PENGARUH SYSTEMATIC ORAL CARE DENGAN MADU TERHADAP DISFUNGSI RONGGA MULUT AKIBAT KEMOTERAPI PADA ANAK USIA 3-12 TAHUN
on
PENGARUH SYSTEMATIC ORAL CARE DENGAN MADU TERHADAP DISFUNGSI RONGGA MULUT AKIBAT KEMOTERAPI PADA
ANAK USIA 3-12 TAHUN
Sutari, I Gusti Ayu Anik. 2014., Ns. Nyoman Gunahariati, S.Kep., M.M., Ns. Ns. I Made Suindrayasa, S.Kep.
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Abstract. Mouth cavity dysfunction is one of the side effects of chemotherapy. Most of the children who is taking chemotherapy will experience mouth cavity dysfunction. If this case is not being handled sooner, it will result on the dysfunction of nutrient balance which will result on the decrease of life quality of the children who suffer from cancer. One solution which is recommended to handle mouth cavity dysfunction nowadays is using oral care with honey. This study was aimed at investigating the effect of systematic oral care with honey toward mouth cavity dysfunction caused by chemotherapy on children of 3-12 years. This study is pre- experimental study (one group pre – test dan post- test design without control group). The sample of this study consists of 24 children with the age among 3-12 years old, in which the sample was gained through total sampling. The data of mouth cavity dysfunction employed Beck Oral Assessment Scale. All of the respondents were given systematic oral care with honey based on five days BOAS. The result of the study shows that there was a difference on the average decline of the score of mouth cavity dysfunction before and after the systematic oral care with honey was given. Before the treatment, the average score of mouth cavity disorder was 13.17, and after the treatment was given, the average score of mouth cavity disorder was 8.67. Based on the result of statistics Dependent “t” test, it was gained that the score of p =0.000, meaning that p<a (0.05). It can be concluded that there is an effect of systematic oral care with honey toward moth cavity dysfunction resulted from chemotherapy on children of 3-12 years.
Key words: Honey, Systematic Oral Care, Chemotherapy, Mouth Cavity Dysfunction
PENDAHULUAN
Kanker merupakan kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel yang tumbuh secara terus menerus, tidak terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berfungsi secara fisiologis (Price & Wilson,2005). Saat ini kanker menjadi penyakit serius yang mengancam kesehatan anak di dunia. Menurut National Cancer Institute atau NCI (2009), diperkirakan empat persen (4%) diantaranya adalah kanker pada anak, diperkirakan terjadi 10.370 kasus baru kanker pada anak usia 0-14 tahun di Amerika Serikat.
Permasalahan kanker anak di Indonesia saat ini menjadi persoalan yang
cukup besar. Menurut Gatot (2008), prevalensi kanker anak di Indonesia mencapai empat (4)%, artinya dari seluruh angka kalahiran hidup anak di Indonesia, empat (4)% diantaranya akan mengalami kanker. Saat ini kanker menjadi sepuluh besar penyakit utama yang menyebabkan kematian anak di Indonesia (Depkes RI, 2011).
Berdasarkan data dari Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (RSUP Sanglah) terdapat kasus penderita kanker pada anak usia 1-14 tahun sebanyak 176 pasien pada tahun 2012 . Jumlah tersebut sedikit lebih banyak dibandingkan tahun 2011 yang hanya sebanyak 168 pasien. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penderita
kanker pada anak yang di rawat di RSUP Sanglah cenderung meningkat dalam 2 tahun terakhir (Rekam Medis RSUP Sanglah, 2013).
Kanker pada anak harus ditangani secara berkualitas. Menurut Hockenberry dan Wilson (2009), kemoterapi sangat efektif dalam penanganan kanker pada anak, terutama leukemia. Kemoterapi adalah pemberian segolongan obat – obatan yang bersifat sitotoksik yang bertujuan untuk menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker (Chabner, 2005).
