Community of Publishing in Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980

STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN MERAWAT ANAK DENGAN HIV

Eka Ernawati*1, Nila Marwiyah1, Dewi Rahmawati1

1Program Studi Sarjana Keperawatan, Fakultas Kesehatan, Universitas Falatehan

*korespondensi penulis, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Fenomena merawat anggota keluarga yang sakit merupakan tantangan tersendiri. Penyakit HIV merupakan suatu penyakit yang membutuhkan penanganan dan dukungan dalam pencegahan, penularan, dan perawatan. Saat ini masih banyak keluarga yang tidak jujur dalam melakukan perawatan pada anak dengan HIV. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengalaman hidup keluarga dan pemberi layanan dalam merawat anak dengan HIV di Serang Banten. Metode penelitian menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Pemilihan partisipan menggunakan purposive sampling. Jumlah partisipan yang dilibatkan adalah 7 keluarga yang memiliki anak dengan HIV dan 6 petugas kesehatan (2 dokter dan 4 perawat). Instrumen penelitian adalah peneliti bersama anggota peneliti. Pengambilan data menggunakan wawancara dengan deep interview. Hasil analisis didapatkan empat tema: (1) ketidaktahuan mengenal penyakit HIV pada saat anak dirawat; (2) loss follow up terkait pengobatan; (3) kendala untuk pemeriksaan awal diagnostik (early diagnostic examination); (4) tuntutan ekonomi dalam perawatan anak. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan perawatan pada anak dengan HIV dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat bekerja sama dengan petugas kesehatan.

Kata kunci: anak dengan HIV, keluarga, pengalaman, perawatan, tenaga kesehatan

ABSTRACT

The phenomenon of caring for sick family members is a challenge. Human immunodeficiency virus is a disease that requires handling and support both in prevention, transmission, and treatment. There are still many families who are dishonest in caring for children with HIV. The purpose of this study was to determine the life experiences of families and health workers in caring for children with HIV at Serang Hospital. The research method uses a qualitative research design with phenomenological approach. Participants were taken using purposive sampling. The number of participants involved in 7 families with children with HIV and 6 health workers (2 doctors and 4 nurses). The research instrument is the researcher along with the research members. Data retrieval using interviews with deep interviews. The results of the analysis obtained themes: (1) ignorance of knowing HIV disease when the child is being treated; (2) loss of follow-up related to treatment; (3) barriers to early diagnostic examination; (4) economic demands in the child care. The results of this study can be useful for improving care for children with HIV by increasing public knowledge in collaboration with health workers.

Keywords: children with HIV, experience, family, health workers, treatment

PENDAHULUAN

Suatu kondisi yang menimbulkan beberapa penyakit akibat kekebalan tubuh yang menurun merupakan penyakit yang disebut HIV/AIDS (Smeltzer et al., 2010). Penyakit HIV/AIDS berdampak sangat kompleks pada kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Penyakit HIV/AIDS merupakan bagian dari penyakit kronis. Penyakit kronis adalah kondisi medis atau masalah kesehatan yang membutuhkan penatalaksanaan jangka panjang (WHO, 2010).

Pencarian data penyakit kronis pada anak masih sulit. Penyakit kronis tidak saja dialami oleh orang dewasa atau lanjut usia, namun juga diderita oleh anak-anak bahkan bayi. Penyakit kronis pada anak yang sering terjadi diantaranya hemofilia, HIV/AIDS, dan kondisi sakit bawaan sejak lahir yang membutuhkan perawatan lama dan terus-menerus. Adapun populasi anak dengan sakit kronis di seluruh dunia diperkirakan sekitar 10% dan kurang lebih 2% diantaranya dalam kondisi yang sangat serius. Data tersebut terlihat bahwa anak penderita penyakit kronis cukup banyak (Aritonang, 2013).

Data UNAIDS (2020) menunjukkan Orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) sebanyak 38 juta orang dengan 25,4 juta orang dalam pengobatan ARV saat ini. Secara global, 690.000 orang meninggal dengan AIDS pada 2019 dan kasus kematian akibat infeksi sekitar 1,7 juta orang. Infeksi HIV pada area Asia dan Pasifik mengalami sedikit penurunan. Kasus dengan HIV di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus. Populasi kunci dan pasangan yang terinfeksi menyumbang sekitar 92,19% infeksi HIV baru, dan lebih dari seperempat infeksi HIV baru berada di kalangan anak muda (usia 15 hingga 24 tahun) dengan jenis kelamin laki-laki. Hal ini tentu berdampak pada kejadian anak dengan HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2020).

Anak yang mengalami sakit membutuhkan perhatian dari anggota keluarga. Menurut Boyse (2008), meskipun jenis penyakit yang diderita oleh anak itu berbeda-beda, namun kondisi

yang dirasakan setiap anak dengan penderita penyakit kronik itu pada umumnya sama. Mereka akan bergantung pada keluarga, teman, dan lingkungan akibat dari keterbatasan dan ketidakmampuan sebagai respon dari rasa sakit dan trauma itu sendiri.

