Community of Publishing In Nursing (COPING), p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980

GAMBARAN TINGKAT NEUROPATI PERIFER PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD WANGAYA

Ni Putu Ari Wahyuni1, Gusti Ayu Ary Antari2, Ni Luh Putu Eva Yanti3

1 Mahasiswa Program Studi Sarjana Keperawatan dan Profesi Ners Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 2, 3 Dosen Program Studi Sarjana Keperawatan dan Profesi Ners Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Alamat korespondensi: [email protected]

ABSTRAK

Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) adalah penyakit kronis akibat peningkatan kadar gula darah dalam darah yang akan mengakibatkan komplikasi. Neuropati perifer menjadi salah satu komplikasi kronik yang sering dialami pada pasien DMT2. Hiperglikemia kronis pada DMT2, menyebabkan kerusakan pada saraf perifer yakni saraf otonom, sensorik, maupun motorik dan kemudian mencetuskan neuropati. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat neuropati perifer pada pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUD Wangaya. Desain penelitian menggunakan deskriptif kuantitatif eksploratif dengan rancangan cross-sectional. Responden sebanyak 73 orang, diperoleh menggunakan teknik purposive sampling. Data dianalisis menggunakan analisis univariat. Mayoritas usia responden berkisar antara 56-65 tahun (53,4%), sebagian besar berjenis kelamin perempuan (56,2%), pendidikan terakhir tamat SD (27,4%), dan pekerjaan responden sebagian besar dalam kategori lain-lain yaitu ibu rumah tangga, petani, dan buruh (58,9%). Sebagian besar mengalami DMT2 >5 tahun (45,2%) dan memiliki kadar GDS 201-300 mg/dL (60,3%). Mayoritas responden memiliki penyakit penyerta hipertensi (39,7%) dan mengonsumsi OHO (67,1%). Hasil penelitian didapatkan sebanyak 4,1% tidak mengalami neuropati, mengalami neuropati ringan 61,6%, neuropati sedang 31,5%, dan neuropati berat 2,7%. Oleh karena itu, hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang perlunya upaya-upaya strategis untuk mencegah progresivitas neuropati.

Kata kunci: diabetes melitus tipe 2, komplikasi kronis, neuropati perifer

ABSTRACT

Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) is a chronic disease caused by an increase in blood sugar levels in the blood which will lead complication. Peripheral neuropathy is one of the most common chronic complication in T2DM patients. Chronic hyperglycemia in T2DM causes damage to the peripheral nerves, namely autonomic, sensory, and motor nerves, and then triggers neuropathy. The purpose of this study was to determine the level of peripheral neuropathy in type 2 diabetes mellitus patients in Wangaya District Hospital. This research is a descriptive explorative quantitative with a cross-sectional design. As many as 73 respondents were obtained through a purposive sampling technique. Data were analyzed using univariate analysis. The majority of respondents ages ranged from 56-65 years (53,4%), most are female (56.2%), their last education was elementary school (27.4%),. and most of their occupations were in other categories, namely housewives, farmers, and laborers (58.9%). Most of the respondents have T2DM for more than 5 years (45.2%) and have GDS levels of 201-300 mg/dL (60,3%). The majority of respondents have concomitant hypertension (39.7%) and consumed OHO (67.1%). The results show as many 4,1% did not experience neuropathy, experienced mild neuropathy 61.6%, moderate neuropathy 31.5%, and severe neuropathy 2.7%. Therefore, the results of this study provide an overview of the need for strategic efforts to prevent the progression of neuropathy.

Keywords: type 2 diabetes mellitus, chronic complications, peripheral neuropathy

188

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang terjadi akibat meningkatnya kadar gula darah (hiperglikemik). Internasional Diabetes Federation (IDF) (2017) diestimasi bahwa terdapat 84,5% kasus DM yang belum terdiagnosis dokter dan seringkali pasien akan terdiagnosis ketika mengalami komplikasi.

DMT2 adalah jenis diabetes yang paling sering terjadi, dari keseluruhan kasus DM terdapat sekitar 90% kasus DMT2. Berdasarkan data IDF tahun 2017, prevalensi DMT2 di seluruh dunia mengalami peningkatan dalam empat tahun terakhir, yaitu sebesar 32 juta kasus dari tahun 2013 hingga tahun 2017. Peningkatan prevalensi ini juga ditemukan di Indonesia. Berdasarkan data Riskesdas RI tahun 2018 prevalensi DMT2 di Indonesia sejak periode 2013 hingga 2018 mengalami peningkatan dari 6,9% menjadi 8,5% (Kemenkes RI, 2018).

Hiperglikemik yang berkepanjangan merupakan faktor risiko utama terjadinya komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular pada pasien DMT2. Kondisi hiperglikemik kronik akan menyebabkan aktifnya jalur poliol sehingga akan meningkatkan kadar sorbitol dan fruktosa yang berperan dalam pembentukan Advance Glycation End Products (AGEs) yang selanjutnya menimbulkan terjadinya disfungsi endotel yang menyebabkan pelemahan dan perusakan dinding pembuluh darah. Akibatnya, saraf tidak dapat mengirim atau menghantarkan rangsangan impuls dan kemudian berkembang menjadi neuropati (Charnogursky et al., 2014).

Kerusakan yang terjadi pada saraf perifer akan menyebabkan perubahan fungsi otonom, motorik dan sensorik. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kejadian neuropati

perifer pada DMT2. Faktor risiko yang berkontribusi terjadinya neuropati perifer yaitu usia, jenis kelamin, buruknya kontrol glikemik, indeks nilai lipid, tekanan darah, dan durasi mengalami DMT2.

Selama ini pelayanan kesehatan belum menerapkan pemeriksaan untuk mengetahui neuropati perifer. Hasil penelitian Rosyida dan Safitri (2016) menemukan bahwa pemeriksaan neuropati perifer berupa pemeriksaan inspeksi kaki maupun menggunakan instrumen khusus tidak pernah dilakukan oleh perawat.

Hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap lima pasien DMT2 di RSUD Wangaya didapatkan bahwa sebanyak empat orang pasien mengalami kerusakan pada saraf otonom. Pada pemeriksaan saraf sensorik terdapat tiga orang yang mengalami gangguan sensasi nyeri dan dua orang yang mengalami gangguan sensasi vibrasi pada kaki. Pemeriksaan saraf motorik ditemukan dua orang mengalami perubahan bentuk kaki dan satu orang yang mengalami perubahan kekuatan otot. Selain itu, hasil penilaian terhadap tingkat neuropati perifer ditemukan sebanyak tiga orang yang mengalami neuropati sedang dan dua orang mengalami neuropati ringan.

Pasien DMT2 masih banyak yang tidak mengetahui dan mengabaikan gejala-gejala dari neuropati. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pemeriksaan neuropati perifer. Penelitian terkait gambaran neuropati perifer sebelumnya pernah dilakukan, namun penelitian-penelitian tersebut kurang membahas terkait keparahan neuropati secara spesifik serta pemeriksaan neuropati perifer belum pernah dilakukan di Poliklinik Interna RSUD Wangaya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat neuropati

189


perifer pada pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUD Wangaya.

METODE PENELITIAN

Desain penelitian menggunakan deskriptif kuantitatif eksploratif dengan metode cross-sectional. Sampel berjumlah 73 orang dan dipilih menggunakan metode nonprobability sampling yaitu purposive sampling. Kriteria inklusi yaitu pasien DMT2 yang berusia 26-65 tahun, lama DM ≥6 bulan, hasil GDS 126-300 mg/dL, dan bersedia menandatangani informed consent. Pasien DMT2 dengan keterbatasan fungsional seperti fraktur, kelumpuhan, dan kecacatan pada salah satu atau kedua ekstremitas atas dan bawah, terdiagnosis dokter mengalami gangguan mental, riwayat dan atau terdiagnosis diabetic foot digolongkan sebagai kriteria eksklusi dalam penelitian.

Instrument pengumpul data yang digunakan peneliti yaitu hasil adopsi dan adaptasi lembar pemeriksaan Michigan

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian dijabarkan menjadi tiga bagian yaitu tabel 1 karakteritik responden berdasarkan usia dan GDS, tabel 2 karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat

Neuropathy Screening Instrument (MNSI) dan Michigan Diabetic Nuropathy Score (MDNS). Hasil uji validitas dan reliabilitas yang dilakukan peneliti dari 12 item yang diuji, 11 item dinyatakan valid (α = 0,794; α ≥0,05).

Pengumpulan data di Poliklinik Interna RSUD Wangaya. Setelah menandatangani informed consent, responden diminta untuk mengisi data identitas dan kontrak waktu untuk pengambilan data di rumah responden. Pengambilan data karakteristik responden, dan pemeriksaan tingkat neuropati perifer dilakukan di rumah responden oleh peneliti dan enumerator. Proses pengambilan data tersebut berlangsung selama 20-30 menit. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis univariat. Penelitian ini telah mendapat surat laik etik dari Komisi Etik PenelitianNFK Unud/RSUP Sanglah Denpasar dengan nomor kelaikan etik 412/UN12.2.2.VII.14/LP/2020.

pendidikan, pekerjaan, lama mengalami DMT2, GDS, jenis obat dan penyakit penyerta dan tabel 3 gambaran tingkat neuropati perifer pada pasien DMT2.

Tabel 1.

Analisis Karakteristik Responden Berdasarkan Usia da GDS

Variabel

Median ± Varian

Min Max

95% CI

Usia

57,00 ±48, 52

30 – 65

54,68 – 57,93

Variabel

Mean ± SD

Min Max

95% CI

GDS

222,19±60,74

126-300

208,02– 236,36

Tabel 1 menunjukkan bahwa usia responden terendah 30 tahun dan usia tertinggi 65 tahun. Hasil rerata GDS

adalah 222,19 mg/dL dengan standar deviasi 60,74. Hasil GDS minimum 126 mg/dL dan hasil maksimum 300 mg/dL.

190


Tabel 2.

Karakteristik Responden Meliputi Usia, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, Pekerjaan, Lama Mengalami DMT2, GDS, Jenis Obat dan Penyakit Penyerta

Variabel

Frekuensi (n)

Presentase (%)

Dewasa awal (26-35 tahun)

1

1,4

Usia

Dewasa akhir (36-45 tahun)

3

4,1

Lansia awal (46-55 tahun)

30

41,1

Lansia akhir (56-65 tahun)

39

53,4

Total

73

100

Jenis Kelamin

Laki-laki

32

43,8

Perempuan

41

56,2

Total

73

100

Tidak Sekolah

6

8,2

Tingkat Pendidikan

Tamat SD

20

27,4

Tamat SMP

13

17,8

Tamat SMA

18

24,7

Tamat Perguruan Tinggi

16

21,9

Total

73

100

Tidak Bekerja

4

5,5

Pegawai Swasta

8

11,0

Pekerjaan

Wiraswasta

15

20,5

PNS

2

2,7

TNI/Polri

1

1,4

Lain-Lain

43

58,9

Total

73

100

Lama Mengalami DMT2

≥ 6 bulan-3 tahun

22

30,1

3-5 tahun

18

24,7

>5 tahun

33

45,2

Total

73

100

GDS

Normal (126-200 mg/dL)

29

39,7

Hiperglikemia (201-300 mg/dL

44

60,3

Total

73

100

Insulin

16

21,9

Jenis Obat

OHO

49

67,1

Kombinasi

8

11,0

Total

73

100

Hipertensi

29

39,7

CKD

2

2,7

Penyakit Penyerta

Gagal Jantung Retinopati

4

6

5,5

8,2

Lain-Lain

4

5,5

Tidak Ada

28

38,4

Total

73

100

Pada tabel 2 memperlihatkan responden dominan berasal dari kelompok lansia akhir yakni berjumlah 39 orang (53,4%). Dari 73 responden sebanyak 41 orang (56,2%) berjenis kelamin perempuan. Mayoritas responden hanya menyelesaikan pendidikan hingga SD yakni sebanyak 20 orang (27,4%). Sebagian besar responden bekerja dalam kategori lain-lain, yakni sebanyak 43 orang (58,9%). Kategori

lain-lain terdiri dari bekerja sebagai ibu rumah tangga, buruh dan petani. Lama mengalami DMT2 yang paling banyak adalah >5 tahun sebanyak 33 orang (45,2%). Sebanyak 44 orang (60,3%) memiliki kadar gula darah sewaktu (GDS) dalam kategori hiperglikemia. Dari 73 responden terdapat 49 orang (67,1%)      menggunakan     Obat

Hipoglikemia Oral (OHO) dan mayoritas responden yakni sebanyak 29 orang 191

(39,7%) memiliki penyakit penyerta berupa hipertensi.

Tabel 3.

Gambaran Tingkat Neuropati Perifer pada Pasien DMT2

Variabel

Frekuensi (n)

Persentase (%)

Tidak Ada Neuropati

3

4,1

Tingkat Neuropati    Neuropati Ringan

45

61,6

Perifer

Neuropati Sedang

23

31,5

Neuropati Berat

2

2,7

Tabel 3 menjelaskan bahwa mayoritas responden (61,6%) memiliki tingkat neuropati perifer ringan.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dilakukan di Poliklinik Interna RSUD Wangaya menunjukkan bahwa rerata skor yang diperoleh responden yaitu sebesar 10,04 dengan skor maksimum yaitu 32. Berdasarkan analisis data pengkategorian, didapatkan mayoritas responden mempunyai tingkat neuropati perifer dengan kategori ringan yaitu sebanyak 45 orang (61,6%), kategori sedang yaitu sebanyak 23 orang (31,5%), kategori berat yaitu sebanyak 2 orang (2,7 %) dan 3 orang (4,1%) tidak mengalami neuropati. Sesuai dengan penelitian Rosyida dan Safitri (2016) yang menemukan bahwa mayoritas responden (55,8%) mengalami neuropati ringan.

Hasil analisis lebih lanjut menemukan bahwa mayoritas responden (58,9%) memiliki jenis neuropati campuran yaitu gabungan dari kerusakan saraf otonom, yang diikuti oleh gangguan saraf sensorik atau saraf motorik. Dari ketiga jenis neuropati, responden dengan neuropati campuran paling banyak mengalami neuropati ringan (44,2%) dan neuropati sedang (51,2%). Kondisi ini mungkin disebabkan oleh semakin kompleks kerusakan yang dialami maka tingkat neuropati perifer akan semakin berat.

Karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, lama mengalami DMT2, GDS, jenis obat, dan riwayat penyakit penyerta yang kemudian dilakukan cross tabulation dengan tingkat neuropati perifer. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar kejadian neuropati perifer terjadi pada responden yang berusia 45-65 tahun. Hal ini didukung oleh Suyanto (2017) yang menemukan bahwa rata-rata responden mengalami neuropati perifer berusia 45-65 tahun. Hal ini disebabkan oleh menurunnya kondisi fisik, psikologis, maupun intelektual yang terjadi setelah mencapai usia lebih dari 30 tahun.

Hasil analisis didapatkan bahwa responden perempuan lebih banyak mengalami neuropati perifer dibandingkan laki-laki. Berdasarkan teori dalam Franconi et al (2012) perbedaan hormon yaitu hormon estrogen menyebabkan perempuan berisiko lebih besar terkena neuropati perifer.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa mayoritas responden yang mengalami neuropati perifer memiliki tingkat pendidikan tamat SD. Rahmawati dan Hargono (2018) dalam penelitiannya mendapatkan hasil yakni mayoritas responden dengan neuropati perifer memiliki tingkat pendidikan tamat SD

192


dan SMP. Pasien DMT2 dengan pendidikan rendah memiliki kecenderungan pengetahuan yang kurang dalam melakukan penatalaksanaan dan pengobatan DMT2. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi neuropati perifer (Rahmawati & Hargono, 2018).

Mayoritas pekerjaan responden yang mengalami neuropati perifer yaitu ibu rumah tangga, petani, dan buruh. Hasil ini didukung oleh penelitian Ramadhan dan Hanum (2016) mendapatkan sebagian besar ibu rumah tangga lebih berisiko mengalami DMT2 karena aktivitas fisik yang dilakukan minimal.

Hasil analisis lebih lanjut terhadap data penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kejadian neuropati perifer terjadi pada responden dengan lama DMT2 >5 tahun. Berbeda dengan penelitian Rahmawati dan Hargono (2018) menyatakan tidak ada korelasi diantara lamanya mengalami DMT2 dengan kejadian neuropati perifer. Kondisi ini diakibatkan oleh berbagai hal seperti kondisi individu yang sebelumnya sudah mengalami komplikasi neuropati perifer saat awal terdiagnosis DM dan buruknya kontrol glikemik yang akan mempengaruhi perburukan kondisi pasien DMT2.

Neuropati perifer sebagian besar ditemukan pada pasien DMT2 dengan kadar GDS di rentang 200-300 mg/dL. Suri et al (2015) dalam penelitiannya mengatakan bahwa responden dengan kadar GDS diatas 200 mg/dL memiliki risiko lebih besar mengalami kerusakan pada serabut saraf terutama pada saraf bagian distal. Kelebihan glukosa menyebabkan terbentuknya AGEs bertautan kuat dengan kolagen in vitro yang akan merusak serabut saraf (Charnogursky et al., 2014).

Hasil penelitian menemukan mayoritas responden mengonsumsi Obat

Hipoglikemik Oral (OHO). Jenis OHO yang umum dikonsumsi responden adalah metformin. Mengonsumsi metformin dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan cenderung mengalami kekurangan vitamin B12 dan menunjukkan kondisi neuropati perifer yang lebih parah dibandingkan pasien yang tidak mengosumsi metformin. Defisiensi vitamin B12 pada pasien DMT2 akan menimbulkan rasa kesemutan pada tangan dan kaki serta mati rasa (Calvo Romero dan Ramiro Lozano, 2012).

Hipertensi adalah jenis penyakit yang paling sering ditemukan pada responden. Hasil penelitian yang dilakukan Van dan Toto (2011) menunjukkan bahwa hipertensi dapat meningkatkan risiko terjadinya neuropati perifer sebanyak empat kali lipat. Pembuluh darah yang menyempit akan mempengaruhi proses pengangkutan nutrient dalam darah, sehingga sirkulasi ke saraf perifer menurun.

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan yang dapat diambil yaitu sebagian besar responden mengalami neuropati ringan sebanyak 45 orang (61,6%). Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan sehingga peneliti selanjutnya diharapkan dapat mencari korelasi dari variabel lainnya seperti HbA1c, tingkat stress, tingkat pengetahuan diabetes, dukungan sosial, dan self efficacy terhadap tingkat neuropati perifer.

DAFTAR PUSTAKA

Calvo Romero, J. M., & Ramiro Lozano, J. M. (2012). Vitamin B12 in type 2 diabetic patients treated with metformin. Endocrinología y Nutrición (English Edition), 59(8), 487–490.

https://doi.org/10.1016/j.endoen.201 2.06.005

193


Charnogursky, G., Lee, H., & Lopez, N. (2014). Diabetic neuropathy. In Handbook of Clinical Neurology (Vol. 120, pp. 773–785). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-7020-4087-0.00051-6

Franconi, F., Campesi, I., Occhioni, S., & Tonolo, G. (2012). Sex-gender differences in diabetes vascular complications and treatment. Endocrine, Metabolic & Immune Disorders - Drug Targets, 12(2),

179–196.

https://doi.org/10.2174/1871530128 00493512

International    Diabetes Federation.

(2017). IDF diabetes atlas (8th ed.). Brussels:   International Diabetes

Federation. Retrieved from : https://idf.org

Kementerian   Kesehatan Republik

Indonesia.  (2018). Hasil utama

riskesdas 2018. Retrieved from: http://www.depkes.go.id

Rahmawati, A., & Hargono, A. (2018). Dominant factor of diabetic neuropathy on diabetes mellitus type 2 patients. Jurnal Berkala Epidemiologi,       6(1),       60.

https://doi.org/10.20473/jbe.V6I120 18.60-68

Ramadhan, N., & Hanum, S. (2016). Kontrol glikemik pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Jayabaru Kota Banda Aceh. 3(1), 10. https://doi.org/DOI                 :

10.22435/sel.v3i1.6376.1-9

Rosyida, K.,  & Safitri, N. (2016).

Gambaran neuropati perifer pada diabetisi di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Semarang. Skripsi. Universitas Diponegoro

Suri, M. H., Haddani, H., & Sinulingga, S. (2015). Hubungan karakteristik, hiperglikemi, dan kerusakan saraf pasien neuropati diabetik di RSMH Palembang periode 1 januari 2013 sampai dengan 30 november 2014. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 2(3), 305-310.

Suyanto, S. (2017). Gambaran karakteristik penderita neuropati perifer diabetik. Nurscope: Jurnal Penelitian dan Pemikiran Ilmiah Keperawatan,       3(1),        1.

https://doi.org/10.30659/nurscope.3.

1.1-6

Van, B. P.,  &  Toto, R. (2011).

Hypertension      in      diabetic

nephropathy:        epidemiology,

mechanisms,  and  management.

Advances in Chronic Kidney Disease,       18(1),       28–41.

https://doi.org/10.1053/j.ackd.2010. 10.003

194


Volume 9, Nomor 2, April 2021