PENGARUH PEMBERIAN BRIEF REPETITION ISOMETRIC MAXIMUM EXERCISE DALAM PENCEGAHAN DISUSE ATROFI OTOT PADA PASIEN STROKE NON HEMORAGIK

Mahadewi, Deni. 2014. Pembimbing (1) Ns. I. D. P Gd Putra Yasa, S.Kep., M.Kep., Sp. MB, (2) Ns. I Kadek Saputra, S.Kep.

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstract. Stroke is a disorder in brain function that occurs suddenly due to reduced perfusion of blood flow because clot or infection embolus. Incidence of non-hemorrhagic stroke in 2012 at Badung Hospital was 164 people each year. Generally, the limitations cause by non-hemorrhagic stroke is hemiparesis or weakness so that tend experience disuse of muscle atrophy. Action to prevent disuse of muscle atrophy is by exercise BRIME (Brief Repetition Isometric Maximum Exercise) with number of contraction is 6-12 times for 6-10 seconds. The purpose of this study was to see a big drop in disuse muscle atrophy are experiencing weakness. Therefore it is necessary to conduct research on the effect of BRIME in prevention of disuse of muscle atrophy at non-hemorrhagic stroke patient. This study was applied QuasiExperimental Design with Non Equivalent Control Group Design. This study was conducted in Oleg in-patient ward of Badung Hospital by number of sample was 14 people who were divided into two groups. Data analysis was applied parametric test that is dependent t-test and independent t-test. The results showed there is no significant difference in the average of muscle circumference between giving of training and BRIME with operasional standard hospital procedure with p = 0,000. The weakness in this study was less strict in controlling of counfounding variable such as nutritional status, neurologic status, physical activity intensity, histology characterictics and muscle histology, etc.

Keywords : Disuse of Atrophy, Muscle that experience hemiparesis, Brief Repetition Isometric Maximum Exercise

PENDAHULUAN

Stroke didefinisikan sebagai suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak

(World Health Organization, 2010). Angka kejadian stroke di Indonesia sekitar 8 dari 1000 orang dengan proporsi 15,4% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Berdasarkan data dinas kesehatan Provinsi Bali, jumlah pasien infark cerebral yang menjalani rawat inap

di Bali pada tahun 2010 sebanyak 968 orang dan hasil laporan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, jumlah pasien stroke non hemoragik yang menjalani rawat inap rata-rata tiap bulannya sebanyak 37 orang pada tahun 2012.

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis Rumah Sakit Umum Daerah Badung, jumlah kasus stroke non hemoragik yang rawat inap pada tahun 2012 sebanyak 164 orang per tahun dibandingkan dengan kasus stroke hemoragik sebanyak 57 orang per tahun dengan rentang usia antara 45 sampai 65 tahun.

Stroke non hemoragik terjadi akibat obstruksi atau bekuan pada arteri besar di sirkulum serebrum yang terjadi pada satu sisi atau lebih. Obstruksi disebabkan adanya pembentukan plak aterosklerosis di pembuluh darah otak sehingga terjadinya penyempitan atau stenosis. Penyebab lain stroke non hemoragik adalah vasospasme yang merupakan respon vaskular reaktif terhadap perdarahan ke dalam ruang antara lapisan araknoid dan piamater meningen (Price, 2005).

Secara umum keterbatasan yang disebabkan oleh stroke non hemoragik adalah hemiparesis atau kelemahan. Pasien yang mengalami penurunan fungsi motorik biasanya akan mengalami intoleransi aktifitas dan disuse atrofi otot. Kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik

terjadi pada salah satu sisi tubuh yang menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak (Muttaqin, 2008).

Disuse atrofi otot terjadi pada ekstremitas yang terlalu lama mengalami imobilisasi, akibat penurunan suplai darah yang merusak metabolisme di dalam sel sehingga tidak bisa mempertahankan aktivitas jaringan. Otot tidak akan mampu mempertahankan ukuran otot normal jika kehilangan suplai saraf dan tidak mampu untuk berkontraksi. Faktor penyebab terjadinya atrofi otot adalah keadekuatan pengaturan posisi, reposisi, intoleransi ortostatik, keadekuatan asupan nutrisi (Carpenito, 2009).

