Buletin Veteriner Udayana                                                 Volume 15 No. 6: 1159-1169

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712                                                Desember 2023

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet        https://doi.org/10.24843/bulvet.2023.v15.i06.p15

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Cutaneous Sporotrikosis Tipe Kering pada Kucing Persia

(CUTANEOUS DRY TYPE OF SPOROTRICHOSIS IN PERSIAN CAT)

An’nisafitri Lutviana1, Putu Ayu Sisyawati Putriningsih2*, I Gusti Made Krisna Erawan2, Kadek Ari Dwipayanti3

  • 1Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Univeristas Udayana, Jl. P.B. Sudirman, Sanglah Denpasar, Bali, Indonesia;

  • 2Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Veteriner, Jl. P.B. Sudirman, Sanglah Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;

  • 3Sunset Vet Klinik, Pertokoan Nakula Plaza, Jalan Nakula, Legian, Bali, Indonesia. *Corresponding author email: [email protected]

Abstrak

Sporotrikosis adalah mikosis yang menginfeksi jaringan kulit dan subkutan yang bersifat kronis. Infeksi ini disebabkan oleh spesies patogen termodimorfik dari genus Sporothrix yang terdistribusi di seluruh dunia dan sering ditemukan pada daerah tropis dan subtropis. Penularan sporotrikosis dapat terjadi melalui cakaran, gigitan, atau kontak langsung kulit yang terluka dengan eksudat kucing yang sakit atau secara langsung dari lingkungan yang terkontaminasi baik tanah, tanaman, dan bahan tanaman yang membusuk. Sportrikosis merupakan penyakit zoonosis, sehingga harus dideteksi dan diberikan pengobatan secepatnya supaya tidak menular baik ke hewan lainnya ataupun ke manusia. Seekor kucing Persia jantan berumur tiga tahun, berwarna abu-abu dengan bobot badan 3,2 kg dilaporkan dengan keluhan banyak ketombe di seluruh tubuhnya. Pada pemeriksaan fisik kulit dan rambut ditemukan banyak skuama di seluruh bagian tubuh, terdapat alopesia dan krusta pada bagian lateral cervicalis dan sinistra dan pada bagian dorsal. Pada pemeriksaan penunjang menggunakan tape acetate preparation yang dilanjutkan dengan pemeriksan sitologi ditemukan spora Sporothrix spp. Kucing kasus didiagnosis menderita sporotrikosis dengan prognosis fausta. Sporotrikosis pada kucing kasus memiliki bentuk klinis cutaneous dengan tipe lesi yang bersifat kering. Terapi yang diberikan yaitu griseofulvin tablet 500 mg dengan dosis 50 mg/kg BB diberikan sebanyak satu kali sehari selama 21 hari secara per oral, ivermectin injeksi (10 mg/mL) dengan dosis 0,4 mg/kg BB secara subcutan. Selamectin (spot on) dengan kandungan 0,75 mL (45 mg) diteteskan pada tengkuk satu minggu pascainjeksi ivermectin, kemudian disarankan untuk memotong pendek rambut kucing, dan memandikan kucing menggunakan medicated shampoo satu kali seminggu. Perkembangan hasil terapi pada hari ke-18 pengobatan menunjukkan adanya pertumbuhan rambut pada lesi alopesia dan krusta pada bagian lateral cervicalis dan sinistra dan bagian dorsal, akan tetapi masih ditemukan adanya skuama pada rambut di seluruh bagian tubuh, sehingga terapi harus diperpanjang dan diresepkan obat yang memiliki efektivitas lebih tinggi dibanding obat sebelumnya yaitu itraconazole. Penanganan sporotrikosis membutuhkan jangka waktu yang lama dan pengobatan yang rutin serta perlu dilakukan medical check up rutin untuk mengetahui perkembangannya.

Kata kunci: kucing; skuama; sporotrikosis; tipe kering.

Abstract

Sporotrichosis is a mycosis that infects skin and subcutaneous tissue that is chronic. This infection is caused by thermodimorphic pathogenic species of the genus Sporothrix which are distributed worldwide and are often found in tropical and subtropical regions. Transmission of sporotrichosis can occur through scratching, biting, or direct contact of injured skin with the exudate of a sick cat or directly from an environment that is contaminated either soil, plants, and decaying plant material. Sportricosis is a zoonotic disease, so it must be detected and given treatment as soon as possible so that it does not spread to other animals or to humans. A three-year-old, gray male Persian cat with a body

weight of 3.2 kg was reported with a lot of dandruff all over his body. On physical examination of the skin and hair, many scales were found in all parts of the body, there was alopecia and crusts on the lateral cervical and left sides and on the dorsal side. On supporting examination using tape acetate preparation followed by cytological examination, Sporothrix spp. spores were found. The case cat was diagnosed with sporotrichosis with a fausta prognosis. Sporotrichosis in cat cases has a cutaneous clinical form with a dry lesion type. The therapy given was griseofulvin tablets 500 mg at a dose of 50 mg/kg BW administered once a day for 21 days orally, ivermectin injection (10 mg/mL) at a dose of 0.4 mg/kg BW subcutaneously. Selamectin (spot on) containing 0.75 mL (45 mg) is dripped on the nape of the neck one week after ivermectin injection, then it is recommended to cut the cat's hair short, and bathe the cat using medicated shampoo once a week. The development of the results of therapy on the 18th day of treatment showed hair growth in alopecia and crustal lesions on the lateral cervical and left and dorsal parts, but there was still scaly hair on all parts of the body, so therapy had to be extended and prescribed drugs that had higher effectiveness than the previous drug, namely itraconazole. Management of sporotrichosis requires a long period of time and routine treatment and it is necessary to carry out routine medical check-ups to determine progress.

