali.

Pengambilan sampel   dilakukan   dengan

menggunakan ember plastik volume 10 L di bagian permukaan perairan pada setiap titik pengambilan sampel dilakukan. Pengambilan contoh air untuk pengukuran kualitas air Nitrat dan Fosfat menggunakan botol plastik volume 1,5 L. Pengambilan sampel plankton menggunakan plankton net berukuran di bawah 30µm untuk fitoplankton dan menggunakan ember dengan volume 10 L dengan 10 kali ulangan kemudian disimpan dalam botol sampel dan di awetkan dengan lugol dan formalin.

  • 2.5    Analisis Data


2.5.1. Kelimpahan Fitoplankton

Perhitungan kelimpahan plankton menggunakan metode ‘Lackey drop microtransect counting’ (APHA,2005).


N=n-×-×-


BDE


(1)


dimana A merupakan jumlah kotakan pada Sedgewick Rafter (1000 kotak); B adalah jumlah kotakan yang diamati (125 kotak); C adalah volume air sampel yang tersaring (ml); D adalah volume air sampel yang diamati (ml); E adalah volume air yang disaring (L) N adalah kelimpahan (sel/L) dan n adalah Jumlah individu perlapang pandang.

2.5.2. Indeks Keanekaragaman

Menurut (Odum, 1996) Jika : nilai H’ < 1,5 maka keanekaragaman jenis rendah; nilai 1,5 < H’ < 3,5 maka keanekaragaman jenis sedang; serta nilai H’ > 3,5 maka keanekaragaman jenis tinggi.


S


H' =


PiInPi i=ι


(2)


dimana H’ adalah Indeks keanekaragaman jenis (Shanon-Wiener) (Wilhm dan Dorris, 1968); Pi merupakan pembagian dari ni/N; dan Ni adalah Kelimpahan jenis pada peringkat ke-i dan N adalah Kelimpahan total

  • 2.5.3.    Indeks Keseragaman

e= ^ ^Hansks                                    (3)

dimana E adalah indeks keseragaman; H’ adalah Indeks keanekaragaman; H maks adalah log S; S adalah jumlah spesies, dengan kriteria 0 < E ≤ 0,5 keseragaman plankton kecil; 0,5 < E ≤ 0,75 adalah keseragaman plankton sedang dan 0,75 < E ≤ 1 adalah keseragaman plankton tinggi (Odum, 1996).

  • 2.5.4.    Indeks Dominansi

Indeks dominansi bernilai 0 – 1. Apabila nilai C mendekati satu, menandakan ada spesies plankton yang mendominansi. Apabila nilai C mendekati nol, menandakan tidak ada spesies plankton yang mendominansi (Odum, 1996).

S

c = ∑ni∕N2                             (4)

i=ι

dimana C adalah Indeks dominansi; ni adalah jumlah individu jenis ke-i; N adalah jumlah total individu. Indeks dominansi bernilai 0 – 1.

  • 2.6 Tingkat Kesuburan

Status kesuburan perairan dapat dilihat dari kelimpahan plankton. Landner (1978) dalam Suryanto dan Herawati (2009) menyatakan bahwa setiap tempat terdapat perbedaan kelimpahan plankton maka perairan dapat dibagi berdasarkan kelimpahan fitoplankton yaitu :

  • 1.    Perairan Oligotrofik merupakan perairan yang tingkat kesuburan rendah dengan kelimpahan fitoplankton berkisar antara 0 – 2.000 sel/L.

  • 2.    Perairan Mesotrofik merupakan perairan yang tingkat kesuburan sedang dengan kelimpahan fitoplankton berkisar antara 2.000 – 15.000 sel/L.

  • 3.    Perairan Eutrofik merupakan perairan yang tingkat kesuburan tinggi dengan kelimpahan fitoplankton berkisar antara >15.000 sel/L.