Penyakit kronik anak menimbulkan stres pada anak dan akan menuntut lebih perhatian dari keluarga dikarenakan mereka merasa tidak berdaya (Suryono, 2017). Indonesia saat ini masih mengalami dampak akibat adanya Covid-19. Kondisi pandemi membuat penatalaksanaan pasien HIV menjadi terhambat. Pemerintah memfokuskan kegiatan untuk mengurangi penularan Covid-19. Hal ini tentu berdampak dalam manajemen perawatan anak dengan HIV/AIDS (Stolley & Glass, 2009).

Dukungan keluarga merupakan sesuatu yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Keterlibatan keluarga dalam membantu penyembuhan penyakit, baik fisik maupun mental membutuhkan komunikasi, perhatian, dan kasih sayang antara keluarga dengan anak (Friedman, 2014). Anak dengan HIV sangat tergantung terhadap keluarga yaitu orang tua.

Penyakit kronis pada anak dapat menimbulkan krisis pada keluarga terutama orangtua. Krisis orang tua berupa tanggung jawab karena menganggap diri mereka bertanggung jawab untuk penyakit anaknya, sehingga orang tua memiliki perasaan bersalah dan keputusasaan. Hal ini akan berpengaruh terhadap fungsi peran dari seluruh anggota keluarga, yang lama-kelamaan akan meningkatkan tekanan psikologis dan ketegangan di dalam anggota keluarga (Renani, 2014).

Tekanan psikologis yang kompleks diterima keluarga pada saat anak dirawat karena sakit. Saat sedang perawatan, orangtua seringkali merasa sendirian dalam berjuang menghadapi stresor yang berlangsung dan beragam. Stresor yang muncul, antara lain kebutuhan perawatan kesehatan anak, ketika anak kambuh dari

penyakit, alasan rawat inap, ketidakpastian tentang kondisi anak, potensi berpisah dengan anak, perubahan peran pengasuhan dan keterbatasan peran juga diidentifikasi sebagai sumber stresor bagi orang tua terutama ibu (Aritonang, 2013).

Hasil penelitian pada budaya di negara Ghana menemukan bahwa yang melakukan perawatan anak dengan HIV/AIDS adalah pihak perempuan (nenek/ibu), dimana mereka harus dikucilkan dan keluar dari rumah untuk menyewa tempat dengan kondisi yang memprihatinkan. Selain itu, pengasuh tersebut akan diceraikan oleh suaminya dan harus menafkahi anak dengan HIV/AIDS tanpa ada dukungan dari keluarga besar (Atanuriba et al., 2021).

Peran ibu yang merawat anak menurut penelitian Indriastuti (2015) didapatkan hasil bahwa seorang ibu dengan status HIV seringkali tidak mampu mengatasi penderitaan yang dialaminya, sebab berdasarkan persepsinya, ia memandang bahwa tidak mendapat dukungan dari orang - orang sekitar dan cenderung mendapatkan stigma negatif. Dampak dari stigma negatif akan menyebabkan keterpurukan dan perilaku

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif. Peneliti melakukan eksplorasi secara mendalam mengenai pengalaman keluarga dan petugas kesehatan dalam merawat anak dengan HIV. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi.

Sebelum penelitian dilakukan peneliti melakukan bracketing, intuiting, analizing, dan describing / interpretating, yaitu:

  • 1.    Tahap bracketing merupakan proses yang dilakukan oleh peneliti untuk menyimpan informasi terkait asumsi, pengetahuan, serta kepercayaannya mengenai segala hal yang diketahui terkait penelitian yang diteliti. Proses bracketing pada tahap analisis data, dilakukan dengan memvalidasi hasil analisis ke partisipan untuk menjamin

bunuh diri. Ibu berperan menjadi pencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan hidup untuk merawat anak sakit. Perubahan tersebut adalah salah satu masalah dalam kehidupan keluarga dengan HIV, sehingga dibutuhkan pendekatan intervensi yang berbasis keluarga dalam program pencegahan, pengobatan, dan perawatan. (Atanuriba et al., 2021).

Program pencegahan, pengobatan, dan perawatan sangat dibutuhkan pasien dan keluarga. Tenaga kesehatan berperan besar dalam melakukan pemberian pelayanan kesehatan. Dokter dan perawat sebagai tenaga kesehatan yang profesional mempunyai kesempatan paling besar untuk memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif dengan membantu klien memenuhi kebutuhan dasar. Sebagai profesional kesehatan perlu memberikan pelayanan yang berespon secara holistik dan unik terhadap perubahan kesehatan atau pada saat krisis (Hamid, 2011).

