HUBUNGAN KECANDUAN MEDIA SOSIAL TERHADAP KESEHATAN MENTAL REMAJA PADA MASA PANDEMI COVID-19
on
Community of Publishing in Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980
HUBUNGAN KECANDUAN MEDIA SOSIAL TERHADAP KESEHATAN MENTAL REMAJA PADA MASA PANDEMI COVID-19
Nurul Amirah*1, Jumaini1, Ganis Indriati1
1Jurusan Ilmu Keperawatan, Fakultas Keperawatan, Universitas Riau *korespondensi penulis, email: [email protected]
ABSTRAK
Pandemi Covid-19 menyebabkan semua orang terisolasi termasuk remaja. Semua aktivitas dilakukan secara online. Hal ini menyebabkan peningkatan penggunaan internet untuk mengakses media sosial sebagai sarana berkomunikasi. Usia remaja merupakan usia peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang dikhawatirkan belum mampu mengontrol penggunaan media sosial secara positif sehingga berdampak pada remaja berupa kecanduan. Desain cross sectional dilakukan pada 89 responden anak usia remaja di SMPN 5 Pekanbaru menggunakan teknik proposional random sampling. Social Media Addiction Scale (SMAS) digunakan untuk mengukur tingkat kecanduan media sosial, sementara Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) digunakan untuk mengukur kesehatan mental. Analisa data menggunakan uji ChiSquare dan uji Fisher. Hasil statistik didapatkan hasil tidak ada kecanduan media sosial terhadap kesehatan mental dengan gejala perilaku prososial (p value 0,281), masalah perilaku (p value 0,346), hubungan dengan teman sebaya (p value 0,072) yang berarti p value > α (0,05), tetapi pada kecanduan media sosial dan kesehatan mental gejala emosional menunjukkan p value 0,001 dan gejala hiperaktivitas (p value 0,036) yang berarti p value < α (0,05), ada hubungan antara kecanduan media sosial terhadap kesehatan mental dengan gejala emosional. Penggunaan media sosial yang tinggi dapat menyebabkan remaja mengalami perubahan kesehatan mental berupa perilaku prososial, emosional, masalah perilaku, hiperaktivitas, dan masalah dengan teman sebaya.
Kata kunci: covid-19, kecanduan media sosial, kesehatan mental, remaja
ABSTRACT
The covid-19 pandemic has caused everyone to be isolated including teenagers, all activities are carried out online, this has led to an increase in the use of the internet to access social media as a means of communication. Adolescence is the transitional age from childhood to adulthood which is feared to have not been able to control the use of social media positively so that it has an impact on adolescents in the form of addiction. The cross-sectional design was carried out on 89 respondents of adolescents at SMPN 5 Pekanbaru using aproportional random sampling technique. The Social Media Addiction Scale (SMAS) is used to measure the level of social media addiction, while the Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) is used to measure mental health. Data analysis using the Chi-Square test and the Fisher test. Statistical results obtained results of no social media addiction to mental health with prosocial behavioral symptoms (p value 0 ,281), behavioral problems (p value 0,346), relationships with peers (p value 0,072) which means p value > α (0,05), but in social media addiction and mental health emotional symptoms showed p value 0,001 and symptoms of hyperactivity (p value 0,036) which means p value < α (0,05), there was a relationship between social media addiction to mental health with emotional symptoms. High use of social media can cause adolescents to experience mental health in the from of prosocial, emotional behavior, behavioral problems, hyperactivity , and problems eith peers.
Keywords: adolescents, covid-19, mental health, social media addiction
PENDAHULUAN
Corona virus disease - 2019 atau Covid-19 merupakan penyakit menular yang mengakibatkan infeksi pada saluran pernafasan, yang pertama kali menyebar di kota Wuhan, China sejak Desember 2019 (Lee, 2020). Menanggapi hal tersebut pemerintah Indonesia di berbagai wilayah menerapkan kebijakan PSBB ataupun Pembatasan Sosial Berskala Besar (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2021). Pembatasan aktivitas tersebut menyebabkan masyarakat merasakan perubahan yang sangatlah drastis saat menjalankan kehidupan sehari-hari, mengharuskan setiap orang untuk beraktivitas di dalam rumah, mulai dari bekerja, sekolah, beribadah, pembatasan kegiatan di fasilitas ataupun tempat umum, dibatasinya kegiatan sosial budaya sehingga beberapa kegiatan seperti bekerja, belajar mengajar dilakukan secara online melalui internet (Kemendikbud, 2020).
Internet menjadi kebutuhan dasar untuk seseorang, dengan adanya pandemi Covid-19 saat ini internet sudah menjadi sahabat terdekat seseorang untuk mendukung bermacam kegiatan, sehingga dapat mengakibatkan individu menghabiskan waktunya lebih lama untuk mengakses internet dari sebelumnya dan tidak bisa mengendalikan pemakaiannya (Puspa, 2020). Internet dapat memenuhi segala kebutuhan manusia misalnya kebutuhan akses informasi, menjalin sosialisasi, dan untuk hiburan melalui media sosial (Soliha, 2015).