Keywords: cat; dry type; sporotrichosis; squama.

PENDAHULUAN

Sporotrikosis merupakan infeksi mikosis yang disebabkan oleh spesies patogen termodimorfik dari genus Sporothrix. Genus tersebut diklasifikasikan pada kingdom fungi, divisi Ascomycota, kelas Pyrenomycetes, ordo Ophiostomatales, family Ophiostomataceae dan terdiri atas beberapa spesies yaitu Sporothrix schenckii, Sporothrix brasiliensis, Sporothrix globose, dan Sporothrix luriei (Silvia et al, 2015; Miranda et al., 2018; Han dan Rui, 2021). Sporotrikosis menginfeksi jaringan kutan atau subkutan dan bersifat kronis. Infeksi tersebut terdistribusi di seluruh dunia dan sering ditemukan pada daerah tropis, subtropis, pada daerah dengan kelembapan tinggi, dan pada suhu 25-28 ºC. Penularan terjadi melalui luka trauma yang diinokulasi Sporothrix spp. secara langsung dari lingkungan yang terkontaminasi baik tanah, tanaman, dan bahan tanaman yang membusuk. Sportohrix spp. setelah inokulasi ke dalam tubuh hewan, mengubah dirinya menjadi bentuk yeast yang ditandai dengan bentuk bulat, oval, atau cerutu, lebar 3-5 μm, dan panjang 5-9 μm (Duangkaew et al., 2019; Han dan Rui, 2021).

Sporothrix spp. hidup dalam bentuk hifa atau miselium pada suhu lingkungan di bawah 37ºC dan berbentuk yeast pada suhu

tubuh (Lloret et al., 2013). Potensi zoonosis sporotrikosis, terutama dari kucing ke manusia merupakan wabah serius di berbagai negara. Penularan sporotrikosis dari hewan ke hewan atau hewan ke manusia dapat terjadi melalui cakaran, gigitan, atau kontak langsung kulit yang terluka dengan eksudat dari kucing yang sakit (Miranda et al, 2018; Duangkaew et al., 2019). Masa inkubasi sporotrikosis dengan onset yang terjadi dalam tiga sampai tiga puluh hari pasca terpapar, meskipun dapat berjalan selama berbulan-bulan (Rossow et al., 2020).

Sporotrikosis pada kucing memiliki berbagai bentuk klinis, seperti cutaneous, cutaneolymphatic, dan disseminated cutaneous atau sistemik. Bentuk cutaneus, terdapat beberapa ulser, krusta, dan nodul, serta abses atau selulitis pada bagian kepala, anggota tubuh, dan daerah pangkal ekor, yang mencerminkan area umum terjadinya cakaran dan gigitan yang terkontaminasi pada saat perkelahian. Sporotrikosis pada kucing paling sering terjadi pada kucing dewasa muda, dipelihara dengan cara dilepaskan, dan kucing jantan yang tidak dikastrasi tanpa dipengaruhi breed tertentu. Penyebaran lesi bentuk cutaneous dapat menyebar ke anggota tubuh lainnya saat kucing menjilati tubuhnya (Llroret et al., 2013; Rossow et al., 2020; Han dan Rui, 2021; Martinez-Herrera et al., 2021). Dalam beberapa kasus

lesi cutaneus dapat menjadi nekrotik, memperlihatkan jaringan di bawahnya.

Pada bentuk cutaneolymphatic, terdapat papula, nodul atau abses dengan lesi multifokal dan infeksi menyebar pada daerah limfatik disertai terjadinya limpadenopati. Namun, terdapat laporan bahwa keterlibatan sistem limfatik tidak dapat dibuktikan secara klinis, tetapi dapat ditunjukkan secara histologis, biopsi, atau nekropsi (Llroret et al., 2013; Duangkaew et al., 2019). Pada bentuk disseminated cutaneous, banyak organ mungkin terpengaruh, termasuk paru-paru dan hati. Bentuk ini dapat terjadi melalui penyebaran secara hematogen setelah terjadinya infeksi primer pada sistem pernapasan. Adanya riwayat lethargi, depresi, anoreksia, dan demam pada kucing lebih mendominasi terjadinya sporotrikosis bentuk disseminated (Rossow et al., 2020). Pada bentuk ini, fungi dapat dikultur dari darah. Tanda klinis yang berkaitan dengan pernapasan terjadi pada sepertiga kasus sporotrikosis dan paling sering terjadi pada bentuk selain cutaneous. Bersin pernah dilaporkan pada kucing yang terinfeksi, fungi diisolasi melalui mukosa hidung (Llroret et al., 2013). Dilaporkan pada bentuk disseminated cutaneous, secara histopatologi pada organ integumentum kucing terjadi adanya inflamasi granulomatosa, nekrosis, dan koloni fungi yang dikelilingi foreign body giant cell (Maharani et al., 2020). Schubach et al. (2008) menyatakan bahwa bentuk disseminated atau sistemik ditunjukkan dengan deteksi Sporothrix spp. di berbagai organ yang diperoleh dari kucing yang dinekropsi. Pada hewan-hewan tersebut, tanda-tanda pernapasan terkait dengan adanya pneumonia interstitial dan edema alveolar. Namun, terdapat beberapa peneliti menyatakan bahwa frekuensi tinggi sporotrikosis disebabkan tanpa imunosupresi yang jelas, mendukung asumsi bahwa sporotrikosis berkembang dengan cara yang aneh pada kucing (Schubach et al., 2004; Han dan Rui, 2021). Abnormalitas darah seperti anemia,