Tindakan untuk mencegah terjadinya atrofi otot dapat dilakukan beberapa latihan, salah satunya adalah Brief Repetition Isometric Maximun Exercise (BRIME), latihan ini dilakukan dengan cara mengkontraksikan otot secara maksimal selama 6-10 detik sebanyak 6-12 kali gerakan (repetisi) dengan jarak antara kontraksi 20 detik sekali sehari yang dilakukan selama 12 hari dengan pembagian 5 hari pertama, kemudian diistirahatkan 2 hari, dan dilanjutkan kembali hingga 5 hari.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di RSUD Badung, perawat di Ruang Penyakit Dalam mengatakan jarang memberikan latihan

otot karena keterbatasan kemampuan sehingga hanya diberikan edukasi saja. Akibat kurangnya latihan otot yang diberikan, sehingga menimbulkan permasalahan disuse atrofi otot pada pasien stroke. Oleh karena itu, peneliti tertarik mengangkat masalah disuse atrofi otot yang mengalami kelemahan sebagai masalah utama dalam penelitian ini yang diberikan latihan BRIME.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi Eksperimen, dengan rancangan Non Equivalent Control Group Design (Sugiyono, 2010). Teknik pengukurannya adalah dengan cara melakukan pengukuran di depan (pre test) sebelum adanya perlakuan dan setelah itu dilakukan pengukuran kembali (post test) (Riwidikdo, 2013).

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian adalah pasien stroke non hemoragik yang dirawat di Ruang Penyakit Dalam RS Umum Daerah Badung. Peneliti mengambil sampel sebanyak 14 orang sesuai dengan kriteria sampel. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih

sampel di antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti.

Instrumen Penelitian

Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah meteran yang memiliki satuan (mm) yaitu MyoTape Body Tape Measure. Alat tersebut dapat mengukur perubahan lingkar otot dalam ukuran inchi maupun cm. Sedangkan untuk mencatat perubahan lingkar otot, peneliti menggunakan lembar observasi yang dicatat pada awal dan akhir perlakuan.

Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data

Dari jumlah total 14 orang tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan BRIME dan kelompok kontrol SOP RS. Peneliti menjelaskan tentang maksud dan tujuan penelitian secara umum dan meminta persetujuan untuk menjadi responden. Responden juga diberi kesempatan untuk bertanya serta meminta menandatangani informed concent.

Pengumpulan data dengan cara melakukan pengukuran lingkar otot kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada pasien yang mengalami kelemahan (hemiparesis). Memberikan perlakuan pada kelompok perlakuan berupa latihan BRIME selama 12 hari yang dibagi menjadi 5 hari pertama, kemudian

diistirahatkan selama 2 hari, dan dilanjutkan kembali latihan selama 5 hari.

Memberikan perlakuan pada kelompok kontrol berdasarkan SOP yag dimiliki rumah sakit. Melakukan pengukuran kembali lingkar otot pada hari ke 12 setelah masing-masing kelompok mendapatkan perlakuan yang berbeda.

Untuk menganalisis perubahan rata-rata lingkar otot maka digunakan uji statisik Independent t-test dengan tingkat kepercayaan 95%, p<0,05 dan apabila Ho ditolak maka hipotesa BRIME berpengaruh terhadap pencegahan disuse atrofi otot.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik jenis kelamin pada kedua kelompok dapat diketahui bahwa jumlah responden berdasarkan jenis kelamin pada kelompok perlakuan BRIME lebih banyak laki-laki yaitu 4 orang (28,6%) dibandingkan dengan perempuan. Sedangkan karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin pada kelompok kontrol SOP RS lebih banyak perempuan yaitu 4 orang (28,6%). Hal itu menunjukkan bahwa perbandingan jenis kelamin pada kedua kelompok adalah sama antara perempuan dan laki-laki.

Karakteristik usia responden pada kedua kelompok dapat diketahui bahwa karakteristik usia responden pada kelompok SOP RS lebih besar dengan

nilai rata-rata 60,57 dibandingkan pada kelompok BRIME sebesar 57,86. Usia terendah dialami pada kelompok BRIME dengan besar selisih nilai minimum BRIME – SOP RS adalah 12 tahun. Sedangkan usia tertinggi juga dialami pada kelompok BRIME yang hanya memiliki nilai selisih 1 tahun dengan kelompok SOP RS.

Presentase hemiparesis sinistra pada kelompok SOP RS (35,7%) lebih besar dibandingkan kelompok BRIME (28,6%) dengan besar selisihnya adalah 7,1 %. Kondisi hemiparesis bagian dextra juga dialami pada kedua kelompok, namun lebih banyak dialami pada kelompok BRIME sebanyak 3 responden.

Besar nilai rata-rata pre-post test kelompok BRIME adalah 305,57 dan 305,14 dengan nilai selisih sebesar 0,43. Hal itu menunjukkan adanya penurunan lingkar otot sebelum dan setelah dilakukan latihan BRIME dengan besar penurunan 0,43 mm. Pada nilai minimum pre-post test kelompok BRIME didapatkan selisih 1 mm, sedangkan selisih nilai minimumnya juga 1 mm.