Media sosial merupakan sarana berkomunikasi, berinteraksi, bekerja sama dan berbagi melalui bentuk ikatan sosial secara vitural (Nasrullah, 2015). Media sosial adalah sebuah aplikasi, dimana setiap individu bisa membuat webpage pribadi agar bisa terhubung ke banyak orang yang bergabung di media sosial serupa agar saling bertukar informasi dan menjalankan komunikasi. Media sosial mengundang mereka yang mempunyai ketertarikan agar ikut serta lewat pemberian komentar, memberi feedback, memberi informasi dengan cepat, dan tidak ada batasan. Hasil
survei yang dilaksanakan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 durasi penggunaan media sosial dalam sehari dalam rentang waktu 1-3 jam sebesar 43,89%, 4-7 jam sebesar 29,63% dan melebihi 7 jam sebesar 26,48% dengan konten media sosial yang banyak dikunjungi misalnya facebook, instagram, twitter, linkedin, youtube. Remaja merupakan usia yang paling banyak menggunakan internet untuk mengakses media sosial, mulai dari rentang usia remaja awal (10-14 tahun) dan usia remaja akhir (15-20 tahun) (Juwita dkk, 2015).
Usia remaja adalah periode peralihan masa kanak-kanak menuju dewasa. Hal ini berhubungan dengan perkembangan dari segi fisik, emosi, sosial, serta memiliki beberapa tugas perkembangan untuk memenuhi persiapan menuju masa dewasa dengan mempersiapkan diri membuat keputusan karir atau menjalankan suatu pekerjaan (Eny, 2015).
Seseorang yang mengalami kecanduan akan menjadi sangatlah bergantung, oleh karenanya ia akan manganggap hidupnya kurang lengkap manakala dalam satu hari tidak membuka media sosial (Kumorotomo, 2010). Pemakaian media sosial yang intens atau penggunaan kegiatan di media sosial secara berulang-ulang di kalangan remaja secara tidak langsung dapat berakibat buruk bagi kesehatan mental (Li et al, 2019).
Kesehatan mental atau kesehatan jiwa merupakan kondisi yang mana individu bisa mengetahui kemampuan yang dimiliki untuk mencegah tekanan hidup yang normal, produktif dalam bekerja, dan ikut serta dalam berperan pada komunitasnya (WHO, 2017). Kesehatan mental merupakan kondisi keadaan jiwa atau psikologis yang menunjukkan kemampuan setiap individu untuk melakukan penyesuaian diri dan pemecahan terhadap masalah-masalah yang dialaminya, baik masalah internal di dalam diri sendiri atau masalah eksternal di lingkungan (Hanurawan, 2012). Tingginya pemakaian media sosial bisa mengakibatkan kecanduan yang akhirnya mengakibatkan timbulnya masalah psikis. Hoksin (dalam
Kumorotomo, 2010) mengungkap tujuh dampak atas individu yang sudah kecanduan media sosial yakni berupa kemalasan menjalankan pekerjaan, sifat pemarah, takabur, dengki, iri, rakus, dan mengada-ada. Efek psikis yang lain yakni individu malas menjalankan sesuatu yang narsis, angkuh, dan produktif.
Hasil penelitan Aprilia dkk (2020) menyebutkan bahwa mayoritas remaja ataupun sejumlah 51,4% telah kecanduan media sosial tingkat rendah, sementara hampir setengah dari remaja ataupun sejumlah 48,6% telah kecanduan media sosial tingkat tinggi. Riset yang dilaksanakan Lisa (2020) menyebutkan bahwa berlebihnya pemakaian media sosial dapat mengakibatkan kecanduan dan munculnya permasalahan psikis kestabilan mental emosi misalnya ketakutan, kecemasan, stres, depresi, bahkan termasuk berdampak pada pola tidur.
Studi pendahuluan yang dilakukan
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif korelasi dengan menggunakan metode cross sectional. Metode pengambilan sampel adalah probability sampling dengan teknik proposional random sampling. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa/siswi SMPN 5 Pekanbaru berjumlah 793 orang dengan sampel sebanyak 89 orang.
Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner tentang kecanduan media sosial dan kesehatan mental. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini ialah Social Media Addiction Scale (SMAS) digunakan untuk mengukur tingkat kecanduan media sosial, sementara Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) digunakan untuk
oleh peneliti di SMPN 5 Pekanbaru pada 1 5 remaja untuk kecanduan media sosial didapatkan hasil bahwa rata-rata dari 15 remaja mengakses media sosial dengan durasi 4-9 jam/hari, 10 dari 15 remaja mengatakan semakin hari waktunya tersita hanya untuk bermain media sosial, 9 dari 15 remaja mengatakan mengakses media sosial dimana saja, kapan saja dan pada kondisi apa saja, dan 9 dari 15 remaja mengatakan merasa cemas jika sehari saja tidak membuka media sosial, 6 dari 15 remaja mengatakan bermain media sosial pada waktu yang tidak seharusnya yaitu saat pelajaran berlangsung, seluruh remaja menggunakan lebih dari satu jenis media sosial, yang dipakai oleh remaja misalnya berupa WA, Instagram, Facebook, dan TikTok. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecanduan media sosial terhadap kesehatan mental remaja.
mengukur kesehatan mental.
Analisa data menggunakan uji ChiSquare dan uji Fisher. Dimana untuk pertanyaan tentang kecanduan media sosial menghasilkan 14 pertanyaan didapatkan hasil bahwa 13 pertanyaan valid (r hitung 0,535 - 0,760), sedangkan pada kuesioner tentang kesehatan mental remaja yang terdiri dari 25. Hasil uji reliabilitas diperoleh r alpha 0,913 untuk kuesioner kecanduan media sosial dan r alpha 0,773 pada kuesioner kesehatan mental remaja, sehingga dapat disimpulkan total pertanyaan pada kedua kuesioner tersebut berjumlah 38 pertanyaan dikatakan valid dan reliabel. Penelitian ini telah dinyatakan layak etik dengan nomor surat etik 296/UN.19.5.1.8/ KEPK.FKp/2021.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian yang dilaksanakan |
89 |
responden |
ditampilkan dalam tabel |
pada tanggal 31 Agustus 2021 sampai 2 |
berikut : | ||
September 2021 dengan sampel sebanyak | |||
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden (n=89) | |||
Karakteristik Responden |
F |
% | |
Usia | |||
11 Tahun |
3 |
3,4 | |
12 Tahun |
14 |
15,7 | |
13 Tahun |
29 |
32,6 | |
14 Tahun |
36 |
40,4 | |
15 Tahun |
7 |
7,9 | |
Total |
89 |
100 | |
Jenis Kelamin | |||
Laki-laki |
24 |
27,0 | |
Perempuan |
65 |
73,0 | |
Total |
89 |
100 | |
Jumlah Media Sosial | |||
|
28 |
31,5 | |
|
61 |
68,5 | |
|
12 |
13,5 | |
|
80 |
89,9 | |
Line |
5 |
5,6 | |
Youtube |
61 |
68,5 | |
TikTok |
62 |
69,7 | |
Total |
89 |
100 | |
Lama Menggunakan Media Sosial | |||
1-3jam/hari |
- |
- | |
4-6jam/hari |
49 |
55,1 | |
7-9jam/hari |
24 |
27,0 | |
>9jam/hari |
16 |
18,0 | |
Total |
89 |
100 | |
Tujuan Menggunakan Media Sosial | |||
Mengupload foto, video atau status |
61 |
68,5 | |
Mengomentari postingan teman |
13 | ||
Membaca komentar di akun media sosial sendiri |
37 |
14,6 | |
dan orang lain |
41,6 | ||
Belajar |
49 |
55,1 | |
Belanja online |
38 |
42,7 | |
Berjualan |
4 |
4,5 | |
Total |
89 |
100 | |
Gambaran Kecanduan Media Sosial | |||
Tinggi |
64 |
71,9 | |
Rendah |
25 |
28,1 | |
Total |
89 |
100 | |
Gambaran Kesehatan Mental | |||
Strength (Perilaku Prososial) | |||
Normal |
88 |
98,9 | |
Borderline |
0 |
0 | |
Abnormal Difficulties (Gejala Emosional) |
1 |
1,1 | |
Normal |
54 |
60,7 | |
Borderline |
10 |
11,2 | |
Abnormal Difficulties (Conduct atau masalah perilaku) |
25 |
28,1 | |
Normal |
59 |
66,3 | |
Borderline |
11 |
12,4 | |
Abnormal Difficulties (Hiperaktifitas) |
19 |
21,3 | |
Normal |
74 |
83,1 | |
Borderline |
0 |
0 |
Abnormal 15 Difficulties (Masalah dengan teman sebaya) Normal 24 Borderline 40 Abnormal 25 |
16,9 27 44,9 28,1 |
Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas responden berusia 14 tahun sebanyak 36 responden (40,4%), dengan mayoritas berjenis kelamin perempuan sebanyak 65 responden (73%). Distribusi berdasarkan jumlah media sosial yang dimilikimenunjukkan bahwa media sosial yang paling banyak digunakan yaitu whatsapp sebanyak 80 responden (89,9%) dan lama menggunakan media sosial selama 4-5jam/hari ialah sebanyak 49 orang (55,1%) dan tujuan menggunakan media sosial mayoritas ialah untuk mengirim foto video dan status sebanyak
61 orang (68,5%), kecanduan media sosial pada remaja mayoritas tinggi yaitu sebanyak 64 orang (71,9%) dan mayoritas responden yaitu 88 orang (98,9%) memiliki perilaku prososial kategori normal, 54 orang (60,7%) memiliki perilaku emosional kategori normal, 59 orang (66,3%) memiliki perilaku conduct atau masalah perilaku kategori normal, 74 orang (83,1%) memiliki perilaku hiperaktivitas kategori normal dan 40 orang (44,9%) memiliki perilaku masalah hubungan dengan teman sebaya kategori abnormal.