Berdasarkan fenomena di atas, menjadi penting mengungkap secara mendalam bagaimana merawat anak dengan HIV/AIDS di Banten berdasarkan pandangan keluarga dan petugas profesional kesehatan.

bahwa asumsi atau pemikiran yang didapat adalah benar - benar alamiah dan merupakan perkataan dari partisipan secara murni. Hal ini peneliti lakukan setelah proses verbatim.

  • 2.    Tahap intuiting adalah kegiatan peneliti berupa memahami dan masuk secara total ke dalam fenomena yang sedang diteliti. Peneliti menjadi instrumen utama dalam pengumpulan data. Pada proses intuiting ini, intuisi peneliti masuk pada saat wawancara berlangsung serta mengetahui fenomena yang terjadi pada partisipan.

  • 3.    Tahap analizing adalah kegiatan peneliti mulai mengidentifikasi esensi terkait fenomena yang diteliti didasarkan pada data yang telah diperoleh serta bagaimana data tersebut dideskripsikan. Proses analisis ini melalui beberapa tahapan, yaitu peneliti

melakukan kegiatan membaca semua data yang terkumpul, melakukan proses coding, atau membaca ulang data dan memilih kata kunci, proses kategorisasi atau mengartikan kata kunci yang teridentifikasi, proses tematik atau melakukan pengelompokkan data dari arti yang teridentifikasi dalam bentuk tema-tema, menarasikan pola hubungan antar tema, mengembalikan narasi yang telah dibuat untuk dilakukan validasi oleh partisipan.

  • 4.    Tahap describing dan interpretating, peneliti mendeskripsikan tema yang terkumpul   kemudian melakukan

pembahasan  dari tema-tema yang

muncul.

Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anak dengan HIV dan petugas kesehatan yang berpengalaman dalam merawat anak dengan HIV. Sampel yang diambil disebut partisipan. Partisipan dalam penelitian ini diambil secara purposive sampling, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Saturasi data diambil setelah mendapatkan data pada 7 keluarga yang memiliki anak dengan HIV serta 6 petugas kesehatan. Adapun pertimbangan pemilihan partisipan dalam penelitian ini, yaitu :

  • a.    Partisipan keluarga yang memiliki anak dengan HIV.

  • 1)    Keluarga yang diambil adalah orang yang merawat anak dengan HIV (ibu atau ayah) / keluarga terdekat pasien.

  • 2)    Keluarga mampu mengikuti dan bersedia menjadi partisipan

sampai     penelitian     selesai

dilaksanakan.

  • 3)    Mempunyai pengalaman anak yang dirawat di RS dengan HIV.

  • 4)    Kondisi sehat dan mampu berkomunikasi dengan baik.

  • b.    Tenaga kesehatan

  • 1)    Petugas kesehatan adalah dokter yang mempunyai pengalaman melakukan diagnosis HIV pada anak.

  • 2)    Petugas kesehatan berikutnya adalah perawat yang mempunyai pengalaman melakukan perawatan pada anak dengan HIV.

  • 3)    Kondisi sehat dan mampu berkomunikasi dengan baik.

  • 4)    Petugas kesehatan mengikuti dan bersedia   menjadi   partisipan

sampai     penelitian     selesai

dilaksanakan.

Penelitian ini telah dilakukan di RS dr. Dradjat Prawiranegara Serang. Ruang yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ruang Teratai, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak. Tempat peneliti melakukan wawancara adalah di Ruang Teratai. Teknik pengambilan data dengan menggunakan wawancara mendalam. Peneliti mengumpulkan data menggunakan handphone dan lembar catatan lapangan. Peneliti meletakkan rekaman handphone di tempat terbuka dengan jarak kurang dari 50 cm dari partisipan. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dan ijin dari Komisi Etik Stikes BTH Tasikmalaya dengan nomor 168/KEPK-BTH/VIII/2021.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ditampilkan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Karakteristik Partisipan Keluarga Anak dengan HIV

No.

Inisial

Umur

Pekerjaan

Hubungan dengan Anak

Terdiagnosis HIV

1.

Ny. J (P1)

55 tahun

IRT

Nenek

Tidak

2.

Ny. N (P2)

34 tahun

IRT

Ibu

Ya

3.

Ny. Ad (P3)

35 tahun

IRT

Ibu

Ya

4.

Ny. Sa (P4)

41 tahun

IRT

Ibu

Ya

5.

Ny. Di (P5)

32 tahun

IRT

Bibi

Tidak

6.

Ny. Ne (P6)

57 tahun

IRT

Nenek

Tidak

7.

Ny. O (P7)

52 tahun

Karyawan swasta

Bibi

Tidak


Tabel 2. Karakteristik Partisipan Petugas Kesehatan

No.

Inisial           Umur

Pekerjaan

Lama Bekerja

Unit Kerja

1.

Ny. O (Pa1)           41 tahun

Perawat

17 Tahun

Aster

2.

Ny. Dw (Pa2)         31 tahun

Perawat

9 Tahun

Perinatologi

3.

Ny. Ev (Pa3)          42 tahun

Perawat

20 Tahun

Perinatologi

4.

Tn. Nu (Pa4)          32 tahun

Perawat

8 Tahun

Teratai

5.

Ny. D (Pa5)           59 tahun

Dokter

21 Tahun

Teratai

6.

Ny. I (Pa6)            26 tahun

Dokter

13 Tahun

Teratai

Berdasarkan Tabel 1 dan 2 mengenai karakteristik partisipan, peneliti memberikan kode (P) untuk partisipan

keluarga anak dengan HIV, sedangkan (Pa) untuk partisipan petugas kesehatan yang merawat anak dengan HIV.

Tabel 3. Tema Hasil Penelitian

No.

Tema

1.

Ketidaktahuan mengenal penyakit HIV pada saat anak dirawat

2.

Loss follow up terkait pengobatan

3.

Kendala untuk pemeriksaan awal diagnostik (early diagnostic examination)

4.

Tuntutan ekonomi dalam perawatan anak


Tema yang telah ditemukan dalam penelitian ini, yaitu:

  • 1.    Ketidaktahuan mengenal penyakit

    HIV pada saat anak dirawat

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dari sebagian besar partisipan keluarga anak dengan HIV (P1), (P3), (P4), (P5), menyatakan hasil wawancara memunculkan tema seperti: Ketidaktahuan penyakit dan penatalaksanaan dalam merawat anak dengan HIV. Berikut merupakan hasil wawancara:

“... ya ngga tahu, iya kali. Kalau ngga gitu ngga meninggal kali. Kan awalnya ibu ngga tahu apa-apa ... ngga suka ngobrol apa-apa. Ngga sih bu, diem aja. Saya ngga tahu ...” (P1)

“... nggak tahu ya itu dipanggil pas waktu sakit itu katanya harus ada yang diomongin kata pihak rumah sakit tuh kayak gitu. Jadi saya nggak tahu apa yang diobrolin ke kakaknya itu ternyata itu harus berobat ini jangan sampai nggak terus saya nggak lanjut itu pas berobat itu kumat lagi jadi berobat lagi terus saya nggak lanjut ...” (P3)

“... usia 2 bulan kok udah panas-panas aja kayak biasa Ibu pikir kayak biasa gitu mau pinter, ngga tau kenapa ...” (P4)

“... ngga lama selin yang sakit, awalnya selin sakit paru-paru. Pengobatanlah 6

bulan di Tangerang juga, bolak-balik aja sampe badannya habis. Sampe bener-benar ya Allah tinggal tulang sama kulit itu mah, udah tuh keluarga curiga ko sakit paru bisa sampe kaya gitu? Tapi kita ngga ada mikir kesana ...” (P5)

  • 2.    Loss follow up terkait pengobatan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dari sebagian besar partisipan keluarga anak dengan HIV (P1), (P3), dan (P5) dan hampir seluruh partisipan petugas kesehatan menyatakan adanya loss follow up terkait pengobatan ARV (Pa1),  (Pa3),  (Pa5), dan (Pa6).

Berikut merupakan hasil wawancara: Wawancara keluarga :

“... karena nggak ada yang ngambil obat terus posisinya saya belum bisa jalan ...” (P3)

“... iya biasa aja. Malah kita kasian, karena kan pertama dia yatim piatu yah. Jadi anggep aja lah dia tuh ngga sakit apa-apa. Paling saya aja yang cerewet kalo misalnya, dia kan suka susah yah di aturnya yah ...” (P5)

Wawancara petugas kesehatan:

“... ya obatnya masih ada terus alasannya anaknya nangis, anaknya nggak mau, pokoknya banyak alasan gitu banyak alasannya gitu ... karena anaknya sakit, dan sebagainya pokoknya banyak alesan alesan gitu ...” (Pa1)

“... maksudnya tuh kan dia pulang, nah itu terusin obatnya jangan sampai putus ... ” (Pa3)

“... kadang jenuh terus alasannya tuh yang lainnya, kadang faktor ekonomi terus kadang alasan apa apa ya kayak efek samping obat, terus kan kalau efek samping obat tuh pada pengobatan pertama ... ketidaktahuan orang tua jadi dia enggak nurut dengan saran kami gitu. Ya ada juga sih yang mungkin tahu cuma tidak patuh dengan saran kami gitu tuh atau gimana gitu itu, kasusnya orang tuanya udah positif kemudian anaknya nggak diperiksain gitu, harusnya kan kalau misalnya ketahuan orang tuanya positif anaknya ...” (Pa5)

“... terus kayak ada yang bilang saya berobatnya jauh katanya gimana kalau di sana ...” (Pa5)

“... melakukan terapi kalo ngga ada lose follow up berarti bisa jadi terjadi strain virus yang baru. Akhirnya kesana ..” (Pa6)

  • 3.    Kendala untuk pemeriksaan awal diagnostik     (early     diagnostic

examination)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, hampir sebagian besar partisipan petugas kesehatan (Pa4) dan (Pa6) menyatakan dalam hasil wawancara berikut:

“... jadi kemungkinan untuk dicek tidak bisa. Setelah bayi kurang lebih satu setengah tahun sampe 2 tahun baru bisa dicek HIV, karena dia sudah memakai imun dia sendiri gitu ...” (Pa4).

PEMBAHASAN

Partisipan yang berpartisipasi pada penelitian terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah keluarga yang memiliki anak dengan HIV. Sedangkan kelompok kedua adalah petugas kesehatan yang berpengalaman dalam merawat anak / bayi dengan HIV. Jumlah partisipan kelompok pertama berjumlah 7 orang,

“...sebetulnya biayanya tidak mahal, cuman itu dikerjakan di Tarakan. Di Rumah Sakit Tarakan, disini belum ada. Belum bisa. Sebetulnya gratis, kita bermasalah sampe sekarang itu belum tahu lagi kebijaksanaan yang benar... kerja sama yang benar antara dinas kabupaten atau kota atau provinsi dengan rumah sakit untuk membawa sampel ke Tarakan. Lebih enak kalo misalkan pasien itu membawa anaknya ke Tarakan, kerjakan di sana....”(Pa6)

  • 4.    Tuntutan     ekonomi     dalam

    perawatan anak

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, sebagian besar partisipan keluarga anak dengan HIV (P2), (P3), dan (P7) menyatakan adanya tuntutan ekonomi dalam merawat anak. Berikut hasil wawancara:

“... kalau ada planning sih, ada gitu yah. Pengen buka usaha, apa gimana gitu. Kalo kerja mungkin karena kondisi kita seperti ini ...” (P2)

“... BPJSnya yang berbayar dan itu saya nggak mampu bayar jadi lah nggak usah diteruskan lagi, enggak punya uangnya buat makan sehari-hari aja kadang kurang...” (P3)

“... masih diem waktu di IGD itu bu, terus ngga rupanya keluar itu dia 700 ngga ada uang kayanya. Jadi nunggu telponin saya, saya kira telpon apa ‘kan ada bapaknya, kenapa neneknya?’ gitu. Ya saya telpon oh ternyata mau keluar ngga ada uangnya. Masih kurang 300 berapa gitu, saya kasihlah ya udah pulang .... Gitu udah

kadang makan, ngga makan. Kalau saya yang diutamakan si Riani aja ...” (P7)

sedangkan kelompok kedua berjumlah 6 orang.

Partisipan kelompok pertama pada penelitian ini memiliki rentang usia dari 34 tahun sampai dengan 57 tahun. Pada kelompok pertama keluarga yang merawat ada yang berstatus HIV/AIDS dan tidak berstatus HIV/AIDS. Partisipan kelompok

kedua pada penelitian ini memiliki rentang usia dari 26 tahun sampai dengan 59 tahun. Mempunyai pengalaman dalam merawat anak dengan HIV antara 8 - 21 tahun. Karakteristik pada penelitian ini, yaitu partisipan berdomisili di wilayah Banten khususnya di wilayah kota Serang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidaktahuan mengenal penyakit HIV pada saat anak dirawat. Hasil wawancara mengungkapkan bahwa keluarga yang merawat anak mereka tidak mengetahui sakit yang diderita. Pada keadaan yang dialami tersebut, anak dirawat dan diasuh oleh keluarga besar, bukan keluarga inti. Berdasarkan karakteristik keluarga yang merawat anak. Anak dirawat oleh nenek dan bibi. Pada kondisi tersebut keluarga tidak mengetahui karena orangtua anak tidak menjelaskan status HIV anak, sehingga keluarga menganggap sakit yang diderita oleh anak merupakan penyakit biasa yang terjadi selama proses masa tumbuh kembang. Keluarga tidak pernah berpikir anaknya mengalami kondisi sakit seperti HIV. Keluarga tidak mengetahui dan mencari informasi mengenai HIV (Reed et al., 2013). Ketidaktahuan keluarga atau ODHA saat mengalami sakit dapat dipengaruhi oleh pendidikan dan pengetahuan. Hal tersebut berdampak pada perawatan dan pengobatan (Nurhayati dkk, 2018).

Perawatan dan pengobatan yang baik didukung oleh keluarga. Namun, pada hasil penelitian menunjukkan mengenai loss follow up terkait pengobatan. Upaya dalam menjaga kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS, salah satunya penggunaan kombinasi obat ARV. Penggunaan obat ini mampu menurunkan angka morbiditas dan mortalitas karena mampu menekan kejadian infeksi opportunistik pada ODHA. Anti Retro Viral (ARV) berkontribusi signifikasi dalam menurunkan infeksi baru sebesar 37% dan menurunkan angka kematian sekunder sebesar 45% (Gebremichael & Gurara, 2021). Pemberian ARV pada ODHA dikonsumsi seumur hidup. ARV dapat menimbulkan efek samping pada ODHA seperti mual, muntah, dan

perubahan kulit. Hal ini membuat permasalahan tren isu pada ODHA, yaitu kejadian ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi ARV. Ketidakpatuhan atau loss to follow up terapi ARV didefinisikan menjadi suatu kondisi pasien yang tidak berkunjung ke klinik VCT untuk melakukan pengobatan selama 90 hari sejak kunjungan terakhir atau putus berobat selama 3 bulan terturut-turut, atau pasien tidak datang ke fasilitas kesehatan tiga kali berturut-turut selama satu bulan lebih (Handayani, Ahmad, & Subronto, 2017; Gebremichael, et al., 2021).

Dampak dari ketidakpatuhan yang dapat menimbulkan mortalitas tergambar dari hasil penelitian sebelumnya bahwa dari 402 pasien yang mengalami loss to follow up sebanyak 66,7% telah meninggal. Hal ini disebabkan sistem imun yang awalnya dikendalikan oleh terapi ARV akan menjadi semakin buruk, sehingga ODHA rentan terhadap infeksi opportunistik dan berakibat pada kematian. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya loss to follow up seperti faktor pengetahuan, usia, akses ke pelayanan kesehatan, dukungan keluarga, atau pengawas minum obat pada ODHA (Haerati dkk, 2018).

Terkait dukungan keluarga, dalam penelitian Handayani dkk (2017) diungkapkan bahwa, pentingnya dukungan keluarga atau peran keluarga dalam family center care menjadi tonggak keberhasilan pengobatan ARV. Pengobatan dinyatakan baik bila pemeriksaan awal diagnostik segera dilakukan. Hal ini sangat dirasakan ODHA terutama anak. Faktor lain adalah jarak fasilitas kesehatan. Jarak yang jauh akan membuat sulitnya mengakses fasilitas kesehatan, permasalahan biaya transportasi, dan waktu yang dibutuhkan untuk ke pelayanan kesehatan akan bisa menurunkan motivasi ODHA untuk mengambil obat ARV (Handayani dkk, 2017).

Saumu et al (2019) menjelaskan bahwa karena sebagian besar pengasuh anak adalah selain orang tua biologis seperti nenek, karena banyak kasus anak dengan yatim piatu. Sosok caregiver selain

orang tua yang memberikan asuhan dan perawatan pada anak dengan ODHA seringkali memiliki sedikit atau tidak sama sekali pendidikan formal dan tidak mampu mengakses pengetahuan untuk memahami pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan ARV dan kontrol rutin ke fasilitas kesehatan. Hal lain terkait dengan persepsi pengasuh yang lebih cenderung percaya pada pengobatan tradisional yang pada akhirnya meningkatkan kemungkinan loss to follow up ARV. Studi lanjut menyatakan caregiver mempunyai peranan dalam melindungi dan memberi makan. Apabila keluarga tidak mampu secara ekonomi, maka hal tersebut berpengaruh dalam pengobatan (Sengayi et al., 2013).

Fenomena lain terkait dengan loss follow up pada anak juga dikaitkan dengan usia anak. Hal ini dijelaskan dalam hasil penelitian Chandiwana et al (2018) bahwa usia anak prasekolah yang mendapatkan pengasuhan dari orang tua akan membuat kunjungan klinik serta motivasi untuk menjadi family center care dalam pengobatan ARV lebih besar. Hal ini dikarenakan kecenderungan urgensi yang dirasakan orang tua terhadap manfaat pengobatan dan kekhawatiran terinfeksi infeksi opportunistik. Namun, pada anak usia sekolah kejadian penundaan kunjungan ke klinik lebih besar resikonya, hal ini disebabkan adanya beban keluarga yang makin bertambah, sulitnya mengatur waktu yang tepat antara kunjungan perawatan anak dengan jadwal, atau bentrok dengan aktifitas sekolah.

Faktor yang mendukung kepatuhan minum obat anak dengan HIV, yaitu karena percaya dengan efektivitas obat ARV, dan dukungan keluarga (Srinatania dkk, 2020). Untuk meningkatkan kepatuhan minum obat, aspek dukungan keluarga dan pendampingan sangat dibutuhkan, seperti mulai dari menggunakan alarm agar tidak terlewat waktu minum obat, selalu mengingatkan waktu minum obat, dan selalu menyiapkan ARV tepat waktu, baik disiapkan sendiri atau dengan bantuan keluarga lainnya (Astuti & Fitrian, 2017).

Dukungan keluarga dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi, kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS dan kejujuran terkait konsumsi obat. Kejujuran menjadi aspek penting apakah pasien mengkonsumsi obat dengan benar atau tidak mengkonsumsi. Masalah tersebut terjadi pada ODHA terutama pasien dewasa. Namun, kejujuran menjadi pertanyaan yang diajukan anak karena anak merasa harus mengkonsumsi obat. Anak merasa dalam kondisi sehat namun harus mengkonsumsi obat (Xu et al., 2017).

Pengasuhan anak dengan HIV/AIDS di Afrika biasa dilakukan oleh kaum perempuan, dimana perempuan memiliki tanggung jawab dalam mengasuh anak, kondisi ini membuat kaum wanita menjadi lebih terbebani dan tidak sedikit yang mengalami masalah psikologis (Osafo et al., 2017). Perawatan dan pengasuhan yang dibebankan menjadi dilema tersendiri. Salah satu beban yang timbul, yaitu terkait ekonomi sebagai salah satu penunjang perawatan dan pengobatan (Susyanty dkk, 2017). Beban yang harus ditanggung seperti obat-obatan, transportasi ke pusat kesehatan, multivitamin, biaya sekolah, kebutuhan makan setiap hari menjadi salah satu masalah bagi pengasuh anak dengan HIV/AIDS (Osafo et al., 2017). Apabila ekonomi tidak menunjang akan muncul masalah dengan kepatuhan pengobatan (Atanuriba et al., 2021).

Selain faktor ekonomi, salah satu hambatan dalam perawatan terhadap anak dengan HIV/AIDS adalah perbedaan tingkat pendidikan pengasuh. Jika seorang pengasuh memiliki pendidikan tinggi, maka mereka akan mencari pelayanan kesehatan yang baik, namun jika berpendidikan rendah mereka akan cenderung memilih pengobatan tradisional seperti pengobatan dengan sihir dan herbal (Mugisha et al., 2020). Hambatan ini juga akan menjurus kepada ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat atau putus obat. Berdasarkan hal tersebut, keluarga, caregiver, ataupun petugas bisa saling membantu dengan mengkomunikasikan hambatan yang terjadi pada pasien. Hal

lain yang dapat dilakukan berupa peningkatan swadaya keluarga untuk

SIMPULAN

Pasien HIV wajib menjalani serangkaian perawatan, pemeriksaan awal diagnostik, dan pengobatan. Keluarga harus memiliki kecukupan finansial untuk menunjang perawatan anak sakit atau proses pengobatan anak dengan HIV. Terutama jika keluarga inti (ibu atau ayah dari anak dengan HIV, salah satunya atau keduanya meninggal). Kondisi tersebut dapat membebani anak. Perawatan dan pengobatan selanjutnya akan diserahkan pada anggota keluarga yang lain. Perawatan dan pengobatan anak yang demikian menjadi salah satu indikator

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, I. (2013). Memantau dan Menilai Status

Gizi Anak. Yogyakarta: Leutika Books.

Astuti, W., & Fitrian, R. (2017). Pengalaman

Seksual Pasangan Penderita HIV dalam Mempertahankan Status HIV Negatif. Nursing Practices, 1(2), 32–43.

Atanuriba, G. A., Apiribu, F., Boamah Mensah, A.

B., Dzomeku, V. M., Afaya, R. A., Gazari, T., … Amooba, P. A. (2021). Caregivers’

Experiences with Caring for a Child Living with HIV/AIDS: A Qualitative Study in Northern Ghana. Global Pediatric Health, 8. https://doi.org/10.1177/2333794X211003622

Boyse. (2008). Children with Chronic Conditions. Pediatrics Journal.

Chandiwana, N., Sawry, S., Chersich, M., Kachingwe, E., Makhathini, B., & Fairlie, L. (2018). High loss to follow-up of children on antiretroviral treatment in a primary care HIV clinic      in      Johannesburg,      South

Africa. Medicine, 97(29).

Friedman. (2014). Buku Ajar Keperawatan

Keluarga Riset, Teori & Praktik. Jakarta: EGC.

Gebremichael, M. A., & Gurara, M. K. (2021). Predictors of Loss to Follow-Up among HIV-Infected Adults after Initiation of the First-Line Antiretroviral Therapy at Arba Minch General Hospital, Southern Ethiopia: A 5-Year Retrospective Cohort Study. Hindawi BioMed Research International,   2021.

https://doi.org/https://doi.org/10.1155/2021/8 659372

Haerati, Andi Asrina, Suriah, F. A. G. (2018). LOSS TO FOLLOW UP PADA ORANG DENGAN HIV DAN AIDS YANG MENERIMA TERAPI ANTIRETROVIRAL DI   KABUPATEN   BULUKUMBA.

Prosiding Seminar Nasional, 1 (September

meningkatkan kebutuhan finansial (Xu et al., 2017)

adanya putus pengobatan. Loss follow up pengobatan menjadi meningkat. Adanya dilema dalam pengobatan ARV pada anak yang harus meminum obat seumur hidup.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada KemenRisTekDikBud atas kesempatan mendapatkan hibah penelitian. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Universitas Faletehan beserta LPPM Universitas Faletehan yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

2014), 326–331.

Hamid. (2011). Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.

Handayani, L., Ahmad, R. A., & Subronto, Y. W. (2017). Faktor risiko loss to follow up terapi ARV pada pasien HIV. Berita Kedokteran Masyarakat (BKM Journal of Community Medicine and Public Health), 33(4), 173–

180.

Indriastuti, N. A. (2015). Faktor-faktor yang memengaruhi pencapaian peran sebagai ibu pada perempuan dengan HIV/AIDS di Yogyakarta. Mutiara Medika, 15(1), 75–83.

Kemenkes RI. (2020). Infodatin HIV AIDS. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1–8.            Retrieved            from

https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/down load/pusdatin/infodatin/infodatin-2020-HIV.pdf

Mugisha, J., Mugisha, J., Kinyanda, E., Kinyanda, E., Osafo, J., Nalukenge, W., & Knizek, B. L. (2020). Health care professionals’ perspectives on barriers to treatment seeking for formal health services among orphan children and adolescents with HIV/AIDS and mental distress in a rural district in central, Uganda. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health,   14(1),    1–10.

https://doi.org/10.1186/s13034-020-00332-8

Nurhayati, G. E., Murwasuminar, B. J., Laelasari, L., & Manap, A. (2018). Hambatan Dan

Tantangan Orang Tua (Ibu) Pada Saat Melakukan Perawatan Anak Dengan HIV/AIDS (Adha) Yang Mengakses Layanan HIV di Kota Bandung. Jurnal Sehat Masada, 12(2), 123-143.

Osafo, J., Knizek, B. L., Mugisha, J., & Kinyanda, E. (2017). The experiences of caregivers of

children living with HIV and AIDS in Uganda: a qualitative study. Globalization and       Health,       13(72),       1–13.

https://doi.org/10.1186/s12992-017-0294-9

Reed, E., Silverman, J. G., Stein, B., Erausquin, J. T., Biradavolu, M., Rosenberg, A.,  &

Blankenship, K. M. (2013). Motherhood and HIV risk among female sex workers in Andhra Pradesh, India: The need to consider women’s life contexts. AIDS and Behavior, 17(2),                            543–550.

https://doi.org/10.1007/s10461-012-0249-3

Renani. (2014). Children with Asthma and Their Families’ Viewpoints on Spiritual and Psychological Resources in Adaptation with the Disease. J Relig Health.

Saumu, W. M., Maleche-Obimbo, E., Irimu, G., Kumar, R., Gichuhi, C., & Karau, B. (2019). Predictors of loss to follow-up among children attending HIV clinic in a hospital in rural Kenya. Pan African Medical Journal, 32(1).

Sengayi, M., Dwane, N., Marinda, E., Sipambo, N., Fairlie, L., & Moultrie, H. (2013). Predictors of loss to follow-up among children in the first and  second  years of antiretroviral

treatment in    Johannesburg,    South

Africa. Global health action, 6(1), 19248.

Smeltzer, S. C., Hinkle, J. L., Bare, B. G., & Cheever, K. H. (2010). Textbook of Medical-Surgical Nursing. Lippincott Williams & Wilkins.

Srinatania, D., Sukarya, D.,  & Lindayani, L.

(2020). Gambaran Kepatuhan Minum Obat Arv Pada Anak Dengan Hiv/Aids. Jurnal

Keperawatan Komprehensif (Comprehensive Nursing     Journal),     6(1),     53–58.

https://doi.org/10.33755/jkk.v6i1.176

Stolley, K. S., & Glass, J. (2009). HIV/AIDS,

Health and medical Issues Today. Greemwood: Pres An Imprint of ABC-CLIO, LLC.

Suryono, A. (2017). Hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup anak yang menderita penyakit kronik di PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Naskah Publikasi.

Susyanty, A. L., Handayani, R. S., & Sugiharti, S. (2017). Keterjangkauan Biaya untuk Mendapatkan Pengobatan pada Anak dengan HIV AIDS dan Infeksi Oportunistik. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 27(3),                            161–168.

https://doi.org/10.22435/mpk.v27i3.6773.161 -168

UNAIDS DATA.   (2020). Retrieved from

unaids.org/sites/default/files/media_asset/202 0_aids-data-book_en.pdf

WHO. (2010). The World Health Report 2010.

Xu, J. F., Ming, Z. Q., Zhang, Y. Q., Wang, P. C., Jing, J., & Cheng, F. (2017). Family support, discrimination, and quality of life among ART-treated HIV-infected patients: A two-year study in China. Infectious Diseases of Poverty,              6(1),              1–10.

https://doi.org/10.1186/s40249-017-0364-5

Volume 10, Nomor 2, April 2022

202