COPING Ners Journal

ISSN: 2303-1298

HUBUNGAN TINGKAT HARGA DIRI (SELF-ESTEEM) DENGAN TINGKAT ANSIETAS ORANG TUA DALAM MERAWAT ANAK TUNAGRAHITA DI SDLB C NEGERI DENPASAR

Ni Wayan Lisnayanti, Ni Made Dian Sulistyowati, I Wayan Surasta

Program Studi Ilmu Kepeprawatan Fakuultas Kedokteran Universitas Udayana.

Abstract. The existence of mental retardation children in a family may cause anxiety on each member of the family especially the caregiver or parents. Anxiety level parents who have mental retardation children can be affected by several factors including self-esteem. This research was conducted to look at the relationship between the self-esteem and anxiety level. Type of this research is a descriptive, correlation design with a cross-sectional study. This research uses 81 parents of mild mental retardation children at SDLB Negeri C Denpasar as a sample that used a purposive sampling technique. Data collection was carried out in may 2014 using the questionnaire answered by the respondent. The results of this research suggests as many as 52 respondent (64,2%) with moderate self-esteem, 21 respondent (25.9%) with high self esteem and 8 respondent (9.9%) with low self esteem. Whereas, for anxiety levels, there are 34 respondent (42,0%) with mild anxiety, 30 respondent (37.0%) with moderate anxiety, 10 respondent with severe anxiety (12.3%) and 7 respondent (8.6%) without anxiety. Based on statistical tests using Rank Spearman with α = 0.05, discovered the value of p = 0.00 (p<α) and r = - 0,656 means relationship between self-esteem and parents anxiety level in the care of mental retardation children in SDLB Negeri C Denpasar that are strong and have a negative relationship, the higher self esteem then the lower level of anxiety. Based on the results of this study, researchers hope the school and the health services can work together and make use of the results of this research in provide counseling or health education to parents of mentaly retardation children that can reduce the level of anxiety which was owned during the care of mental retardation.

Keywords: Self-esteem, anxiety, mental retardation

PENDAHULUAN

Setiap orang tua pasti sangat mendambakan hadirnya seorang anak dalam pernikahannya karena anak merupakan anugerah yang sangat berarti bagi kedua orang tua. Namun tidak semua anak terlahir ke dunia dalam kondisi yang sempurna, beberapa terlahir dengan keterbatasan fisik maupun psikis. Salah satu anak yang terlahir dengan keterbatasan yaitu anak tunagrahita. Anak tunagrahita merupakan anak berkebutuhan khusus yang memiliki karakteristik adanya gangguan dalam bentuk fungsi intelektual dan kemampuan adaptasi sosial yang secara signifikan berada di bawah rata-

rata, yang telah tampak sejak masa anak-anak (Durand & Barlow, 2006).

World Health Organization (WHO, 2008 dalam Dewi, 2011) memperkirakan bahwa prevalensi tunagrahita di dunia sebesar 3% dan akan cenderung mengalami peningkatan sepanjang tahunnya. Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Diperkirakan bahwa 13% dari jumlah penduduk di Indonesia menderita tunagrahita (Maramis, 2009). Berdasarkan hasil rekapitulasi jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial tahun 2010 oleh Dinas Sosial Provinsi Bali

menyebutkan jumlah penderita cacat mental sebanyak 6.101 orang.

Keterbatasan anak tunagrahita dalam area fungsi adaptif, seperti keterampilan komunikasi, perawatan diri, tinggal di rumah, keterampilan interpersonal atau sosial, keterampilan akademik, penunjukan diri, pekerjaan waktu senggang dan kesehatan serta keamanan menjadi alasan tingginya tingkat ketergantungan anak tunagrahita terhadap keluarga atau caregiver (Napolion, 2010). Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka disfungsi apapun yang terjadi pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi satu atau lebih anggota keluarga atau bahkan keseluruhan keluarga (Achjar, 2010). Pada keluarga dengan anak tunagrahita, meningkatnya beban keluarga karena merawat anak tunagrahita akan mempengaruhi fungsi keluarga (Gulseren, dkk., 2010 dalam Dewi, 2011). Hal tersebut secara tidak langsung akan memicu munculnya masalah psikososial pada keluarga anak tunagrahita khususnya orang tua. Salah satu masalah psikososial tersebut yaitu ansietas.