3. Hasil dan Pembahasan


  • 3.1    Komposisi Fitoplankton

Berdasarkan hasil pengamatan fitoplankton secara keseluruhan, fitoplankton ditemukan 4 filum yaitu Bacillariophyceae (6 Genus), Chlorophyceae (3 Genus), Cyanophyceae (4 Genus), Euglenaphyceae (1 Genus) (Tabel 2.). Komposisi jenis dari empat filum yang ditemukan ternyata filum Bacillariophyceae, Chyanophyceae dan Chlorophyceae memiliki komposisi jumlah genus yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan filum Euglenaphyceae. Hal ini diduga karena ketiga filum tersebut merupakan filum yang dapat beradaptasi dengan mudah di perairan sedangkan filum Euglenaphyceae tidak mudah beradapatasi. Eddy (2016) menyatakan bahwa Ketiga filum Bacillariophyceae, Cyanophyceae dan Chlorophyceae mempunyai sifat yang sama dikarenakan ketiga filum tersebut merupakan mikroalga utama yang dapat ditemukan disetiap perairan.

Bacillariophyceae memiliki jumlah komposisi tertinggi yaitu sebesar 6 genus. Hal ini diduga karena filum Bacillariophyceae dapat beradaptasi di setiap perubahan musim. Menurut Nurcahyani

et al. (2016) mengatakan bahwa filum Bacillariophyceae merupakan filum yang mempunyai sifat yang dapat bertahan pada kondisi ekstrim, mudah beradaptasi dan mempunyai daya reproduksi yang tinggi.

Euglenaphyceae memiliki komposisi genus terendah diduga karena fitoplankton ini memiliki adaptasi yang rentan terhadap perubahan faktor lingkungan terutama pada perubahan musim. Hal ini didukung oleh Widiana (2012) bahwa genus ini lebih menyukai hidup pada perairan yang relatif bersih. Rendahnya kelimpahan dari genus Phacus juga diduga karena genus ini tidak mampu bertahan dan menyesuaikan diri pada lingkungan terutama pada perairan tercemar berat seperti pada lokasi penambangan emas. Berdasarkan titik pengambilan sampel berada didekat KJA yang diduga memberikan masukan cemaran di perairan Danau Batur. Transisi cuaca hujan dapat mempengaruhi perubahan kualitas air. Ligęza dan Wilk (2011) mengatakan bahwa Turbulensi air yang lebih besar di ekosistem sungai dan adanya peningkatan jumlah bahan tersuspensi, terutama

Tabel 1

Analisis Perhitungan Fitoplankton

No

Genus

Kelimpahan disetiap ttik (sel/1)

Titik 1

Titik 2

Titik 3

Bacillariophyceae

1

Climacospenia

-

7

-

2

Cylotella

-

73

34

3

Navicula

227

427

453

4

Pinnularia

120

-

13

5

Syenedra

540

661

973

6

Fragilaria

14

53

26

Total

901

1221

1499

Clilorophyceae

7

Cosmarium

367

274

360

8

Gelocytis

13

-

0

9

Mougeotia

13

54

40

Total

393

328

400

Cyanophyceae

9

Chroccocus

3354

5700

5266

10

Oscilatoria

40

13

80

11

Anabeana

33

54

20

12

Merismopedia

240

347

280

Total

3667

6114

5646

Euglenaphyceae

13

Phacus

-

20

7

Total

-

20

7

Kelimpahan Total

4961

7683

7552

Indeks Keanekaragaman

(H')

1.20

1.03

1.10

Indeks Keseragaman (E)

0.45

0.39

0.42

Indeks Dominansi (D)

0.48

0.56

0.51


selama musim semi dan periode musim gugur dari air yang tinggi, menyebabkan kerusakan mekanis pada sel dan menurunkan fotosintesis penurunan transparansi, dengan demikian mengurangi keanekaragaman kualitatif dan kuantitatif komunitas Euglenaphyceae.

  • 3.2    Kelimpahan Fitoplankton dan Kesuburan Perairan

Kelimpahan jenis plankton merupakan nilai dari hasil perhitungan jumlah individu per satuan volume air (sel/liter). Kelimpahan total fitoplankton dari titik 1 sampai titik 3 yaitu (Tabel 2): 4.961 (sel/L); 7.683 (sel/L); 7.552 (sel/L). Kelimpahan total fitoplankton dari ketiga pengambilan sampel di titik 2 merupakan kelimpahan total tertinggi dibandingkan dengan kelimpahan total di titik 1 dan titik 3 yaitu sebesar 7.683, kelimpahan total di titik 3 adalah sebesar 7.552 dan kelimpahan total terendah didapatkan di titik 1 yaitu sebesar 4.691.