leukositosis, neutrofilia, hiperglobulinemia, dan hipoalbuminemia yang dilaporkan pada kucing dengan sporotrikosis tidak spesifik dan sesuai dengan kondisi inflamasi kronis (Llroret et al., 2013).

Metode diagnosis awal pada sporotrikosis dapat menggunakan sitologi. Meskipun kultur fungi merupakan standar referensi untuk mendiagnosis sporotrikosis pada kucing, dalam beberapa kasus, metode ini memperlambat dalam melakukan pengobatan antifungal karena waktu yang dibutuhkan untuk mengisolasi jamur. Dibandingkan dengan metode kultur jamur dan pemeriksaan histopatologi, metode sitologi sederhana untuk dilakukan, murah, dan memberikan hasil cepat. Selain akurasi sitologi dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, hasil positif dapat memungkinkan pengobatan lebih awal sehingga penyembuhan klinis dan mengurangi risiko penularan sporotrikosis ke manusia dan hewan lainnya (Silvia et al., 2015). Metode diagnosis dan alat lainnya yang dapat digunakan yaitu histopatologi, serologi, dan polymerase chain reaction (PCR) (Silvia et al., 2022).

Pengobatan pada kucing sporotrikosis membutuhkan kerjasama dari pemilik karena dibutuhkan waktu beberapa minggu sampai berbulan-bulan dan harus dilanjutkan setidaknya selama satu bulan setelah penyembuhan klinis. Pengobatan penyakit ini membutuhkan biaya yang tinggi dan risiko tinggi penularan zoonosis. Pilihan pengobatan pada kucing sporotrikosis dapat menggunakan kalium iodide, azoles (ketoconazole dan itraconazole), amfoterisin B, dan terbinafine (Schubach et al., 2008; Han dan Rui, 2021). Tujuan penulisan artikel ini adalah memberikan informasi mengenai sporotrikosis pada kucing persia.

METODE PENELITIAN

Anamnesis dan Sinyalemen

Seekor kucing ras persia-long hair bernama Rocky, berjenis kelamin jantan, berumur tiga tahun, berwarna abu-abu

dengan bobot badan 3,2 kg dilaporkan dengan keluhan banyak ketombe di seluruh tubuhnya. Delapan belas kucing yang terdapat di rumah pemilik memiliki keluhan yang sama. Namun, kucing kasus memiliki gejala paling parah dibanding yang lainnya. Menurut pemilik, kucing-kucingnya memiliki banyak ketombe selama tiga bulan terakhir. Ventilasi ruangan kucing sebelumnya tidak menggunakan pendingin ruangan, kemudian setelah kucing memiliki banyak ketombe, pemilik menggunakan pendingin ruangan pada malam hari. Pada siang hari, pendingin ruangan dimatikan dan jendela pada ruangan tersebut dibuka. Nasfu makan dan minum normal. Pakan yang diberikan berupa dry food royal canin. Kucing dimandikan oleh groomer, rutin satu bulan satu kali menggunakan sebasol medicated wash. Riwayat obat cacing dan vaksinasi lengkap serta belum pernah dilakukan kastrasi. Kucing berada di kandang dalam ruangan, satu kandang terdapat dua ekor kucing. Lingkungan sekitar ruangan kandang kucing terdapat lahan tanah yang sesekali kucing bermain keluar.

Pemeriksaan Fisik

Metode pemeriksaan fisik yang digunakan pada kucing kasus meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi yang dilakukan untuk mengetahui status praesens dan kondisi setiap sistem yang terdapat dalam tubuh kucing kasus.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membantu dalam peneguhan diagnosis adalah sebagai berikut:

Pemeriksaan Skin Scraping

Pemeriksaan skin scraping dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi ektoparasit seperti tungau Cheyletiella spp, Sarcoptes, Notoedres cati, dan Demodex spp. Pengerokan kulit dilakukan pada bagian superfisial jaringan kulit menggunakan scapel. Kemudian hasil kerokan diletakkan pada object glass yang sudah ditetesi KOH. Lalu dilakukan pengamatan di bawah mikroskop.

Pemeriksaan Sitologi

Pemeriksaan sitologi dilakukan menggunakan metode tape acetate preparation pada daerah perbatasan lesi krusta dengan daerah rambut yang sehat. Kemudian dilakukan fiksasi menggunakan methanol, lalu pewarnaan dengan eosin, dan methylene blue. Kemudian dibilas dengan air keran mengalir kecil dan pelan, selanjutnya dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 100X.

Diagnosis dan Prognosis

Diagnosis kucing kasus diperoleh berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan diteguhkan dengan pemeriksaan penunjang seperti sitologi. Kucing kasus didiagnosis mengalami sporotrikosis dengan prognosis fausta.

Pengobatan

Terapi yang diberikan pada kucing kasus yaitu griseofulvin sebagai antifungal (Griseofulvin®, PT. Pharma Laboratories, Bekasi, Indonesia) dengan dosis 50 mg/kg BB sebanyak satu kali sehari selama 21 hari per oral. Ivermectin injeksi (Intermectin®, PT. Tekad Mandiri Citra, Bandung, Indonesia) diberikan karena adanya indikasi infeksi ektoparasit dengan dosis 0,4 mg/kg BB secara subkutan dan pemberian selamectin dengan kandungan 0,75 mL (45 mg) (Revolution®, Zoetis Inc, Kalamazoo, Michigan) setelah satu minggu dari hari pemeriksaan dengan cara meneteskan obat tersebut pada daerah tengkuk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pemeriksaan Fisik

Berdasarkan pemeriksaan fisik, kucing memiliki tingkah laku yang aktif dan senang bermain. Status praesens seperti frekuensi denyut jantung, pulsus, dan respirasi dalam rentang normal. Suhu 38,1 ºC, capillary refill time (CRT) <2 detik, turgor kulit normal dan mukosa berwarna merah muda. Pada kulit dan rambut

ditemukan banyak skuama, terjadi alopesia dan krusta pada bagian lateral cervicalis dan sinistra dan pada bagian dorsal. Sistem respirasi, sirkulasi, digesti, urogenital, saraf, musculoskeletal, dan limfonodus dalam keadaan normal.

Pemeriksaan Skin Scraping

Pada pemeriksaan skin scraping di bawah mikroskop tidak ditemukan adanya ektoparasit.

Pemeriksaan Sitologi

Dari hasil pemeriksaan sitologi ditemukan adanya banyak bentukan seperti spora berbentuk cerutu, oval atau bulat dengan nukleus bulat merah muda dikelilingi sitoplasma berwarna biru dan dinding sel yang tidak berwarna di media ekstraseluler (Gambar 2). Menurut Silvia et al., (2015) morfologi tersebut menunjukkan Sporothrix spp.

Perkembangan Selama Terapi

Pada pengobatan pertama menggunakan griseofulvin selama 21 hari, pada hari ke-18 krusta dan alopesia pada bagian lateral cervicalis et sinistra dan bagian dorsal kucing kasus mengalami perubahan yang baik, akan tetapi masih banyak skuama yang ditemukan pada rambut di seluruh bagian tubuh kucing. Setelah 1,5 bulan, dilakukan pemeriksaan kembali dengan melakukan palpasi dan masih terdapat skuama pada rambut di seluruh bagian tubuh kucing kasus, namun jumlahnya sudah berkurang dibanding sebelumnya (Gambar 4). Kemudian dilakukan pemeriksaan sitologi menggunakan metode tape acetate preparation pada lesi skuama. Hasil yang ditemukan di bawah pengamatan mikroskop dengan perbesaran objektif 100X menunjukkan masih ditemukan adanya spora Sporothrix spp. pada kucing kasus, akan tetapi hasilnya kurang jelas dibanding sitologi sebelumnya. Setelah hasil sitologi menunjukkan masih adanya spora Sporothrix spp. dan klinis skuama belum tuntas, kucing kasus diberikan pengobatan kembali menggunakan itraconazole dengan sediaan 100 mg

(Itraconazole®, PT. Bernofarm, Sidoarjo, Indonesia) dengan dosis 5 mg/kg BB satu kali dalam sehari selama 21 hari. Perkembangan lesi setelah dilakukan pengobatan menggunakan obat itraconazole yang telah dikonfirmasi dari pemilik, kucing kasus dinyatakan mengalami perbaikan klinis dan tidak menunjukkan lesi seperti skuama, alopesia, serta krusta seperti sebelumnya. Namun, setelah kurang lebih 1-2 bulan dinyatakan sembuh, pemilik melaporkan bahwa kucing tersebut kembali mengalami kekambuhan.

Pembahasan

Kucing kasus dilaporkan dengan keluhan banyak ketombe di seluruh tubuhnya. Pada pemeriksaan klinis ditemukan banyak skuama pada kulit dan rambut, terjadi alopesia dan krusta pada bagian lateral cervicalis dan sinistra dan pada bagian dorsal. Tidak ditemukan adanya ektoparasit pada pemeriksaan skin scraping di bawah mikroskop. Pada pemeriksaan sitologiditemukan adanya spora berbentuk cerutu, oval atau bulat dengan nukleus bulat merah muda dikelilingi sitoplasma berwarna biru dan dinding sel yang tidak berwarna di media ekstraseluler (Gambar 2). Menurut Silvia et al., (2015) morfologi tersebut menunjukkan Sporothrix spp. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, kucing kasus didiagnosis menderita sporotrikosis dengan prognosis fausta.

Gonsales et al. (2020) menyatakan bahwa terdapat dua tipe lesi kucing yang terinfeksi sporotrikosis yaitu basah dan kering. Tipe basah umum ditemukan pada sebagian besar kasus sporotrikosis sedangkan pada tipe kering jarang ditemukan. Namun, sampai saat ini belum terdapat studi yang membahas tanda klinis yang pasti pada kasus sporotrikosis dengan tipe lesi kering. Sporotrikosis memiliki tiga bentuk klinis yaitu cutaneous, cutaneolymphatic, dan disseminated cutaneous atau sistemik (Llroret et al., 2013). Berdasarkan karakteristik lesi klinis, sporotrikosis pada kucing kasus merupakan

jenis cutaneous dengan lesi kering yang jarang ditemukan. Menurut Llroret et al. (2013) sporotrikosis bentuk cutaneus, terdapat beberapa ulser, krusta, dan nodul, serta abses atau selulitis pada bagian kepala, anggota tubuh, dan daerah pangkal ekor, yang mencerminkan area umum terjadinya cakaran dan gigitan yang terkontaminasi pada saat perkelahian. Akan tetapi, lesi pada kucing kasus hanya berupa krusta dan bersifat kering, tidak terdapat nodul, ulser, abses atau selulitis yang bersifat basah seperti pada kasus sporotrikosis pada umumnya.

Miranda et al. (2013; 2015) dan Souza et al. (2018) mengamati bahwa pada

kucing, respon imun yang berbeda menentukan intensitas infeksi jamur pada lesi kulit sporotrikosis. Kucing kasus diduga memiliki respon imun yang baik sehingga dapat mengatasi infeksi sporotrikosis ini dengan baik dan hanya memunculkan klinis berupa skuama, krusta, dan alopesia yang tidak terlalu parah. Lesi tersebut umum ditemukan pada penyakit kulit lainnya sehingga terdapat kecurigaan bahwa terjadinya infeksi ektoparasit yang dapat disebabkan oleh tungau Cheyletiella spp., Sarcoptes scabei, Notoedres cati, Demodex cati, ataupun terjadinya dermatofitosis yang disebabkan oleh jamur dermatofita seperti Microporum spp.,     Trychophyton     spp.,     dan

Epidermophyton spp., (Mueller et al., 2020; Behera et al., 2019; Ozukum et al., 2019; Frymus et al., 2013). Alopesia merupakan kondisi hilangnya sebagian atau keseluruhan rambut pada bagian tubuh yang disebabkan oleh adanya inflamasi pada folikel rambut yang dapat mengakibatkan rusaknya batang rambut dan kerontokan rambut (Scott et al., 2001). Skuama merupakan kumpulan fragmen pada stratum corneum yang bersifat longgar akibat adanya pembentukan sel pada lapisan tanduk (keratinisasi) secara berlebihan. Skuama pada mikosis diduga terjadi karena produk yang dihasilkan oleh fungi yang menginfeksi kulit mengganggu proses keratinisasi normal kulit berupa

peningkatan kecepatan regenerasi sel epidermis. Sedangkan krusta merupakan eksudat radang yang mengalami pengeringan pada permukaan kulit, seperti serum, darah, atau nanah, krusta juga seringkali bercampur dengan skuama (Blanco dan Gracia, 2008; Hargis dan Ginn, 2007; Kangle et al., 2006).

Faktor virulensi Sporothrix spp. mungkin terkait dengan manifestasi klinisnya, tetapi tidak diketahui secara pasti. Beberapa molekul dilaporkan sebagai faktor virulensi adalah glikoprotein, sekresi protein, vesikel ektraselluler, melanin, ergosterol peroxide, lipid, dan dimorfisme fungal. Molekul tersebut merupakan faktor virulensi Sporothrix    spp.    untuk

menghindari sistem pertahanan hospes (Garcia-Carnero et al., 2022; Garcia-Carnero et al., 2018; Orofino-Costa et al., 2017).

Transmisi inokulasi Sporothrix spp. pada jaringan kulit kucing kasus diduga diawali dengan adanya luka akibat cakaran oleh kucing lainnya dalam satu kandang. Kucing kasus merupakan kucing jantan dan belum pernah dikastrasi sehingga dalam satu kandang dapat terjadi perkelahian seperti terjadi cakaran dengan kuku kucing yang sudah terkontaminasi Sporothrix spp. dan menimbulkan luka pada kucing lain sehingga dapat terjadi inokulasi Sporothrix spp. dalam bentuk yeast. Sesuai dengan pernyataan Han dan Rui (2021) bahwa sporotrikosis pada kucing paling sering terjadi pada kucing dewasa muda dan kucing jantan yang tidak dikastrasi. Menurut Barros et al. (2011) dalam kasus sporotrikosis yang ditularkan oleh kucing, infeksi dapat terjadi melalui bentuk yeast dari Sporothrix spp. tanpa adanya riwayat cakaran atau gigitan. Dilaporkan pada penelitian tersebut bahwa bentuk yeast Sporotrix spp. dapat diisolasi dari kuku kucing yang terinfeksi sporotrikosis. Beberapa peneliti berpendapat bahwa kucing merupakan vektor terpenting dalam penularan sporotrikosis (Schubach et al., 2006). Infeksi sporotrikosis juga dapat dipengaruhi oleh kelembapan yang tinggi

dan suhu ruangan kandang kucing (Duangkaew et al., 2019). Menurut Lloret et al., (2013) Sporothrix spp. dalam bentuk hifa dan miselium dapat hidup pada suhu lingkungan di bawah 37ºC dan berbentuk yeast pada suhu tubuh. Suhu memiliki peran penting dalam menginduksi terjadinya transisi adaptasi morfologi Sporothrix spp. pada infeksi mamalia (Orofino-Costa et al., 2017). Dugaan kedua, mengarah pada alat-alat grooming yang digunakan oleh groomer panggilan. Alat-alat tersebut dapat saja terkontaminasi oleh Sporothrix spp. baik dari kucing lainnya yang menderita sporotrikosis ditempat lain ataupun alat groomer yang terkontaminasi oleh Sporothrix dari tanah. Namun, sampai pada saat ini belum terdapat laporan mengenai hal tersebut. Pada penelitian yang dilaporkan oleh Rabello et al., (2022) mengungkapkan bahwa pada tahun 2011, wabah sporotrikosis dilaporkan pernah terjadi di tambang emas di Afrika Selatan, di mana pasien terinfeksi oleh S. schenckii, sedangkan isolat lingkungan diidentifikasi sebagai S. mexicana. Terlepas dari perbedaan antar spesies, kemungkinan sumber infeksi adalah tanah yang terkontaminasi dan kayu yang tidak dirawat di tambang emas (Govender et al., 2015).

Pengobatan kausatif pada kucing kasus diberikan griseofulvin (Griseofulvin®, PT. Pharma Laboratories, Bekasi, Indonesia) dengan dosis 50 mg/kg BB, sekali sehari secara PO selama 21 hari. Griseofulvin merupakan antifungal yang dapat digunakan untuk kucing dan anjing untuk mengobati jamur yang menginfeksi jaringan kulit, rambut, dan kuku (Plumb dan Pharm, 2008). Griseofulvin memiliki efektivitas antifungal lebih tinggi dibanding fluconazole, namun lebih rendah dibanding itraconazole dan terbinafine (Moriello et al., 2017). Berdasarkan perkembangan kucing kasus yang masih mengalami skuama pada rambut di seluruh bagian tubuh, sehingga masih perlu dilakukan pengobatan dengan obat yang memiliki efektivitas yang lebih tinggi terhadap

sporotrikosis dibanding obat sebelumnya. Obat yang dapat digunakan yaitu itraconazole, amfoterisin B, atau terbinafine.     Setelah     1,5     bulan

pascapemberian     obat     antifungal

Griseofulvin, kucing kasus diberikan obat itraconazole      (Itraconazole®,      PT.

Bernofarm, Sidoarjo, Indonesia) dengan dosis 5 mg/kg BB, sekali sehari secara PO selama 21 hari. Itraconazole memiliki pengikatan protein yang sangat tinggi dan didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, terutama ke jaringan yang tinggi lipid (Plumb dan Pharm, 2008). Pengobatan harus dilakukan dalam waktu panjang sampai tidak ditemukan adanya lesi dan diperlukan observasi untuk melihat perkembangannya karena lesi pada kucing kasus ini bersifat kering dan berbeda pada kasus sporotrikosis lainnya dengan lesi yang terdapat ulser dan bersifat basah, kemudian pengobatan    dilanjutkan

setidaknya selama satu bulan setelah penyembuhan klinis. Pengobatan penyakit ini membutuhkan biaya yang tinggi dan risiko tinggi penularan zoonosis (Han dan Rui, 2021; Schubach et al., 2008). Terapi kausatif yang lainnya adalah pemberian ivermectin injeksi (Intermectin®, PT. Tekad Mandiri Citra, Bandung, Indonesia) sebagai antiparasit dengan dosis 0,4 mg/kg BB secara subkutan karena adanya indikasi infeksi ektoparasit, dilanjutkan dengan selamectin dengan kandungan 0,75 mL (45 mg) (Revolution®, Zoetis Inc, Kalamazoo, Michigan) yang diberikan seminggu setelah pemberian     ivermectin.     Diberikan

pengulangan selamectin dengan rentang satu minggu pasca pemberian ivermectin, karena ivermectin memiliki aksi ovosidal dan nimfasidal secara terbatas sehingga diperlukan pengulangan (Steer et al., 2009). Disarankan kepada pemilik untuk memandikan kucing satu kali dalam satu minggu menggunakan medicated wash.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat

disimpulkan kucing kasus mengalami sporotrikosis.     Setelah     pemberian

griseofulvin, ivermectin, selamectin, dan dimandikan menggunakan medicated wash lesi krusta sudah tidak ditemukan lagi dan terjadi pertumbuhan rambut pada bagian alopesia, tetapi masih ditemukan banyak skuama pada rambut di seluruh bagian tubuh kucing sehingga diberikan terapi kembali   menggunakan   itraconazole.

