Current Trends in Aquatic Science VII(1), 26-34 (2024)

Fluktuasi Harian Bahan Organik Dan Parameter Yang Mempengaruhi Di Hilir Sungai Jangga, Kabupaten

Karangasem, Bali

I Gede Duta Sunaryuga a*, Ima Yudha Perwiraa, I Ketut Wija Negaraa

a Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Badung, Bali-Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +6281353269270

Alamat e-mail: [email protected]

Diterima (received) 11 Mei 2023; disetujui (accepted) 25 Agustus 2023; tersedia secara online (available online) 10 Februari 2024

Abstract

Jangga river is one of the major rivers that pass through Karangasem Regency. The Jangga river flows from the Padangkerta Village (upstream), the Subagan Village and ends in the Tumbu Village at the downstream. Organic matter has an important role for the productivity of water ecosystems. The accumulation of organic matter in the mouth of the river can threaten the ecological system and reduce the quality of the river waters. This study aims to determine the level of pollution and water quality in the Jangga River, Karangasem, Bali. The method used in this study is a quantitative descriptive method. Parameters measured were BOT, ammonia, TSS, TDS, DO, pH, temperature and turbidity. The results showed that the condition of the waters in the Jangga River in general is still classified as unpolluted according to Government Regulation Number 22 of 2021, concerning the implementation of environmental protection and management.

Keywords: Jangga River, pollution, organic matter, water quality.

Abstrak

Sungai Jangga merupakan salah satu sungai besar yang melalui Kabupaten Karangasem. Sungai Jangga mengalir dari Kelurahan Padangkerta (bagian hulu), Kelurahan Subagan dan berakhir di Desa Tumbu pada bagian hilirnya. Bahan organik memiliki peran yang cukup penting bagi produktifitas perairan di ekosistem perairan sungai. Akumulasi bahan organik di muara sungai tersebut dapat mengancam sistem ekologi dan menurunkan kualitas perairan sungai tersebut. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran dan kualitas perairan di Sungai Jangga, Karangasem, Bali. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskiptif kuantitatif. Parameter yang diukur adalah BOT, ammonia, TSS, TDS, DO, pH, suhu dan kekeruhan. Hasil penelitian menunjukan kondisi perairan di Sungai Jangga secara umum masih tergolong tidak tercemar menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Kata Kunci: Sungai Jangga, pencemaran, bahan organik, kualitas air.

  • 1.    Pendahuluan

Sungai Jangga merupakan salah satu sungai besar yang melalui Kabupaten Karangasem. Sungai Jangga mengalir dari Kelurahan Padangkerta (bagian hulu), Kelurahan Subagan dan berakhir di Desa Tumbu pada bagian hilirnya. Di sepanjang aliran Sungai Jangga terdapat beberapa lahan pertanian, pemukiman penduduk, industri rumah tangga, pemandian umum, dan beberapa kegiatan usaha budidaya perikanan. Berbagai kegiatan

tersebut berpotensi menghasilkan limbah, yang dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan perairan (Supriyantini et al., 2017). Dengan adanya berbagai jenis aktivitas antropogenik tersebut, maka potensi pencemaran air di Sungai Jangga tergolong cukup tinggi. Salah satu bahan pencemar yang berpotensi muncul pada karakteristik Sungai Jangga tersebut adalah cemaran bahan organik.

Bahan organik memiliki peran yang cukup penting bagi produktifitas perairan di ekosistem

perairan sungai. Akan tetapi, akumulasi bahan organik di muara sungai tersebut dapat mengancam sistem ekologi dan menurunkan kualitas perairan sungai tersebut. Apabila jumlah bahan organik tersebut melebihi daya dukung perairan, hal tersebut akan mengganggu perairan itu sendiri. Gangguan tersebut berupa pendangkalan sebagai akibat dari peningkatan padatan tersuspensi dalam air (Hadinafta, 2009). Selain itu, tingginya bahan organik di perairan akan berpengaruh terhadap ketersediaan oksigen terlarut di perairan tersebut (Marwan et al., 2015). Akumulasi bahan organik yang terlalu tinggi juga berpengaruh terhadap beberapa parameter kualitas air yang lain, seperti: BOD, garam mineral, nitrat fosfat dan ammonium (Pohan et al., 2016). Kandungan bahan organik yang tinggi berpotensi terdapat di bagian hilir sungai.

Bagian hilir sungai merupakan bagian sungai yang menerima dampak paling besar akibat pencemaran bahan organik. Hal tersebut karena semua bahan organik yang terbawa aliran sungai akan terakumulasi di hilir sungai (Hadinafta, 2009). Bahan organik yang terbawa aliran sungai menjadikan hilir sungai sebagai perairan dinamis yang memiliki fluktuasi bahan organik. Bahan organik yang tinggi berpotensi dapat menurunkan kualitas lingkungan perairan (Rahmawati et al., 2014).

Mengingat bahwa sumberdaya air Sungai Jangga sangat penting bagi kehidupan masyarakat di sekitar aliran sungai, maka perlu dilakukan monitoring terhadap kualitas perairan Sungai Jangga. Penentuan kualitas air sungai dapat dilakukan dengan mengukur kandungan bahan organik yang larut dalam perairan, melalui analisis secara fisika dan kimia. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang kandungan bahan organik untuk mengetahui tingkat pencemaran dan kualitas perairan di Sungai Jangga, Karangasem, Bali. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan acuan penentuan langkah pelestarian lingkungan perairan di wilayah Kabupaten Karangasem.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskiptif kuantitatif.

  • 2.1    Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di bagian hilir Sungai Jangga (Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Bali). Lokasi titik pengambilan sampel air terletak pada koordinat: 8°28'2.448"S; 115°37'46.35"E. Pengambilan sampel air sungai dilakukan di sepanjang bulan Januari 2020 (Minggu 1 dan Minggu 3) sampai dengan bulan Februari 2020 (Minggu 1 dan Minggu 3).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

  • 2.2    Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah botol sampel, erlenmeyer, pipet volume, hotplate, buret set, stopwatch, fotometer, tombangan analitik, labu ukur, desikator, oven, cawan, penjepit, pompa vacum, botol winkler, TDS meter, turbidity meter, pH meter, termometer, coldbox, GPS, kertas label. Sedangkan bahan yang digunakan adalah air sampel, H2SO4, Na2S2O3, KMnO4, Na2C2O4, NH4Cl, larutan fenol, natrium nitroprusida, larutan alkalin sitrat, natrium hipoklorit, kertas whatman, alkali iodide azida, air suling, akuades.

  • 2.3    Pengambilan sampel air

Pengambilan sampel air dilakukan pada satu titik yaitu pada bagian hilir sungai Jangga, setiap 2 minggu sekali selama 2 bulan (Desember 2019, Januari 2020). Sampel diambil setiap 3 jam sekali dalam waktu 24 jam, yaitu pada pukul 06.00 pagi, 09.00 pagi, 12.00 siang, 15.00 sore, 18.00 sore, 21.00 malam, 24.00 malam dan 03.00 dini hari. Pengukuran kualitas air secara insitu dilakukan dengan cara memasukkan sampel air ke dalam botol sampel sebanyak 1000 mL. Selanjutnya sampel air diukur langsung dengan parameter kualitas perairan yaitu TDS, kekeruhan, pH dan

suhu. Sedangkan pengukuran kualitas perairan secara eksitu dilakukan memasukkan sampel air ke dalam botol sampel sebanyak 1000 mL. Selanjutnya botol sampel ditutup, diberi label dan disimpan pada suhu ±4°C (coolbox yang sudah

berisi ice gel).

  • 2.4    Pengukuran kualitas air

    • 2.4.1    Pengukuran BOT (Bahan Organik Total)

Pengukuran konsentrasi BOT (Bahan Organik Total) dilakukan dengan menggunakan metode titimetri, berdasarkan standar SNI 06-6989.22-2004. Prosedur persiapan penelitian untuk mengukur bahan organik pertama-tama yaitu sampel uji dimasukkan kedalam Erlenmeyer 250 mL sebanyak 50 mL. Kemudian ditambahkan 10 mL larutan H2SO4 4N. Larutan yang telah tercampur kemudian dipanaskan menggunakan hotplate sampai mendidih, lalu ditambahkan 10 mL larutan KMnO4 0,01 N. Larutan selanjutnya dididihkan tepat sepuluh menit lalu ditambahkan 10 ml larutan asam oksalat Na2C2O4 0,01 N dan didihkan kembali sampai warna merah hilang. Larutan kemudian dititrasi dengan larutan KMnO4 0,01 N dalam keadan panas-panas sampai terbentuk warna merah muda. Hasil titrasi dicatat dan dilanjutkan dengan perhitungan rumus untuk menghitung konsentrasi bahan organik total menurut SNI 06-6989.22-2004 berikut:

BOT (mg/L) = ([(10+a) x f-10] x 0,316 x 1000)/b (1)

Keterangan:

A : volume ml dari KMnO4 0,01 N yang dipakai b : volume ml sampel f : faktor dari KMnO4 0,01 N

  • 2.4.2    Pengukuran Amonia

Pengukuran konsentrasi ammonia menggunakan metode spekrofotometer, berdasarkan standar SNI 06-6989.30-2005. Prosedur persiapan penelitian untuk mengukur bahan organik pertama-tama yaitu Pembuatan larutan induk amonia 1000 mg N/L. Larutkan 3,819 g amonium klorida dalam labu ukur 1000 mL, dan encerkan dengan air suling   sampai    tanda   tera   kemudian

dihomogenkan. Selanjutnya yaitu pembuatan larutan baku amonia 100 mg N/L dan 10 mg N/L dengan larutan induk ammonia 1000 mg N/L. Kemudian membuat larutan kerja ammonia

dengan larutan baku amonia 10 mg N/L. Setelah itu membuat kurva kalibrasi untuk mengkalibrasi alat spektrofotometer sesuai dengan petunjuk alat untuk pengujian kadar ammonia. Terakhir yaitu pengujian air sampel uji dengan memasukkan 25 mL air sampel dalam Erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 1 mL larutan fenol, 1 mL natrium nitroprusid dan 2,5 mL larutan pengoksidasi lalu dicampur hingga homogen. Tutup erlenmeyer tersebut biarkan selama 1 jam untuk pembentukan warna. Setelah itu masukkan ke dalam kuvet pada alat spektrofotometer, baca dan catat serapannya pada panjang gelombang 640 nm. Hasil pengukuran selanjutnya dihitung dengan perhitungan rumus menurut SNI 06-6989.30-2005 berikut:

Kadar ammonia (mg N/L) = C x f            (2)

Keterangan:

C    : kadar yang didapat dari hasil pengukuran

(mg/L)

f     : faktor pengenceran

  • 2.4.3    Pengukuran TDS

Metode yang dipergunakan untuk mengukur TDS adalah metode Potensiometer dengan alat TDS meter.

  • 2.4.5    Pengukuran TSS

Analisis TSS menggunakan metode gravimetri, berdasarkan standar SNI 06-6989.3-2004. Prosedur persiapan penelitian untuk mengukur TSS yaitu, pertama-tama sampel uji diaduk telebih dahulu dengan pengaduk sampai sampel uji menjadi homogen. Selanjutnya kertas saring diletakkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang paling lambat 2 menit setelah dikeluarkan dan dicatat beratnya. Selanjutnya sampel air yang sudah homogen disaring sebanyak 500 mL dengan menggunakan kertas saring, dan divakum selama 3 menit supaya diperoleh penyaringan yang sempurna. Kertas saring dipindahkan secara hati-hati dari peralatan penyaring ke wadah timbang aluminium sebagai penyangga. Kemudian kertas saring dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 °C.

Selanjutnya, didinginkan dalam desikator untuk menyeimbangkan suhu. Timbang kertas saring paling lambat 2 menit setelah dikeluarkan dari

mesin oven. Hasil timbangan dicatat beratnya dan dilanjutkan dengan perhitungan rumus berikut:

TSS (mg/L) = (b-a)/(Volume sampel)×1000     (3)

Keterangan:

a      : berat kertas saring whatman (mg)

b      : berat sample pada kertas saring whatman

(mg)

  • 2.4.6    Pengukuran Turbidity

Pengukuran   turbidity dilakukan dengan

menggunakan alat turbidity meter. Alat ini dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk memastikan akurasi data hasil penelitian.