Titik pengambilan sampel memiliki karakterisitik yang berbeda adanya keramba jaring apung dengan tidak adanya keramba jaring apung. Kelimpahan di titik 1 merupakan kelimpahan total terkecil dibandingkan dengan titik 2 dan titik 3. Hal ini diduga karena di titik 1 pengambilan sampel dekat dengan keramba dan menyebabkan fitoplankton di daerah keramba jaring apung banyak yang termakan oleh ikan-ikan budidaya sehingga kelimpahannya berkurang. Menurut Taofiqurohman et al. (2007) Salah satu jenis fitoplankton yang disukai ikan sebagai pakan alaminya adalah Navicula sp. Hal ini di dukung dengan jumlah kelimpahan pada genus Navicula lebih sedikit pada titik 1 dibandingkan dengan titik 2 dan titik 3.

Berdasarkan data dari ketiga data kelimpahan yang ada, kelimpahan di titik 2 dan titik 3 memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan pada titik 2 pengambilan sampel dilakukan pada lokasi yang tidak terlalu jauh dengan adanya kegiatan keramba sedangkan di titik 3 tidak adanya kegiatan keramba. Pada penelitian yang dilakukan Samudra et al. (2013) memiliki hasil yang sama dimana titik yang dilakukan pengambilan sampel yang terdapat adanya kegiatan keramba memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan perairan non keramba.

Kelimpahan fitoplankton di ketiga titik memiliki jumlah nilai sebesar 4.647 – 7.374 sel/L

dimana nilai tersebut tergolong dalam perairan mesotrofik. Penelitian yang dilakukan oleh Sidaningrat et al. (2018) di Danau Batur menunjukkan perairan dengan jumlah nilai kelimpahan sebesar 2.686 – 2.983 sel/L tergolong dalam perairan mesotrofik. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan pada titik 1 sampai titik 3 memiliki nilai kesuburan yang sedang dengan kelimpahan fitoplankton berkisar antara 2.000 – 15.000 sel/L (Landner, 1978).

Perbandingan kelimpahan antara Bacillariophyceae dan Chlorophyceae memiliki jumlah kelimpahan yang berbeda yang dimana jumlah filum Bacillariophyceae lebih banyak dari filum Chlrophyceae. Berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Samudra et al. (2013) di Danau Rawa Pening menunjukan bahwa filum Chlorophyceae memilki nilai yang tinggi. Dominansi jumlah dan jenis Chlorophyceae dapat mengindikasikan bahwa suatu perairan mengalami eutrofikasi. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya eutrofikasi di perairan adalah bergantinya populasi fitoplankton yang dominan dari kelompok Bacillariophyceae (Diatom) menjadi Chlorophyceae, sehingga berdasarkan komposisi fitoplankton secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Danau Batur di perairan Desa Terunyan tergolong dalam kategori perarian mesotrofik.

  • 3.3    Indeks Ekologi

Nilai indeks keanekaragaman di titik 2 dan 3 mengindikasikan kaenekaragaman tergolong kategori rendah sedangkan pada titik 1 tergolong kategori sedang (Odum, 1996). Hal ini dikarenakan perbedaan karakteristik titik pengambilan sampel yaitu titik 1 letaknya dekat dengan KJA sedangkan di titik 2 dan 3 letaknya jauh dengan KJA. Hasil nilai indeks tersebut hampir sama dengan Danau Batur yang dilakukan oleh Sidaningrat (2018) sebesar 0,77 – 0,90 (Tabel 1.). Kondisi ini mencerminkan biota yang mudah berubah hanya dengan mengalami pengaruh lingkungan yang relatif kecil.

Berbeda halnya dengan nilai indeks keanekaragaman, nilai indeks keseragaman pada penelitian ini berkisar antara 0,60 – 0,66 pada setiap waktu pengambilan sampel dan tergolong kategori sedang (Tabel 1.). Hal ini menunjukan nilai indeks keseragaman dari penelitian ini

menunjukan bahwa keseragaman fitoplankton sedang (Odum, 1996). Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan Sidaningrat (2018) di Danau Batur yang mendapatkan hasil indeks keseragman rendah. Hal ini dikarenakan perbedaan pengambilan titik sampel yang dilakukan berbeda. Penyebaran jenis fitoplankton yang tidak sama pada setiap stasiun menunjukkan pengaruh yang terjadi pada setiap titiknya berbeda. Diduga hanya jenis fitoplankton tertentu yang mampu hidup pada toleran kualitas perairan disetiap titiknya.