Gangguan ansietas adalah kondisi tegang yang dialami oleh seseorang secara berlebihan atau tidak pada tempatnya dan ditandai oleh perasaan khawatir, tidak menentu, atau takut (Maramis, 2009). Pada keluarga dengan anak tunagrahita, gangguan ansietas muncul dikarenakan adanya tuntutan ekonomi dan waktu yang tidak singkat dalam perawatan, ketergantungan anak dengan keluarga/caregiver, dibutuhkan kesabaran yang tinggi dalam menghadapi emosi anak, adanya stigma sosial tentang tunagrahita, serta ketidakmampuan keluarga dalam mengelola stres (Jarvelin,

2002 dalam Dewi, 2011; Tsai & Wang, 2008 dalam Dewi, 2011).

Tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya harga diri. Harga diri (self-esteem) adalah penilaian positif atau negatif yang dihubungkan dengan konsep diri individu. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif dan juga dapat menghargai secara negatif (Lerner dan Spanier,1980 dalam Ghufron dan Risnawita, 2012). Pada keluarga dengan anak tunagrahita, stigma sosial mengenai anak tunagrahita akan dirasakan oleh setiap anggota keluarga termasuk orang tua. Beberapa orang tua yang memiliki anak tunagrahita merasa malu dan tertekan dengan stigma dari lingkungannya sehingga mereka cenderung menyembunyikan anaknya (Napolion, 2010). Perasaan malu yang dialami orang tua cenderung menyebabkan orang tua merasakan harga diri yang menurun (Dsouza, 2001 dalam Sari, 2013). Bila ditinjau dari teori kognitif, harga diri atau evaluasi diri yang negatif menjadi faktor yang dapat mempengaruhi tingkat ansietas seseorang (Ghufron dan Risnawita, 2012).

Hasil wawancara oleh peneliti terhadap sepuluh orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SDLB C Negeri Denpasar (2014, 11 Februari), diperoleh bahwa seluruh orang tua menyatakan cemas dengan kondisi anaknya, terutama dengan masa depan anaknya dan penilaian negatif masyarakat mengenai anak tunagrahita. Saat diwawancarai oleh peneliti beberapa orang tua tampak malu-malu atau bahkan tidak bersedia menceritakan kondisi anaknya sementara yang lain menunjukkan hal sebaliknya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengetahui hubungan tingkat harga diri (self-esteem) dengan tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita di SDLB C Negeri Denpasar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perawat jiwa atau tenaga kesehatan lain dalam menentukan intervensi yang tepat untuk mengurangi ansietas orang tua yang memiliki anak tunagrahita.

METODE PENELTIAN Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Non-Eksperimental dengan rancangan penelitian korelasional dengan rancangan penelitian studi cross-sectional.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua dari anak tunagrahita ringan yang disekolahkan di SDLB C Negeri Denpasar Tahun 2014 sejumlah 102 orang tua. Penelitian ini menggunakan cara non probability sampling yaitu teknik purposive sampling. Sampel penelitian ini terdiri dari 81 orang tua yang memiliki anak tunagrahita ringan di SDLB C Negeri Denpasar.

Instrumen Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang sudah teruji validitas dan reliabilitasnya yaitu, kuisioner Self-esteem Coopersmith (1967) untuk mengetahui tingkat harga diri orang tua dan kuisioner tingkat ansietas Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) untuk mengetahui tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita.

Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data

Sampel terlebih dahulu dijelaskan tentang maksud dan tujuan penelitian. Kemudian peneliti meminta responden untuk menandatangani lembar persetujuan. Responden yang tidak bersedia menandatangani lembar persetujuan, tidak akan dipaksa dan tetap dihormati hak respondennya oleh peneliti. Peneliti selanjutnya memberikan kuisioner kepada sampel penelitian untuk diisi sendiri. Setelah data terkumpul maka peneliti melakukan pengolahan dan analisis data dengan uji statistik menggunakan Rank Spearman dengan α= 0,05 (Taraf kepercayaan 95%; p< 0,05).