Setelah      diberikan      pengobatan

menggunakan itraconazole, kucing kasus mengalami perbaikan klinis, namun beberapa bulan kemudian terjadi kekambuhan.

Saran

Penanganan             sporotrikosis

membutuhkan jangka waktu yang lama dan pengobatan yang rutin serta perlu dilakukan medical check up rutin untuk mengetahui perkembangannya. Ruangan kandang kucing harus dijaga kebersihan dan kelembapannya untuk membantu proses penyembuhan. Disarankan kepada pemilik untuk memotong rambut untuk membantu mempercepat    penyembuhan    dan

mengurangi penyebaran infeksi, serta memandikan secara rutin satu kali seminggu   menggunakan medicated

shampoo.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada staf Laboratorium Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana dan Sunset Vet Clinic yang telah memfasilitasi, membimbing, dan membantu     dalam     penyelesaian

pemeriksaan, penanganan, serta penulisan artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Behera SK, Nirali S, Prasad H, Sarma K.

2019. An unusual case of Cheyletiellosis in a Persian cat and its therapeutic management. J. Parasit Dis. 43(3): 534-536.

Blanco JL, Garcia ME. 2008. Immune response to fungal infection. Vet. Immunol. Immunophatol. 125: 47-70.

Duangkaew L, Chompoonek Y, Orawan L, Charles C, Chaiyan K. 2019. Cutaneous sporotrichosis in a stray cat from Thailand. Med. Mycol. Case Rep. 23: 46-49.

Frymus T, Gruffy-Jones T, Pennisi MG, Addie D, Belak S, Corine B, Herman E, Katrin G, Magaret JH, Albert L, Hans L, Fulvio M, Karin M, Alan DR, Etienne T, Uwe T, Marian CH. 2013. DERMATOPHYTOSIS IN CATS. J. Feline Med. Surg. 15: 598-604.

Garcia-Carnero LC, Martinez-Alvarez JA. 2022. Review Virulence Factors of Sporothrix schenckii. J. Fungi 8(318): 3-12.

Garcia-Carnero LC, Perez NEL, Hernandez SEG, Jose AMA. 2018. Immunity and Treatment of Sporotrichosis. J. Fungi. 4(100): 1-14.

Gonsales FF, Fernandes NCCA, Mansho W, Montenegro H, Benites NR. 2020. Direct PCR of lesions suggestive of sporotrichosis in felines. Arquivo Bras. De Med. Vet. E Zoot. 72(5): 1-5.

Govender NP, Maphanga TG, Zulu TG, Patel J, Walaza S, Jacobs C. 2015. An Outbreak of Lymphocutaneous Sporotrichosis Among Mine- Workers in South Africa. PloS Negl. Trop. Dis. 9(9): e0004096.

Han HS, Rui K. 2021. Feline sporotrichosis in Asia. Braz.J. Microbiol. 52:  125

134.

Hargis AM, Ginn PE. 2007. The Integument. Dalam McGavin MD, Zachary JF. Pathologic Basis Vet. Disease. 4th ed. St. Louis Missouri: Mosby Elsevier. Pp. 1107-1262.

Kangle S, Amladi S, Sawant S. 2006. Scaly signs in Dermatol. Indian J. Dermatol. Venereol. Leprol. 72(2): 161-164.

Lloret A, Kartin H, Maria GP, Lluis F, Diane A, Sandor B, Corine B, Herman E, Tadeusz F, Tim G, Margaret JH, Han L, Fulvio M, Karin M, Alan DR, Etienne Thiry, Uwe T, Marian CH.

2013. SPOROTRICHOSIS IN CATS: ABCD guidelines on prevention and management. J. Feline Med. and Surgery 15: 619-623.

Maharani S, Alfarisa N, Yanuartono, Soedarmanto I. 2020. Laporan Kasus: Sporotrikosis pada Kucing Persia. Indon. Med. Vet. 9(5): 860-869.

Martinez-Herrera E, Roberto A, Rigoberto H, Maria GF, Carmen R. 2021. Uncommon Clinical Presentations of Sporotrichosis: A Two-Case Report. Pathogens J. 10(1249): 1-6.

Miranda LHM, Fatima C, Leonardo PQ, Bianca PK, Sandro AP, Tania MPS. 2013.      Feline      sporotrichosis:

Histopathological profile of cutaneous lesions and their correlation with clinical presentation. Comp. Immunol. Microbiol. Infect. Dis. 36: 425-432.

Miranda LHM, Marta AS, Tania MPS, Fernanda NM, Sandro AP, Raquel VCO, Fatima C. 2015. Severe feline sporotrichosis associated with an increased population of CD8low cells and a decrease in CD4+ cells. Med. Mycol. Adv. Access Pub. 00(00): 1-11.

Miranda LHM, Silvia JN, Isabella DFG, Menezes RC, Rodrigo A, Erica GR, Raquel VCO, Danuza SAA, Laerte F, Sandro AP. 2018. Monitoring Fungal Burden and Viability of Sporothrix spp. in Skin Lesions of Cats for Predicting Antifungal Treatment Response. J. Fungi. 4(92): 1-11.

