PERBEDAAN KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN TB PARU DARI BERBAGAI DUKUNGAN KELUARGA
on
Community of Publishing in Nursing (COPING), ISSN: 2303-1298
PERBEDAAN KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN TB PARU DARI BERBAGAI DUKUNGAN KELUARGA
Ahmad Asyrofi*, Setianingsih, Miftakhul Khakim
Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
*Email: ahasyrofi@yahoo.co.id
ABSTRAK
Insiden dan prevalensi penyakit Tuberkulosis di masyarakat masih sangat tinggi. Pengendalian Tuberkulosis paru (TB paru) mendapat tantangan baru diantaranya adalah resisten akibat ketidakpatuhan penderita dalam menjalani proses pengobatan sesuai program. Dukungan keluarga diperlukan untuk menghasilkan kepatuhan penderita TB paru. Tujuan penelitian untuk mengetahui perbedaan kepatuhan minum obat penderita TB paru antara berbagai kelompok dukungan keluarga. Desain penelitian cross sectional, menggunakan total sampling sebanyak 43 responden. Alat penelitian terdiri dari kuesioner karakteristik, Support Questionnaire (FSQ), dan Morisky Medication Adherence Scales (MMAS-8). Analisis data secara univariat, dan bivariat menggunakan chi square-test. Hasil penelitian menunjukkan: penderita TB paru 74,4% berusia dewasa akhir (74,4%), jenis kelamin laki-laki (58,1%), pendidikan SMP (39,5%), dan pekerjaan petani (34,9%), dukungan keluarga tinggi (55,8%), kepatuhan minum obat cukup (39,5%), dan kepatuhan minum obat tinggi (32,6%). Ada perbedaan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru antara dukungan keluarga cukup dan dukungan keluarga tinggi (p=0,0001). Peneliti selanjutnya diharapkan meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kepatuhan minum obat pada pasien TB paru, dan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap dukungan keluarga pada pasien TB paru.
Kata kunci: dukungan keluarga, kepatuhan minum obat, tuberkulosis paru
ABSTRACT
The incidence and prevalence of tuberculosis in the community is still very high. The control of pulmonary tuberculosis (pulmonary tuberculosis) has a new challenge, among others, is resistance due to non-compliance of patients in undergoing the treatment process according to the program. Family support is needed to produce compliance with pulmonary TB patients. The purpose of the study was to determine the differences in adherence to taking pulmonary TB patients between various family support groups. The study design was cross sectional, using a total sampling of 43 respondents. The research tool consisted of characteristic questionnaires, Support Questionnaire (FSQ), and Morisky Medication Adherence Scales (MMAS-8). Data analysis was univariate, and bivariate using chi square-test. The results showed: pulmonary tuberculosis patients were 74.4% late adult (74.4%), male sex (58.1%), junior high school education (39.5%), and farmer work (34.9%), high family support (55.8%), adherence to adequate medication (39.5%), and high medication compliance (32.6%). There was a difference in medication adherence in pulmonary TB patients between sufficient family support and high family support (p = 0,0001). Future researchers are expected to examine further the factors that contribute to medication adherence in pulmonary TB patients, and the factors that contribute to family support in pulmonary TB patients.
Keywords: family support, medication adherence, pulmonary tuberculosis
PENDAHULUAN
Global Tuberculosis Control Report 2014 yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) menyebutkan terdapat 9 juta orang yang menderita penyakit tuberkulosis paru (TB paru) dan 1,5 juta orang meninggal karena penyakit ini di seluruh dunia pada tahun 2013. Lebih dari setengah yaitu 56% dari 9 juta orang tersebut berada di Regio Asia Tenggara WHO dan Regio Pasifik Barat WHO (Floyd, 2014). Hasil survey prevalensi TB tahun 2013-2014 mengenai semua bentuk TB untuk semua umur adalah 660 per 100.000 penduduk, dan diperkirakan terdapat 1.600.000 orang dengan TB di Indonesia
(Kemenkes, RI, 2015).
Prevalensi TB paru di Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 74,52 per 100.000 penduduk, meningkat tahun 2013 sebesar 106,42 per 100.000 penduduk. Kabupaten Kendal menduduki peringkat ke enam dengan jumlah 148 per 100.000 penduduk (Dinkes Jateng, 2014). Kabupaten Kendal masih belum memenuhi target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Dinas Kesehatan Kendal tahun 2010-2015 sebesar 85% pada tahun 2014 (Dinkes Kendal, 2014).
Strategi DOTS telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB paru, namun
data WHO diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB paru dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB paru di seluruh dunia, sedangkan di Indonesia 61.000 penderita meninggal tiap tahunnya (Kemenkes, RI, 2015). Di Kabupaten Kendal sendiri angka kematian akibat TB paru mencapai 1,97 per 100.000 penduduk (DKK Kendal, 2014). Pengendalian TB paru juga mendapat tantangan baru seperti rendahnya angka cakupan kasus akibat penyedia pelayanan yang belum menerapkan strategi DOTS, ko-infeksi TB akibat akses diagnosis dan pengobatan masih terbatas, TB yang resisten akibat buruknya keteraturan berobat secara patuh dan tantangan lainnya dengan tingkat kompleksitas yang makin tinggi seperti tingkat pengetahuan masyarakat, faktor kepadatan penduduk dan kemiskinan (KemenKes RI, 2011).
Kepatuhan minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) sebagai salah satu faktor yang penting dalam kesembuhan. Pencapaian kesembuhan TB paru diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat bagi setiap penderita (Rahmawati, 2012). Murtantiningsih (2010), kesembuhan penderita TB paru dipengaruhi oleh keteraturan berobat penderita, terbukti dari 25 penderita yang teratur berobat 92% dinyatakan sembuh. Munir (2010), bahwa terjadinya kasus TB-MDR, 17,8% dikarenakan penderita putus obat dan 16,9% dikarenakan gagal dalam proses pengobatan. Ramadhani (2012), menyebutkan 56,9% berhubungan dengan kesembuhan penderita TB paru dari BTA positif menjadi BTA negative.
Pengobatan yang panjang dan jenis obat yang lebih dari satu pada kasus TB paru menyebabkan penderita sering terancam putus berobat dengan berbagai alasan, antara lain; ketidakpatuhan pengobatan dikarenakan penderita merasa sudah sehat saat ditengah-tengah proses pengobatan, akibatnya pengobatan dimulai dari awal, waktu lebih lama, dan biaya bertambah (Kemenkes. RI, 2010).
Kepatuhan penderita dalam pengobatan diperlukan ketersediaan obat yang cukup dan kontinyu, edukasi petugas kesehatan, pengetahuan, faktor keluarga dan lingkungan (Kemenkes, RI, 2015). Penderita TB paru membutuhkan dukungan sosial lebih seperti
dari keluarga, karena dengan dukungan dari orang-orang terdekat tersebut dapat mengurangi beban psikologis berhubungan dengan penyakit yang dideritanya (PPTI, 2010). Biswas (2010), perilaku penderita TB paru yang kurang baik dalam pencegahan dan pengobatan 76% didominasi kurangnya dukungan keluarga. Syasra (2011), sebanyak 74% penderita TB yang tidak patuh dalam pengobatan dikarenakan peran keluarga yang kurang baik dalam fungsi afektif yaitu memberikan perhatian, penerimaan, dan memfasilitasi penderita. Gardiarini (2014), dukungan keluarga dapat meningkatkan motivasi penderita penyakit kronis dalam menjalani hidup melalui pengendalian diri terhadap hal- hal yang menyebabkan kekambuhan penyakitnya. Sari (2011) sebanyak 55% perilaku penderita TB paru dalam pengobatannya sangat dipengaruhi oleh peran keluarga dalam pengawasan minum obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kepatuhan minum obat pasien TB paru dari berbagai perolehan dukungan hubungan antara dukungan keluarga.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian cross sectional. Populasinya adalah semua penderita TB paru sebanyak 43 penderita di puskesmas Gemuh Kendal. Jumlah sampel sebanyak 43 responden, diambil secara total sampling. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2016, menggunakan kuesioner demografi, kuesioner Family Support Questionnaire (FSQ), dan kuesioner Morisky Medication Adherence Scales (MMAS-8). Data dianalisis menggunakan Chi Square Test.
HASIL
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien berusia dewasa akhir (74,4%), sebagian besar adalah laki-laki (58,1%), pendidikan terbanyak adalah SMP (39,5%), dan pekerjaan paling banyak adalah petani (34,9%). Informasi selengkapnya terdapat pada tabel 1 di bawah ini. Dukungan keluarga sebaian besar adalah tinggi (55,8%), dan kepatuhan minum obat sebagian besar adalah sedang (39,5%), dan tinggi 32,6%).
Tabel 1 Karakteristik Pasien TB Paru (n=43) | |
Karakteristik |
Frekuensi Persentase |
Umur Dewasa Muda Dewasa Akhir Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan SD SMP SMA Pekerjaan Tidak Bekerja Buruh Pedagang Petani |
11 25.6 32 74.4 25 58.1 18 41.9 12 27.9 17 39.5 14 32.6 13 30.2 9 20.9 6 14.0 15 34.9 |
Tabel 2
Deskripsi Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat Pasien TB Paru (n=43)
Variabel |
Frekuensi Persentase |
Dukungan Keluarga Cukup Tinggi Kepatuhan Minum Obat Rendah cukup Tinggi |
19 44.2 24 55.8 12 27.9 17 39.5 14 32.6 |
Tabel 3
Perbedaan Kepatuhan Minum Obat Pasien TB Paru pada berbagai Dukungan Keluarga (n=43)
Kepatuhan minum obat Total
Dukungan keluarga |
Rendah Sedang Tinggi p f%f%f % f % |
Cukup |
11 57.9 2 10.5 6 31.6 19 100 0.0001 |
Tinggi |
1 4.2 15 62.5 8 33.3 24 100 |
PEMBAHASAN fungsi afektif. Hal ini menunjukkan bahwa
Hasil penelitian menunjukkan dukungan keluarga penderita TB paru telah berfungsi keluarga kepada penderita TB paru sudah dengan baik, keluarga mampu memberikan cukup baik. Sebanyak 55,8% dukungan perlindungan psikososial kepada penderita. keluarga tinggi, sebanyak 44,2% dukungan Dukungan keluarga diharapkan dapat cukup, bahkan tidak ada dukungan yang meningkatkan kepatuhan penderita dalam kurang. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga menjalani pengobatan.
penderita TB paru telah berfungsi sebagai Dukungan yang baik merupakan sistem pendukung yang baik bagi anggota kesadaran dari para anggota keluarga yang lain keluarganya yang sakit. Sebuah keluarga kepada penderita TB paru. Beberapa dengan anggota keluarga yang sakit memiliki anggota keluarga mengatakan memberikan
dukungan kepada anggotanya yang sakit dengan saling bertukar pendapat mengenai kesehatan, saling memperhatikan, saling mencegah penularan dan membiayai kebutuhan pengobatan. Kesadaran keluarga tersebut menciptakan sebuah dukungan yang kuat kepada penderita TB paru. Jumaidar (2009), keluarga yang memiliki pengetahuan yang baik tentang kesehatan anggota keluarganya, sebanyak 66,7% akan memberikan dukungan yang baik terhadap anggota keluarganya. Pembagian fungsi dukungan keluarga adalah dukungan instrumental, informasional, emosional, dan penilaian, dimana keluarga menjadi sumber pertolongan praktis dan konkrit, dalam hal ini penderita TB paru memerlukan pertolongan keluarga. Fungsi keluarga yang lain adalah dukungan informasional, yaitu sebuah kolektor dan desiminator (penyebar) informasi tentang kesehatan. Keluarga juga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaaan terhadap emosi. Penderita TB paru benar-benar merasakan dukungan keluarga sebagai faktor penunjang kepatuhan mereka untuk minum obat secara teratur (Scheurer, 2012).
Dukungan keluarga kepada penderita TB paru dapat terlihat dari jawaban responden seperti pada dukungan emosional dengan memberikan keberanian menjalani pengobatan, khawatir dengan penyakitnya, memberikan semangat ketika penderita bosan, mendorong untuk kegiatan keagamaan, memahami perasaan penderita, mendengarkan keluhan penderita. Dukungan instrumental seperti menemani ke dokter. Dukungan informasional seperti meminta informasi dari dokter, memberi informasi pentingnya minum obat, memberikan informasi cara pencegahan TB, memberitahu pentingnya rutin kontrol. Dukungan penilaian seperti memperbolehkan saya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang pengobatan.
Dukungan keluarga yang paling sering diberikan kepada penderita TB paru adalah dukungan informasional, dan dukungan keluarga yang cukup baik adalah dukungan emosional, dan dukungan yang paling kurang diberikan adalah dukungan instrumental. Hal ini terjadi karena dukungan informasional adalah dukungan yang paling mudah diberikan dibandingkan dengan dukungan yang lain. Dukungan instrumental terkait dengan ekonomi keluarga, namun pada umumnya
penderita berada pada status ekonomi yang rendah. Hasil ini selaras penelitian Syasra (2011), bahwa mayoritas keluarga telah memberikan dukungan psikososial efektif (53%), yang terdiri dari dukungan informasional (60%), dukungan penilaian (31,1%), dukungan instrumental (11,1%), dan dukungan emosional (55,6%). Rendahnya dukungan instrumental pada penelitian tersebut dikarenakan mayoritas keluarga mayoritas berada pada status ekonomi yang rendah.
Dukungan informatif merupakan bantuan informasi yang disediakan keluarga agar dapat digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian penjelasan, pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan. Hal ini selaras dengan fungsi keluarga sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar informasi) dan dituntut untuk mengenal masalah kesehatan keluarganya.
Hasil penelitian menunjukkan penderita TB paru sebanyak 39,5% tingkat kepatuhannya cukup. Hal tersebut menunjukkan penderita belum sepenuhnya mematuhi program pengobatan, bahkan hasil menunjukkan sebanyak 27,9% tingkat kepatuhannya rendah. Kepatuhan yang kurang baik dilihat dari jawaban responden seperti pernah beberapa kali lupa untuk meminum obat TBC, pernah mengurangi atau menghentikan penggunaan obat TBC tanpa memberitahu dokter karena merasa kondisi anda menjadi lebih buruk/tidak nyaman setelah menggunakan obat TBC, pernah beberapa kali menghentikan penggunaan obat TBC karena merasa keadaan anda sudah membaik, pernah merasa terganggu karena harus terus-menerus meminum obat TBC dalam waktu yang panjang.
Alasan penderita sengaja tidak minum obat dikarenakan sudah merasa sembuh dan tidak batuk-batuk lagi padahal pengobatannya belum selesai. Alasan lain adalah karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan sehingga menunda untuk mengambil obat ke layanan kesehatan. Penyebab utama ketidakberhasilan pengobatan adalah karena ketidakteraturan minum obat oleh penderita, kegagalan pengobatan dan kurangnya kedisiplinan penderita TB paru.
Penyakit Tuberkulosis membutuhkan pengobatan yang panjang untuk mencapai kesembuhan yaitu selama 6 bulan tanpa putus
(Sudoyo, 2009). Tipe pengobatan yang panjang inilah kadang menyebabkan pasien tidak patuh dalam menjalani pengobatan. Perilaku yang tidak patuh dalam pengobatan TB paru membuat bakteri TB paru menjadi resisten pada tubuh (Rahmawati, 2012). Selaras dengan penelitian Zuliana (2009), bahwa kepatuhan penderita TB paru dalam minum obat dipengaruhi oleh pengetahuan penderita terhadap kesembuhannya dimana 67% pengetahuan penderita pada umumnya salah karena menilai dirinya sembuh meskipun belum selesai pengobatan.
Obat anti tuberkulosis yang harus diminum jangka panjang seperti Isoniazid (INH), Rifampicin, Pyrazinamide, Ethambutol juga mempunyai efek yang tidak nyaman terhadap penderita ketika meminumnya seperti mual dan muntah (Sudoyo, 2009). Hal ini menjadikan penderita merasa kondisinya menjadi lebih buruk/tidak nyaman setelah menggunakan obat TBC, sehingga tidak patuh dalam minum obat anti tuberkulosis. Pasek (2013), bahwa efek samping pengobatan seperti mual muntah menjadikan persepsi tentang ketidaknyamanan penderita ketika minum obat dan kepatuhan yang rendah pada penderita dalam minum obat.
Hasil penelitian juga menunjukkan 32,6% penderita TB paru tingkat kepatuhannya tinggi. Hal ini karena pengetahuan yang baik pada penderita, bahwa pengobatan TB paru harus dilakukan secara teratus dan tidak boleh putus. Jawaban responden yang kepatuhannya tinggi, menunjukkan bahwa pengobatan TB paru tidak boleh putus minum obat meskipun satu kali saja karena kalau putus harus mengulang dari awal, dan jika tidak minum dengan teratur makan kuman di paru akan kebal dengan obat sehingga tidak bisa sembuh.
Pengetahuan seseorang merupakan dasar dari pembentukan perilaku (Notoatmojo, 2012). Seseorang dengan pengetahuan yang baik tentang TB paru akan cenderung perilakunya baik dalam pengobatan TB paru melalui kepatuhan minum obat TB paru. Janah (2014), menunjukkan bahwa keteraturan penderita TB paru dalam minum obat dipengaruhi oleh pengetahuan penderita yang baik mengenai TB paru.
Sesuai temuan Rahmawati (2012), setelah penderita mengetahui bahwa pengobatan tidak boleh putus, dan apabila putus harus mengulangi dari awal, penderita cenderung bersikap patuh untuk pengobatan.
Syasra (2011) menyebutkan bahwa penderita yang memiliki motivasi yang tinggi untuk sembuh adalah penderita yang mempunyai pengetahuan tentang pola resistensi kuman TB paru.
Hasil penelitian menunjukkan penderita TB paru yang mendapatkan dukungan keluarga yang cukup sebagian besar (57,9%) kepatuhannya rendah, sedangkan penderita TB paru yang mendapatkan dukungan keluarga yang tinggi sebagian besar (62,5%) kepatuhannya cukup. Dilihat dari proporsi kepatuhan yang tinggi, penderita dengan dukungan tinggi frekuensinya lebih banyak (33,3%) dibandingkan dengan penderita yang dukungan cukup (31,6%). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan keluarga yang diberikan kepada penderita TB paru, maka semakin tinggi pula kepatuhan penderita TB paru dalam minum obat.
Hasil bivariat menunjukkan ada perbedaan signifikan kepatuhan minum obat penderita TB paru antara yang memperoleh dukungan keluarga cukup dan dukungan tinggi. Selaras temuan Ramadhani (2012), bahwa ada hubungan yang positif dan bermakna antara dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan minum obat. Diperkuat pula dengan temuan Syasra (2011) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada penderita TB ialah dukungan keluarga.
Dukungan dari keluarga yang diberikan pada penderita TB paru akan sangat berpengaruh dalam kepatuhan minum obat karena dengan perhatian yang lebih dari keluarga maka penderita merasa tidak sendiri dalam menghadapi pengobatan yang sangat lama, mau mendengar segala keluhannya, bersimpati dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan mau membantu memecahkan masalah yang dihadapinya, dan membantu ekonomi perawatannya.
Kepatuhan dalam pengobatan akan meningkat ketika pasien mendapatkan bantuan dari keluarga. Disamping itu, pasien yang tidak memiliki keluarga atau memiliki nonsupportive/nonavailable/ conflicted family akan mempengaruhi terminasi pengobatan lebih awal dan hasil yang tidak memuaskan. Dukungan keluarga dan penerimaan dari anggota keluarga yang lain akan memberikan energi dan kepercayaan dalam diri penderita untuk lebih berusaha mempelajari dan menerima keadaan yang bersifat subyektif
seperti kecemasan, rasa bersedih, frustasi, merasa bersalah, kesal dan Bosan.
Sutarno (2012), juga menghasilkan hal yang serupa bahwa terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan motivasi berobat penderita tuberkulosis. Hasil penelitian tersebut menerangkan bahwa dukungan keluarga meliputi dukungan emosional, dukungan informasi, dukungan instrumental dan dukungan penilaian merupakan kekuatan sebagai suatu koping penderita dalam menghadapi masalah TB paru.
SIMPULAN
Ada perbedaan signifikan kepatuhan minum obat pasien TB Paru dari perolehan berbagai dukungan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Biswas. (2010). The Relationship Between
Family Support and Health Behaviors Among Patients with Pulmonary TB. A Thesis Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Master of Nursing Science (International Program) Prince of Songkla University. Diakses melalui http://kb.psu.ac.th/psukb/bitstream/2010 /7829/1/326002.pdf
Depkes, RI. (2011). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2011.
DinKes, Jateng. (2014). Profil Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah tahun 2013. Balitbangkes RI.
DinKes, Kab. Kendal. (2014). Jumlah Kasus Baru TB Paru Menurut Jenis Kelamin Se- Kecamatan dan Puskesmas Kabupaten Kendal. Pemerintah Kabupaten Kendal.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. KemenKes, RI. (2015). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2015 ISBN.
Gardiarini. (2014). Kualitas Diet, Sosio-Demografi, dan Dukungan Keluarga
Hubungannya dengan Pengendalian Gula Darah pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Kanujoso Djatiwibowo (RSKD) Balikpapan. Diakses melalui
http://etd.ugm.ac.id/index pada tanggal 25 September 2015.
Global tuberculosis report 2014. Geneva: WHO Press.
Ikhwany. (2015). Peran Keluarga Dalam Meningkatkan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis Pada Pasien Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Raya Pekanbaru. Jom FK volume 2 No.2 Oktober 2015
Jaji. (2010). Upaya Keluarga dalam Pencegahan Penularan Tuberculosis (TB) Paru ke Anggota Keluarga Lainnya di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Pagaralam. J Respir Indo.28 : 20-21. Diakses melalui http://isjd.pdii.lipi.go.id. pada tanggal 9 September 2015.
Janah, N. (2014). Studi Deskriptif Proses Pengobatan Penderita Tuberculosis di Puskesmas Brangsong 02 Kabupaten Kendal. Skripsi STIKES Kendal.
Jumaidar. (2009). Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Dukungan
Keluarga Terhadap Perawatan Pasien Pasca Stroke di Poli Klinik Syaraf Rumah Sakit Umum Pusat Dr.M. Djamil Padang Tahun 2009. Skripsi Fakultas Keperawatan Universitas Andalas.
KemenKes, RI. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 20102014.
KemenKes, RI. (2012). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Direktorat Bina Upaya Kesehatan : Kementerian Kesehatan RI 2012.
Loriana. (2013). Efek Konseling Terhadap Pengetahuan, Sikap Dan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Samarinda. Artikel Poltekkes Kota Samarinda
Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas. Jakarta: Salemba Medika.
Melisa. (2012). Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup Pada Pasien Tubekulosis Paru Di Poli Paru BLU RSUP Prof. Dr. R. D Kandou Manado. Ejournal Keperawatan (E-Kp) Volume. 1 Nomor 1 Agustus 2012
Munir. (2010). Pengamatan Pasien Tuberkulosis Paru dengan Multidrug Resistant (TB- MDR) di Poliklinik Paru RSUP Persahabatan. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan Jakarta. Jurnal Respir Indo Vol. 30, No. 2, April 2010 (92-104).
Notoatmodjo, S. (2012). Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Pasek. (2013). Hubungan Persepsi dan Tingkat Pengetahuan Penderita Tuberkulosis dengan Kepatuhan Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Buleleng 1. Jurnal Magister Kedokteran Keluarga Vol 1, No 1, 2013. (hal 14-23) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
Rahmawati. (2012). Peran PMO dalam Pencegahan Penularan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Remaja Samarinda. Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Ramadhani. (2012). Pengaruh Pelaksanaan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Konversi BTA (+) Pada Pasien Tuberkulosis Paru Di RSDK Tahun 2009/2010. Tesis Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro 2012.
Sari. (2011). Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2011. Tesis FKM USU Medan.
Sedjati. (2014). Hubungan Antara Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Penderita
Tuberkulosis Paru Di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Yogyakarta. Artikel Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Sudoyo, A.W. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Edisi Kelima, Jilid III. Jakarta: Interna Publishing.
Sutarno. (2012). Faktor-Faktor Yang
Memengaruhi Motivasi Berobat Penderita Tuberkulosis di Kota
Pekalongan Tahun 2012. Jurnal Ilmiah WIDYA Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013 ISSN 2337-6686 ISSN-L 2338-3321
Syasra, P.A. (2011). Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Motivasi Kesembuhan Pasien Tuberkulosis di Kota Pekanbaru. Skripsi Universitas Islam Riau Pekanbaru.
WHO. (2009). Global Tuberculosis Control, Surveilance, Planning, Financing.
WHO Report 2006. Genwa.
Yaffri, L. V. (2009). Uji Banding Penggunaan Pesan Singkat Telepon Genggam dan Metode Konvensional pada Pengawasan Minum Obat Penderita Tuberkulosis. UNIKA Atma Jaya. Jakarta.
Volume 6, Nomor 3, Desember 2018
172
Discussion and feedback