Volume 14 No. 6: 759-765

Desember 2022

DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i06.p20

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Perkembangan Telur Cacing Haemonchus contortus Menjadi Larva Stadium Pertama pada Media Air Secara In Situ

(THE DEPELOPMENT OF HAEMONCHUS CONTORTUS EGGS TO FIRST STAGE LARVAE IN LIQUID MEDIA IN SITU)

I Gusti Komang Oka Wirawan1*, Ni Sri Yuliani1, Novianti Neliyani Toelle1, Suryawati2

  • 1Program Studi Kesehatan Hewan, Jurusan Peternakan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Jln. Adisucipto, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, 85111;

  • 2Program Studi Teknologi Industri Hortikultura, Jurusan Tanaman Pangan dan Hortikultura, Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Jln. Adisucipto, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, 85111.

*Email: [email protected]

Abstrak

Haemonchus contortus merupakan cacing yang sangat patogenik terutama pada domba dan kambing. Penelitian ini bertujuan: untuk mengetahui persentase perkembangan telur cacing H. contortus menjadi larva stadium pertama pada media air secara in situ. Perlakuan penelitian ini diulang sebanyak 5 kali dalam satu kelompok dengan durasi 10 hari dan setiap kelompok menggunakan 8 ekor cacing betina H. contortus. Sampel cacing yang sudah dipreparasi kemudian digerus dan ditambahkan Aqua Pro Injection (pH 7.0) sebanyak 5 mL., disaring menggunakan saringan teh. Prosedur penghitungan telur cacing menggunakan metode McMaster. Prosedur penelitian adalah sebagai berikut: suspensi diambil 1,5 mL kemudian dimasukkan kedalam tabung dan diberikan perlakuan sesuai dengan prosedur. Setiap tabung ditutup alumunium foil yang sudah diberikan lubang sebanyak 15 sampai 20 buah dan di tempatkan di padang penggembalaan selama 48 jam, serta suhu dicatat setiap empat jam mulai pukul 05.00 – 24.00 WITA. Variabel penelitian antara lain: persentase telur cacing yang menetas dan tidak menetas dalam kelompok rendaman. Persentase daya tetas telur cacing dihitung menggunakan rumus: jumlah telur cacing sebelum perlakuan dikurangi jumlah setelah perlakuan dibagi dengan jumlah telur cacing sebelum perlakuan dikalikan seratus. Hasil penghitungan ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: persentase total rataan perkembangan telur cacing H. contortus menjadi larva stadium pertama sebesar 26,5%. Dapat disimpulkan bahwa: persentase perkembangan telur cacing H. contortus secara in situ sebesar 26,5%. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan telur cacing ini adalah suhu, pH, kelembaban, media biakan, dan abnormalitas telur. Disarankan, untuk memperpanjang waktu perkembangbiakan di dalam media dengan harapan hasil persentasenya lebih optimal.

Kata kunci: Haemonchus contortus; in situ; larva

Abstract

Haemonchus contortus is a highly pathogenic worm in sheep and goats. A study was conducted to determine the in situ percentage of the development of H. contortus worm eggs at the first-stage larvae (L1) in water. This research treatment was repeated 5 times in one group with a duration of 10 days and each group used 8 female H. contortus worms. These worm eggs are counted using the McMaster method. The prepared worm samples were ground, immersed in 5 mL of pro-injection aqua (pH 7.0), and filtered using a tea filter. Research procedure: 1.5 mL of suspension was collected, placed into a tube and treated according to the procedure. Each tube, covered with aluminium foil that has holes 15 to 20, was placed on pasture for 48 h (05:00 – 24:00); where ambient temperature was recorded every four hour. Research variable include: percentage of hatched worm eggs in the immersion group. The hatchability percentage = ((the difference between numbers of worm eggs before and after treatment): (those before treatment) x 100)). Data were tabulated and analysed descriptively. The results showed

that: the percentage of the total average development of the L1 H. contortus worm eggs was 26.5%. Conclusion: the percentage of egg development of H. contortus in situ was 26.5%. The influencing factors are ambient temperature, pH, humidity, culture media, and egg abnormalities. It is recommended to extend the breeding time in the media in the hope that the percentage yield is more optimal.