Efek samping yang banyak ditemukan pada anak yang mendapat kemoterapi adalah depresi sumsum tulang, diare, kehilangan rambut, masalah – masalah kulit, mual muntah, serta disfungsi rongga mulut. Disfungsi rongga mulut adalah suatu keadaan dimana bibir, mukosa mulut, gusi, gigi, lidah dan ototnya serta palatum keras dan lunak menjadi sakit oleh karena invasi dari mikroorganisme tertentu (Potter & Perry, 2005). Hal tersebut menyebabkan berbagai gangguan. Gangguan tersebut diantaranya adalah mukositis, glositis, gingivitis kesulitan mengunyah, menelan, berbicara, perdarahan, mulut kering (xerostomia) dan hilangnya sensasi rasa (hypogeusia dan ageusia) (Eilers, 2004). Bila gangguan ini tidak ditangani segera, maka akan terjadi gangguan keseimbangan nutrisi dan pada akhirnya akan menyebabkan penurunan kualitas hidup anak penderita kanker (UKCCSG-PONF, 2006).
Menurut studi United Kingdom Children’s Cancer Study Group dan Pediatric Oncology Nurses Forum atau UKCCSG-PONF (2006), prevalensi terjadinya disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi diperkirakan mencapai 30-75% dalam setiap siklusnya. Literatur dari
Cancer Care Nova Stovia (CCNS) tahun 2008, mengatakan bahwa angka prevalensi disfungsi rongga mulut lebih besar lagi, yaitu sekitar 45-80%.
Sebagai tenaga kesehatan professional bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas untuk menangani berbagai disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi. Berdasarkan systematic review yang dilakkukan oleh Keefe, et al. (2007) dan Eilers (2004), intervensi penanganan disfungsi rongga mulut diantaranya adalah oral care yang berkualitas, pemberian agen anti septic, pembersih mulut (multiagent mouthwashes), agen anti inflamsi, growth factor, cytokine-like agent serta berbagai agen alamiah lain yaitu chamomile, kamilosan cair dan madu. Beberapa penelitian menyarankan penggunaan madu sebagai agen dalam menejemen berbagai disfungsi rongga mulut salah satunya mukositis. Penelitian Mottalebnejad, et al. (2008) menunjukkan bahwa tingkat keparahan disfungsi rongga mulut salah satunya mukositis berkurang secara signifikan pada pasien yang mendapatkan madu dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapat madu (p=0,000). Madu merupakan produk dari nectar bunga yang telah mengalami aerodigestive oleh lebah. Madu kemudian dikonsentrasikan melalui dehydrating process di sarang lebah (Mottalebnejad, et al. 2008). Madu dapat digunakan dalam penanganan disfungsi rongga mulut karena madu memiliki enzim glukosa oksidase yang akan mengkonversi glukosa menjadi glucose acid yang akan menghambat pertumbuhan bakteri. Selain itu madu juga mengandung hidrogen peroksida yang bersifat sebagai agen antimicroba. Hidrogen peroksida pada madu dapat
meningkatkan penyembuhan disfungsi rongga mulut (Evan & Flavin, 2008).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di ruang Pudak RSUP Sanglah dengan observasi langsung, didapatkan pasien yang sedang menjalani kemoterapi pada pada bulan September 2013 terdapat 21 orang anak yang menjalani kemoterapi . Hasil wawancara dengan 10 orang penunggu pasien, enam (6) dari 10 orang penunggu pasien mengatakan anaknya mengalami gangguan pada rongga mulut yang diperkuat dengan observasi Beck Oral Assessment Scale (BOAS), pemeriksaan fisik dan hasil wawancara dengan staf perawat di ruang Pudak RSUP Sanglah.
Penanganan disfungsi rongga mulut yang dilakukan di Ruang Pudak RSUP Sanglah dengan menggunakan NaCl 0,9% dan Natrium Bicarbonate secara tidak langsung memberikan dampak berupa penurunan intake nutrisi, rasa tidak nyaman saat oral care dan memerlukan waktu rata-rata 7 hari dalam penanganan disfungsi rongga mulut. Oleh karena itu, perlu pertimbangan penggunaan agen lain seperti madu yang dapat memberikan waktu relatif lebih singkat dalam penanganan disfungsi rongga mulut dan memberikan kenyamanan pada pasien saat dilakukan oral care.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Systematic Oral Care dengan Madu terhadap Disfungsi Rongga Mulut akibat Kemoterapi pada Anak Usia 3-12 Tahun di RSUP Sanglah” yang nantinya diharapkan dapat memberikan pasien alternatif pelaksanaan systematic oral care dengan madu yang efektif untuk menyembuhkan disfungsi rongga mulut.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain Pre-Eperimental dengan pendekatan One Group Pre-test and Post-test Design Without Control Group, yang memungkinkan untuk mengetahui pengaruh systematic oral care dengan madu.
Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan adalah semua anak yang menjalani kemoterapi di Ruang Pudak RSUP Sanglah. Peneliti mengambil sampel berjumlah 24 sesuai criteria inklusi. Anak dalam masa pengobatan kemoterapi, berusia 3-12 tahun, anak kooperatif dan bersedia menjadi responden penelitian, dan Ibu, Bapak atau Wali dapat diajak bekerjasama dan menyetujui anaknya menjadi responden.Pengambilan sampel dilakukan dengan cara Non Probability Sampling dengan teknik Total Sampling.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh skor disfungsi rongga mulut yaitu Beck Oral Assessment Scale (BOAS) yang berfungsi untuk menilai fungsi dari rongga mulut dan gigi meliputi bibir, mukosa mulut, gusi, gigi, lidah dan saliva sebelum dan sesudah diberikan systematic oral care dengan madu pada hari pertama dan kelima.
Proses Pengumpulan Data dan Analisa Data
Dari sampel yang terpilih terdapat 24 anak yang mengalami disfungsi rongga mulut yang diberikan systematic oral care dengan madu sesuai dengan skor BOAS selama 5 hari.
Sebelumnya peneliti memberikan informasi tentang tujuan dan prosedur penelitian pada anak dan orang tua, kemudian anak dan orang tua yang menyetujui menjadi responden penelitian dipersilahkan menandatangani lembar informed consent. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan pengkajian disfungsi rongga mulut dengan metode BOAS pada hari pertama untuk skor pretest, kemudian dilakukan systematic oral care dengan madu sesuai dengan skor BOAS, setelah dilakukan systematic oral care dengan madu selama lima hari, kemudian dilakukan kembali pengkajian BOAS untuk skor posttest.
Setelah data terkumpulkan maka data dianalisis dengan bantuan komputer yaitu uji normalitas data terlebih dahulu untuk menentukan distribusi dan anlisis selanjutnya. Kemudian dilakukan uji beda berpasangan dengan paired sample t-test pada pretest dan posttest dengan tingkat kepercayaan 95% dan p (nilai signifikansi) <0,05.
HASIL PENELITIAN
Secara diskriptif disfungsi rongga mulut responden sebelum diberikan systematic oral care dengan madu dengan evaluasi BOAS terlihat bahwa semua responden (100 %) mengalami disfungsi rongga mulut sedang (skor 11-15). Sedangkan setelah diberikan systematic oral care dengan madu selama 5 hari terlihat bahwa sebagian besar responden (95,8%) mengalami disfungsi rongga mulut ringan (skor 6-10), yang berarti terdapat perbaikan fungsi rongga mulut pasien dari disfungsi rongga mulut sedang menjadi disfungsi rongga mulut ringan sebesar 95,8%.
Menurut hasil uji statistik pengaruh systematic oral care dengan madu, dengan
uji Pairred Sample T-Test diperoleh nilai p= 0,000 (p<0,05), maka H0 ditolak yang berarti ada pengaruh systematic oral care dengan madu terhadap disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi pada anak usia 312 tahun.
PEMBAHASAN
Sebelum diberikan systematic oral care dengan madu, secara umum hasil skor BOAS menunjukkakn bahwa seluruh responden (24 responden) mengalami disfungsi rongga mulut sedang (skor 1115). Hasil penelitian ini sejalan dengan hampir seluruh penelitian mengenai disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi, dimana berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa responden yang sedang menjalani kemoterapi hampir sebagaian besar responden mengalami disfungsi rongga mulut. Penelitian tersebut adalah penelitian dari Nurhidayah (2010) dan Mottalebnejad (2008) menujukkan bahwa selama anak menjalani kemoterapi hampir semua anak mengalami disfungsi rongga mulut menurut skor Oral Asessment Guide (OAG).
Gralla, Houllihan, dan Massner (2008) menyatakan bahwa sebaiknya sebelum menjalani kemoterapi kondisi mulut anak dalam keadaan normal atau tidak mengalami disfungsi rongga mulut. Hal tersebut terjadi karena lesi yang kecil pada mulut sebelum pengobatan dapat berkembang menjadi lesi yang besar setelah pasien mendapatkan kemoterapi. Hal ini menunjukkan bahwa status kesehatan mulut sebelum dan selama menjalani kemoterapi sangat penting dievaluasi untuk mencegah berkembangnya lesi menjadi lebih berat setelah kemoterapi.
United Kingdom Lymphoma Association (2010) serta Topic dan
Arambasin (2006) menyarankan bahwa pemeriksaan kesehatan mulut harus dilakukan sebelum, selama menjalani, dan setelah menjalani kemoterapi dan radioterapi.
Setelah diberikan systematic oral care dengan madu sesuai dengan skor BOAS selama 5 hari, secara umum menunjukkan bahwa skor disfungsi rongga mulut responden lebih rendah (skor 6-11) dibandingkan dengan skor disfungsi rongga mulut sebelummnya (skor 11-15).
Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Rashad, et al.(2008). Penelitian yang dilakukan dengan desain randomized controlled trial yang bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas madu murni sebagai agen profilaksis terhadap disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi, Rashad, et al. menyimpulkan bahwa penggunaan madu murni efektif digunakan untuk mengurangi disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi pada pasien dewasa dengan kanker kepala dan leher.
Pemberian madu selama dan setelah siklus kemoterapi berpengaruh menurunkan disfungsi rongga mulut dengan cara mempercepat proses penyembuhan disfungsi rongga mulut yang terjadi. Hal ini terjadi karena kandugan hidrogen peroksida berperan mengaktivasi protease. Aktivasi protease akan menyebabkan debridement, peningkatan aliran darah subkutan, pada jaringan iskemik, merangsang pertumbuhan jaringan baru, dan memperkuat respon anti inflamasi (Evans & Flavin, 2008).
Berdasarkan hasil uji berpasangan pada responden dengan menggunakan pairred sample t-test dengan tingkat kepercayaan 95% (p<0,05) yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
pengaruh systematic oral care dengan madu terhadap disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi pada anak usia 3- 12 tahun, diperoleh nilai p value <0,05 dan nilai t hitung > t tabel maka H0 ditolak. Dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh systematic oral care dengan madu terhadap disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi pada anak usia 3- 12 tahun.
Menurut Rashad , et al. (2008) menunjukkan bahwa madu yang dioleskan secara topikal dapat memepercepat penyembuhan jaringan yang luka. Hal ini juga didukung oleh penelitian Mottalebnejad, et al (2008) menyatakan alasan penggunaan madu dalam penelitiannya karena efek madu untuk menurunkan disfungsi rongga mulut dikaitkan dengan sifat higroskopis madu, keasaman pH madu, kemampuan madu untuk mengobservasi hidrogen peroksida dari glukosa oksidase dan gluconic acid serta kandungan enzim, vitamin dan mineral di dalam madu yang berguna untuk perbaikan jaringan secara langsung.
Menurut pandangan peneliti pengaruh madu yang signifikan dalam menurunkan disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi dalam penelitian ini dikarenakan berbagai zat yang terkandung dalam madu, jumlah madu yang didapatkan anak sangat adekuat dan madu yang digunakan merupakan jenis multiflora sehingga kandungan zat gizinya lebih lengkap dibandingkan madu uniflora. Selain itu juga durasi penyembuhan menggunakan madu lebih cepat yaitu membutuhkan waktu rata-rata 5 hari dibandingkan dengan intervensi lainnya seperti penggunaan NaCl dan Natrium Bicarbonate yang membutuhkan waktu rata-rata 7 hari.
United Kingdom Lymphoma Association (2010), menyebutkan bahwa
madu telah direkomendasikan untuk menangani disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi dan radioterapi karena kandungan antibakterial alami yang dialami oleh madu.