Nilai indeks dominansi yang diperoleh pada setiap pengambilan sampel memiliki nilai indeks berkisar 0,32 – 0,41 (Tabel 1). Nilai indeks dominansi menunjukan bahwa tidak ada fitoplankton yang dominansi. Hasil penelitian ini berbeda dengan nilai indeks dominansi yang didapatkan pada penelitian Sidaningrat (2018) yang mendapatkan bahwa ada jenis fitoplankton yang mendominasi. Kondisi ini menunjukkan struktur komunitas yang stabil, kondisi lingkungan yang cukup prima dan tidak terjadi tekanan ekologis terhadap biota di habitat bersangkutan.

  • 3.4    Kualitas Air

Nitrat pada setiap pengambilan sampel berkisar 0,288 – 0,306. Nilai tertinggi pada parameter nitrat terdapat di titik 1 dan terendah di titik 2. Berbeda dengan yang didapatkan Suardiani (2018) di Danau Buyan dimana nilai nitrat tertinggi yang didapatkan sebesar 0,871 mg/L. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan karakteristik di setiap titik dan Danau. Keberadaan KJA mempengaruhi nilai nitrat. Hal ini didukung dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa Nitrat dalam suatu perairan dipengaruhi oleh buangan yang berasal dari kegiatan pertanian(pemupukan), kegiatan perikanan dan kegiatan industri. Menurut Asriyana dan Yuliana (2012) untuk pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan nitrat pada kisaran 0,9 – 3,5 mg/L. Merujuk dari Asriyana dan Yuliana (2012) bahwa Hasil nitrat yang berkisar 0,288 – 0,306 mg/L di Danau Batur menunjukan hasil yang optimum.

Fosfat yang diperoleh pada setiap waktu pengambilan sampel berkisar 0,207 – 0,565 mg/L. Berbeda dengan yang didapatkan Suardiani (2018) dimana nilai Fosfat tertinggi yang didapatkan sebesar 1,880 mg/L. Fosfat merupakan unsur hara

penting dalam kualitas perairan dan menjadi faktor pembatas pada pertumbuhan fitoplankton. Menurut Asriyana dan Yuliana (2012) untuk pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan ortopospat adalah 0,09 – 1,80 mg/L. Merujuk dari Asriyana dan Yuliana (2012) bahwa Hasil Fosfat yang berkisar 0,207 – 0,565 mg/L di Danau Batur menunjukan hasil yang optimum.

Hasil yang diperoleh untuk parameter pH berkisar 7,9 – 8,0. Dilihat dari hasil pengukuran nilai pH bersifat basa dan masih dalam kondisi yang baik untuk pertumbuhan fitoplankton. Hal ini mungkin disebabkan pengambilan sampel dilakukan saat memasuki musim penghujan yaitu Bulan November 2018 – Januari 2019 dan hal ini didukung dengan adanya penelitian yang dilakukan Sidaningrat (2018) di danau Batur memperoleh nilai berkisar 9,02 – 9,06 dimana pengambilan yang dilakukan pada saat musim penghujan yaitu Bulan Januari – Maret 2016 yang mempunyai nilai pH lebih besar. Menurut (Wulandari, 2009) perairan yang memiliki pH 6 – 9 merupakan perairan yang produktif.

Tabel 2.

Kualitas Air

Parameter

Titik

1

2

3

Nitrat (mg/L)

0,306

0,288

0,299

Fosfat (mg/L,)

0,565

0,281

0,207

PH

8,1

7,9

8,0

Suhu (0C)

27

26

26

Kekeruhan (NTU)

3,090

3,357

3,410

DO (mg/L)

6,9

6,4

6,5

Kecerahan (cm)

135,3

140,0

140,1

Suhu air pada ketiga Bulan berkisar 26 – 270C. Kisaran suhu pada setiap Bulan mengalami perubahan dikarenakan perbedaan waktu pengambilan sampel dimana pada Bulan Januari 2019 merupakan musim penghujan. Hasil yang diperoleh Suardiani (2018) di danau Buyan memiliki nilai yang tidak jauh berbeda yaitu antara 21,76 – 27,700C. Kondisi yang dilakukan selama penelitian sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan oleh fitoplankton untuk melakukan pertumbuhannya sebagaimana dikemukakan oleh Mayagitha et al. (2014), bahwa kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan dan perkembangan plankton di daerah tropis yaitu pada suhu 250C – 320C.

Oksigen terlarut (DO) memiliki hasil berkisar 6,4 – 6,9 mg/l. Nilai DO yang diperoleh masih dalam kondisi yang baik untuk organisme akuatik. Hasil yang diperoleh oleh Suardiani (2018) yang dilakukan di danau Buyan dengan kisaran 6,47 – 7,93 mg/l.

Kekeruhan di danau Batur Desa Terunyan memiliki nilai berkisar 3,090 – 3,410 NTU. Hal ini berebeda jauh dengan yang diporoleh Suardiani (2018) di danau Buyan yang memiliki nilai berkisar antara 7,70 – 13,80 NTU. Perbedaan nilai kekeruhan yang diperoleh dipengaruhi material yang tersuspensi atau terlarut di dalam perairan danau. Kekeruhan air dapat mempengaruhi proses fotosintesis fitoplankton karena dapat mengurangi masuknya penetrasi cahaya matahari (Wahyudiati et al., 2017). Kekeruhan yang diperoleh di danau Batur dalam batas optimum karena menurut Salwiyah (2011) Kekeruhan optimum suatu perairan yaitu berkisar antara 5 – 30.

Kecerahan yang diperoleh pada setiap waktu pengambilan sampel berkisar 135,3 – 140,1 cm. Nilai yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan hasil yang didapatkan Sidaningrat (2018) Nilai kecerahan yang diperoleh 112,6 – 138,4 cm sedangkan di danau Buyan yang dilakukan Suardiani (2018) memiliki nilai yang berkisar antara 120 – 219 cm. Perbedaan nilai kecerahan mungkin dipengaruhi oleh kekeruhan air yang disebabkan oleh zat padat tersuspensi. Menurut Zulfia dan Aisyah (2013) nilai kecerahan juga dipengaruhi warna air, kekeruhan, waktu pengukuran dan padatan tersuspensi yang ada di dalam perairan.

  • 4. Simpulan

Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah jumlah genus fitoplankton yang ditemukan selama penelitian yaitu Bacillariophyceae memiliki 6 genus, Chlorophyceae memiliki 3 genus, Cyanophyceae memiliki 4 genus dan Euglenophyceae memiliki 1 genus.

Kelimpahan fitoplankton di Danau Batur berkisar 4961 – 7683 sel/L yang menunjukkan bahwa tingkat kesuburan perairan Danau Batur di Desa Terunyan termasuk kategori sedang atau mesotrofik.

Titik 1 merupakan titik pengambilan sampel yang dekat dengan KJA memiliki hasil sebesar 4961 sel/L di titik 2 merupakan titik pengambilan sampel agak lebih jauh memiliki nilai sebesar 7683

sel/L dan titik 3 merupakan titik pengambilan sampel yang tidak terdapat KJA mendapatkan hasil sebesar 7552 sel/L. Kelimpahan fitoplankton di titik yang terdapat KJA lebih rendah dibandingkan dengan kelimpahan fitoplankton di titik yang tidak terdapat KJA.

Ucapan terimakasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada kemenristekdikti yang telah memberikan dana Beasiswa BIDIKMISI sehingga penelitian ini dapat terlaksanakan.

Daftar Pustaka

APHA. (2005). Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater (17th ed). New York, USA: New York Health Association.

Asriyana, & Yuliana. (2012). Produktivitas Perairan. Jakarta, Indonesia: Bumi Aksara.

Effendi, H. (2003). Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta, Indonesia: Kanisius.

Landner. (1978). Eutrofication of Lakes: Causes Effects and Means for Control with Emphasis on Lake Rehabilitation. World Health Organization.

Ligęza, S., & Wilk-Woźniak, E. (2011). The occurrence of a Euglena pascheri and Lepocinclis ovum bloom in an oxbow lake in southern Poland under extreme environmental conditions. Journal Ecological indicators, 11(3), 925-929.

Mayagitha, K. A., & Rudiyanti, S. (2014). Status Kualitas Perairan Sungai Bremi Kabupaten Pekalongan Ditinjau dari Konsentrasi TSS, BOD5, COD dan Struktur Komunitas Fitoplankton. Management Of Aquatic Resources Journal, 3(1), 177-185.

Eddy, S. (2016). Struktur Komunitas Fitoplankton di Danau Opi Jakabaring Kota Palembang. Sainmatika: Jurnal Ilmiah Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, 12(1), 56-66.

Nurcahyani, E. A., Hutabarat, S., & Sulardiono, B. (2016). Distribusi  dan Kelimpahan Fitoplankton  yang

Berpotensi Menyebabkan HABs (Harmful Algal Blooms) di Muarasungai Banjir Kanal Timur, Semarang. Management of Aquatic Resources Journal, 5(4), 275-284.

Odum. (1996). Fundamentals of Ecology (3rd edition). Dalam Samingan, T., & Srigandono. (Terj), Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press.

Salwiyah, S. (2011). Komposisi jenis dan kelimpahan fitoplankton di sekitar PLTU Nii Tanasa Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Aqua Hayati, 9(1), 33-43.

Samudra, S. R., Soeprobowati, T. R., & Izzati, M. (2013). Komposisi, Kemelimpahan dan Keanekaragaman Fitoplankton Danau Rawa Pening Kabupaten Semarang. Bioma, 15(1), 6-13.

Sidaningrat, I. G. A. N., Arthana, I. W., & Suryaningtyas, E. W. (2018). Tingkat Kesuburan Perairan Berdasarkan Kelimpahan Fitoplankton di Danau Batur, Kintamani, Bali. Jurnal of Biological Sciences, 5(1), 79-84.

Suardiani, N. K., Arthana, I.W., Kartika, G. R. A. (2018). Produktivitas Primer Fitoplankton Pada Daerah Penangkapan Ikan di Taman Wisata Alam Danau Buyan, Buleleng, Bali. Current Trends in Aquatic

Science, 1(1), 8-15.

Suryanto, H. & Herwati, U. S. (2009). Pendugaan Status Trofik Dengan Pendekatan Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton di Waduk Sengguruh, Karangkates, Lahor, Wlingi Raya dan Wonorejo Jawa Timur. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 1(1), 7-13.

Taofiqurohman, A., Nurruhwati, I., & Hasan, Z. (2007). Studi Kebiasaan Makanan Ikan (Food Habbit) Ikan Nilem (Osteochilus hasselti) di Tarogong Kabupaten Garut. Laporan Penelitian. Bandung, Indonesia: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNPAD.

Van Vuuren, S. J., Taylor, J., Van Ginkel, C., & Gerber, A. (2006). Easy Identification of the Most Common Freswater

Algae. Pretoria, South Africa: Resource Quality Services (RQS).

Wahyudiati, N. W. D., Arthana, I. W., & Kartika, G. R. A. (2017). Struktur Komunitas Zooplankton di Bendungan Telaga Tunjung, Tabanan, Bali. Journal of Marine and Aquatic Science, 3(1), 115-122.

Widiana, R. (2012). Komposisi Fitoplankton Yang Terdapat di Perairan Batang Palangki Kabupaten Sijunjung. Jurnal Pelangi, 5(1), 23–30.

Wilhm, J. L., & Dorris T. C. (1968). Biological Parameters for Water Quality Qriteria. BioScience, 18(6), 477-481.

Wulandari, D. (2009). Keterikatan Antara Kelimpahan Fitoplankton dengan Parameter Fisika Kimia di Estuari Sungai Brantas (Porong), Jawa Timur. Skripsi. Bogor, Indonesia: Program Studi Departemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Zulfia, N & Aisyah, A. (2013). Status Trofik Perairan Rawa Pening Ditinjau Dari Kandungan Unsur Hara (NO3 dan PO4) serta klorofil-a. Bawal, 5(3), 189-199.

Curr.Trends Aq. Sci. III(1): 54-61 (2020)