COPING Ners Journal

ISSN: 2303-1298

PENGARUH DIAPHRAGMATIC BREATHING EXERCISE TERHADAP KAPASITAS VITAL PARU PADA PASIEN ASMA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS III DENPASAR UTARA

1Anak Agung Istri Dwi Mayuni, 2Made Oka Ari Kamayani, 3Luh Mira Puspita 1Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2,3 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstract. Asthma occurs due to obstruction of the breath, one of the symptoms is the shortness of breath that can increase respiratory muscle work as a compensation mechanism of the body. However, gradually the respiratory muscles will experience weakness, so that it will lose a vital capacity in asthma patients. Diaphragmatic Breathing Exercise is one of respiratory exercises that aim to increase respiratory muscle strength. This research aims to know the existence of the influence of Diaphragmatic Breathing Exercise against the vital capacity in asthma patients after a given intervention for two weeks. The design used Nonequivalent Control Group Design with a purposive sampling technique. A large sample was 30 people (15 persons and 15 persons treatment group control group). Independent T-test results of the Test are obtained by the value of the Sig p 0.000 < 0.05, which means there is a significant difference between the average difference in the vital capacity of lungs in the treatment group and the control group. So it can be concluded that there is an influence of Diaphragmatic Breathing Exercise against the vital capacity of lungs in asthma patients at Wilayah Kerja Puskesmas III Denpasar Utara.

Keywords: Diaphragmatic Breathing Exercise, Vital capacity of the Lungs, Asthma Patients

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten yang ditandai dengan adanya trakea dan bronki berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma dimanifestasikan dengan penyempitan jalan nafas yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi (Smeltzer & Bare, 2010). Asma merupakan penyakit paru tersering, yang menyerang hingga 1517% populasi di sebagian tempat. Angka prevalensi tertinggi di laporkan di Australia dan New Zealand, sedangkan di Amerika Serikat prevalensinya mencapai 3-5% (McPhee & Ganong, 2010). Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat 20 tahun belakangan ini. Penyakit asma di Indonesia merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, penyakit asma masih menduduki sepuluh besar penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat di beberapa kabupaten yang ada di Bali.

Adanya obstruksi jalan nafas pada pasein asma akan mengakibatkan hiperinflasi pulmoner, yaitu terjebaknya udara akibat saluran nafas yang menyempit, dan menyebabkan terjadinya peningkatan kapasitas paru total dan volume residu fungsional sekunder serta penurunan volume cadangan ekspirasi (VCE) dan kapasitas vital paru (KVP) (Smeltzer &Bare, 2010).

Penurunan kapasitas vital paru pada pasien asma mengakibatkan peningkatan diameter anteropoterior dada sehingga dada akan menyerupai barel (Barrel Chest). Peningkatan ukuran anteposterior dada dapat menurunkan compliance dinding dada, sehingga mengakibatkan pernafasan menjadi kurang efektif dan dapat memperburuk keadaan pasien asma saat mengalami sesak nafas (Price& Wilson, 2005). Sesak nafas saat serangan asma mengakibatkan peningkatan kerja otot-otot pernafasan, sebagai bentuk mekanisme tubuh untuk tetap mempertahankan ventilasi paru, akan tetapi secara perlahan-lahan otot pernafasan akan mengalami kelemahan yang akan menimbulkan penyakit bertambah buruk, sehingga diperlukan tindakan untuk meningkatkan kekuatan otot pernafasan (Guyton& Hall, 2006).

Diaphragmatic Breathing Exercise merupakan latihan pernafasan yang merelaksasikan otot-otot pernafasan saat melakukan inspirasi dalam. Pasien berkonsentrasi pada upaya mengembangkan diafragma selama melakukan inspirasi terkontrol (Potter& Perry, 2006).

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk menganalisis pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap kapasitas vital paru pada pasien asma di Puskesmas III Denpasar Utara.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan model penelitian Quasi Eksperiment. Quasi eksperiment menggunakan kelompok kontrol namun tidak dapat sepenuhnya mengontrol variabel luar yang dapat mempengaruhi penelitian. Rancangan penelitian ini adalah Nonequivalent Control Group Design, pada desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random (Sugiono, 2010).

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien asma yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas III Denpasar Utara. Jumlah sampel penelitian sebanyak 30 orang ditambah dengan empat orang sebagai cadangan apabila terdapat responden yang drop out, sehingga masing-masing kelompok berjumlah 17 orang perkelompok (kelompok perlakuan dan kelompok kontrol). Pengambilan sampel dilakukan dengan cara Non Probability Sampling dengan teknik Purposive Sampling.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah spirometer Auto Spiro AS500 yang sudah dikalibrasi untuk mengukur kapasitas vital paru serta

lembar observasi yang mencatat tentang data demografi (umur, jenis kelamin, pekerjaan), tinggi badan, berat badan, kebiasaan merokok serta hasil pengukuran kapasitas vital paru sebelum dan setelah diberikan Diaphragmatic Breathing Exercise.

Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data

Dari sampel yang terpilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, maka responden akan dikelompokkan menjadi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Responden akan dijelaskan mengenai prosedur dan tujuan penelitian, kemudian responden menandatangani lembar informed consent. Kemudian dilakukan pengukuran kapasitas vital paru pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan diberikan Diaphragmatic Breathing Exercise dua kali sehari pada pagi hari dan sebelum makan malam selama dua minggu. Setelah dua minggu akan dilakukan pengukuran kapasitas vital paru pada kedua kelompok.

Setelah data terkumpul, diperoleh data berdistribusi normal sehingga untuk menganalisis perbedaan pretest dan posttest masing-masing kelompok dilakukan dengan uji Paired T-Test dan untuk menganalisis perbedaan kapasitas vital paru antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dilakukan dengan menggunakan uji Independent Sample T-Test.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian berdasarkan karakteristik subyek penelitian berdasarkan usia diperoleh kategori usia terbanyak pada kelompok perlakuan adalah 56-65 sebanyak 7 orang (46,7%) dan pada kelompok kontrol pada kategori usia 46-55 sebanyak 6 orang (40,0%). Karakteistik berdasarkan jenis kelamin baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol lebih banyak perempuan yaitu 10 orang (66,7%) dan 9

orang (60%), serta karakteristik berdasarkan pekerjaan paling banyak kategori dll yaitu 8 orang (53,33%) kelompok perlakuan dan 7 orang (46,7%).

Menurut hasil uji statistik Paired T-Test pada kelompok perlakuan diperolah hasil p= 0,000< 0,05 dan pada kelompok kontrol p= 0,288> 0,05. Berdasarkan uji statistik Independent Sampel T-Test diperoleh hasil p= 0,000< 0,05 yang berarti ada perbedaan yang signifikan terhadap kapasitas vital paru antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang berarti ada pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap kapasitas vital paru pada pasien asma di Wilayah Kerja Puskesmas III Denpasar Utara.

PEMBAHASAN

Setelah dilakukan pengukuran kapasitas vital paru pretest dari 15 responden kelompok perlakuan menunjukkan hasil KVP rata-rata didapat sebesar 2,90 L, dengan standar deviasi sebesar 0,27, sedangkan pada kelompok kontrol KVP rata-rata didapat sebesar 2,86 L, dengan standar deviasi sebesar 0,20. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas vital paru pretest pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol lebih rendah dari nilai normal. Menurut Guyton& Hall (2006), nilai normal kapasitas vital paru adalah 4600 mL (4,6 L). Penurunan kapasitas vital paru pada pasien asma terjadi karena adanya hiperinflasi pulmoner, keadaan ini mengakibatkan peningkatan diameter anteropoterior dada yang dapat menurunkan compliance dinding dada, sehingga mengakibatkan pernafasan menjadi kurang efektif (Price & Wilson, 2006). Adanya obstruksi pada klien asma dapat berupa sumbatan yang menyeluruh dan penyempitan jalan nafas berat. Kondisi ini menyebabkan ketidaksesuaian rasio perfusi dan ventilasi (National Institute of Health, 2004).

Setelah dilakukan pengukuran kapasitas vital paru posttest dari 15 responden kelompok perlakuan diperoleh hasil KVP rata-rata didapat sebesar 3,13 L, dengan standar deviasi sebesar 0,28. Hasil tersebut menunjukan bahwa kapasitas vital paru pada kelompok perlakuan lebih rendah dari nilai normal yaitu 4600 ml (4,6 L), namun terdapat peningkatan rata-rata pada kapasitas vital paru. Secara teori, melalui latihan pernafasan akan membawa meningkatkan peredaran darah ke otot-otot pernafasan. Aliran darah yang lancar akan membawa nutrisi (termasuk kalsium dan kalium) dan oksigen yang lebih banyak ke otot-otot pernafasan. Ion kalsium yang ada di dalam otot berfungsi untuk melakukan potensial aksi otot sehingga massa otot dapat dipertahankan dan kerja otot dapat meningkat (Guyton &Hall, 2006: Yunus, 2006). Latihan pernafasan terbukti dapat meningkatkan kemampuan otot-otot pernafasan. Kekuatan otot pernafasan yang terlatih akan meningkatkan compliance paru dan mencegah alveoli kolaps (ateletaksis) (Westerdahl, 2005).