Moriello KA, Kimberly C, Susan P, Bernard M. 2017. Diagnosis and treatment of dermatophytosis in dogs and cats. Clin. Consensus Guid. World Assoc. Vet. Dermatol. 28: 266-303.

Mueller RS, Rosenkrantz W, Bensignor E, Joanna K, Paterson T, Shiptone MA. 2020. Diagnosis and treatment of demodicosis in dogs and cats. Vet. Dermatol. 31: 4-25.

Orofino-Costa R, Rodrigues AM, Macedo PM, Bernardes-Engemann AR. 2017. Sporotrichosis:    an update on

epidemiology,       etiopathogenesis,

laboratory and clinical therapeutics. Anais Bras. Dermatol. 92(5): 606-618.

Ozukum S, Reihii J, Monsang SW. 2019. Clinical management of notoedric mange (Feline scabies) in domestic cats: A case report. The Pharma Innovation J. 8(3): 306-308.

Plumb DC dan Pharm D. 2008. Plumb’s Vet. Drug Handbook Sixth Edition. Stockholm: PharmaVet Inc. Pp. 441442, 508-510, 812.

Rabello VBS, Almeida-Silvia F, Scramignon-Costa BS, Motta BS, Macedo PM, Teixeira MM, Almeida-Paes R, Irinyi L, Meyer W, Zancope-Oliveira RM. 2022. Environmental Isolation of Sporothrix brasiliensis in an Area    with    Recurrent Feline

Sporotrichosis Cases. Front.   Cel.

Infect. Microbiol.12(894297): 1-7.

Rossow JA, Flavio Q, Diego HC, Karlyn DB, Brendan RJ, Jose GP, Isabella DFG, Sandro AP. 2020. A One Health Approach to Combatting Sporothrix brasiliensis: Narrative Review of an Emerging Zoonotic Fungal Pathogen in South America. J. Fungi. 6(247): 1-26.

Schubach A, Monica BLB, Bodo W. 2008. Epidemic sporotrichosis. Cur. Opinion Infect. Dis. 21: 129-133.

Schubach TM, Armando S, Thais O, Monica BLB, Fabiano BF, Tullia C, Paulo CF, Rosani SR, Mauricio AP, Bodo W. 2004. Evaluation of an epidemic of sporotrichosis in cats: 347 cases (1998–2001). J. Am. Vet. Med. 224(10): 1623-1629.

Schubach TMP, Armando S, Thais O, Monica BLB, Figueiredo B, Cuzzi T, Sandro AP, Isabele BDS, Rodrigo DAP, Luiz RDPL, Bodo W. 2006. Canine sporotrichosis in Rio de Janeiro, Brazil: clinical presentation, laboratory diagnosis and therapeutic response in 44 cases (1998/2003). Med. Mycol. 44: 87-92.

Scott DW, Miller WH, Griffin CE. 2001. Muller & Kirk’s Small Animal Dermatol. 6th ed. Philadelphia: WB Saunders. Hlm. 336-422.

Silvia FS, Simone CSC, Vanessa AM, Juliana SL, Ana MRF. 2022. Refractory feline sporotrichosis: a comparative analysis      on      the      clinical,

histopathological, and cytopathological aspects. Braz. J. Vet. Res. 42: 1-7.

Silvia JN,  Sonia RLP, Rodrigo CM,

Isabella DFG, Tania MPS, Jeferson CO, Anna  BFF,  Sandro AP.  2015.

Diagnostic accuracy assessment of cytopathological examination of feline

sporotrichosis. Med. Mycol. Adv. Access Pub. 00(00): 1-5.

Souza EW, Cintia MB, Sandro AP, Isabella DFG, Ingeborg ML, Manoel MEO, Raquel VCO, Camila RC, Rosely MZ, Luisa HMM, Rodrigo CM. 2018. Clinical features, fungal load, coinfections, histological skin changes, and itraconazole treatment response of cats with sporotrichosis caused by Sporothrix brasiliensis. Sci. Rep. 8(9074): 1-10.


Gambar 1. Gambar (A) menunjukkan alopesia dan krusta pada bagian lateral cervicalis dan sinistra, (B) terdapat alopesia dan krusta pada bagian dorsal, (C) terdapat skuama pada seluruh bagian tubuh.


Gambar 2. Gambar (A), (B), dan (C) menunjukkan adanya spora fungi Sporothrix spp. yang berbentuk cerutu, oval atau bulat dengan nukleus bulat merah muda dikelilingi sitoplasma berwarna biru dan dinding sel yang tidak berwarna di media ekstraseluler (Perbesaran 1000X, Pewarnaan Diff-Quick).

Gambar 3. Kondisi kucing kasus sporotrikosis setelah dilakukan pengobatan selama 18 hari, masih ditemukan adanya skuama pada rambut di seluruh bagian tubuh kucing kasus.

Gambar 4. Kondisi kucing kasus sporotrikosis 1,5 bulan pasca pengobatan menggunakan griseofulvin selama 21 hari, masih ditemukan adanya skuama pada rambut di seluruh bagian tubuh kucing kasus.

1169