Pada kelompok SOP RS menunjukkan bahwa nilai rata-rata prepost test kelompok SOP RS adalah 356,71 dan 350,57 dengan selisih sebesar 6,14. Besar selisih nilai minimum prepost test kelompok SOP RS adalah 4 mm, sedangkan nilai selisih maksimumnya

adalah 5 mm yang berarti terjadi penurunan yang cukup besar.

Angka kejadian disuse atrofi pada kelompok BRIME sebanyak 3 sampel dengan presentase 21,4 %, sedangkan pada kelompok SOP RS sebanyak 7 orang dengan presentase 50%.

Pada hasil uji normalitas menunjukkan nilai pre test dan post test pada kelompok perlakuan lebih besar dari nilai alpha 0,05 dengan besaran nilai 0,557 dan 0,582. Hasil uji normalitas pada kelompok kontrol SOP RS memiliki nilai sebesar 0,607 dan 0,547 yang didapatkan saat pre test dan post test. Kesimpulan dari keseluruhan hasil uji normalitas dinyatakan nilai p > 0,05 dengan demikian Ho diterima yang berarti data berdistribusi normal.

Uji parametrik dependent t test digunakan untuk menguji efektifitas suatu perlakuan terhadap suatu besaran variabel yang ingin ditentukan. Beda rata-rata lingkar otot pada kelompok perlakuan sebesar 0,43 dan pada kelompok kontrol sebesar 6,143. Hasil analisa data juga didapatkan bahwa nilai p pada kelompok perlakuan sebesar 0,078, dimana nilai p > 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan bermakna rata-rata lingkar otot sebelum dan sesudah latihan.

Hasil nilai p pada kelompok kontrol sebesar 0,000 yang berarti p < 0,05 dengan

artian ada perbedaan bermakna rata-rata lingkar otot sebelum dan setelah latihan.

Perbedaan pengaruh latihan antar kelompok dapat diketahui menggunakan uji independent t-test dimana antara satu kelompok dengan kelompok lainnya tidak saling berhubungan. Besar beda rata-rata lingkar otot sebesar 5,714. Besaran nilai p 0,000 yang berarti p < 0,05 dengan artian Ho ditolak atau ada perbedaan rata-rata lingkar otot antara pemberian latihan BRIME dan SOP RS.

PEMBAHASAN

Sebuah otot akan berkontraksi sangat cepat bila otot tersebut berkontraksi tanpa melawan beban sehingga mencapai keadaan kontraksi penuh kira-kira dalam 0,1 detik. Pada saat berkontraksi, otot membutuhkan sejumlah energi untuk memompa kalsium dari sarkoplasma ke dalam retikulum sarkoplasmik. Setelah kontraksi berakhir dan memompa ion-ion natrium dan kalium melalui membran serat otot untuk mempertahankan lingkungan ionik yang cocok dalam pembentukan potensial aksi.

Sumber energi pertama yang digunakan untuk menyusun kembali ATP adalah substansi keratin fosfat yang serupa dengan ATP. Sumber energi yang penting berikutnya adalah glikogen, dimana pemecahan glikogen secara enzimatik menjadi asam piruvat dan asam laktat yang

berlangsung dengan cepat akan membebaskan energi yang digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP dan kemudian secara langsung digunakan untuk memberi energi bagi kontraksi otot. Sumber energi yang terakhir adalah metabolisme oksidatif, dimana sumber energi ini mengkombinasikan oksigen dengan berbagai bahan makanan selular untuk membebaskan ATP (Guyton, 2007).

Pada kelompok latihan BRIME memiliki besar disuse atrofi dengan nilai maksimal pada pretest sebesar 366 dan 365 pada saat posttest dengan nilai rata-rata 305,57 dan 305,14 saat pre-post test. Besar beda rata-rata kelompok BRIME lebih kecil dibandingkan pada kelompok SOP RS dengan besaran 0,43 yang berarti BRIME efektif dalam pencegahan disuse atrofi otot. Hal tersebut diperkuat dengan hasil uji dependent t-test yang menyatakan nilai p pada kelompok BRIME sebesar 0,78 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata lingkar otot dikarenakan penelitian ini berupaya dalam hal pencegahan, dimana besar penurunan lingkar otot kelompok SOP RS lebih besar sebanyak 6,14. Penelitian ini diperjelas dengan hasil uji independent t-test yang menyatakan p>0,000 dengan artian Ho ditolak atau ada perbedaan rata-rata lingkar otot antara pemberian latihan BRIME dan SOP RS, sehingga dapat disimpulkan bahwa BRIME berpengaruh

dalam pencegahan disuse atrofi otot pada pasien stroke non hemoragik.

Pada saat mengalami imobilisasi, jumlah Focal Adhesion Kinase (FAK) akan menurun beserta dengan aktifitasnya dan menyebabkan semua protein mengalami penurunan regulasi dan pecah. Pelatihan BRIME yang diberikan dengan jumlah repetitif yang lebih lama dan maksimal searah dengan teori sebelumnya bahwa akan terjadi peningkatan jumlah FAK dan aktifitas dan jumlah protein yang berhubungan langsung dengan FAK juga akan meningkat (Artana, 2013). Berdasarkan sumber rehabilitasi pasien stroke mampu lebih efektif dalam mengembangkan kontrol motor instrinsik dan fungsi status yang lebih optimal dalam proses penyembuhan (Gordon. et al, 2004).

Pembahasan ini searah dengan penelitian Irdawati (2008) tentang Perbedaan Pengaruh Latihan Gerak Terhadap Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke Non Hemoragik Hemiparese Kanan Dibandingkan Dengan Hemiparese Kiri, menyatakan ada perbedaan yang bermakna pada kekuatan otot sebelum dan setelah dilakukan latihan pada hemiparese kanan dan kiri. Memperbaiki tonus otot maupun reflex tendon ke arah normal adalah dengan cara memperbaiki stimulus terhadap otot maupun proprioceptor di persendian melalui approksimasi. Dengan

adanya perbaikan dari tonus postural melalui stimulasi atau rangsangan proprioceptive berupa tekanan pada persendian akan merangsang otot-otot disekitar sendi untuk berkontraksi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada dua kelompok latihan dapat dilihat adanya perubahan rata-rata lingkar otot sebelum dan setelah latihan, dimana pada kelompok BRIME nilai beda rata-rata pre-post test sebesar 305,57 dan 305,14 sedangkan pada kelompok SOP RS nilai beda rata-rata pre-post test sebesar 356,71 dan 350,57.

Besar perubahan lingkar otot yang terjadi pada kelompok BRIME lebih kecil dibandingkan pada kelompok SOP RS dengan nilai selisih rata-rata kelompok BRIME adalah 0,43 sedangkan pada kelompok SOP RS selisih rata-ratanya adalah 6,14.

BRIME berpengaruh terhadap pencegahan disuse atrofi otot pada pasien stroke non hemoragik di RSUD Badung dengan nilai ρ < 0,000.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai SOP Rumah Sakit dan informasi baru dalam penanganan rehabilitasi pasien stroke non hemoragik. Dapat diinformasikan kepada perawat pelaksana tentang BRIME sehingga perawat dapat melakukan latihan mobilisasi BRIME secara mandiri ke pasien. Peneliti

selanjutnya diharapkan memonitor dengan ketat kualitas dari latihan sehingga latihan tersebut benar-benar efektif pada kontraksi otot responden. Peneliti diharapkan mampu mencari sampel lebih dari 30 orang agar kriteria penelitian eksperimen terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA

Artana, Made. 2013. “Efektifitas BRIME 1 set dan BRIME 3 set Terhadap Pencegahan Disuse Atrofi Otot Quadrisep Pada Pasien Fraktur Femur dengan Traksi”.

Carpenito. 2009. Diagnosis Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis. Jakarta: EGC

Depkes RI. 2010. Stroke Non Hemoragik. (www.depkes.go.id)

Gordon, NF...(et al). 2004. “Physical Activity and Exercise Recommendations for Stroke Survivors an Americans Heart Association Scientific Statement from the Council on Clinical Cardiology, Subcommittee on Exercise, Cardiac Rehabilitation, and Prevention; the Council on Cardiovascular Nursing; the Council on Nutrition, Physical Activity, and the Stroke Council”.

Guyton A. C and J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC

Irdawati. 2008. “Perbedaan Pengaruh Latihan Gerak Terhadap Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke Non-Hemoragik Hemiparese Kanan Dibandingkan Dengan Hemiparese Kiri”.

Muttaqin, Arif.   2008. Buku Ajar

Keperawatan Klien dengan Gangguan  System Persarafan.

Jakarta: Salemba Medika.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Editor Edisi Bahasa Indonesia oleh Huriawati Hartanto...(et al.). Ed.6. Jakarta: EGC.

Riwidikdo, Handoko. 2013. Statistik Kesehatan. Yogyakarta: Rohima Press.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: CV. ALFABETA.

WHO. 2010. Stroke Non Hemoragik, (online), (www.who.int).