Tabel 2. Hubungan Kecanduan Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Remaja Gejala Strength Perilaku Prososial
Kecanduan Media Sosial |
Tingkat Kecemasan |
p value | ||
Normal |
Borderline |
Abnormal | ||
Tinggi |
64 (71,9%) |
0 (0%) |
0 (0%) |
0,012 |
Rendah |
24 (26,9%) |
0 (0%) |
1 (1,2%) |
Tabel 2 menunjukkan hubungan antara kecanduan media sosial dengan kesehatan mental remaja gejala perilaku prososial. Berdasarkan tabel tersebut didapatkan bahwa 64 responden mengalami kecanduan media sosial yang tinggi, dengan gejala perilaku emosional normal sebanyak 64 responden (7 1 ,9%), borderline sebanyak 0 responden (0%), dan abnormal sebanyak 0 responden (0%).
Sedangkan dari 25 responden yang mengalami kecanduan media sosial rendah, dengan gejala emosional normal sebanyak 24 responden (26,9%), borderline sebanyak 0 responden (0%), dan abnormal sebanyak 1 responden (1,2%). Hasil uji Fisher menunjukkan p value (0,281) > α (0,05) menunjukkan tidak ada hubungan antara kecanduan media sosial terhadap kesehatan mental remaja dengan gejala prososial.
Tabel 3.Hubungan Kecanduan Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Remaja Gejala Difficulties Gejala
Emosional
Kecanduan Media Sosial |
Kategori Difficulties Gejala Emosional |
p value | ||
Normal |
Borderline |
Abnormal | ||
Tinggi |
39 (43,8%) |
4 (4,5%) |
21 (23,6%) |
0,033 |
Rendah |
15 (16,8%) |
6 (6,7%) |
4 (4,5%) | |
Kecanduan Media Sosial |
Kategori Difficulties Gejala Conduct atau Masalah Perilaku | |||
Normal |
Borderline |
Abnormal |
p value | |
Tinggi |
40 (45%) |
10 (11,2%) |
14 (15,7%) |
0,288 |
Rendah |
19 (21,3%) |
1 (1,2%) |
14 (15,7%) | |
Kecanduan Media Sosial |
Kategori Difficulties Gejala Hiperaktivitas | |||
Normal |
Borderline |
Abnormal |
p value | |
Tinggi |
50 (56,1%) |
0 (0%) |
14 (15,7%) |
0,036 |
Rendah |
24 (26,9%) |
0 (0%) |
1 (1,2%) | |
Kecanduan Media Sosial |
Kategori Difficulties Gejala Masalah dengan Teman Sebaya | |||
Normal |
Borderline |
Abnormal |
p value | |
Tinggi |
17 (19,1%) |
27 (30,3%) |
20 (22,4%) |
0,546 |
Rendah |
7 (7,8%) |
13 (14,6%) |
5 (5,6%) |
Tabel 3 menunjukkan hubungan antara kecanduan media sosial dengan kesehatan mental remaja gejala emosional. Berdasarkan tabel tersebut didapatkan bahwa 64 responden mengalami kecanduan media sosial yang tinggi, dengan gejala perilaku emosional normal sebanyak 39 responden (43,8%), borderline sebanyak 4 responden (4,5%), dan abnormal sebanyak 21 responden (23,6%). Sedangkan dari 25 responden yang mengalami kecanduan media sosial rendah, dengan gejala emosional normal sebanyak 15 responden (16,8%), borderline sebanyak 6 responden (6,7%), dan abnormal sebanyak 4 responden (4,5%). Hasil uji Pearson Chi-Square menunjukkan p value (0,033) < α (0,05) menunjukkan ada hubungan antara kecanduan media sosial terhadap kesehatan mental remaja dengan gejala emosional.
Hubungan antara kecanduan media sosial dengan kesehatan mental remaja
gejala conduct atau masalah perilaku. Berdasarkan tabel tersebut didapatkan bahwa 64 responden mengalami kecanduan media sosial yang tinggi, dengan gejala conduct atau masalah perilaku normal sebanyak 40 responden (45%), borderline sebanyak 10 responden (11,2%), dan abnormal sebanyak 14 responden (15,7%). Sedangkan dari 25 responden yang mengalami kecanduan media sosial rendah, dengan gejala conduct atau masalah perilaku normal sebanyak 19 responden (21,3%), borderline sebanyak 1 responden (1,2%), dan abnormal sebanyak 5 responden (5,6%). Hasil uji Pearson ChiSquare menunjukkan p value (0,288) > α (0,05) menunjukkan tidak ada hubungan antara kecanduan media sosial terhadap kesehatan mental remaja dengan gejala conduct atau masalah perilaku.
Hubungan antara kecanduan media sosial dengan kesehatan mental remaja gejala perilaku hiperaktivitas. Berdasarkan
tabel tersebut didapatkan bahwa 64 responden mengalami kecanduan media sosial yang tinggi, dengan gejala perilaku emosional normal sebanyak 50 responden (56,1%), borderline sebanyak 0 responden (0%), dan abnormal sebanyak 14 responden (15,7%). Sedangkan dari 25 responden yang mengalami kecanduan media sosial rendah, dengan gejala emosional normal sebanyak 24 responden (26,9%), borderline sebanyak 0 responden (0%), dan abnormal sebanyak 1 responden (1,2%). Hasil uji Fisher menunjukkan p value (0,036) < α (0,05) menunjukkan ada hubungan antara kecanduan media sosial terhadap kesehatan mental remaja dengan gejala hiperaktivitas.
Hubungan antara kecanduan media sosial dengan kesehatan mental remaja gejala masalah hubungan dengan teman
PEMBAHASAN
Usia responden terbanyak ialah usia 14 tahun yaitu sebanyak 36 responden (40,4%). Aprilia, Sriati, dan Hendrawati (2020) mengatakan bahwa remaja rentan mengalami masalah kecanduan karena usia remaja merupakan fase pencarian identitas diri yang membutuhkan peran dari orangorang terdekat seperti dari keluarga dan teman sebaya, di masa ini juga remaja berada dalam kondisi kebingungan karena ketidakmampuan untuk menetapkan aktifitas yang bermanfaat untuk dirinya, serta keingintahuan terhadap hal-hal yang belum ia ketahui. Hal ini menyebabkan remaja awal pada usia 10-13 tahun menghabiskan banyak waktunya untuk mengakses media sosial. Thakkar (2006) mengatakan jika remaja tidak mampu untuk mengelola penggunaan media sosialnya, maka akan menyebabkan kecanduan.
Berdasarkan jenis kelamin sebayak 73,0% (65 orang) responden yang menggunakan media sosial berjenis kelamin perempuan. Menurut Hafercamp, Eimler, Papadakis, dan Kruck (2011), perempuan memiliki tingkat kecanduan sosial media yang lebih tinggi dibanding laki-laki, karena perempuan lebih suka mengutarakan atau menunjukkan dirinya
sebaya. Berdasarkan tabel tersebut didapatkan bahwa 64 responden mengalami kecanduan media sosial yang tinggi, dengan gejala masalah hubungan dengan teman sebaya normal sebanyak 17 responden (19,1%), borderline sebanyak 27 responden (30,3%), dan abnormal sebanyak 20 responden (22,4%). Sedangkan dari 25 responden yang mengalami kecanduan media sosial rendah, dengan gejala masalah hubungan dengan teman sebaya normal sebanyak 7 responden (7,8%), borderline sebanyak 13 responden (14,6%), dan abnormal sebanyak 5 responden (5,6%). Hasil uji Pearson Chi-Square menunjukkan p value (0,546) > α (0,05) menunjukkan tidak ada hubungan antara kecanduan media sosial terhadap kesehatan mental remaja dengan gejala masalah hubungan dengan teman sebaya.
serta lebih memperhatikan bagaimana tanggapan orang lain terhadap dirinya. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian Eka (2018) yang menyatakan bahwa perempuan lebih banyak mengalami kecanduan media sosial dibandingkan laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Elsa didapatkan hasil bahwa laki-laki menggunakan media sosial untuk menyalurkan hobi atau minat dengan mencari informasi yang berkaitan dengan hobinya, berkomunikasi dengan teman, dan juga keluarga. Sedangkan perempuan menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga. Selain itu, perempuan juga menggunakan media sosial sebagai sarana hiburan untuk menonton video, mengunggah foto, dan bermain game.
Hasil gambaran media sosial sebanyak 79,8% (71 orang), dimana aplikasi yang paling banyak digunakan oleh responden ialah whatsapp sebanyak 89,9% (80 orang) responden, tiktok sebanyak 69,5% (62 orang) responden, instagram dan youtube sebanyak 68,5% (61 orang) responden. WhatsApp merupakan media sosial yang sangat populer, yang digunakan sebagai media komunikasi yang lebih efektif dan
lebih cepat untuk mengirim pesan atau informasi (Wicaksono, 2017).
Hasil studi menemukan penggunaan media sosial selama 4-6jam/hari, yaitu sebanyak 55,1% (49 orang) responden. Hal ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Tenis (2018) yang menunjukkan hasil bahwa intensitas penggunaan media sosial tergolong tinggi, yaitu sekitar 5 jam 20 menit. Menurut Syamsoedin, Bidjuni, dan Wowiling (2015) seseorang yang masuk pada kategori kecanduan media sosial apabila mengakses media sosial berkisar 5-6 jam/hari.