Setelah dilakukan pengukuran KVP posttest dari 15 responden kelompok kontrol diperoleh hasil KVP rata-rata didapat sebesar 2,88 L, dengan standar deviasi sebesar 0,24. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas vital pada kelompok kontrol lebih rendah dari nilai normal, namun terjadi sedikit peningkatan KVP rata-rata. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sahat et al. (2011) yang menyatakan terjadi sedikit peningkatan pada fungsi paru pada pasien asma yang tidak melakukan senam asma karena penggunaan obat bronkodilator. Pasien asma menunjukkan gejala dyspnea dan sensasi dada sesak yang akan mengakibatkan peningkatan kerja otot-otot pernafasan sebagai bentuk mekanisme tubuh untuk tetap mempertahankan ventilasi paru, akan tetapi lama-kelamaan hal tersebut mengakibatkan kelemahan pada otot

pernafasan, sehingga kekuatan otot pernafasan pasien asma yang tidak melakukan latihan pernafasan cenderung tidak meningkat bahkan menurun (Guyton & Hall, 2006).

Berdasarkan uji statistik menggunakan Paired T-test pada kelompok perlakuan diperoleh nilai p sebesar 0,000 yang memiliki nilai lebih kecil dari α penelitian (0,05), yang menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kapasitas vital paru pretest dan posttest pada kelompok perlakuan. Weiner (1992) dalam Zega et al. (2011) menyatakan pernafasan diafragma merupakan pernafasan yang dilakukan dengan inspirasi maksimal melalui hidung, mengutamakan gerakan abdomen, membatasi gerakan dada dan melakukan ekspirasi melalui mulut, dimana hal tersebut dapat meningkatkan kerja otot-otot abdomen yang berperan pada proses ekspirasi. Secara teori, pernafasan diafragma yang dilakukan berulang kali dengan rutin dapat membantu seseorang menggunakan diafragmanya dengan benar ketika dia bernafas. Teknik ini berguna untuk menguatkan diafragma, menurunkan kerja pernafasan, menggunakan sedikit usaha dan energi untuk bernafas, dengan pernafasan diafragma akan terjadi peningkatan volume tidal, penurunan kapasitas residu fungsional dan peningkatan pengambil oksigen yang optimal (Smith, 2004).

Berdasarkan uji statistik menggunakan Paired T-test pada kelompok kontrol diperoleh nilai p sebesar 0,288 yang memiliki nilai lebih besar dari α penelitian (0,05), yang menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan, maka dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan yang tidak signifikan antara kapasitas vital paru pretest dan posttest pada kelompok kontrol. Pasien asma akan mengalami bronkospasme dan bronkokontriksi yang mengakibatkan obstruksi, hiperinflasi pulmoner dan peningkatan resistensi aliran udara yang

mengakibatkan udara terjebak dalam rongga paru yang akan menurunkan kapasitas vital paru (Guyton & Hall, 2006).

Hasil analisis perbedaan kapasitas vital paru pada pasien asma antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dilakukan melalui Independent Sample T-Test, diperoleh nilai p sebesar 0,000 lebih kecil dari α penelitian (0,05) yang menunjukkan bahwa Ho ditolak. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kapasitas vital paru pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang berarti ada pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap kapasitas vital paru pada pasien asma di wilayah Kerja Puskesmas III Denpasar Utara.

Peningkatan KVP pada kelompok perlakuan dapat terjadi karena melakukan Diaphragmatic Breathing Exercise yang bertujuan untuk melatih otot diafragma secara aktif dan teratur. Otot diafragma merupakan otot pernafasan yang paling penting dalam sistem respirasi. Pernafasan normal dan tenang dapat dicapai dengan hampir sempurna melalui gerakan diafragma (Guyton & Hall, 2006). Secara teori, terdapat beberapa perubahan fungsi anatomi dan fisiologi yang terjadi pada sistem pernafasan pada pasien asma termasuk peningkatan kekakuan dinding dada dan peningkatan diameter anteriorposterior dada karena pendataran diafragma dan elevasi iga, dimana hal tersebut dapat menurunkan compliance dinding dada, sehingga kemampuan pengembangan dinding dada menurun. Diaphragmatic Breathing Exercise akan membuat seseorang bernafas lebih efektif dengan menggunakan otot diafragma dan pada pasien asma dapat mencegah terjebaknya udara dalam paru karena adanya obstruksi jalan nafas (Price dan Wilson, 2006). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Weinner et al. (2004) yang menyatakan pasien asma akan mengalami

kelemahan pada otot-otot pernafasan. Hal ini disebabkan oleh sering terjadinya dispnea dan adanya pembatasan aktivitas. Melatih otot-otot pernafasan dapat meningkatkan fungsi otot respirasi, mengurangi beratnya gangguan pernafasan, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas, dan menurunkan gejala dispnea.

Pernafasan diafragma yang dilakukan berulang kali dengan rutin dapat membantu seseorang menggunakan diafragmanya secara benar ketika dia bernafas. Teknik ini berguna untuk menguatkan diafragma, menurunkan kerja pernafasan, melalui penurunan laju pernafasan, menggunakan sedikit usaha dan energi untuk bernafas, dengan pernafasan diafragma maka akan terjadi peningkatan volume tidal, penurunan kapasitas residu fungsional, dan peningkatan pengambilan oksigen yang optimal (Smith, 2004). Setelah melakukan Diaphragmatic Breathing Exercise diharapkan pasien dapat mengkondisikan dirinya saat merasa akan terjadi serangan ataupun saat serangan asma, dengan begitu diharapkan keluhan pasien menjadi minimal dan kualitas hidup pasien asma pun dapat meningkat.

Peningkatan kualitas hidup pasien asma dapat diwujudkan dengan penatalaksanaan asma yang tepat. Tujuan akhir adalah kualitas hidup penderita meningkat dengan tingkat keluhan minimal, tetapi memiliki aktivitas maksimal. Penatalaksanaan yang tepat diantaranya membuat fungsi paru mendekati normal, mencegah kekambuhan penyakit hingga mencegah kematian (Yunus, 2006).

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil pengamatan berdasarkan variable penelitian didapatkan hasil rata-

rata kapasitas vital paru pretest pada kelompok perlakuan adalah 2,90 L dan pada kelompok kontrol adalah 2,86 L. Hasil pengamatan berdasarkan variable penelitian didapatkan hasil rata-rata kapasitas vital paru posttest pada kelompok perlakuan adalah 3,13 L dan pada kelompok kontrol adalah 2,88 L. Hasil analisis perbedaan kapasitas vital paru pretest dan posttest pada kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kapasitas vital paru pada kelompok perlakuan sebelum dan setelah Diaphragmatic Breathing Exercise. Hasil analisis perbedaan kapasitas vital paru pretest dan posttest menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara kapasitas vital paru pada kelompok kontrol sebelum dan setelah dua minggu tanpa Diaphragmatic Breathing Exercise. Ada pengaruh Diaphragmatic Breathing exercise terhadap kapasitas vital paru pada pasien asma di Wilayah Kerja Puskesmas III Denpasar Utara dengan nilai p 0,000< 0,05.

Pada penelitian ini ditemukan atau terbukti ada pengaruh Diaphragmatic Breathing exercise terhadap kapasitas vital paru pada pasien asma, maka disarankan kepada perawat di Puskesmas III Denpasar Utara dapat merencanakan intervensi berupa mengajarkan Diaphragmatic Breathing Exercise pada pasien asma sampai pasien asma memahami prosedur pelaksanaanya sehingga diharapkan pada pasien asma dapat melakukan Diaphragmatic Breathing Exercise dua kali sehari yaitu pada pagi hari dan sebelum makan malam dan untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian latihan pernafasan diafragma dengan kategori usia, jenis obat bronkodilator, aktivitas (termasuk lingkungan) yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, A & Hall, J. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC

Kementerian    Kesehatan

Indonesia

1023/Menkes/SK/XI/2008 Pedoman Pengendalian Asma. (2008). Jakarta

Republik

No tentang Penyakit


McPhee, S & Ganong, W. 2010. Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju Kedokteran Klinis. Jakarta: EGC

National Institute of Health. National Heart, Lung and Blood Institute GobalInitiative For Asthma.2004. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. NIH Publication.

Potter &  Perry.2006. Buku  Ajar

Fundamental Keperawatan.  Edisi

Keempat. Jakarta: EGC

Price, S & Wilson, L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC

Sahat, Camalia. 2011. Pengaruh senam asma terhadap peningkatan kekuatan otot pernapasan dan fungsi paru pasien asma di Perkumpulan Senam Asma RSU Tangerang. (online),

http://core.kmi.open.ac.uk/display/12 128557 , diakses 19 Oktober 2014

Smeltzer & Bare. 2010. Texbook of Medical-Sugical Nursing Vol. 2. Philadelphia:  Linppincott William

&Wilkins

Smith, J F. 2004. Chest Phisical Therapi. Wausau: The Thompson Corporation (http://www.chclibrary.org/microed/ 00042330.html)

Sugiono.2010.Statistika Untuk penelitian. Bandung: CV Alfabeta.

Weiner, P., et al. (2004). Comparison of specific expiratory inspiratory & combiner muscle training program in    COPD.    Diperoleh dari

http://www.chestjournal.org

Westerdahl, E., Linmark, B., Ericksson, T., Friberg, O., Hedenstierna, G. & Tenling, A. 2005. Deep breathing exercises reduce atelectasis and improve pulmonary function after coronary artery bypass surgery. diperoleh melalui http://chestjournal.chestpubs.org/cont ent/128/5/3482.full.html.

Zega, et al. 2011. Perbandingan Manfaat Klinis Senam Merpati Putih dengan Senam Asma pada penyandang Asma. J Respir Indo. Vol.31, No 2.

Vol.3, No.3, Edisi September-Desember 2015

36