KESIMPULAN DAN SARAN
Perbaikan disfungsi rongga mulut dapat dilakukan dengan systematic oral care dengan madu sesuai dengan skor BOAS. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan antara sebelum dan setelah diberikan systematic oral care dengan madu. Hasil uji pairred sample t- test didapatkan nilai p= 0,000 (p<0,05) maka H0 ditolak yang berarti ada pengaruh systematic oral care dengan madu terhadap disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi akibat kemoterapi pada anak usia 3-12 tahun.
Adapun beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, seperti dasain penelitian, faktor-faktor yang mempengaruhi skor disfungsi rongga mulut yang tidak dikontrol, dan kesulitan melakukan intervensi pada beberapa anak dikarenakan karaktristik anak yang unik dan berbeda. Sehingga diharapkan peneliti selanjutnya dapat melengkapi kekurangan penelitian ini dengan menggunakan kelompok kontrol agar mendapatkan hasil penelitian yang lebih akurat, mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi skor disfungsi rongga mulut dan meningkatkan pembelajaran tentang ilmu pediatric khususnya upaya mengoptimalkan pendekatan ke anak.
Selain itu penelitian ini diharapkan dapat digunakan menjadi salah satu intervensi yang dapat diedukasikan pada anak dan keluarga sebagai salah satu intervensi keperawatan berupa systematic oral care dengan madu pada anak dengan kanker selama menjalani program kemoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Waili, N.S. (2004). Honey increase saliva, plasma and urine content of total nitrite consentration. Journal of Medical Food, 7(3), 373-377
American Academy of Pediatric Dentistry . (2008). Guidelines on
management of dental patient with special helth care needs. AAPD Referensi Manual. 32(4), 132-136
Bardy, J., Slevin, N., Male , K.L., & Mollasiotis, A. (2008). Systematic review of honey uses and its potential value within oncology care. Jurnal of Clinical Nursing, 17(1), 2604-2623
Berg, A.J.J. Van Den., Worm, E. Van den.,Ufford, H.C. Quarles van., Hoekstra, M.J., & Beukelman, C.J. (2008). An in vitro Examination of the Antioxidant and Anti Inflammatory Properties of Buckwheat Honey. Journal of Wound Care. 17 (4), 172-178.
Bogdanov, S. (2010). Honey in medicine. Bee Product Science, 2(1), 1-23. Diperoleh melalui www.bee-hexagone.net tanggal 14 September 2013
Bowden, V .R., Dickey, S., & Greenberg, C.S. (2010). Children and their families: The continuum of care. Philadelphia:Saunders Company
Cancer Care Stovia. (2008). Best practice guidelines for the management of oral complication from cancer theapy. California: Nova Stovia Government. Diperoleh melalui www.cancercare.ns.ca tanggal 14 September 2013
Cooksley, V. (2006). Bad Breath, diperoleh dari
www.nursingmagazine.org.au tanggal 20 September 2013.
Dahlan, Sopiyudin. (2008). Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan, uji Hipotesis dengan Menggunakan SPSS Program 12 Jam. Depok : Bina Mitra Press
Dodd, M.J. (2004). The pathogenesis and and characterization of oral mucositis associated with cancer therapy. Oncology Nursing Forum, 31 (4), 5-12
Eilers, J. (2004). Nursing intervension and supportive car for the prevension and treatment of oral mukositis associated with cancer treatment. Oncology Nursing Forum,23(6), 13-28.
Evans, J., & Flavin S. (2008). Honey : A guide for healthcare professionals. British Journal of Nursing, 17 (15), 24-30
Garcia, M., & Caple, C. (2011). Oral Care of the Hospitalized Patients. In D. Pravikoff (Ed.), (pp. 2p). Glendale, California : Cinahl Information Systems
GKM (2013). Aplikasi Systemtic Oral Care Dengan Evaluasi Beck Oral Assessment Scale (Boas) Dalam Mencegah Kejadian Disfungsi Oral Pada Pasien Total Care Di Irna C Rsup Sanglah Denpasar. RSUP Sanglah Denpasar
Gralla, R.J., Houlihan, N.G., & Messner, C. (2010). Understanding and managing Chemotherapy side effect. New York: Cancer Care Connect.