  • 2.4.7    Pengukuran Dissolved Oxygen (DO)

Kadar DO di dalam sampel air diukur berdasarkan metode yodometri (modifikasi azida) (SNI 066989.14-2004). Langkah-langkah pengukuran DO yaitu pertama-tama sampel air yang sudah diberi larutan pengikat dimasukkan ke dalam botol Winkler. Kemudian larutan MnSO4 (1 mL), Alkali Iodida Azida (1 mL) dan Asam Sulfat (1 mL) juga dimasukkan ke dalam botol Winkler sampai terisi penuh. Larutan di dalam botol Winkler diendapkan selama lima sampai sepuluh menit. Selanjutnya larutan tersebut diambil sebanyak lima puluh milliliter, dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian, larutan dititrasi dengan Na2S2O3 dari warna biru sampai bening. Hasil titrasi dicatat dan dilanjutkan dengan perhitungan rumus berikut:

DO (mg/L) = (V × N× 8000 × F)/50             (4)

Keterangan:

V     : volume mL Na2S2O3

N     : volume normalitas Na2S2O3

F      : faktor (volume botol dibagi volume botol

dikurangi volume pereaksi MnSO4 alakli iodida azida)

  • 2.4.8    Pengukuran pH dan suhu

Pengukuran pH menggunakan alat pH meter. Sedangkan untuk pengukuran suhu menggunakan thermometer.

  • 2.5    Analisis data

Analisis data hasil penelitian ini dianalisis secara deskriptif dengan menginterpretasikan dalam bentuk tabel dan grafik menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Untuk mengetahui tingkat pencemaran bahan organik di sungai Jangga, data hasil analisis dibandingkan dengan standar baku mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Hasil

      • 3.1.1    Bahan Organik Total

Hasil pengukuran BOT sungai Jangga di Kabupaten Karangasem menunjukan nilai yang meningkat selama dua bulan dengan waktu 24 jam (Gambar 2). Hasil BOT tertinggi terjadi pada tanggal 1 Februari 2020 dengan nilai 41,08 mg/L. Sedangkan nilai BOT terendah terjadi pada tanggal 4 Januari 2020. Dari empat kali pengukuran selama dua bulan memiliki pola kenaikan yang sama, hanya kadar BOT yang berbeda. Pola kenaikan tertinggi terjadi pada pukul 15.00  –  18.00.

Sedangkan nilai terendah selalu terjadi pada pukul 06.00.

Gambar 2. Nilai BOT Selama Penelitian

  • 3.1.2    Amonia

Hasil amonia tertinggi terjadi pada tanggal 1 Februari 2020 dengan nilai 0,875 mg/L (Gambar 3). Sedangkan nilai amonia terendah terjadi pada tanggal 4 Januari 2020. Dari empat kali pengukuran selama dua bulan memiliki pola kenaikan yang sama, hanya kadar amonia yang berbeda. Pola kenaikan tertinggi terjadi pada pukul 15.00 – 18.00. Sedangkan nilai terendah selalu terjadi pada pukul 06.00.

Gambar 3. Nilai Amonia Selama Penelitian


Gambar 5. Nilai TSS Selama Penelitian


  • 3.1.3    TDS

Hasil TDS tertinggi terjadi pada tanggal 18 Januari dan 15 Februari 2020 dengan nilai 250 mg/L (Gambar 4). Sedangkan nilai TDS terendah terjadi pada tanggal 4 Januari 2020. Dari empat kali pengukuran selama dua bulan memiliki pola fluktuasi yang sama, hanya kadar TDS yang berbeda. Pola penurunan terjadi mulai pukul 09.00 – 15.00 dan meningkat pada pukul 18.00 – 21.00 dan menurun lagi pada pukul 00.00 – 03.00.

Gambar 6. Nilai DO Selama Penelitian


Gambar 4. Nilai TDS Selama Penelitian

  • 3.1.4    TSS

Hasil TSS tertinggi terjadi pada tanggal 15 Februari 2020 dengan nilai 6,6 mg/L (Gambar 5). Sedangkan nilai TSS terendah terjadi pada tanggal 18 Januari 2020. Dari empat kali pengukuran selama dua bulan memiliki pola fluktuasi yang sama, hanya kadar TSS yang berbeda. Pola penurunan terjadi mulai pukul 09.00 – 15.00 dan meningkat pada pukul 18.00 dan menurun lagi pada pukul 00.00 – 03.00.