Keywords: Haemonchus contortus; in situ; larvae

PENDAHULUAN

Haemonchus contortus salah satu cacing dari kelas nematoda yang sangat patogenik terutama pada domba dan kambing. Kehidupan dan perkembangan cacing ini sangat tergantung dari darah hospes di mukosa abomasum. Hospes yang terinfeksi oleh H. contortus dengan tingkat infeksi sedang sampai berat akan menyebabkan anemia. Menurut pendapat Ahmad dan Tiffarent (2020), gejala klinis haemonchosis pada domba dan kambing ditandai oleh penurunan produksi, kaheksia, dan anemia parah akibat cacing yang menghisap darah pada mukosa abomasum sedangkan pada infeksi kronis umumnya menunjukkan gejala edema umum.

Siklus hidup alami H. contortus di luar tubuh hospes dimulai dari telur di dalam feses domba dan kambing berkembang menjadi larva stadium pertama (L1) kemudian menjadi larva stadium kedua (L2) dan larva stadium ketiga merupakan bentuk infektif (L3) dari parasit ini (Taylor et al., 2007). Ternak kambing dan domba terinfeksi oleh H. contortus karena ternak tersebut memakan rumput yang telah terkontaminasi oleh larva infektif atau L3 (Bekuma dan Dufera, 2019). Jumlah cacing yang menginfeksi ternak sangat berkaitan dengan jumlah larva yang tertelan (Sutherland dan Scott, 2010).

Mengacu pada perkembangan atau siklus hidup cacing H. contortus secara alamiah yang cukup komplek jika dilakukan penelitian secara in situ maka diperlukan modifikasi metode secara bertahap dan berkesinambungan sehingga hasil penelitian bisa optimal. Oleh karena itu sangat diperlukan penelitian-penelitian yang berhubungan dengan siklus hidup parasit tersebut. Tujuan penelitian adalah

untuk mengetahui persentase perkembangan telur cacing H. contortus menjadi larva stadium pertama pada media air secara in situ. Penelitian ini sangat bermanfaat bagi akademisi terutama yang mendalami parasitologi dan farmakologi serta sebagai dasar acuan penelitian lanjutan secara in vivo. Data dari hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEKS).

METODE PENELITIAN

Sampel cacing H. contortus

Sampel cacing H. contortus diperoleh dari rumah potong kambing milik penduduk di wilayah Kota Kupang. Bahan pendukung yang diperlukan adalah NaCl fisiologi 0,9% dan salin sebagai media pengambilan sampel cacing, Aqua Pro Injection sebagai media biakan.

Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan meliputi: mortar untuk menggerus cacing sehingga telurnya keluar, kamar hitung Whitlock (egg counting Whitlock: 0,5 mL/kamar) untuk menghitung telur cacing, mikroskop (Hyrox, sistem 3D) untuk mengamati perubahan telur cacing, tabung reaksi sebagai tempat pembiakan telur cacing, Aqua Pro Injection sebagai media biakan, rak tabung sebagai penyangga media biakan, aluminium foil sebagai penutup tabung, thermometer ruangan untuk mengukur suhu lingkungan.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari 15 Juni – 10 Juli 2022 di Laboratorium dan padang penggembalaan Program Studi Kesehatan Hewan Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Cacing betina H. contortus yang digunakan sebanyak 8 ekor/ulangan

perlakuan, cacing dari abomasum kambing kacang diambil kemudian dimasukkan ke dalam pot-pot yang telah diberikan larutan NaCl fisiologi 0,9%. Cacing dicuci dengan saline suhu 37 oC, kemudian digerus dengan mortal dan ditambahkan Aqua Pro Injection (pH 7.0) 5 mL, supensinya disaring menggunakan saringan teh, telur cacing di dalam suspensi dimasukkan ke dalam kamar hitung Whitlock dan dihitung menggunakan metode McMaster. Prosedur penghitungan telur cacing adalah sebagai berikut: suspensi sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam setiap kamar hitung Whitlock kemudian telur yang ditemukan pada setiap kamar hitung dikalikan 50. Estimasi setiap 1,5 mL suspensi terdapat 170-270 telur cacing. Selanjutnya masing-masing tabung ditutup dengan aluminium foil serta dibuatkan lubang pada aluminium foil sebanyak 15 sampai 20 buah untuk sirkulasi udara dan ditempatkan pada padang penggembalaan (in situ) selama 48 jam serta suhu dicatat setiap empat jam mulai pukul 05.00–24.00 WITA. Prosedur ini telah dimodifikasi dan mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Zaman et al. (2012). Pengulangan uji media sebagai perlakuan dilakukan sebanyak 5 kali berlangsung selama 10 hari. Telur yang menetas menjadi larva dan telur yang belum menetas kemudian dihitung di bawah mikroskop dengan pembesaran 140– 500x.

Analisa Data

Uji penurunan jumlah telur dalam bidang yang dihitung menurut Coles et al. (2006). Variabel yang diukur dan dianalisis adalah jumlah persentase (%) telur cacing yang menetas dan tidak menetas dalam kelompok rendaman. Persentase daya tetas telur cacing dihitung menggunakan rumus: jumlah telur cacing sebelum perlakuan dikurangi jumlah setelah perlakuan dibagi dengan jumlah telur cacing sebelum perlakuan dikalikan seratus. Hasil penghitungan ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Perbandingan antara morfologi telur cacing H. contortus sebelum dibiakkan Gambar 1., dan setelah dibiakkan Gambar 2A dan 2B. Morfologi telur cacing sebelum dibiakkan mempunyai ciri-ciri: telur berukuran 69,21–77,58 µm x 42,84–49,82 µm, berbentuk oval dengan kutub yang sama, dan terdapat blastomer (Gambar 1). Menurut pendapat Mahmood et al. (2019), morfologi telur H. contortus pada domba; berbentuk oval, dengan kutub yang sama dan sel-selnya tidak memenuhi rongga telur. Telur cacing berukuran, panjang rata-rata 83,7μm dan lebar adalah 45,2μm. Perbedaan ukuran morfologi antara hasil penelitian dengan acuan kemungkinan karena cacing H. contortus yang digunakan berasal dari spesies ternak yang berbeda.

Telur cacing H. contortus setelah dibiakkan berbentuk lebih bulat bila akan berkembang menjadi L1 (larva stadium pertama) dan beberapa telur berkembang menjadi L1 (Gambar 2A). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuswandi dan Rika (2015) menggunakan metode Harada-Mori tentang perkembangan telur cacing H. contortus menemukan hasil penelitian yang hampir sama dengan morfologi telur cacing yang ditemukan di dalam penelitian ini. Adapun hasil penelitiannya ditampilkan pada Gambar 2B; L1 dengan kode huruf c sedangkan huruf a: kulit telur dan huruf b: segmen embrional.

Berdasarkan hasil penelitian, persentase perkembangan telur cacing H. contortus menjadi L1 secara in situ atau di padang penggembalaan ditampilkan pada Tabel 1., dengan persentase rataan sebesar 26,5%. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rajib et al. (2014), pada cacing Trichostrongylus spp. persentase perkembangan telur dimulai dari hari ke-2 pada pH 6,0 sebesar 12% dan pH 7,0 sebesar 7,98%. Lebih lanjut hasil penelitian yang dilakukan oleh Khatun et al. (2013), pada cacing H. contortus persentase

perkembangan telurnya hari ke-2 pada pH 6,0 sebesar 5%.

Hasil pengukuran suhu di padang penggembalaan dalam waktu 48 jam ditampilkan pada Tabel 2.

Pembahasan

Persentase perkembangan telur cacing ini dipengaruhi oleh perbedaan suhu yang ekstrim antara suhu di pagi hari (22 oC) dengan siang hari (34 oC) sehingga beberapa telur cacing tidak berkembang. Menurut pendapat Morgan dan Dijk (2012), kondisi optimal untuk penetasan telur H. contortus dan perkembangan larva terjadi pada suhu iklim mikro vegetasi sekitar 22 oC sampai 26 oC.

Lebih lanjut menurut Iliev et al. (2017), suhu yang tinggi menyebabkan perubahan susunan struktural molekul protein dari telur cacing tersebut sehingga pernyataan ini menjadi alasan utama kematian telur dan larva H. contortus pada suhu yang lebih tinggi dari suhu optimal. Sedangkan menurut pendapat Emery et al. (2016), perkembangan telur cacing H. contortus membutuhkan suhu minimal 10–11 oC untuk menetas atau berkembang, jika suhunya di bawah 10 oC maka telur cacing tersebut tidak akan menetas.

Media biakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aqua Pro Injection dengan pH 7.0 sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rajib et al. (2014), menggunakan media Phosphate Buffered Saline (PBS) begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Khatun et al. (2013) menggunakan media Phosphate Buffered Saline. Perbedaan hasil persentase pada hari ke-2 antara acuan dengan hasil penelitian, kemungkinan disebabkan karena media perkembangbiakan yang digunakan berbeda dan kemungkinan adanya kontaminasi media dari laboratorium.

Kelembaban pada saat dilakukan penelitian ini, yaitu Juni-Juli 2022 berdasarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur

(2022), kelembapan udara relatif (relative humidity) pada lapisan permukaan umumnya diatas 80% dan diprediksi hingga November 2022. Kelembaban udara pada lapisan 850 MB umumnya diprediksi diatas 70% dan lapisan 700 MB berkisar 60%-95%. Kelembaban ini kurang mendukung perkembangan telur cacing H. contortus, karena menurut pendapat Morgan dan Dijk (2012), penetasan telur dan perkembangan larva terjadi pada kelembaban mendekati 100%.

Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Rajib et al. (2014) tetapi menggunakan telur cacing Trichostrongylus spp., dan cacing ini juga termasuk ke dalam kelas nematoda. Hasil yang diperoleh pada kelembabaan 70–80% serta > 80–90% pada hari pertama dan kedua telur cacing Trichostrongylus spp., persentase =  0

(belum     berkembang).     Persentase

perkembangan telur cacing yang paling tinggi pada hari ke-5 pada kelembaban > 80–90 % sebesar 42,86% sedangkan pada hari yang sama dengan kelembaban lebih rendah: 70–80 % sebesar 33,33%.

Selain faktor suhu, pH, kelembaban, dan media biakan adalah abnormalitas embrio dari telur cacing sebelum dibiakkan. Hasil penelitian ini, ditemukan beberapa telur cacing yang embrionya berukuran sangat kecil ditampilkan pada Gambar 3 dan sangat berbeda dengan Gambar 1., sehingga penulis memperkirakan telur cacing ini tidak akan berkembang ke stadium berikutnya atau infertil. Sesuai dengan pendapat Iliev et al. (2017), menyatakan bahwa telur yang tidak berembrio tidak tahan dengan suhu tinggi dan rendah dibandingkan dengan telur cacing H. contortus berembrio. Suhu yang tinggi mempengaruhi destruktif pada tahap perkembangan eksogen.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa persentase perkembangan telur cacing H.

contortus secara in situ sebesar 26,5%. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan telur cacing adalah suhu, pH, kelembaban, media biakan, dan abnormalitas telur.

Saran

Penulis      menyarankan     untuk

memperoleh       hasil       persentase

perkembangan telur cacing H. contortus yang lebih optimal secara in situ maka dilakukan     perpanjangan      waktu

perkembangbiakan di dalam media secara bertahap sehingga diharapkan hasilnya lebih optimal.

UCAPAN TERIMAKASIH

Tim dari penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktur Politeknik Pertanian Negeri Kupang yang telah membiayai penelitian ini menggunakan dana dari PNBP 2022 melalui Ketua Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) sehingga kegiatan ini berjalan sesuai dengan tujuan penelitian yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad RZ, Tiffarent R. 2020. Aspek patologi haemonchosis pada kambing dan domba. Wartazoa. 30(2): 91-102.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kota Kupang (2022). Prakiraan cuaca Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Bekuma F, Dufera B. 2019. Prevalence of heamonchosis in small ruminants and its associated risk factors in and Around Ejere Town, West Shoa, Oromia, Ethiopia. Am. J. Biomed. Sci. Res. 3(5): 409-414.

Coles GC, Jackson F, Pomroy WE, Prichard RK, Samson-Himmels, Gvon T, Silvestere A, Taylor MA, Vercruysse J. 2006. The detection of anthelmintic resistance in nematodes of veterinary importance: review. Vet. Parasitol. 136: 167-185.

Emery DL, Hunt PW, Le Jambre LF. 2016. Haemonchus contortus: the then and now, and where to from here (Invited Review). Int. J. Parasitol. 46: 755–769.

Iliev P, Prelezov P, Ivanov A, Kirkova Z, Kalkanov I. 2017. Effect of temperature and desiccation on some exogenous stages of Haemonchus contortus. Bulg. J. Vet. Med. 20(1): 374–377.

Khatun F, