SCABIOSIS IN DOMESTIC CATS
on
Buletin Veteriner Udayana Volume 15 No. 4: 630-638
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Agustus 2023
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i04.p15
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Laporan Kasus: Scabiosis pada Kucing Domestik Disertai Leukositosis dan Anemia Normositik Hiperkromik
(CASE REPORT: SCABIOSIS IN DOMESTIC CATS ACCOMPANIED BY LEUKOCYTOSIS AND HYPERCHROMIC NORMOCYTIC ANEMIA)
I Made Mahaputra1*, Sri Kayati Widyastuti2, Made Suma Anthara3
1Praktisi Jl. Bernasi Kangin No.10, Buduk, Badung, Bali, Indonesia, 2Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedoteran
Hewan Universitas Udayana, Gg. Markisa No. 6, Sesetan, Denpasar, Bali, Indonesia, 80225;
3Laboratorium Fisiologi, Farmakologi dan Farmasi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar,
Bali, Indonesia, 80225.
*Email: mahaputra909@gmail.com
Abstrak
Skabies merupakan salah satu penyakit kulit yang mendominasi pada kucing, baik yang dipelihara maupun liar yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang bersifat zoonosis. Tujuan penulisan artikel ini untuk memberikan informasi mengenai dampak dari infeksi skabies pada kucing serta pengobatan dan penanganan yang tepat diberikan kepada kucing kasus skabies. Pemeriksaan dilakukan terhadap kucing domestik dengan anamnesis menunjukkan gejala gatal dengan menggaruk-garukkan telinga ke dinding atau tanah serta ditemukan lesi pada bagian telinga. Hasil pemeriksaan klinis terdapat hiperkeratosis dan alopesia pada bagian telinga. Pemeriksaan penunjang dengan kerokan kulit atau skin scraping dibawah mikroskop terlihat tungau Sarcoptes scabiei sedangkan pemeriksaan hematologi diperoleh kucing mengalami leukositosis dan anemia normositik hiperkromik. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang kucing tersebut didiagnosis mengalami scabiosis. Terapi yang diberikan berupa terapi kausatif, simptomatis, dan supportif. Terapi kausatif yang diberikan adalah ivermectin diinjeksikan sebanyak 0,2 ml secara subkutan dengan dua kali pemberian pada interval 14 hari. Terapi simptomatis yang diberikan adalah Chlorpheniramine maleat diberikan sebanyak 2 mg, setiap 12 jam, secara per oral selama lima hari. Terapi supportif yang diberian berupa Vita-Gel 50 gr diberikan seukuran tiga kali biji jagung (1-3 cm) 2-3 kali sehari selama 10 hari, serta hewan dimandikan menggunakan sabun belerang/sulfur dua kali seminggu. Terapi yang diberikan pada kucing Pisci menunjukkan hasil yang baik dimana kucing menunjukkan perubahan dari awal sampai setelah treatment pruritus dan hiperkeratosis mulai berkurang serta rambut yang mulai tumbuh. Ketika terdapat kucing pemilik yang mengalami skabiosis segera pisahkan dengan hewan peliharaan agar tidak terjadi penularan skabiosis pada hewan lainnya.
Kata kunci: Kucing; kulit; scabiosis; sarcoptes scabiei
Abstract
Scabies is a skin disease that dominates both domesticated and wild cats caused by the zoonotic mite Sarcoptes scabiei. The purpose of writing this article is to provide information about the impact of scabies infection in cats and the appropriate treatment and handling given to cats with scabies cases. Examination was carried out on domestic cats with anamnesis showing symptoms of itching by scratching the ears against the wall or ground and found lesions on the ears. The results of clinical examination showed hyperkeratosis and alopecia in the ear. Investigations using skin scraping or skin scraping under a microscope showed Sarcoptes scabiei mites, while hematological examination revealed that the cat had leukocytosis and hyperchromic normocytic anemia. Based on the history, clinical examination and supporting examination, the cat was diagnosed with scabiosis. The therapy
given is in the form of causative, symptomatic, and supportive therapy. The causative therapy given was ivermectin with a dose of 0.2 ml/kg body weight with two doses at an interval of 14 days. Symptomatic therapy given is Chlorpheniramine maleate given at a dose of 2 mg/kg body weight, every 12 hours, for five days. Supportive therapy is given in the form of Vita-Gel 50 g given the size of three corn kernels (1-3 cm) 2-3 times a day for 10 days, and animals are bathed using sulfur soap twice a week. The therapy given to the Pisci cat showed good results where the cat showed changes from the beginning until after the treatment the pruritus and hyperkeratosis began to decrease and the hair started to grow. If the owner's cat has scabies, immediately separate it from their pets so that scabies does not spread to other animals.
Keywords: Cat; scabiosis; sarcoptes scabiei; skin.
PENDAHULUAN
Kucing pada umumnya lebih dominan dijadikan sebagai hewan peliharaan di Indonesia karena karakternya dan corak warna pada rambut. Manajemen kesehatan kucing merupakan salah satu informasi penting yang harus diperhatikan oleh pemilik (Amir et al., 2020). Penyakit kulit yang disebabkan oleh ektoparasit merupakan masalah kesehatan yang umum ditemukan dalam kasus klinik dengan pasien hewan domestik yang dimanfaatkan sebagai peliharaan. Kucing merupakan hewan peliharaan domestik yang rentan terhadap paparan agen infeksius parasit dimana kasusnya didominasi oleh infestasi ektoparasit tungau. Penyakit kulit akibat infestasi tungau mikroskopik yang kita kenal dengan istilah scabies atau scabiosis ini merupakan salah satu penyakit kulit yang mendominasi pada kucing, baik yang dipelihara maupun liar (Senthil et al., 2008). Tungau penyebab scabies adalah arthropoda yang termasuk dalam kelas Arachnida, subkelas Acarina, ordo Astigmata dan Famili Sarcoptidae (Pudjiatmoko et al., 2014).
Penyakit scabiosis ini sangat mudah menular dari satu kucing ke kucing yang lain sehingga sangat merugikan dan dapat berakibat fatal apabila tidak dilakukan terapi yang tepat. Pemilik kucing terkadang baru menyadari saat kucing peliharaannya sudah mengalami perubahan yang signifikan seperti kebotakan, kulit kemerahan bahkan terdapat luka, berbau dan lain sebagainya (Palguna, 2014). Ektoparasit tungau yang menjadi penyebab utama masalah kesehatan kulit pada kucing
adalah Sarcoptes scabiei. Tungau spesies Sarcoptes scabiei selain menyebabkan penyakit scabiosis pada kucing, berpotensi juga menyebabkan masalah kulit pada manusia. Gejala klinis berupa dermatitis akibat dari infestasi tungau Sarcoptes scabiei pernah dilaporkan pada manusia sehingga ektoparasit tersebut juga mempunyai potensi zoonosis (Sivajothi et al., 2014). Infestasi ektoparasit pada tungau juga dapat memicu terjadinya infeksi sekunder dari agen infeksius lain seperti bakteri dan menyebabkan penyakit pada kulit menjadi lebih parah. Kasus scabiosis pada kucing yang disertai infeksi sekunder umumnya lebih sulit dilakukan terapi dan perlu diagnosa komprehensif dari dokter hewan praktisi yang menangani (Reddy et al., 2014)
Pruritus adalah klinis utama gejala skabies pada kucing (Hardy et al., 2016). Gejala lain yang muncul saat kucing terserang kudis adalah yang sering terjadi pada kucing menggaruk bagian tubuhnya (Susanto et al., 2020). Gatal dan rambut rontok (alopesia) yang ditandai dengan munculnya keropeng sering menjadi indikasi diagnosis hewan tersebut mengalami skabies. Konfirmasi untuk mendiagnosis skabies dapat dilakukan dengan kerokan kulit dari kulit yang dicurigai terinfeksi tungau. Tujuan penulisan artikel ini untuk memberikan informasi mengenai dampak dari infeksi skabies pada kucing yang leukositosis serta pengobatan dan penanganan yang tepat diberikan kepada kucing kasus skabies.
METODE PENELITIAN
Sinyalemen
Kucing ras lokal bernama Pisci dengan jenis kelamin betina yang berumur 2 tahun dengan berat 2,8 kg dan rambut berwarna putih, jingga dan hitam.
Anamnesa
Kucing kasus dengan pemilik bernama Bendesa Eka dibawa ke klinik dengan keluhan sudah mengalami gatal-gatal sejak satu bulan lalu. Gejala lain yang terlihat pada Pisci adalah ditemukannya lesi pada bagian telinga kemudian kucing Pisci sering menggaruk-garukkan telinganya ke dinding ataupun tanah, sistem pemeliharaan Pisci tidak pernah dikandangkan, nafsu makan masih baik, kucing belum divaksin dan tidak pernah diberikan obat cacing.
Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan fisik pada kucing kasus dilakukan secara sistematis. Mulai dari kepala hingga ekor yang dilakukan dengan empat cara, yaitu inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi. Kemudian juga melakukan pemeriksaan vital sign seperti denyut jantung, pulsus, capillary refill time, respirasi dan suhu.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Kerokan Kulit
Pemeriksaan secara mikroskopis dilakukan terhadap sampel kerokan kulit. Dilakukan dengan metode natif/langsung dengan cara mengerok pinggiran atau tepi lesi dan debris-debris menggunakan blade. Kerokan dilakukan dengan metode deep skin scraping. Kerokan kulit ditaruh di atas gelas objek setelah itu ditetesi KOH 10% yang berfungsi sebagai agen keratolitik yaitu untuk melisiskan keratin yang ada pada kerokan kulit kemudian ditutup dengan gelas penutup.
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah dilakukan dengan menggunakan alat Auto Hematology Analyzer iCubio iCell-800Vet dan hasilnya disajikan pada Tabel 2.
Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang yang terdiri dari skin scrapping dan hematologi maka kucing kasus bernama Pisci didiagnosis menderita scabiosis.
Prognosis
Prognosis dari kasus ini fausta. Hal ini didasarkan atas tingkah laku dan status fisiologis hewan yang masih baik dan aktif serta nafsu makan yang baik sehingga akan lebih memudahkan dalam pemberian terapi.
Terapi
Terapi yang diberikan pada kucing Pisci berupa terapi kausatif, simptomatis, dan supportif. Terapi kausatif yang diberikan adalah ivermectin. Terapi kausatif diberikan ivermectin yang diinjeksikan sebanyak 0,2 ml secara subkutan dengan dua kali pemberian pada interval 14 hari. Terapi simptomatis yang diberikan berupa obat anti histamin yang bekerja untuk meredakan rasa gatal. Obat yang dipilih yaitu Chlorpheniramine maleat dengan pemberian sebanyak 2 mg, setiap 12 jam, selama lima hari secara per oral. Terapi supportif yang diberian berupa Vita-Gel 50 gr diberikan seukuran tiga kali biji jagung (1-3 cm) 2-3 kali sehari selama 10 hari, serta hewan dimandikan menggunakan sabun belerang/sulfur satu kali seminggu setelah terapi ivermectin selesai diberikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berdasarkan pemeriksaan klinis yang telah dilakukan pada kucing kasus diperoleh data seperti yang disajikan pada tabel 1.
Pada pemeriksaan klinis anggota gerak, muskuloskeletal, saraf, sirkulasi, urogenital, respirasi, pencernaan dan limfonodus terlihat normal. Sedangkan pada pemeriksaan kulit ditemukan adanya gangguan pada kulitnya. Hasil pemeriksaan klinis menunjukkan bahwa kulit kucing Pisci mengalami kelainan berupa adanya hiperkeratosis dan alopesia pada telinga. Kucing menunjukkan gejala pruritus dengan menggaruk-garuk daerah telinga
serta pada saat pemeriksaan kulit rambut kucing terlihat patah pada bagian telinga dan kepala.
Dari hasil pemeriksaan kerokan kulit kucing Pisci ditemukan tungau Sarcoptes scabiei seperti pada gambar 2.
Hasil pemeriksaan hematologi rutin mengindikasikan kucing Pisci mengalami anemia normositik hiperkromik dan leukositosis.
Pembahasan
Skabies dapat menyerang segala usia dan ras baik pada kucing jantan maupun betina. Pada pemeriksaan klinis menunjukkan bahwa kulit kucing Pisci mengalami kelainan berupa adanya hiperkeratosis dan alopesia pada telinga. Kucing kasus Pisci juga menunjukkan gejala pruritus dengan menggaruk-garukan daerah telinga. Umumnya gejala klinis yang ditimbulkan akibat infestasi tungau scabiosis hampir sama, yaitu gatal-gatal, hewan menjadi tidak tenang, menggosok-gosokkan tubuhnya ke dinding kandang dan akhirnya timbul peradangan kulit. Sarcoptes scabiei merupakan tungau mikroskopik berukuran 150 - 220 μm, yang infestasinya ditemukan pada kucing dari berbagai usia. Pada kasus kronis, lesi yang timbul pada bagian kepala, telinga, dan leher yang awalnya ringan dapat berubah menjadi infestasi berat dan mematikan apabila tidak dilakukan terapi. Lesi pada umumnya ditemukan pada bagian perut, dada, kaki, telinga dan siku. Semakin jarang terdapat rambut maka tungau semakin berkembang dengan cepat. Apabila infestasi tungau menyebar ke seluruh tubuh, hewan akan mengalami gejala gatal yang parah, peradangan pada kulit dan bahkan terbentuk kerak yang berujung pada hiperkeratosis (Sivajothi et al., 2015). Howard (2020) juga melaporkan kucing yang terkena kudis karena Sarcoptes menunjukkan gejala gatal-gatal pada kulit bagian telinga, kepala, dan kaki. Eksudat yang dihasilkan oleh penyakit scabies akan merembes keluar kulit sehingga mengering membentuk sisik atau keropeng di permukaan kulit. Sisik ini akan menebal dan selanjutnya terjadi keratinasi serta
proliferasi jaringan ikat. Daerah sekitar yang terinfeksi parasit akan menjadi berkerut dan tidak rata. Rambut kulit pada daerah ini akan menjadi jarang bahkan hilang.
Siklus hidup tungau Sarcoptes scabiei yatu dengan membuat terowongan dan bertelur di bawah lapisan superfisial atau pada lapisan tanduk kulit (Stratum korneum) sama seperti sarcoptes scabiei. Tungau betina mampu membuat terowongan dalam kulit dan meletakkan telur sepanjang terowongan yang dibentuk. Telur akan menetas dalam 3-8 hari menjadi stadium larva yang memiliki 3 pasang kaki. Larva selanjutnya berkembang menjadi nimfa yang memiliki 4 pasang kaki. Nimfa kemudian berganti kulit dan menjadi dewasa dengan ukuran tubuh yang lebih besar. Tungau dewasa setelah matang secara reproduksi akan melakukan kopulasi dan prosesnya berlanjut sampai betina menghasilkan telur. Seluruh siklus hidup tungau tersebut membutuhkan waktu antara 2-3 minggu (Diwakar, 2017). Sarcoptes scabiei merupakan tungau dari Famili Sacoptidae sehingga secara morfologi sangat mirip dengan Sarcoptes scabiei.
Pada kucing kasus dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis terhadap sampel kerokan kulit yang dilakukan dengan metode deep skin scraping menggunakan KOH 10%. KOH 10% berfungsi sebagai agen keratolitik yaitu untuk melisiskan keratin yang ada pada kerokan kulit. Dari hasil pemeriksaan kerokan kulit ditemukan tungau yaitu Sarcoptes scabiei. Berdasarkan hal tersebut, maka kucing kasus didiagnosis mengalami scabiosis. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan cara menggores kulit kulit yang berkerak pada tepi daun telinga. Pada pemeriksaan mikroskopis tungau terlihat hidup.
Pada pemeriksaan hematologi
mengindikasikan kucing kasus Pisci mengalami leukositosis dan anemia normositik hiperkromik. Skabies juga dapat memicu terjadinya reaksi alergi dan dapat meningkatkan jumlah leukosit atau sel
darah putih pada tubuh. Hal ini terjadi karena leukosit merupakan sel darah yang berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap adanya infeksi (Susanto, 2020). Menurut Dewi dan Walthoni (2017), hal ini diduga karena adanya alergi yang didasari oleh reaksi hipersensitivitas yang diperantarai imunoglobulin E (Ig E) dan ditandai oleh kegatalan. Skabies dapat menyebabkan hipersensitivitas tipe 1 dan tipe 4 pada inang. Hipersensitivitas tipe 1 yaitu reaksi alergi yang timbul secara cepat (<1jam) setelah kontak dengan alergen yang sama untuk kedua kalinya yang diperantarai oleh immunoglobulin E. Komponen utama pada reaksi ini adalah sel mast. Reaksi ini dipengaruhi oleh neutrofil dan eosinofil. Tungau skabies membawa antigen dan bertemu dengan Ig E sel mast yang berlangsung di lapisan epidermis. Pertemuan tersebut menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast yang melepaskan histamin dan bradikinin sebagai mediator alergi dan menyebabkan kegatalan pada kulit. Hipersensitivitas tipe 4 yaitu reaksi alergi yang timbulnya lebih dari 12 jam. Hipersensitivitas tipe 4 akan menunjukkan gejala sekitar 10-30 hari setelah terjadinya sensitisasi tungau dan akan menghasilkan papul-papul inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan jumlah sel limfosit T yang banyak pada filtrat kutaneus. Anemia didefinisikan sebagai terjadinya penurunan dari sel darah merah, hemoglobin atau volume padat sel darah merah (hematokrit) dari nilai normal. Anemia diakibatkan defisiensi Fe, karena kurangnya asupan zat besi (Fe) pada makanan (Bijanti et al., 2010). Infeksi tungau skabies yang berlebihan pada lapisan epidermis (stratum korneum dan lucidum) dapat menyebabkan anemia, selain itu peradangan pada tubuh akan menyebabkan terjadinya penurunan sintesis heme pada sumsum tulang dan terjadinya peningkatan penghancuran heme, sehingga hewan atau inang akan terjadi anemia.
Pengobatan scabiosis yang diberikan berupa terapi kausatif, simptomatis dan
supportif. Terapi kausatif adalah terapi untuk menghilangkan agen penyebab, dalam hal ini penyebab scabiosis adalah parasit sehingga diberikan Ivermectin. Ivermectin bekerja pada sistem saraf dan fungsi otot sehingga mengakibatkan kelumpuhan dan kematian parasit (Ludmerer et al., 2002). Menurut Aranzazu et al. (2007) Ivermectin bekerja dengan cara mengeluarkan dan mengikat Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang berfungsi memblokir impuls syaraf perifer dan otot polos parasit. Wolstenholme (2011) dan Yates et al. (2003) menambahkan bahwa Ivermectin akan melepaskan dan mengikat α subunit sebagai reseptor glutamate-gated chloride channels (GluCl) di sinapsis saraf tertentu yang mengakibatkan terjadinya penghambatan proses makan, fekunditas dan motilitas dari endoparasit. Ivermectin juga mempunyai mekanisme aksi pada neurotransmiter GABA sehingga mampu membuat blokir stimulasi inter neuronal pada bagian neuron motorik rangsang, sehingga menyebabkan kelumpuhan pada parasit yang terpapar obat tersebut (Sivajothi et al., 2015).
Chlorpheniramine maleate memiliki khasiat sebagai antihistamin. Penggunaan Chlorpheniramine maleate pada kasus scabies untuk mengatasi rasa gatal yang timbul akibat proses alergi terhadap scabies. Terapi supportif yang diberikan berupa Vita-Gel 50 gr dengan kandungan Vit. A 125.000 IU, Vit. D3 50.000 IU, Vit. E 50mg, Ca-pan 60mg, Vit. B1 30mg, Vit. K 13mg, Vit. C 50mg, As.Folat 50mg, Ca, P, Zn, Mg, Trythophan, Lysine, Methionine, Threonine, Phenylalanine, Histidine dan Energi sebagai sumber vitamin dan mineral. Kucing kasus Pisci juga dimandikan satu kali seminggu setelah treatment ivermectin diberikan menggunakan shampoo anti ektoparasit yang memiliki kandungan sulfur. Sulfur mempunyai sifat kimia mudah mengalami sublimasi, dan ketika terjadi proses menyublim maka sulfur akan berikatan dengan ion hidrogen dan membentuk hidrogen sulfida. Hidrogen sulfide tersebut bersifat racun terhadap
organisme. Apabila ektoparasit kontak dengan sulfur melalui rute per oral maka akan terbentuk substansi polythionic acid yang bersifat racun bagi ektoparasit tersebut (Senthil et al., 2008). Sulfur juga terbukti efektif untuk eliminasi tungau pada kulit dikarenakan mempunyai sifat panas. Terapi penunjang menggunakan sulfur sangat efektif jika infestasi tungau belum merusak kelapisan stratum korneum bagian dalam. Sulfur dapat membantu proses shedding dari kulit sebagai dampak proses pematangan sel-sel keratin pada stratum korneum yang menyebabkan kulit mengelupas. Reaksi tersebut sangat membantu dalam proses eliminasi ektoparasit tungau yang bersembunyi dalam terowongan di bagian epidermis penderita (Ilman et al., 2017).
Evaluasi kesembuhan dari hewan kasus setelah satu minggu menunjukkan kondisi yang membaik. Hal ini ditunjukkan dengan mulai hilangnya hiperkeratosis dan mulai tumbuh rambut pada daerah telinga serta kucing kasus menunjukkan berkurangnya tanda-tanda kegatalan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan laboratorium, kucing kasus bernama Pisci didiagnosis menderita scabiosis dan mengalami leukositosis. Terapi yang diberikan pada kucing Pisci adalah ivermectin, Chlorpheniramine maleat, Vita-Gel 50 gr serta hewan dimandikan menggunakan sabun belerang atau sulfur satu kali seminggu menunjukkan hasil yang baik dimana kucing menunjukkan perubahan dari awal sampai setelah treatment pruritus dan hiperkeratosis mulai berkurang serta rambut yang mulai tumbuh.
Saran
Tindakan yang perlu menjadi perhatian bagi pemilik kucing kasus untuk mencegah kembali terjadinya infeksi skabiosis pada hewan peliharaannya yaitu dengan tidak melepasliarkan kucing kasus sehingga
menghindari infeksi terulang yang ditularkan oleh kucing liar dan pemilik lebih menjaga kebersihan kucing kasus dengan cara memandikan kucing kasus sebulan dua kali. Ketika terdapat kucing pemilik yang mengalami skabiosis segera pisahkan dengan hewan peliharaan agar tidak terjadi penularan skabiosis pada hewan lainnya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih utamanya kepada dosen yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amir KL, Erawan GMK, Arjentinia PGY. 2020. Case report: ivermectin and sulfur treatment for scabiosis in persian cat. Indon. Med.Vet. 9(1): 89-98.
Aranzazu GC, Ana M, Sahagu´n PM, Liebana JD, Martinez LZ, Vega MS, Juan J, Vieitez G. 2007. The pharmacokinetics and metabolism of ivermectin in domestic animal species. Department of Biomedical Sciences. Veterinary Faculty, University of Leon. Spain.
Bijanti R, Yulianti MGA, Wahjuni RS, Utomo RB. 2010. Buku ajar patologi klinik edisi pertama. Surabaya. Airlangga University Press. Pp. 13-14.
Dewi MK, Wathoni N. 2017. Article review: diagnosis dan regimen
pengobatan skabies. Farm. Supl. 15(1): 123-133.
Diwakar RP. 2017. Canine scabies: a zoonotic ectoparasitic skin disease. Int.
J. Curr. Microbiol. App. Sci. 6(4): 13611365.
Hardy JI, Sinclair G, Fox MT, Loeffler A. 2016. Feline sarcoptic mange in the UK: a case report.
Howard B. 2020. How to identify and treat your cat for mange.
https://www.dailypaws.com/ Accessed on 10 November 2021.
Ilman ZA, Ida S,Wiji A, Ika RS. 2017. Perbandingan efektivitas sabun sulfur 10% dengan salep 2-4 sebagai pengobatan tunggal dan kombinasi pada penyakit skabies. J. Agromed. Med. Sci. 3(3): 1-5.
Ludmerer SW, Warren VA, Williams BS, Zheng Y, Hunt DC, Ayer MB, Wallace MA, Chaudhary AG, Egan MA, Meinke PT, Dean DC, Garcia ML, Cully DF, Smith MM. 2002. Ivermectin and nodulisporic acid receptors in Drosophila melanogaster contain both gamma-aminobutyric acid-gated Rdl and glutamate-gated GluCl alpha chloride channel subunits. Biochemistry. 41(20): 6548-6560.
Palguna D. 2014. Sistem pakar diagnosis penyakit kulit pada kucing menggunakan metode certainty factor. JSIKA. Pp. 75.
Pudjiatmoko, Syibli M, Nurtanto S, Lubis N, Syafrison, Yulianti S, Kartika D, Yohana CK, Setianingsih E, Efendi ND, Saudah E. 2014. Manual penyakit hewan mamalia. Subdit Pengamatan Penyakit Hewan Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. 2nd printing. Pp. 438-446.
Reddy BS, Kumari KN, Sivajothi S. 2014. Thyroxin levels and Haematological changes in dogs with Sarcoptic mange. J. Adv. Parasitol. 1(2): 27–29.
Senthil K, Selvaraj P, Vairamuthu S, Srinivasan SR, Kathiresan D. 2008. Ivermectin therapy in the management of notoedric mange in cats. Tamilnadu J. Vet. Anim. Sci. 4(6): 240-241.
Sivajothi S, Reddy BS, Venkatasivakumar R. 2015. Chronic dermatitis complicated with otitis due to Notoedrescatiin a Persian cat. J. Adv. Parasitol. 2(1): 1922.
Sivajothi S, Reddy BS, Rayulu VC, Sreedevi C. 2014. Notoedrescatiin cats and its management. J. Parasit.
Dis. 39(2): 303–305
Susanto H, Kartikaningrum M, Wahjuni RS, Warsito SH, Yuliani MGA. 2020. Kasus scabies pada klinik Intermedipet Surabaya. J. Biosains Pascasarjana. 22: 37-45.
Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s veterinary hematology 6th ed. Ames, Iowa, USA: Blackwell Publishing Ltd. Pp. 797.
Wolstenholme AJ. 2011. Ion channels and receptor as targets for the control of parasitic nematodes. Int. J. Parasitol. Drugs and Drug Resistance. 1(1): 2-13.
Yates DM, Portillo V, Wolstenholme AJ. 2003. The ivermectin receptors of haemonchus contortus and
caenorhabditis elegans. Int. J. Parasitol. 33(11): 1183- 1193.
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan status praesens kucing kasus
No |
Jenis pemeriksaan |
Hasil |
Nilai normal |
Keterangan |
1. |
Jantung (x/menit) |
152 |
140-210 |
Normal |
2. |
Pulsus (x/menit) |
152 |
140-210 |
Normal |
3. |
Capillary Refill Time (CRT)(detik) |
< 2 |
< 2 |
Normal |
4. |
Respirasi |
23 |
20-30 |
Normal |
5. |
Suhu (oC) |
38,8 |
37,8-39,4 |
Normal |
Sumber : Morgan (2008).
mbar 1. Lesi pada daerah wajah dan telinga kucing kasus Pisci
Gambar 2. Hasil pemeriksaan kerokan kulit, Tanda menunjukkan Sarcoptes scabiei
Gambar 3. Kondisi kucing kasus tujuh hari pasca pemberian terapi.
Tabel 2. Hasil pemeriksaan hematologi rutin kucing kasus
Item Hasil Nilai Referensi* |
Keterangan |
Red Blood Cell (RBC) (x1012/L) 5.19 5.0 – 10.0 White Blood Cell (WBC) (x109/L) 25.5 5.5 – 19.5 Hemoglobin (HGB) (g/dL) 11.8 8.0 – 15.0 Mean Corpuscular Volume (MCV) (fL) 46.1 39.0 – 55.0 Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) (g/dL) 49.5 30.0 – 36.0 Hematokrit (PCV) (%) 23.9 30.0 – 45.0 Trombosit (PLT) (x109/L) 271 160 – 700 |
Normal Meningkat Normal Normal Meningkat Menurun Normal |
*Sumber: Weiss dan Wardrop. (2010)
638
Discussion and feedback