Hasil tujuan menggunakan media sosial menunjukkan rata-rata responden menggunakan media sosial untuk mengupload foto, video, atau status serta berkomentar di akun media sosial teman dan membaca komentar di media sosial sendiri. Tindakan remaja dalam mengunggah foto atau video tersebut menunjukkan perilaku perilaku yang mengarah pada kepribadian narsistik (Suhartanti, 2015).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden sebanyak 71,9% (64 orang) responden mengalami kecanduan media sosial tinggi dan sebanyak 28,1% (25 orang) responden mengalami kecanduan media sosial rendah. Kecanduan media sosial rendah artinya pikiran, perasaan, serta tingkah laku tidak didominasi oleh keinginan untuk selalu menggunakan media sosial, remaja tidak mengalami penambahan waktu dalam menggunakan media sosial, dan ketika penggunaan media sosial dihentikan remaja tidak mengalami perubahan mood, serta tidak memiliki konflik dengan lingkungan di sekitarnya. Sedangkan kecanduan media sosial tinggi artinya, pikiran remaja, perasaan, serta tingkah lakunya didominasi oleh keinginannya untuk selalu menggunakan media sosial, mengalami penambahan waktu dalam menggunakan media sosial, tidak senang jika penggunaan media sosialnya dihentikan, dan memiliki konflik dengan lingkungan sekitar. Penelitian yang dilakukan oleh Andarwati (2016) terkait penggunaan media sosial
menunjukkan hasil bahwa sebanyak 76% responden tergolong tinggi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Ariani, Elita, & Zulfitri (2009) menunjukkan hasil bahwa sebanyak 50,6% (43 orang) responden berada dalam kategori pengguna media sosial yang tinggi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kategori strength (perilaku prososial) pada remaja rata-rata normal sebanyak 98,9% (88 orang) responden, pada kategori difficulties gejala emosional 60,7% (54 orang) responden normal, gejala conduct atau masalah perilaku 66,3% (59 orang) responden normal, gejala hiperaktivitas 83,1% (74 orang) responden normal, dan masalah hubungan dengan teman sebaya sebanyak 44,9% (40 orang) berada pada kategori borderline. Hasil riset kesehatan dasar oleh Kemenkes RI tahun 2018 didapatkan bahwa gangguan mental emosional pada remaja yaitu 9,8%. Remaja merupakan kondisi yang banyak menimbulkan tekanan dan tantangan dengan segala perubahan yang terjadi dalam dirinya berupa pubertas, perubahan peran sosial, serta lingkungan yang berpotensi menimbulkan masalah emosional dan memicu timbulnya tekanan pada remaja jika ia tidak mampu mengatasi kondisinya tersebut (IDAI, 2013).
Keadaan abnormal merupakan gangguan kesehatan mental dengan perilaku yang tidak biasa, tidak dapat diterima, dipandang sebagai ketidakefektifan seseorang dalam menghadapi, menangani, menanggapi serta melaksanakan tuntutan dari lingkungan maupun dirinya, selalu merasa cemas, depresi, dan sedih. Sedangkan borderline merupakan gangguan kesehatan mental yang dapat mempengaruhi perasaan seseorang dan cara berfikirnya. Seseorang yang mengalami kondisi ini ditandai dengan suasana hatinya yang mudah berubah, sulit mengontrol diri, suka berbicara kasar, berbohong, mencuri, dan berperilaku impulsif. Kesehatan mental yang normal, merupakan kesehatan mental yang baik, dimana kondisi seseorang berada dalam keadaan yang tentram dan tenang sehingga ia dapat menikmati kehidupannya.
Hubungan kecanduan media sosial dengan kesehatan mental kategori strength atau perilaku prososial didapatkan hasil p value 0,281 yang berartip value > α (0,05), dimana Ha ditolak dan Ho diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kecanduan media sosial dengan perilaku prososial. Perilaku prososial adalah sikap alamiah yang dimiliki oleh individu dikarenakan manusia tidak bisa hidup secara individualis, selalu membutuhkan orang lain dalam aktivitas sehari-harinya. Perilaku prososial berupa mampu untuk mempertimbangkan perasaan orang lain, suka menolong, dan suka berbagi (Istiqomah, 2017). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2017) menunjukkan hal yang sama, tidak terdapat hubungan antara masalah perilaku prososial dengan penggunaan internet. Tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara masalah perilaku prososial terhadap penyalahgunaan internet dapat disebabkan karena kondisi yang multifaktorial.
Hubungan kecanduan media sosial dengan kesehatan mental kategori difficulties dengan gejala emosional didapatkan hasil p value 0,033 yang berarti p value < α (0,05), dimana Ha diterima dan Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kecanduan media sosial dengan gejala emosional. Aspek gejala emosional (emotional) mengarah pada sebuah perasaan yang khas, remaja dengan gangguan emosi dan perilaku mempunyai karakteristik berupa sering mengeluh sakit pada bagian badan dan sering menangis atau tidak bahagia, juga merasa khawatir (Istiqomah, 2017). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosa (2020) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara durasi penggunaan media sosial dengan gangguan mental emosional pada remaja. Remaja yang menggunakan media sosial yang berlebihan dapat mengalami kecanduan yang dapat menyebabkan timbulnya masalah psikis kestabilan mental emosional, seperti depresi, kecemasan, stres, dan dapat mempengaruhi pola tidur.
Hubungan kecanduan media sosial dengan kesehatan mental kategori difficulties dengan gejala conduct atau masalah perilaku didapatkan hasil p value 0, 288 yang berartip value > α (0,05), dimana Ha ditolak dan Ho diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kecanduan media sosial dengan gejala conduct atau masalah perilaku. Penelitian yang dilakukan oleh Flourensia, Limia, & Sharon (2019) mengatakan penggunaan media sosial memiliki dampak positif dan negatif. Yang termasuk dampak positif adalah mendapatkan banyak teman, mempererat hubungan interpersonal, membuat menjadi pribadi yang lebih percaya diri, dapat belajar tentang tata krama dan etika berkomunikasi. Dampak negatif berupa menjadi malas dan jarang bersosialisasi secara langsung dengan orang di sekitarnya, berperilaku anti sosial.