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik responden dalam penelitian ini yaitu dari 81 responden, sebagian besar berusia diantara 41-60 tahun yaitu sebanyak 48 responden (59,3%), dengan hubungan keluarga paling banyak adalah ibu yaitu 43 responden (53,1%), dan pendidikan terakhir paling banyak adalah SMU/SMK yaitu sebanyak 37 orang (45,7%), serta sebagian besar responden dengan status pekerjaan sebagai wiraswasta yaitu sebanyak 26 responden (32,1%) dengan penghasilan keluarga rata-rata Rp 1.000.000,00-Rp  5.000.000,00

sebanyak 41 responden (50,6%).

Gambaran Tingkat Harga Diri (SelfEsteem) Responden

Berdasarkan pengumpulan data diperoleh dari 81 responden penelitian, sebagian besar responden memiliki tingkat harga diri sedang yaitu sebanyak 52 orang (64,2%). Sementara responden lainnya memiliki tingkat harga diri tinggi sebanyak

21 orang (25,9%) dan harga diri rendah sebanyak 8 orang (9,9%).

Gambaran Tingkat Ansietas Responden

Berdasarkan pengumpulan data diperoleh dari 81 responden penelitian, sebagian besar responden memiliki tingkat ansietas ringan yaitu sebanyak 34 orang (42,0%). Sementara responden lainnya memiliki tingkat ansietas sedang sebanyak 30 orang (37,0%), tingkat ansietas berat sebanyak 10 orang (12,3%), dan tidak ada ansietas sebanyak 7 orang (8,6%). Sedangkan untuk tingkat ansietas sangat berat/panik, tidak ada responden dengan tingkat ansietas tersebut (0%).

Hasil Analisis Hubungan Tingkat Harga Diri (Self-Esteem) dengan Tingkat Ansietas Orang Tua dalam Merawat Anak Tunagrahita

Sebelum melakukan analisis korelasi dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis Crosstabulation atau deskripsi silang antar kedua variabel. Hasil Crosstabulation menunjukkan dari 8 responden dengan harga diri rendah, 8 responden memilki tingkat ansietas berat. Sementara itu, dari 52 responden dengan harga diri sedang paling banyak dengan tingkat ansietas sedang yaitu sebanyak 29 responden, sisanya 3 responden tidak memiliki ansietas, 18 responden dengan ansietas ringan, dan 2 responden dengan ansietas berat. Pada 21 responden dengan harga diri tinggi paling banyak dengan tingkat ansietas ringan yaitu sebanyak 16 responden, sisanya 4 responden tidak ada ansietas, 1 responden dengan ansietas sedang.

Selanjutnya, untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan tingkat harga diri (self-esteem) dengan tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita di

SDLB C Negeri Denpasar, maka perlu dilakukan analisis data. Berdasarkan uji analisis hubungan menggunakan RankSpearman dengan α= 0,05, diperoleh sig (2-tailed) atau nilai p= 0,00 (p<α) yang artinya H0 ditolak atau hipotesis penelitian diterima yaitu ada hubungan yang signifikan antara tingkat harga diri (selfesteem) dengan tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita di SDLB C Negeri Denpasar. Selain nilai signifikansi, diperoleh juga correlation coefficient (r) yaitu -0,656 yang artinya menurut Sugiyono (2012) kedua variabel penelitian memiliki hubungan yang kuat (rentang 0,60-0,799). Dan arah hubungan negatif yang artinya semakin tinggi tingkat harga diri maka semakin rendah tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita.

PEMBAHASAN

Tingkat Harga Diri Responden

Berdasarkan hasil pengumpulan data pada 81 responden diperoleh sebagian besar responden dengan tingkat harga diri sedang sebanyak 52 orang (64,2%). Karakteristik individu dengan tingkat harga diri sedang hampir sama dengan yang memiliki harga diri tinggi, terutama dalam kualitas, perilaku dan sikap. Pernyataan diri mereka memang positif, namun cenderung kurang moderat (Siregar, 2006). Menurut Coopersmith (dalam Siregar, 2006) individu dengan harga diri sedang cenderung memandang dirinya lebih baik dari kebanyakan orang. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Sari (2013) yang menemukan bahwa dari 62 orang tua yang memiliki anak retardasi mental (tunagrahita), sebagian besar memiliki konsep diri positif. Konsep diri yang positif akan membentuk harga diri atau evaluasi diri

yang positif pula, dimana salah satu komponen konsep diri adalah harga diri (Ghufron dan Risnawita, 2012).

