Buletin Veteriner Udayana                                                            Volume 15 No. 5: 1012-1022

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712                                                            Oktober 2023

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet                    https://doi.org/10.24843/bulvet.2023.v15.i05.p38

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Analisis Limbah Sapi yang Berpotensi Mencemari Lingkungan dan Menularkan Penyakit pada Masyarakat

(ANALYSIS OF CATTLE WASTE WHICH HAS THE POTENTIAL TO CONTAMINATE THE ENVIRONMENT AND SPREAD DISEASES IN SOCIETY)

I Ketut Suada*, I Wayan Masa Tenaya

Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali, 80225 Indonesia.

*Corresponding author email: [email protected]

Abstrak

Limbah peternakan sapi merupakan suatu sumber pencemaran lingkungan dan sumber penularan penyakit pada masyarakat. Munculnya pencemaran lingkungan dari suatu peternakan lebih banyak disebabkan karena limbah peternakan tidak ditangani dengan baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis unsur pencemar dan potensi penyebaran penyakit ke masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode observasional dan purposive sampling yaitu sampel diambil dari empat kelompok ternak sapi tradisional Gianyar Selatan. Sebanyak satu liter sampel limbah diambil dari masing masing kelompok yang berbeda kemudian di bawa ke Laboratorium Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana untuk dianalisis. Kandungan Total Suspended Solid (TSS), Ammonia, Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), and Coliform with E. coli masing-masing dianalisis sesuai parameter uji menggunakan metode Gravimetric, Spectrophotometer, Winkler, titration-spectrophotometer, dan most probable number (MPN). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai TSS adalah 26,75 mg/L, amoniak 7,86 mg/L, BOD5 171,817 mg/L, COD 605,675 mg/L, pH 8,075, Coliform 22 jt/100ml, dan kuman E. coli 20 juta/100ml. Disimpulkan bahwa limbah sapi pada penelitian ini sangat berpotensi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan masyarakat karena mengandung zat zat kimia dan bakteri yang melampaui baku mutu yaitu parameter BOD5, COD, Coliform, dan E. coli. Dianjurkan untuk menangani limbah peternakan sapi dengan baik sesuai pedoman peternakan yang sehat untuk mengurangi pencemaran lingkungan dan ancaman kesehatan masyarakat.

Kata kunci: Limbah; peternakan sapi; pencemaran; purposif

Abstract

Cattle farm waste is a source of environmental pollution and a source of disease transmission in society. The emergence of environmental pollution from a farm is mostly caused by livestock waste not being handled properly. The aims of this study were to analyze pollutant elements and the potential for the spread of disease to the community. This study used observational and purposive sampling methods, namely cattle ranch waste samples taken from four traditional cattle groups in South Gianyar. A total of one liter of samples was collected from each group and brought to the Veterinary Public Health Laboratory, Udayana University for analysis. The content of Total Suspended Solid (TSS), Ammonia, Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Coliform and E. coli were analyzed using the methods of Gravimetric, Spectrophotometer, Winkler, Titration-spectrophotometer, and Most probable number (MPN) respectively. The results showed that the value of TSS were 26.75 mg/L, ammonia 7.86 mg/L, BOD5 171.817 mg/L, COD 605.675 mg/L, pH 8.075, Coliform 22 million/100 ml, and E. coli was 20 million/100ml. In conclusion, the cattle farm waste in the current study had the potential to cause environmental pollution and infectious disease to society, contained exceeded the quality standards parameters for BOD5, COD, Coliform, and E. Coli and the bacteria have a potential to cause infectious disease in the community. It was recommended to manage and treat the cattle waste properly based on the recommended breeding practice, to minimize its impact on the environment and public health.

Keywords: Cattle farming; pollution; purposive; waste

PENDAHULUAN

Isu pencemaran lingkungan oleh usaha peternakan tidak dapat dihindari. Pencemaran     lingkungan      sering

menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, terutama karena lokasi peternakan dekat dengan pemukiman. Namun dampak pencemaran lingkungan dapat diminimalisir jika usaha peternakan dikelola dengan baik. Selama ini banyak keluhan masyarakat akan dampak buruk dari kegiatan usaha peternakan, karena masyarakat peternak mengabaikan penanganan limbah usahanya, bahkan ada yang membuang limbah langsung ke sungai atau lingkungan (Lidyasanty et al., 2016).

Pengetahuan masyarakat peternak tentang dampak limbah masih tergolong rendah. Para peternak tidak tahu dan sebagian tidak mau tahu tentang kualitas limbah yang dihasilkan serta kelayakan pembuangan limbah dari hasil kegiatannya. Kebanyakan dari mereka berpikiran pragmatis yaitu membuang limbah ke saluran umum dianggap sudah aman dan memenuhi syarat (Peraturan Menteri LH 05 tahun 2014). Padahal hal ini belum tentu aman, dengan mengolah limbah terlebih dahulu agar pembuangan limbah ini tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan. Pencemaran yang terjadi akan menyebabkan menurunnya kesehatan lingkungan, dampak selanjutnya akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Merusak kondisi atau keadaan lingkungan yang optimal sehingga berpengaruh negatif terhadap terwujudnya status kesehatan masyarakat. Kesehatan lingkungan yang terkena dampak adalah sanitasi lingkungan yang terdiri dari air minum, kesehatan udara, bau, kenyamanan lingkungan perumahan (housing), keindahan/estetika lingkungan yang berada disekitar peternakan dan disepanjang aliran limbah dan pembuangan limbah (Widyastuti et al, 2013).

Sistem peternakan sapi yang ada di Bali sebagian besar merupakan kegiatan sambilan   atau sistem   peternakan

tradisional. Banyak peternak sapi yang

mengabaikan pengolahan limbah dari usahanya, serta secara langsung membuang limbah usahanya ke sungai, sehingga terjadi pencemaran lingkungan (Lidyasanty et al., 2016). Hal ini dikarenakan peternakan sapi yang tergolong tradisional ini belum menerapkan teknologi. Teknologi yang semestinya digunakan adalah teknologi pengolahan limbah. Limbah-limbah ini yang seharusnya memberikan nilai tambah justru menjadi sumber masalah bagi kesehatan lingkungan. Limbah akan menjadi sumber pencemar bagi sumberdaya air seperti air tanah dan air permukaan. Air tanah menjadi sumber air bersih bagi kebutuhan masyarakat yang berupa sumur gali dan sumur dalam. Sedangkan air permukaan dapat berupa air sungai, air danau dan air laut. Air sungai banyak digunakan untuk kegiatan pariwisata seperti rafting, air laut banyak digunakan untuk pariwisata dan mandi. Pencemaran ini sangat berdampak buruk terhadap lingkungan perairan. dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air (Irmayana et al., 2017).

Ekternalitas yang timbul dari peternakan sapi bersumber dari kotoran sapi yang dapat mengeluarkan gas bau sebagai pencemar udara, sumber mikroorganisme   yang mengganggu

kesehatan lingkungan. Peternakan sapi yang melebihi 20 ekor wajib untuk melakukan evaluasi dampak lingkungan. Didalam dokumen lingkungan tersebut terdapat arahan tentang pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Penelitian limbah peternakan sapi potong berdasarkan arahan tersebut dikatakan sebagai pemantauan sebelum limbah akan dibuang kesaluran umum atau badan perairan penerima (Widyastuti et al.,   2013). Secara

operasional limbah yang dihasilkan seharusnya di kelola di dalam IPAL, dan limbah yang dibuang keluar lingkungan peternakan seperti ke perairan umum wajib dipantau atau diuji mutunya. Pemantau lingkungan dilakukan secara berkala sesuai

arahan dari Dinas Lingkungan yang membidangi.

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 05 tahun 2014 pembuangan limbah usaha peternakan sapi harus memenuhi baku mutu. Untuk menilai kelayakan limbah peternakan sapi yang akan dibuang ke lingkungan, harus memenuhi kriteria baku mutu tersebut. Di dalam baku mutu tersebut ditentukan beberapa parameter yaitu; pH, Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Suspended Solid (TSS), dan NH3-N. Disamping itu, ada parameter penting yang tidak ada didalam peraturan Menteri tersebut yaitu parameter Coliform dan E. coli.

Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produsen di air. Pencemaran secara mikrobiologi dari air limbah peternakan sapi adalah berupa bakteri Coliform dan E. coli. Coliform dan E. coli adalah salah satu bakteri yang secara normal hidup dalam saluran pencernaan hewan dan banyak ditemukan dalam tinja. Bakteri Coliform dan E. coli merupakan bakteri indikator keberadaan bakteri patogen lain. Menurut Widyaningsih et al., (2016) makin sedikit kandungan Coliform, artinya kualitas air semakin baik.

Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Atima, 2015). Ditegaskan lagi oleh Paputungan et al. (2020), bahwa bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic matter). Hariyadi, 2004 mengartikan BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam limbah sebagai respon terhadap masuknya

bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertian pengertian ini dapat dikatakan bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable organics) yang ada di limbah. Sedangkan COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air (Andika et al, 2020). Bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat (Atima, 2015), sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang kompleks dan sulit urai, akan teroksidasi. Dengan demikian, selisih nilai antara COD dan BOD memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit urai yang ada pada limbah. Bisa saja nilai BOD sama dengan COD, tetapi BOD tidak bisa lebih besar dari COD. Jadi COD menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada.

Kegiatan pembuangan limbah usaha peternakan sapi belum mendapat pengawasan dari pihak yang terkait. Pengawasan yang perlu dilakukan adalah melakukan pemantauan secara berkala terhadap kualitas limbah yang dibuang. Diperlukan adanya data tentang parameterparameter pencemar yang terdapat pada limbah peternakan sapi, sehingga data ini dapat digunakan untuk menentukan kelayakan pembuangan dari limbah peternakan sapi tersebut.

METODE PENELITIAN

Materi Penelitian

Materi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi limbah peternakan sapi, sedangkan bahan lainnya adalah NaCl fisiologis 0,9 %, aquades, EMB (Eosin Methylene Blue Agar), BPW (Buffered Peptone Water) 1%, alkohol 70%.

Peralatan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; Spreader, pipet volume, lampu, pengaduk, batang pengaduk, gelas, kertas saring, timbangan analitik, corong, penjepit, mikropipet, cawan petri, pipet volum, oven, gelas ukur 100ml, botol sampel 1000 ml, autoclave, kamera dan botol Winkler.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan observasional dengan metode pengambilan sample secara purposif sampling dimana sampel penelitian ditentukan sesuai dengan tujuan penelitian penelitian yaitu peternakan sapi. Sampel limbah diambil dari 4 lokasi peternakan sapi tradional yaitu peternakan Samplangan, Bitra, Seronggo, Gunung Agung Gianyar

Metode Penelitian

ampel air limbah peternakan sapi diambil masing-masing sebanyak 1000 mL ditampung kedalam botol sampel 1000 mL. Selanjutnya dilakukan uji masing-masing:

Penulisan metode penelitian sebaiknya diurutkan agar terlihat jelas sequennya seperti pada abstrak (dari kandungan Total Suspended Solid (TSS), Ammonia, Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), s/d pengujian Coliform with E) Teknik penghitungan bakteri Coliform dan E. coli menggunakan metode most probable number (MPN). Dilakukan pengenceran secara desimal, kemudian dari masing-masing pengenceran dimasukkan 1 ml ke dalam tabung yang berisi Nutrient Broth. Untuk setiap pengenceran digunakan tiga seri tabung. Setelah dinkubasikan pada suhu 35OC selama 24 jam, dilihat tabung yang positif yaitu tabung yang ditumbuhi mikroba yang ditandai dengan timbulnya kekeruhan. Nilai MPN diperoleh dari mencocokan dengan tabel nilai MPN.

MPN count = Nilai MPN x 1/pengenceran tabung yang ditengah

Pengukuran pH, pH dari limbah diuji secara in-situ yaitu pengujian pH di lokasi pengambilan sampel menggunakan pH meter digital.

Pengukuran BOD, sampel limbah dimasukan ke dalam tabung Winkler yang telah berisi larutan pengencer jenuh oksigen yang ditambahkan larutan nutrisi dan bibit mikroba, kemudian inkubasikan dalam ruang gelap pada suhu 20OC selama 5 hari. Nilai BOD dihitung berdasarkan selisih oksigen larutan nol hari dengan larutan 5 hari.

Pengukuran COD, zat organik dioksidasi dengan campuran mendidih asam sulfat dan kalium dikromat yang diketahui normalitasnya dalam suatu refluk selama 2 jam. Kelebihan kalium dikromat yang tidak tereduksi, dititrasi dengan larutan ferro ammonium sulfat (FAS). Senyawa organik dan anorganik, terutama organik dalam contoh uji dioksidasi oleh Cr2O72- dalam refluks tertutup menghasilkan Cr3+. Jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam ekuivalen oksigen (O2 mg/L) diukur secara spektrofotometri sinar tampak. Cr2O72- kuat mengabsorpsi pada panjang gelombang 420 nm dan Cr3+ kuat mengabsorpsi pada panjang gelombang 600 nm.

Uji NH3-N, dipindahkan sebanyak 25 ml sampel ke dalam tabung dengan volume 50 ml, kemudian ditambahkan 1 ml larutan fenol dan dihomogenkan, ditambahkan larutan sodium nitroprusida dan dihomogenkan, setelah itu ditambahkan larutan pengoksida dan dihomogenkan kembali, tabung volume ditutup dan dibiarkan dalam ruang gelap selama 1 jam untuk pembentukan warna. Larutan dimasukan ke dalam kuvet alat spektrofotometer, dibaca dan dicatat serapan pada panjang gelombang 640 nm.

Anaslisa Total Suspended Solid, analisa TSS dalam penilitian ini menggunakan prinsip kerja metode gravimetric (SNI-06-6989.3-2004) yakni, sampel yang telah homogen disaring dengan kertas saring yang telah ditimbang. Residu yang tertahan pada saringan dikeringkan sampai

mencapai berat konstan pada suhu 103ºC sampai dengan 105ºC. Kenaikan berat saringan mewakili padatan tersuspensi total (TSS). Jika padatan tersuspensi menghambat saringan dan memperlama penyaringan, diameter pori-pori saringan perlu diperbesar atau mengurangi volume.

mg TTS per liter =


(A - B)x1000 Vol. uji, mL

Keterangan:

A : berat kertas saring + residu kering, mg;

B : berat kertas saring, mg.

Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini ditabulasi, selanjutnya dibandingkan dengan baku mutu dan dibahas secara deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengambilan sampel limbah peternakan sapi dilakukan di empat lokasi yaitu lokasi peternakan Samplangan, Bitra, Seronggo, Gunung Agung Gianyar. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap unsur pencemar dan dilakukan komparasi dengan baku mutu berdasarkan peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 05 tahun 2014 serta Pergub Bali No. 16 tahun 2016. Data hasil analisis parameter pencemar dari limbah sapi adalah seperti Tabel 1 di bawah ini.

Total Suspended Solid

Nilai TSS yang diperoleh pada penelitian ini berada dibawah baku mutu limbah untuk peternakan sapi Permen.LH No. 05 Tahun 2014, dimana baku mutu TSS limbah peternakan sapi maksimum 100 mg/L sedangkan rata-rata nilai TSS yang diperoleh adalah 26,75 mg/l (Tabel 1). Total Suspended Solid merupakan padatan yang terkandung dalam air dan bukan merupakan larutan, bahan ini dibedakan dari padatan terlarut berdasarkan ukurannya. Total Suspended Solid (TSS) sering menyebabkan warna pada air istilah ini disebut dengan false colour yaitu warna palsu, karena ketika air tersebut disaring maka pada bagian supernatannya merupakan warna asli (true colour). Total

Supended Solid ini disebabkan karena banyaknya zat-zat organik dan anorganik yang terkandung di dalam limbah peternakan sapi tersebut, sehingga perlu dilakukan penanganan lanjutan. TSS adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2µ atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Total Suspended Solid terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan sebagainya (Nasution, 2008). Total Suspended Solid berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi oksigen di suatu perairan (Tarigan dan Edward, 2003). Parameter padatan tersuspensi menjadi salah satu parameter fisik yang penting untuk menentukan kondisi awal lingkungan (Siswanto, 2011), sehingga seringkali dijadikan indikator awal kondisi lingkungan. Kadar TSS yang tinggi dalam perairan menyebabkan cahaya matahari sulit masuk ke dalam air, sehingga akan terjadi penurunan proses fisiologis seperti fotosintesis, respirasi organisme akuatik (Sari et al, 2018).

Amonia (NH3-N)

Berdasarkan hasil penelitian, kadar amonia dalam limbah diperoleh hasil rataan 7,86 mg/L (Tabel 1) sehingga masih memenuhi syarat PerMenLH No. 05 Tahun 2014 yaitu baku mutu amonia dalam limbah peternakan sapi adalah 25 mg/L. Amonia merupakan racun bagi manusia. Pada manusia, resiko dari amonia diantaranya iritasi pada kulit, mata dan saluran pernafasan. Pada tingkat yang sangat tinggi, penghirupan uap amonia sangat bersifat fatal. Jika terlarut di perairan akan menyebabkan keracunan bagi hampir semua organisme perairan (Murti et al, 2014). Dengan demikian diperlukan adanya pemeriksaan senyawa amonia dalam limbah peternakan sapi yang akan dibuang ke sungai (Azizah dan Humairoh, 2015). Amonia yang terkandung dalam limbah sapi ini berasal dari proses amonifikasi dari

dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Kartika et al, 2019). Jika limbah peternakan sapi ini dialirkan ke perairan umum seperti sungai, akan mempengaruhi kadar amonia perairan tersebut. Menurut Maria dan Ahmad, (2017) amonia dapat bersifat racun pada manusia jika jumlah yang masuk ke dalam tubuh melebihi jumlah yang dapat didetoksifikasi oleh tubuh yakni tidak lebih dari 100 mg/kg setiap hari (33,7 mg ion amoni per kg berat badan per hari) yang dapat mempengaruhi metabolisme     dengan     mengubah

keseimbangan asam-basa dalam tubuh. Selain itu amonia dengan konsentrasi 130200 mg/L dalam bentuk gas bersifat mengiritasi kulit, mata dan saluran pernafasan. Pada konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 400-700 ppm dapat mengakibatkan kerusakan permanen akibat iritasi pada organ mata dan pernafasan (Gova, 2018). Pembuangan limbah ternak yang banyak mengandung amonia ke dalam sungai akan menyebabkan penurunan kandungan oksigen telarut dalam badan air, disebabkan oksigen yang ada digunakan pada proses nitrifikasi NH3-N. Organisme dalam badan air akan kekurangan oksigen lebih lanjut akan mengalami kematian.

Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Hasil pemeriksaan BOD pada saluran limbah dari peternakan sapi sebanyak empat titik didapatkan hasil rataan sebesar 171,817 mg/L (Tabel 1), sebagian besar telah melampaui baku mutu PerMenLH no. 05 tahun 2014, kecuali lokasi IV. Standar BOD pada PerMenLH Nomor 05 tahun 2014 adalah sebesar 100 mg/L. Kebutuhan Oksigen Biokimia atau Biochemical Oxygen Demand disingkat BOD adalah analisis empiris untuk mengukur proses-proses biologis (khususnya aktivitas mikroorganisme yang berlangsung di dalam air (Paputungan et al, 2020). Nilai BOD merupakan suatu pendekatan umum yang menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan zat organik terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi di dalam air. Di dalam pemantauan kualitas

air, BOD merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran air (Hariyadi, 2004)

Nampak bahwa walaupun BOD dipakai sebagai parameter baku mutu air limbah, tetapi di dalam limbah keberadaannya adalah bersama-sama dengan dua atau lebih parameter lain yang menjadi parameter kunci dari kualitas air limbah kegiatan peternakan sapi. Ini berarti, bukan hanya BOD yang menjadi penentu pencemaran air limbah, tetapi kesemua parameter yang menjadi baku mutu air limbah dari kegiatan yang bersangkutan. Dengan demikian, bila misalnya nilai BOD suatu perairan masih normal atau memenuhi baku mutu, belum dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi pencemaran, bila parameter kunci lainnya tidak diketahui. Karena bila parameter lainnya telah meningkat dan melebihi baku mutu, maka berarti ada indikasi pencemaran di perairan (Atima, 2015), nilai BOD bisa jadi rendah atau masih memenuhi baku mutu, padahal dalam air atau perairan tersebut terkandung bahan beracun atau air telah tercemar. Sebaliknya, bila nilai BOD telah cukup tinggi dan melebihi baku mutu, maka sudah dapat diduga ada indikasi pencemaran bahan organik.

Chemical Oxygen Demand (COD)

Baku mutu limbah peternakan sapi untuk parameter COD adalah 200mg/L. Pada penelitian ini diperoleh rataan 605,675 mg/L. Hanya satu lokasi yaitu lokasi IV nilai COD 49,20 mg/l (Tabel 1) dibawah baku mutu. Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam limbah, baik bahan organik mudah urai maupun yang komplek dan sulit urai akan teroksidasi. Sehingga selisih nilai antara COD dengan BOD memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit urai yang ada di dalam limbah (Ariani, 2013). Jadi manfaat pemeriksaan COD adalah memberikan gambaran jumlah total bahan organik yang ada dalam limbah (Aristiana dan Purnomo, 2020). sedangkan 3 lokasi

lainnya nilai COD berada diatas baku mutu. Dapat diilustrasikan dari hasil pemeriksaan COD bahwa dengan tingginya nilai COD menunjukkan dibutuhkan proses dekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik. Nilai COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi (mendegradasi) bahan-bahan organik yang ada didalam limbah secara kimiawi (Islamawati et al., 2018). Hal ini dikarenakan bahan organik diurai secara kimia menggunakan oksidator kuat dalam kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat (Ag2SO4) (Atima, 2015).

Menurut Supriyantini et al. (2017), tingginya nilai COD disebabkan adanya bahan organik maupun anorganik dalam limbah peternakan sapi. Tingginya kandungan COD di dalam air limbah mengakibatkan miskinnya kandungan oksigen dalam limbah sehingga biota air tidak akan hidup di dalam limbah tersebut (Mulyaningsih, 2013). Hasil uji COD ini digunakan sebagai penentuan beban cemaran, besarnya kebutuhan oksigen total yang akan mendekomposisi bahan organik dalam limbah menjadi H2O dan CO2 (Pamungkas, 2016).

Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH yang terukur adalah rataannya 8.075 (Tabel 1) yang tergolong sedikit basa dan masih berada pada kisaran normal jika dibandingkan dengan skala baku mutunya 6 – 9. Ini berarti limbah yang dihasilkan oleh peternakan sapi bersifat sedikit basa. Suasana basa ini sangat mendukung perkembangan bakteri metanogenik (Lidyasanty et al, 2016). Derajat keasaman (pH) yang diukur pada limbah peternakan sapi merupakan kologaritma aktivitas ion hidrogen (H+). Derajat keasaman (pH) digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau basa yang dimiliki oleh suatu limbah, larutan atau benda. pH normal memiliki nilai 7 sementara bila nilai pH>7 menunjukkan zat tersebut memiliki sifat basa sedangkan nilai pH<7 menunjukkan keasaman (Kurniati et al, 2020). Nilai pH 0 menunjukkan derajat keasaman yang tinggi, dan pH 14

menunjukkan derajat kebasaan tertinggi. Umumnya indikator sederhana yang digunakan adalah kertas lakmus yang berubah menjadi merah bila keasamannya tinggi dan biru bila keasamannya rendah (Sutrisna, et al, 2015). Limbah dengan pH tidak netral akan mengganggu proses kehidupan biologi dan mikrobiologi. Nilai pH yang baik untuk limbah adalah netral (pH 7). Nilai pH merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan bakteri dalam limbah. Bakteri memerlukan pH optimum (6,5 - 7,5) untuk tumbuh optimal (Agustiyani et al, 2004). Nilai pH minimum dan maksimum untuk pertumbuhan kebanyakan spesies bakteri adalah 4 dan 9. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri ini berkaitan dengan aktivitas enzim. Enzim ini dibutuhkan oleh beberapa bakteri untuk mengkatalis reaksi-reaksi yang berhubungan dengan pertumbuhan bakteri. Apabila pH dalam suatu limbah atau lingkungan tidak optimal maka akan mengganggu kerja enzim-enzim tersebut dan akhirnya mengganggu pertumbuhan bakteri itu sendiri (Suriani, et al, 2013).

Coliform

Pada penelitian ini ditemukan rataan bakteri Coliform adalah 22 juta (Tabel 1), melampaui baku mutu PerGub Bali No.16 tahun 2016 yaitu 10.000 bakteri Coliform. Metode yang digunakan untuk perhitungan bakteri coliform adalah metode MPN (Most Probable Number) seri 3 tabung. Perhitungan MPN didasarkan atas jumlah tabung yang bereaksi positif dan negatif dari 3 pengenceran yang berurutan (Fardiaz, 1993). Prinsip penentuan angka bakteri Coliform adalah bahwa adanya pertumbuhan bakteri Coliform yang ditandai dengan terbentuknya gas pada tabung Durham, setelah diinkubasikan pada media yang sesuai (Fardiaz, 1993). Bakteri Coliform adalah mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan kualitas sumber air yang terkontaminasi feses (Putri, 2018). Menurut Widiyanti dan Ristiati (2004), kelompok bakteri Coliform dicirikan sebagai bakteri berbentuk batang, gram negatif, tidak

membentuk spora, aerobik dan anaerobik fakultatif yang memfermentasi laktosa dengan menghasilkan asam dan gas dalam waktu 24 jam pada suhu 35o C (Adrianto, 2018). Dengan demikian didalam limbah peternakan sapi bakteri ini akan ditemukan dalam jumlah banyak (Astiti dan Bulu, 2016). Jika limbah mentah (raw waste) dibuang langsung ke dalam sungai maka jumlah bakteri Coliform akan melimpah di sungai. Menurut klasifikasi dari WHO 2005, standar kadar Coliform untuk air yang baik atau disebut conformity adalah 0 cfu/100 ml sampel. Sedangkan nilai Coliform 1-10  cfu/100 ml sampel

dinyatakan sebagai air yang berada pada kondisi low risk. Sedangkan air dengan kondisi intermediate risk merupakan air yang mengandung Coliform 10-100 cfu/100 ml sampel. Air dengan total nilai Coliform 100-1000 cfu/100 ml sampel

merupakan high risk water (Sarah et al, 2014). Coliform adalah golongan bakteri campuran antara bakteri fekal dan bakteri non fekal. Koliform fekal misalnya Escherichia coli dan koliform nonfekal misalnya Enterobacter aerogenes. Escherichia coli merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan atau manusia, sedangkan Enterobacter aerogenes biasanya ditemukan pada hewan atau tanam-tanaman yang telah mati (Fardiaz, 1993 ). Bakteri Coliform juga tersebar

secara luas di alam terbuka. Bakteri golongan Coliform adalah mengacu pada bakteri golongan Enterobacteriaceae (Putri, 2018). Berdasarkan sifat, bakteri ini dapat memfermentasikan laktosa pada media EMBA menjadi asam dan gas CO2 yang dideteksi oleh berubahnya warna dan gas dalam tabung Durham. Nilai MPN ditentukan dengan kombinasi jumlah tabung positif (asam dan gas) tiap serinya setelah diinkubasi. Bakteri Coliform dapat menghasilkan zat etionin yang dapat menyebabkan kanker (Adrianto, 2018). Selain itu, bakteri ini juga memproduksi bermacam-macam racun seperti indol, skatol yang dapat menimbulkan penyakit bila jumlahnya berlebihan di dalam tubuh.

Bakteri ini dapat mengindikasikan pathogen pada air seperti virus, protozoa, dan parasit. Selain itu, bakteri ini memiliki daya tahan yang lebih tinggi dari pada pathogen, dan lebih mudah diisolasi dan ditumbuhkan (Prayitno, 2009).

Escherichia coli

Dari hasil penelitian, diperoleh rataan bakteri E. coli sebanyak 20 juta/100ml sampel limbah (Tabel 1). Jika dibandingkan dengan baku mutu yaitu PerGub Bali No. 16 tahun 2016, bahwa hasil penelitian tersebut telah melampaui baku mutu. Escherichia coli adalah bakteri yang menyebabkan gangguan kesehatan seperti menjadi penyebab diare terbanyak setelah rotavirus. Escherichia coli merupakan bakteri komensal, pathogen intestinal dan pathogen ekstra intestinal yang dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, meningitis, dan septicemia. Bakteri ini berada dalam saluran pencernaan, tetapi yang memiliki sifat patogen dapat menyebabkan diare (Suardana, 2016). Berdasarkan jenis faktor virulensi yang ada dan gejala klinis inang, galur E. coli dikategorikan ke dalam beberapa pathotipe: Enteropatogenik E. coli (EPEC), yang menyebabkan diare pada anak-anak dan hewan; Enterohemorrhagic E. coli (EHEC), yang bertanggung jawab untuk kolitis hemoragik dan sindrom hemolitik-uremik; Enterotoksigenik E. coli (ETEC), yang menyebabkan diare pada babi dan diare pada sapi; Enteroaggregative E. coli (EAEC), yang menyebabkan diare persisten pada manusia, dan sulit diobati. E. coli (DAEC), subclassofenteroaggregative E. coli yang menyebabkan diare pada anak-anak; Enteroinvasive E. coli (EIEC), yang menyebabkan diare dan disentri berair; uropatogenik E. coli (UPEC), yang menyebabkan infeksi saluran kemih pada manusia dan hewan; dan Meningitis neonatal E. coli (NMEC), yang bertanggung jawab untuk meningitis dan sepsis (Suardana, 2016). Strain EIEC dan EAEC dilaporkan hanya ditemukan pada manusia dan bukan pada hewan. Meskipun E. coli adalah patogen manusia dan hewan

yang signifikan, saat ini tidak ada metode yang cepat dan efisien untuk mengidentifikasi berbagai patotipe E. coli (Fardiaz, 1993). Diare yang disebabkan oleh Escherichia coli merupakan patogen enterik yang dapat menyebabkan dehidrasi dengan berbagai mekanisme tergantung jenis prototipenya. Jumlah koloninya dalam usus dapat mempengaruhi beratnya gejala diare. Semakin berat derajat dehidrasi mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada balita dan anak di negara berkembang. Menjadi penyebab utama kematian anak, angka kematiannya diperkirakan yaitu 2,5 milyar tiap tahunnya (WHO, 2005).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Parameter pencemar yang diteliti pada limbah peternakan sapi mengandung TSS 26,75 mg/L, amonia 7,86 mg/L, BOD5 171,817 mg/L, COD 605,675 mg/L, pH 8,075, Coliform 22 jt/100ml, dan E. coli adalah 20 juta/100ml. Parameter yang telah melampaui baku mutu dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 05 tahun 2014 dan PerGub Bali No. 16 tahun 2016 adalah BOD5, COD, Coliform, dan E. coli. Berdasarkan analisis, tiga parameter yang dapat mencemari lingkungan dan menimbulkan penyakit pada masyarakat sekitarnya adalah ammonia (NH3-N), Coliform dan E. coli.

Saran

Dengan ada beberapa parameter yang masih melampaui baku mutu mengindikasikan limbah produksi peternakan sapi ini perlu diolah lebih lanjut agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimaksih disampaikan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana atas dukungan

pendanaan penelitian melalui Hibah Unggulan Program Studi (HUPS) tahun 2019         dengan         nomor

1219/UN.14.2.9/L.T/2019, emikian pula, ucapan terimakasih disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat yang telah memfasilitasi penelitian ini sampai selesai.

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto R. 2018. Pemantauan jumlah bakteri coliform di perairan sungai provinsi Lampung. Maj. Teknol. Agro. Industri. 10(1): 1-6

Agustiyani E, Immamudin H, Faridah EN, Oedjijono. 2004. Pengaruh pH dan subtrat organik terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri pengoksidasi amonia. Biodiversitas. 5(2): 43-47.

Andika B, Wahyuningsih P, Fajri R. 2020. Penentuan nilai BOD dan COD sebagai parameter pencemar air dan baku mutu air limbah di pusat penelitian kelapa sawit (PPKS) Medan. Quimica: J. Kimia Sains Terapan. 2(1): 14-22.

Aristiana T, Purnomo YS. 2020. Penurunan kadar COD dan amonia total NH3-N pada air limbah pemotongan puyuh dengan menggunakan biofilter anaerob-aerob. J. Envirous. l1(1): 22-27.

Astiti LGS, Bulu YG. 2016. Kandungan unsur hara dan bakteri patogen dalam substrat dan lumpur buangan biogas fese sapi bali. J. Pengkajian Pengembangan Teknol.  Pertanian.

19(1): 1-8.

Atima W. 2015. BOD dan COD sebagai parameter pencemaran air dan baku mutu air limbah. J. Sci. Edu. 4(1): 8898.

Ariani W. 2013. Studi penurunan kadar cod dan tss pada limbah cair rumah makan dengan teknologi biofilm-anaerob-aerob menggunakan media bioring susunan random. Semarang. Program Studi Teknik Lingkungan UNDIP.

Azizah M, Humairo M. 2015. Analisis kadar amonia (NH3) dalam air sungai Cileungsi. J. Nusa Sylvia, Fak.

Kehutanan Univ. Nusa Bangsa. 15(1): 47-54.

Fardiaz S. 1993. Analisis Mikoorganisme Pangan. Jakarta:   Raja Grafindo

Persada.

Gova MA. 2018. Penurunan kadar amonia (NH3) pada limbah cair K-34 dalam rangka pengendalian pencermaran lingkungan. J. Ilmu Kimia Terapan 2(2): 22-26.

Hariyadi S. 2004. BOD dan COD sebagai parameter pencemar air dan baku mutu air limbah. Pengantar Falsafah Sains, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Islamawati D, Darundiati YH, Dewanti NA. 2018. Studi penurunan kadar COD menggunakan ferri klorida pada limbah cair tapioka di desa Ngemplak Margoyoso Pati. J. Kes. Mas. 6(6): 6978.

Kartika D dan Wahyuningsih P. 2019. Analisis kandungan amonia dalam limbah outlet KPPL PT Pupuk Iskandar Muda Lhokseumawe. Quimica: J. Kimia Sains Terapan. 1(2): 6-11.

Kurniati, E, Huy VT, Anugoho F, Suliano AA, Amalia N, dan Nadhifa AR. 2020. Analisis pengaruh pH dan suhu pada desinfeksi     air     menggunakan

microbubble   dan   karbindioksida

bertekanan. JPSL. 10(2): 247-256.

Lidyasanty O, Linggotu U, Paputungan dan Polii B. 2016. Pengelolaan limbah kotoran ternak dalam upaya pencegahan pencemaran lingkungan di Kota Mobagu. J. Zootek. 36(1): 226237

Maria M, Ahmad A. 2017. Pengaruh konsentrasi klorin terhadap penurunan kadar amonia (NH3) pada air limbah domestik. J. Ilmu Kes. 6(4): 206-213.

Mays LW. 1996. Water Resources Handbook. McGraw-Hill New York

Mulyaningsih D. 2013. Pengaruh Efektive Mikroorganisme MS-4 (EM-4) terhadap Penurunan Chemical Oxygen Demand (COD) pada Limbah Cair Tahu. Skripsi. Fakultas Kesehatan

Masyarakat              Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Murti R, Setiya, Maria CHP. 2014. Optimasi waktu reaksi pembentukan kompleks indofenol biru stabil pada uji N-Amona air limbah industri penyamakan kulit dengan metode fenat. Maj. Kulit, Karet Plastik. 30(1): 29-34.

Nasution AH. 2008. Perencanaan dan Pengendalian Produksi, Yogyakarta, Graha Ilmu.

Pamungkas MTOA. 2016. Studi pencemaran limbah cair dengan parameter BOD5 dan pH di pasar ikan tradisional dan pasar modern di Kota Semarang. J. Kes. Mas. 4(2): 166-175.

Paputungan IA, Sondakh RC, dan Umboh ML. 2020. Gambaran kadar limbah cair berdasarkan parameter BOD, COD dan pH di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kotamobagu. J. Kesmas. 9(6): 107-115.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air limbah.

Prayitno, A. 2009. Uji Bakteriologi Air Baku dan Siap Konsumsi dari PDAM Surakarta Ditinjau dari Jumlah Bakteri Coliform.     Skripsi.     Universitas

Muhammadiyah Surakata

Putri AM, Kurnia P. 2018. Identifikasi Keberadaan Bakteri Coliform dan Total Mikroba Dalam Es Dung-Dung Di Sekitar Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta 13.

Sarah RE, Apriliana E, Soleha TU, Warganegara E. 2014. Most Probable Number (MPN) Test of Coliform Bacteria in Household.

Sari EDA. 2018. Kadungan Limbah CairBerdasarkan Parameter Kimia di Inlet dan Outlet Rumah Pemotongan Hewan, Kecamatan Kali Wates Jember. Skripsi.      Fakultas      Kesehatan

Masyarakat Universitas Jember.

Siswanto AD. 2011. Tingkat Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) sebagai Indikator Awal Kualitas Perairan di Perairan Selat Madura, Kabupaten Bangkalan. Prosiding. Seminar

Nasional  Biologi.  FMIPA. Unesa.

Surabaya.

Standar Nasional Indonesia (2004). Air dan air limbah Bagian 3: Cara uji padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid, TSS) secara gravimetri. Retrieved 01 18 2019, from Badan

Standardisasi Nasional.

Suardana IW. 2016. Buku Ajar Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit PT Kanisius. Yogyakarta.

Supriyatini E, Nuraini RAT, Fadmawati AP. 2017. Studi kandungan bahan organik pada beberapa muara sungai di kawasan ekosistem pesisir pantai utara Kota Semarang Jawa Tengah. Bul. Oseanografi Marina. 6(1): 29-38.

Suriani S, Soemarno dan Suharjono. 2013. Pengaruh suhu dan pH terhadap laju pertumbuhan lima isolat bakteri anggota genus pseudomonas yang diisolasi dari ekosistem sungai tercemar deterjen di sekitar Kampus Universitas Brawijaya. J-PAL. 3(2): 58-62.

Sutrisna R, Ekowati CN, Sinaga E. 2015. Pengaruh pH terhadap produksi antibakteri oleh bakteri asam laktat dari usus itik. J. Pendidikan Pertanian Terapan. 15(3): 234-238.

Tarigan MS, Edward. 2003. Kandungan total zat padat tersuspensi (Total

Suspended Solid) di perairan Raha, Sulawesi Tenggara. Makara J. Sci. 7(3): 109-119.

WHO. 2005. Penyakit Bawaan Makanan: Fokus Pendidikan Kesehatan. Alih bahasa: dr. Andry Hartono, Sp.GK. EGC: Jakarta.

Widyaningsih W, Supriharyono WN. 2016 Analisis total bakteri coliform di perairan muara kali Wiso Jepara. Diponogoro J. Maquares. 5(3) : 157164.

Widiyastuti FR, Parwanto dan Hadiyanto. 2013. Upaya pengelolaan lingkungan peternakan sapi di kawasan usaha tani terpadu bangka botanical garden Pangkalpinang. Proc. Sem. Nas. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. ISBN 978-602-17001-1-2.

Widiyanti NLPM, Ristiati NP. 2004. Analisis kualitatif bakteri Coliform pada depo air minum isi ulang di kota Singaraja Bali. J. Ekol. Kes. 3(1) : 6473.

Zahra SA, Sumiyati S, Sutrisno E. 2014. Penurunan Konsentrasi BOD dan COD pada Limbah Cair Tahu dengan Teknologi Kolam (Pond)-Biofilm menggunakan Media Biofilter Jaring Ikan dan Bioball. Prodi Teknik Lingkunagan, FT Undip Semarang.

Tabel 1. Hasil Analisis Parameter pada Limbah Peternakan Sapi di Kabupaten Gianyar

Unsur/ Parameter

Lokasi

Rataan

Evaluasi

Baku Mutu Permen LH 05 thn 2014

I

II

III

IV

TSS (mg/L)

20

11

61

15

26,75

Baik

100

Amonia (mg/L)

8,375

12,375

7,850

1,947

7,86

Baik

25

BOD5 (mg/L)

209,45

263,00

210,00

4,82

171,817

Melampaui

100

COD (mg/L)

757,50

909,00

707,00

49,20

605,675

Melampaui

200

pH

8,0

8,2

8,1

8,0

8,075

Baik

6-9

Coliform (jt)

16

24

24

24

22

Melampaui

10.000*

E. coli (jt)

9,2

24

24

24

20

Melampaui

*

-

Keterangan:

*= Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2016

1022