Harris, D. J., Eilers, J., Harriman, A., Cashavelly, B. J., & Maxwell, C
(2008). Putting Evidence Into Practice: evidence-based
intervention for the management of oral mucositis. Clinical Journal Of Oncology Nursing, 12 (1), 141152.
Hockenberry, M..J., &Wilson, D. (2009). Wong’s essensial of pediatric nursing. (8th edition). Missouri:Mosby Company.
Jagathan, S.K & Mandal, M. (2009). Antiproliferativet effect and of its polyphenols : A review. Journal of Biomedicine and Biotechnology, 9, 1-13
Mansur, H. (2011). Psikologi Ibu dan Anak untuk Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika
Mottalebnejad, M., Akram, S., Moghadamina., Moulana, Z., & Omidi, S. (2008). The Effect of Topical Application of Pure Honey on Radiation-induced Mucositis: .A Randomized Clinical Trial. The Journal of Contemporary Dental Practice, 9(3), 1-9
National Cancer Institute. (2009). A snaspshot of pediatric cancer. Diperoleh melalui
http://www.cancer.gov/aboutnci/ser vingpeople/cancer-snapshot tanggal 8 September 2013.
NHS Foundation Trust. (2007). Evidence based mouth care policy. London: Doncaster and Bassetlaw Hospital Release. Diakses melalui www.dhb.nhs.uk tanggal 10 September 2013
Nurhidayah, Ikeu. (2012). Pengaruh Pemberian Tindakan Keperawatan Oral Care Dengan Madu Terhadap Mukositis Akibat Kemoterapi pada Pasien Kanker Nasofaring. Laporan Hasil Penelitian Tesis,
Program Pendidikan Pasca Sarjana Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 2011
Nurhidayatun. (2012). Uji Klinis
Randomasi : Pengaruh Perawatan Mulut Menggunakan Madu
Terhadap Perubahan Stadium Mukositis Pada Pasien Kanker. Laporan Hasil Penelitian Tesis, Program Pendidikan Pasca Sarjana Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 2012
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika.
Orsolic, N ., & Basic, I. (2004). Honey as a cancer prevdom entive agent. Periodicum Biology, 106 (4), 397401
Potter, A.G. & Perry, P.A. (2005). Fundamentala Keperawatan Konsep Proses dan Praktis. Edisi 4. Jakarta: 2005
Price, S.A. & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses –Proses Penyakit. Jakarta:EGC
Rashad, U.M., Al-Ghezawy, S.M., El-Ghezawy, E., & Azzaz, N.A. (2008). Honey as topical prophilaxis against
radiochemotherapy-induced mucositis in head and neck cancer. The Journal of Laringology & Otology, 123(1), 223-228
Setiadi. (2012). Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sonis , S. T., Elting, L.S Keefe, D., Schubert, M., Peterson, D.E., Hauer- Jensen, M., et al. (2004). Perspective on cancer therapy – induced mucosal injury: Pathogenesis, measurement, epidemiology and consequences for patient. Supplement to Cancer American Cancer Society, 100 (9), 95-120
Sugiyono. (2010). Metode penelitian pendidikan. Bandung . Alfabeta
Sukawana, I.W. (2008). Pengantar Statistik untuk Perawat. Denpasar : Poltekkes
Suratno, A. (2007). Terapi Madu. Jakarta: Penebar Plus
Susan, B. (2002). Perawat sebagai Pendidik : Prinsip – prinsip Pengajaran & Pembelajaran . Jakarta : EGC
Tomlinson, D., & Kline, N. E. (2005). Pediatric Oncology Nursing Advanced Clinical Handbook. Germany: Spinger.
Topic, B., & Arambisin. (2006). Oral Mucositis. Acta Medica
Academica, 35, 40-49.
UKCCSG-PONF. (2006). Mouth Care for Children and Young People with Cancer: Evidence-based
Guidelines, Guideline Report. UKCCSG-PONF Mouth Care Group
United Kingdom Lymphoma Association (2010). Mouth care during lymphoma treatment. Diperoleh melalui www.Lymphomas.org.uk tanggal 6 Juni 2014
Wong, D.L. (2008). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik . Edisi 4, Jakarta : EGC
Discussion and feedback