Data hasil penelitian ini juga menunjukkan 81 reponden tersebar pada setiap tingkat harga diri (self-esteem) yaitu pada tingkat harga diri tinggi, sedang, dan rendah. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang diungkapkan oleh Ghufron dan Risnawita (2012) yaitu di antaranya jenis kelamin, intelegensi, kondisi fisik, dan lingkungan sosial orang tua yang memiliki anak tunagrahita. Pada keluarga dengan tunagrahita, beberapa keluarga atau orang tua sudah mampu menerima kondisi anak tunagrahita, namun sebagian lainnya masih merasa malu dan tertekan stigma sosial mengenai tunagrahita (Napolion, 2010). Perasaan malu yang dialami orang tua cenderung menyebabkan orang tua merasakan harga diri yang menurun (Dsouza, 2001 dalam Sari, 2013).

Tingkat Ansietas Responden

Berdasarkan hasil pengumpulan data diperoleh bahwa dari 81 responden yang diteliti, sebagian besar responden memiliki tingkat ansietas ringan yaitu sebanyak 34 orang (42,0%). Seseorang dengan ansietas ringan cenderung waspada, lapangan persepsi meningkat, namun individu masih mampu memproses informasi. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, mudah tersinggung, lapang persepsi meningkat, berjaga-jaga, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, mampu mengenali tanda-tanda ansietas, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Zen (2013) yang menemukan bahwa dari 44 ibu yang memiliki anak tunagrahita,

sebagian besar ibu memiliki tingkat ansietas ringan.

Gangguan ansietas yang dirasakan anggota keluarga dengan anak tunagrahita khususnya orang tua muncul dikarenakan adanya tuntutan ekonomi dan waktu yang tidak singkat dalam perawatan anak tunagrahita, ketergantungan anak tunagrahita dengan keluarga atau caregiver, kesabaran yang tinggi dalam menghadapi emosi anak tunagrahita, menurunnya produktivitas dalam keluarga, serta stigma sosial mengenai anak tunagrahita (Tsai & Wang, 2008 dalam Dewi, 2011). Selain itu, menurut Hassall, Rose & McDonald (2005), beberapa keluarga dihinggapi oleh munculnya kecemasan tentang masa depan anaknya, masalah perkawinan, depresi, dan lain-lain. Hasil penelitian juga menunjukkan 81 responden tersebar pada setiap tingkat ansietas kecuali pada tingkat ansietas sangat berat (panik). Bila ditinjau dari teori kognitif, tingkat ansietas individu dapat dipengaruhi oleh evaluasi diri individu (Ghufron dan Risnawita, 2012).

Hubungan Tingkat Harga Diri (SelfEsteem) dengan Tingkat Ansietas Orang Tua dalam Merawat Anak Tunagahita

Berdasarkan hasil uji dengan Rank Spearman dengan α=0,05 diperoleh nilai p= 0,00 (p<α) yang artinya H0 ditolak atau hipotesis penelitian diterima yaitu ada hubungan yang signifikan antara tingkat harga diri (self-esteem) dengan tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita di SDLB C Negeri Denpasar. Selain nilai signifikansi, diperoleh juga correlation coefficient (r) yaitu -0,656 yang artinya menurut Sugiyono (2012) kedua variabel penelitian memiliki hubungan yang kuat (rentang 0,60-0,799). Dan arah hubungan negatif yang artinya

semakin tinggi tingkat harga diri maka semakin rendah tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita.

Hal ini sesuai dengan teori Coopersmith (dalam Siregar, 2006) yang menyatakan individu dengan tingkat harga diri tinggi cenderung memiliki tingkat ansietas yang lebih rendah atau ringan karena individu mampu mengekspresikan diri dengan baik dan aktif, percaya pada persepsi dan dirinya sendiri, mampu menyesuaikan diri dengan mudah pada suatu lingkungan yang belum jelas, serta akan lebih banyak menghasilkan suasana yang berhubungan dengan kesukaan dan memiliki daya pertahanan yang seimbangan. Sedangkan, individu dengan harga diri rendah cenderung lebih mudah mengalami stres karena memandang dirinya tidak berharga yang disertai perasaan inferior, takut atau mengalami kegagalan dalam mengadakan hubungan sosial, merasa tidak diperhatikan atau diasingkan, dan kurang mampu mengekspresikan diri (Coopersmith dalam Siregar, 2006; Baron-Byrne, 1994 dalam Siregar, 2006).

Pada keluarga dengan tunagrahita, beberapa orang tua merasa malu dan tertekan dengan stigma sosial tentang tunagrahita, orang tua juga menganggap bahwa kondisi anaknya disebabkan karena kecelakaan atau hukuman dari Tuhan sehingga orang tua merasa tidak mampu, rendah diri, gagal, dan berperilaku menghindari atau menarik diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya (Napolion, 2010; Dewi, 2011). Hal tersebut menunjukkan adanya evaluasi negatif orang tua dimana evaluasi diri yang negatif menjadi faktor yang dapat mempengaruhi tingkat ansietas (Ghufron dan Risnawita, 2012) atau dengan kata lain tingkat harga diri orang tua dapat

mempengaruhi tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita.

KESIMPULAN DAN SARAN

Harga diri responden dalam penelitian ini yaitu dari 81 responden, sebagian besar responden memiliki tingkat harga diri sedang sebanyak 52 responden (64,2%). Tingkat ansietas responden dalam penelitian ini yaitu dari 81 responden, sebagian besar responden memiliki tingkat ansietas ringan yaitu sebanyak 34 responden (42,0%). Berdasarkan uji statistik menggunakan Rank Spearman dengan α= 0,05 diperoleh p= 0,00  (p<α) yang artinya adanya

hubungan antara tingkat harga diri (selfesteem) dengan tingkat ansietas orang tua dalam merawat anak tunagrahita di SDLB C Negeri Denpasar.

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka peneliti bermaksud memberikan saran kepada pihak sekolah luar biasa dan pelayanan kesehatan agar bekerjasama dan memanfaatkan hasil penelitian ini dalam memberikan pendidikan kesehatan atau konseling untuk mengurangi ansietas yang dimiliki orang tua dalam merawat anak tunagrahita. Bagi peneliti selanjutnya bila ingin melakukan penelitian sejenis diharapkan      dapat      melakukan

pengembangan penelitian ini terhadap saudara kandung anak tunagrahita atau anggota keluarga lain    dengan

membandingkan faktor lain yang mempengaruhi tingkat ansietas keluarga dengan anak tunagrahita.

DAFTAR PUSTAKA

Achjar, K.A.H. (2010). Aplikasi Praktis

Asuhan Keperawatan Keluarga.

Jakarta: CV Sagung Seto.

Dewi,  E.I.  (2011). Pengaruh Terapi

Kelompok Suportif terhadap Beban dan Tingkat Ansietas Keluarga dalam Merawat Anak Tunagrahita di Sekolah Luar Biasa (SLB) Kabupaten Banyumas. Thesis tidak diterbitkan. Depok. Fakultas Ilmu Keperawatan          Universitas

Indonesia.

Durand & Barlow. (2006). Essentials of Abnormal Psychology. Fourth Edition. New York: Library of Congress.

Ghufron, M.N.dan Risnawita, R. (2012). Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: AM.

Hassall, Rose & McDonald. (2005). Parenting Stress in Mothers of Children with an Intellectual Disability: The Effect of Parental Cognitions in Relation to Child Characteristics and Family Support. Journal of Intellectual Disability Research, 49 (6): 405418.

Maramis, W.F. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.  Edisi Kedua.

Surabaya: AUP

Napolion, K.   (2010).   Pengalaman

Keluarga dalam Merawat Anak Tunagrahita    di Kelurahan

Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor 2010: Studi Fenomenologi. Thesis tidak diterbitkan. Depok. Fakultas Ilmu Keperawatan          Universitas

Indonesia.

Sari, P.A. (2013). Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi dalam Merawat Anak Retardasi Mental, (Online), (http://repository.unri.ac.id/xmlui/h andle/123456789/4177, diakses 20 Januari 2014).

Siregar, A.R. (2006). Harga Diri pada Remaja Obesitas. (Online), (http://repository.usu.ac.id/handle/1 23456789/1918, diakses 20 Januari 2014).

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Zen, D.N. (2013). Tingkat Kecemasan dan Mekanisme Koping Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental di SLB Yayasan Bahagia Kota Tasik Malaya,                 (Online),

(http://www.unigal.ac.id/ejurnal/ht ml/index.php?naon=548,diakses 20 Juni 2014)

Vol.3 No.2, Mei-Agustus 2015

21