Hubungan kecanduan media sosial dengan kesehatan mental kategori difficulties dengan gejala hiperaktivitas didapatkan hasil p value 0,036 yang berarti p value < α (0,05), dimana Ha diterima dan Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kecanduan media sosial dengan gejala hiperaktivitas. Hal tersebut senada dengan riset yang dilaksanakan Wilga, Nunung, & Meilanny (2016) mengatakan bahwa kalangan remaja menjadi hiperaktif di media sosial. Perilaku yang tampak pada remaja yang mengalami masalah hiperaktivitas berupa remaja tidak dapat duduk dengan tenang, terlihat gelisah, banyak bicara yang kadang tidak selaras dengan konteksnya. Riset yang dilaksanakan Putri (2016) menjabarkan bahwa remaja yang hiperaktif di media sosial banyak mengunggah kegiatan sehari-harinya yang mengilustrasikan gaya hidup mereka yang ikut dengan trend sehingga para remaja merasa menjadi populer di kalangannya, padahal apa yang diposting oleh para remaja tersebut tidak semuanya menggambarkan kehidupan nyata remaja. Ketika para remaja memposting kegiatannya di media sosial yang penuh dengan kesenangan tidak jarang kenyataan di dalam kehidupan remaja mereka merasa kesepian.
Hubungan kecanduan media sosial dengan kesehatan mental kategori difficulties dengan gejala masalah hubungan dengan teman sebaya didapatkan hasil p value 0,546 yang maknanya p value > α (0,05), dimana Ha ditolak dan Ho diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak dijumpai hubungan antara kecanduan media sosial dengan gejala masalah hubungan dengan teman sebaya, karena teman sebaya mempunyai peran penting untuk mendorong terbentuknya berbagai keterampilan sosial pada remaja.
SIMPULAN
Berdasakan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan hasil uji statistik dengan uji Fisher antara variabel kecanduan media sosial dengan kesehatan mental dengan gejala strength atau perilaku prososial menunjukkan p value 0,281 yang berarti p value > α (0,05), dimana Ha ditolak dan Ho diterima, oleh karenanya disimpulkan bahwa tidak dijumpai hubungan kecanduan media sosial dengan kesehatan mental remaja dengan gejala strength atau perilaku prososial pada masa pandemi Covid-19.
Hasil uji menggunakan uji Pearson Chi Square antara kecanduan media sosial dengan kesehatan mental dengan gejala difficulties gejala emosional menunjukkan p value 0,033 yang maknanya p value < α (0,05), yang mana menerima Ha dan menolak Ho, oleh karenanya bisa disimpulkan bahwa ada hubungan kecanduan media sosial dengan kesehatan mental remaja dengan gejala difficulties emosional pada masa pandemi Covid-19.
Hasil uji menggunakan uji Pearson Chi Square antara kecanduan media sosial dengan kesehatan mental dengan gejala difficulties gejala conduct atau masalah perilaku menunjukkan p value 0,288 yang berarti p value > α (0,05), dimana menolak
DAFTAR PUSTAKA
Andarwati, L. (2016). Citra diri ditinjau dari intensitas pengunaan media jejaring sosial instagram pada siswa kelas XI SMA N 9 Yogyakarta. E-Jurnal Bimbingan dan Konseling, 5, (3) 1–12.
Aprillia, R., Sriati, A., & Hendrawati, S. (2020).
Tingkat kecanduan media sosial pada remaja.
Sekolah merupakan dunia remaja sehingga teman sebaya dan minatnya merupakan hal yang terpenting pada remaja. Teman sebaya yang membawa interaksi negatif maka segala bentuk sikap, perilaku serta tujuan hidupnya pun menjadi negatif, jika teman sebaya membawa interaksi yang positif maka akan memberikan motivasi, dukungan, serta peluang untuk mengaktualisasikan dirinya secara positif sehingga sikap dan perilakunya menjadi positif (Hartanto & Selina, 2010).
Ha dan menerima Ho. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan kecanduan media sosial dengan kesehatan mental remaja dengan gejala difficulties gejala conduct atau masalah perilaku pada masa pandemi Covid-19.
Hasil statistik menggunakan uji Fisher kecanduan media sosial dengan kesehatan mental dengan gejala difficulties gejala hiperaktivitas menunjukkan p value 0,036 yang berarti p value < α (0,05), yang mana menerima Ha dan menolak Ho, oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kecanduan media sosial dengan kesehatan mental remaja dengan gejala difficulties gejala hiperaktivitas pada masa pandemi Covid-19.
Hasil uji menggunakan uji Pearson Chi Square antara kecanduan media sosial dengan kesehatan mental dengan gejala difficulties hubungan dengan teman sebaya p value 0,546 yang berarti p value > α (0,05), dimana Ha ditolak dan Ho diterima. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan kecanduan media sosial dengan kesehatan mental remaja dengan gejala difficulties hubungan dengan teman sebaya pada masa pandemi Covid-19.
JNC, 3(1), 41-53.
Ariani, M., Elita, V., Zulfitri, R. (2009). Hubungan intensitas penggunaan jejaring sosial terhadap kualitas tidur remaja di SMAN 3 Siak. Vol. 5(2), 1-11.
Eka, A. P. (2018). Kecanduan media sosial ditinjau dari perbedaan gander. Jurnal seminar
nasional psikologi. Vol. 1(1), 188-196.
Flourensia, S. R., Limia, K., & Sharon, F. W. (2019). Dampak media sosial tergadap perilaku sosial remaja di kabupaten Sleman Ypgyakarta. Jurnal seminar nasional innovasi teknologi. Vol. 3(1), 39-46.
Hafercamp, N., Eimler, S., Papadakis, A., & Kruck, J. V. (2011). Man ere from mars women are from venus? Examing gender differencesin self presentation on social networking sites. Jurnal cyber psychology behavior and social networking. Vol. 15(2).
Hanurawan, F. (2012). Strategi pengembangan kesehatan mental di lingkungan sekolah. Jurnal Bimbingan dan Konseling Psikopedagogia, 1 (1), hal 1-7.
Hartanto, F. & Selina, H. (2010). Masalah mental remaja di kota Semarang. Media medika Indonesia. Vol. 4(3).
Hidayat, A. A. A. (2017). Metodologi penelitian keperawatan dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
IDAI. (2013). Recognizing delays in general development in children Indonesia. Diakses dari https://www.idai-or.id-
/artikel/seputarkesehatan-anak/mengenalketerlambatan-perkembanganumum-pada-anak.
Istiqomah. (2017). Penggunaan media Sosial dengan tingkat agresivitas remaja. Jurnal Insight Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Jember, 13(2), 96-112.
Juwita, E. P., Budimansyah, D., Nurbayani S. (2015). Peran media sosial terhadap gaya hidup siswa SMA Negeri 5 Bandung. Jurnal Sosietas, 5 (1). Diperoleh pada tanggal 22 Mei 2021 dari Juwita EP, Budimansyah D, Nurbayani S. 2015. Peran media sosial terhadap gaya hidup siswa SMA Negeri 5 Bandung. Jurnal Sosietas, 5 (1).pdf
Kemenkes RI. (2021). Situasi covid-19. Diperoleh Februari, 2021. dari
Kemendikbud. (2020). Tentang pemebelajaran online. Diperoleh pada tanggal 7 Mei 202 1 dari
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/202 0/05/kemendikbud-terbitkan-pedoman-penyelenggaraan-belajar-dari-rumah
Kumorotomo, W. (2010). Menilai situs jejaring sosial secara adil. Diperoleh pada tanggal 9 April 2021 dari http://kumoro.staff.ugm.ac.id
Lee, A. (2020). Wuhan novel corona virus (Covid-19): Why global control is challenging public health. Journal elsevier Public Health Emergency Collection. 179.
Li, G., Hou, G., Yang, D., Jian, H., & Wang, W. (2019). Relationship between anxiety, depression, sex, obesity, and internet addiction in Chinese adolescents: A shortterm longitudinal study. Addictive Behaviors, 90, 421-427.
https://doi.org/10.1016/j.addbeh.2018.12. 009
Lisa, M. R. (2020). Hubungan durasi penggunaan media sosial dengan gangguan mental emosional. Umpo Repository. Ponorogo: Universitas Muhammadiyah.
Nasrullah, R. (2015). Media sosial: Persfektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Puspa, A. (2020). Pandemi, Ketergantungan Terhadap Internet Meningkat 5 Kali Lipat. Indonesia: Media Indonesia.
Soliha, S. F. (2015). Tingkat ketergantungan pengguna media sosial dan kecemasan sosial. Jurnal Interaksi, 4 (1), 1-10. Diperoleh pada tanggal 9 Mei 2021 dari
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/interaks i/article/view/9730.
Suhartanti, L. (2015). Pengaruh Kontrol Diri Terhadap Narcissistic Personality Disorder Pada Pengguna Instagram Di Sma N 1 Seyegan. Bimbingan Dan Konseling. Edisi Ke 8, 8(5), 184– 195.
Syamsoedin, W. K. P., Bidjuni, H., & Wolviling, F. (2015). Hubungan durasi penggunaan m edia sosial dengan kejadian insomnia pada remaja di SMAN 9 Manado. Jurnal keperawatan UNSRAT. Vol. 3(1).
Tenis, R. R. P. (2018). Hubungan antara intensitas pengguna media sosial dan subjektif well being pada remaja. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Sabata Dharma. Dikutip dari repository.usd.ac.id
Thakkar, V. (2006). Addiction. New York: Infobase Publishing. Diperoleh pada tanggal 15 Mei 2021 dari https://epdf.tips/queue/addiction-psychological-disorders.html#.
Wicaksono, A.G. (2017). Fenomena full day school dalam sistem pendidikan Indonesia. Jurnal komdik. 1 (1).
Wilga, S. R. P., Nunung, N., & Meilanny, B. S. (2016). Pengaruh media sosial terhadap perilaku remaja. Jurnal unpad. Vol. 3(1).
Volume 11, Nomor 1, Februari 2023
82
Discussion and feedback