  • 3.1.5    DO

Hasil DO tertinggi terjadi pada tanggal 18 Januari 2020 dengan nilai 11,7 mg/L (Gambar 6). Sedangkan nilai DO terendah terjadi pada tanggal 1 Februari 2020. Dari empat kali pengukuran

Gambar 7. Nilai Kekeruhan Selama Penelitian

selama dua bulan memiliki pola fluktuasi yang sama, hanya kadar DO yang berbeda. Pola mengalami peningkatan terjadi mulai pukul 09.00 – 15.00 dan menurun pada pukul 18.00 – 03.00.

  • 3.1.6    Kekeruhan

Hasil kekeruhan tertinggi terjadi pada tanggal 4 Januari 2020 dengan nilai 4,8 mg/L (Gambar 7). Sedangkan nilai kekeruhan terendah terjadi pada tanggal 18 Februari 2020. Dari empat kali pengukuran selama dua bulan memiliki pola fluktuasi yang sama, hanya kadar kekeruhan yang berbeda. Pola mengalami peningkatan terjadi mulai pukul 09.00 – 15.00 dan menurun pada pukul 18.00 – 03.00.

  • 3.1.7    pH

Hasil pH tertinggi terjadi pada tanggal 4 Januari 2020 dengan nilai 7,9. Sedangkan nilai pH terendah terjadi pada tanggal 18 Februari 2020. Dari empat kali pengukuran selama dua bulan memiliki pola fluktuasi yang sama, hanya kadar pH yang berbeda.

Gambar 7. Nilai pH Selama Penelitian

  • 3.1.8    Suhu

Hasil suhu tertinggi terjadi pada tanggal 15 Februari 2020 dengan nilai 32,7°C. Sedangkan nilai suhu terendah terjadi pada tanggal 1 Februari 2020. Dari empat kali pengukuran selama dua bulan memiliki pola fluktuasi yang sama, hanya kadar suhu yang berbeda. Pola mengalami peningkatan terjadi mulai pukul 09.00 – 15.00 dan menurun pada pukul 18.00 – 03.00.

Gambar 8. Nilai Suhu Selama Penelitian

  • 3.2    Pembahasan

    • 3.2.1    Fluktuasi Bahan Organik di Sungai Jangga

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi bahan organik di Sungai Jangga dengan mengukur BOT. Berdasarkan hasil pengukuran BOT menunjukan adanya kenaikan pada waktu tertentu. Pada pukul 06.00 kadar BOT berada pada keadaan rendah, namun seiiring berjalanya waktu mengalami peningkatan. Peningkatan mulai terjadi pada pukul 09.00 sampai 18.00. Hal ini

diduga karena adanya input sampah organik dari aktivitas antropogenik, mengingat pada jam tersebut adalah waktu masyarakat berkegiatan aktif. Menurut Kristawan (2014), penyumbang bahan organik tertinggi diperairan adalah adanya aktivitas masyarakat di sekitar hilir sungai. Menurut Marwan (2015), tingginya kandungan TOM dapat menyebabkan rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan, hal ini terbukti dari hasil pengukuran DO yang mulai menurun pada pukul 15.00. Rendahnya nilai oksigen terlarut disebabkan karena terjadi proses oksidasi yang dalam reaksinya menggunakan sejumlah besar oksigen dan menghasilkan nitrogen ammonia (N – NH4). Menurut Sari (2014), bahan-bahan organik total secara alamiah berasal dari perairan itu sendiri melalui proses-proses penguraian pelapukan ataupun dekomposisi buangan limbah baik limbah daratan seperti domestik, industri, pertanian, dan limbah peternakan ataupun sisa pakan yang dengan adanya bakteri terurai menjadi zat hara.

Perairan dengan kandungan bahan organik yang terlalu sedikit maupun berlebih tidak baik bagi kesuburan perairan. Perairan yang baik adalah perairan dengan kondisi bahan organik sesuai dengan baku mutu yang ditentukan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Yuningsih et al. (2014). Bahwa bahan organik yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi atau bertumbuh kembangnya organisme perairan yang berlebihan yang berdampak buruk bagi biota dan perairan. Namun demikian kondisi bahan organik yang terdapat di Sungai Jangga masih tergolong normal untuk organisme akuatik. Tarunamulia et al. (2016) menyebutkan bahwa ambang batas nilai total bahan organik yang dapat diterima disuatu perairan yaitu antara 26-60 mg/L. Namun, menurut Angka kadar bahan organik terlarut tersebut cukup tinggi dan melebihi baku yang ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebesar 20 mg/l. Dalam hal ini, penumpukan bahan organik di dalam suatu perairan dapat memicu eutrofikasi. Meskipun secara alami, bahan organik dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme melalui proses dekomposisi, namun apabila jumlah bahan organik berlebih, maka jumlah oksigen terlarut akan semakin menurun, dan ketika kandungan oksigen terlarut menurun, maka akan meningkatkan kandungan amoniak, pH dan suhu

dan dapat meningkatkan permasalahan di perairan khusunya biota perairan. Sesuai Supriyantini et al. (2017) bahwa dekomposer memerlukan O2 dalam menguraikan bahan organik, sehingga dengan meningkatnya O2 maka dapat memaksimalkan kinerja dari dekomposer dalam penguraian bahan organik.

  • 4.2 .2 Parameter Kualitas Air yang Mempengaruhi Bahan Organik

Kondisi perairan pada sungai Jangga dapa dilihat berdasarkan parameter kualitas air yang diukur dengan waktu 24 jam dengan lama pengamatan setiap dua minggu selama dua bulan. Hasil pengukuran TDS mengalami fluktuasi selama 24 jam. Pada pengamatan, peningkatan puncak terjadi pada pukul 18.00 dan 21.00 selanjutnya akan menurun sampai pukul 03.00. Diduga, adanya fluktuasi TDS pada jam tersebut menunjukan bahwa buangan bahan organik pada siang hari mulai terdekomposisi dan mulai larut pada sore hari sehingga menjadikan kadar TDS mengalami kenaikan. Konsentrasi TDS yang tinggi juga dapat mengurangi kejernihan air, memberikan kontribusi pada penurunan fotosintesis, gabungan dengan senyawa beracun dan logam berat, dan menyebabkan peningkatan suhu air (Sasongko, 2014). Konsentrasi TDS ini berada di bawah baku mutu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu 1.000 mg/l.

Pengamatan selanjutnya yaitu pengukuran kadar ammonia di Sungai Jangga. Kadar ammonia menunjukan kenaikan Hasil amonia tertinggi terjadi pada tanggal 1 Februari 2020 dengan nilai 0,875 mg/L. Sedangkan nilai amonia terendah terjadi pada tanggal 4 Januari 2020. Dari empat kali pengukuran selama dua bulan memiliki pola kenaikan yang sama, hanya kadar amonia yang berbeda. Pola kenaikan tertinggi terjadi pada pukul 15.00 – 18.00. Sedangkan nilai terendah selalu terjadi pada pukul 06.00. Kondisi ini diduga karena proses dekomposisi bahan organik menjadi anorganik melalui proses amonifikasi sehingga menghasilkan ammonia. Berdasarkan penelitian (Putri, 2019) mengungkapkan bahwa tahapan nitrifikasi salah satunya adalah proses amonifikasi yaitu perubahan bahan organik menjadi anorganik untuk mengahsilkan ammonia. Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik

(protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur (amonifikasi). Sumber amonia adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri dan domestik. Amonia yang terdapat dalam mineral masuk ke badan air melalui erosi tanah. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan pupuk pertanian (Bintoro, 2016).

Hasil pengukuran TSS menunjukan pola penurunan terjadi mulai pukul 09.00 – 15.00 dan meningkat pada pukul 18.00 dan menurun lagi pada pukul 00.00 – 03.00. Nilai TSS dan kekeruhan dipengaruhi oleh keberadaan bahan tersuspensi, yaitu padatan, lumpur, pasir halus, bahan organik dan anorganik, serta jasad-jasad renik (Effendi dan Wardiatno, 2015) yang mengalir ke sungai akibat longsor dan aktivitas antropogenik yang tinggi. Kondisi TSS masih dibawah baku mutu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu >50mg/L. Padatan tersuspensi bisa bersifat toksik bila dioksidasi berlebih oleh organisme sehingga dapat menurunkan konsentrasi DO sampai dapat menyebabkan kematian pada ikan.

Hasil pengukuran DO menunjukan pola mengalami peningkatan terjadi mulai pukul 09.00 – 15.00 dan menurun pada pukul 18.00 – 03.00. DO memiliki pengaruh terhadap besar kandungan suatu bahan organik di perairan. Efek DO pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk didalamnya adalah suhu yang berpengaruh langsung terhadap kelarutan O2 dan proses metabolisme organisme aquatik. Akan tetapi, penentuan kriteria DO untuk perikanan mengalami kesulitas karena rendahnya tingkat DO yang secara langsung menyebabkan kematian ikan dan DO tinggi tidak menyebabkan efek merugikan terhadap ikan (Budiman, 2016). Hal ini menandakan bahwa kebutuhan oksigen mikroorganisme pengurai dalam menguraikan bahan organik cukup tinggi (Supriyantini et al., 2017). Selain itu juga nilai DO dipengaruhi oleh kedalaman, jika kedalaman bertambah maka akan terjadi penurunan oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan sebagai pernapasan

dan oksidasi bahan-bahan organik ataupun anorganik.

Hasil pengukuran kekeruhan menunjukan pola mengalami peningkatan terjadi mulai pukul 09.00 – 15.00 dan menurun pada pukul 18.00 – 03.00. Tingkat kekeruhan merupakan salah satu parameter badan air. Bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan ini meliputi tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik yang tersebar dan partikel-partikel kecil yang tersuspensi. Kondisi kekeruhan di sungai Jangga masih dibawah baku mutu sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa tingkat kekeruhan air bersih paling tinggi 25 NTU.

Hasil pengukuran pH selama pengamatan di Sungai Jangga tidak mengalami nilai fluktuasi yang signifikan. Kisaran pH masih dalam batas normal untuk perairan dan biota air. Menurut Effendi (2003), batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada suhu, oksigen terlarut, dan kandungan garam-garam lonik suatu perairan. Kebanyakan perairan alami pH berkisar antara 6-9 dan sebagian besar biota perairan sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai pH sangat menentukan dominasi fitoplankton. Hubungan antara pH air dan kehidupan ikan budidaya jika pH di bawah 4,5 maka air bersifat racun bagi ikan dikarenakan ikan sangat sensitif terhadap parasit maupun bakteri. Sedangkan pH diatas 9 membuat ikan akan mengalami pertumbuhan yang lambat. pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena memperngaruhi kehidupan jasad renik. Kondisi pH masih dibawah baku mutu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu 6-9.

Berdasarkan hasil pengamatan suhu di Sungai Jangga mengalami fluktuasi mengikuti kondisi atmosfir. Ketika siang hari suhu tinggi dan rendah pada saat malam hari. Suhu perairan sangat berhubungan dengan kemampuan pemanasan oleh sinar matahari, waktu dan lokasi. Menurut Kordi (2013), suhu juga dipengaruhi oleh ketinggian dari permukaan laut (dpl). Ikan betutu adalah salah satu ikan rawa-rawa yang hidup pada perairan relatif panas dengan suhu >24ºC. Ikan yang hidup dirawa-rawa tumbuh dengan baik pada suhu antara 25-32ºC bahkan pada suhu

35°C, ikan-ikan yang hidup di rawa masih dapat tumbuh dengan baik

  • 4.    Simpulan

Berdasarkan dari pembahasan yang sudah diuraikan di atas, mengenai tingkat pencemaran dan kualitas perairan di Sungai Jangga, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu:   Fluktuasi

kandungan bahan organik di Sungai Jangga Kabupaten Karangasem menunjukan nilai yang meningkat selama dua bulan dengan waktu pegukuran 24 jam per hari. Pola kenaikan tertinggi terjadi pada pukul 15.00 – 18.00. Sedangkan nilai terendah selalu terjadi pada pukul 06.00. Parameter yang mempengaruhi kandungan bahan organik di Sungai Jangga diantaranya DO, pH, suhu, amonia, TDS, TSS, dan kekeruhan. Seluruh parameter tersebut masih dalam kondisi di bawah baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Daftar Pustaka

Supriyantini, E., Nuraini, R.A.T., & Fadmawati, A.P.

  • (2017) . Studi Kandungan Bahan Organik pada Beberapa Muara Sungai di Kawasan Ekosistem Mangrove, di Wilayah Pesisir Pantai Utara Kota Semarang, Jawa Tengah. Buletin Oseanografi Marina, 6(1), 29-38.

Hadinafta, R. (2009). Analisis Kebutuhan Oksigen untuk Dekomposisi Bahan Organik di Lapisan Dasar Perairan Estuari Sungai Cisadane, Tangerang. Skripsi. Bogor, Indonesia: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Marwan, A.H., Widyorini, N., & Nitisupardjo, M. (2015). Hubungan Total Bakteri dengan Kandungan Bahan Organik Total di Muara Sungai Babon, Semarang. Diponegoro Journal of Maquares, 4(3), 170-179.

Pohan, D.A.S., Budiyono., & Syafrudin. (2016). Analisis Kualitas Air Sungai guna Menentukan Peruntukan Ditinjau dari Aspek Lingkungan di Sungai Kupang Kota Pekalongan. Jurnal Ilmu Lingkungan, 14(2), 63-71.

Rahmawati, I., Hendrarto, I.B., & Purnomo, P.W. (2014). Fluktuasi Bahan Organik dan Sebaran Nutrien serta Kelimpahan Fitoplankton dan Klorofil-a di Muara Sungai Sayung Demak. Diponegoro Journal  of

Maquares, 3(1), 27-36.

Kristiawan, D., Widyorini, N., & Haeruddin. (2014).

Hubungan Total Bakteri dengan Kandungan Bahan Organik dengan Total Bakteri di Muara Kali Wiso, Jepara. Diponegoro Journal of Maquares, 3(4), 24-33.

Sari, T. A., Atmodjo, W., & Zuraida, R. (2014). Studi Bahan Organik Total (BOT) Sedimen Dasar Laut di Perairan Nabire, Teluk Cendrawasih, Papua. Journal of Oceanography, 3(1), 81-86.

Yuningsih, H.D., Soedarsono, P., & Anggoro, S., (2014). Hubungan Bahan Organik dengan Produktivitas Perairan pada Kawasan Tutupan Eceng Gondok Perairan Terbuka dan Keramba Jaring Apung di Rawa Pening. Diponegoro Journal of Maquares, 3(1), 3743.

Tarunamulia.,  Kamariah.,  & Mustafa, A.  (2016).

Keterkaitan Spasial Kualitas Lingkungan dan Keberadaan Fitoplankton Berpotensi HABs pada Tambak Ekstensif di Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Jurnal Riset Akuakultur, 11(2), 181-195.

Sasongko, E. B., Widyastuti, E., & Priyono, R. E. (2014). Kajian Kualitas Air dan Penggunaan Sumur Gali oleh Masyarakat di Sekitar Sungai Kaliyasa Kabupaten Cilacap. Jurnal Ilmu Lingkungan, 12(2), 7282.

Putri, W. A. E., Purwiyanto, A. I. S., Agustriani, F., & Suteja, Y. (2019). Kondisi Nitrat, Nitrit, Amonia, Fosfat dan BOD di Muara Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 11(1), 65-74.

Bintoro, A., & Apriyadi, A. (2016). Pengukuran Kadar Amonia di Sungai Kumbe, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan, 14(2), 135-140.

Effendi, H., & Wardiatno, Y. (2015). Water quality status of Ciambulawung River, Banten Province, based on pollution index and NSF-WQI. Procedia Environmental Sciences, 24, 228-237.

Budiman, A. (2016). Pemodelan Kualitas Air dengan Parameter BOD dan DO pada Sungai Ciliwung. Indonesian Journal of Urban and Environmental Technology, 5(3), 97-106.

Kordi, K.G., & Tancung, A.B. (2009). Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Jakarta, Indonesia: Rineka Cipta.

Curr.Trends Aq. Sci. 26-34 (2024)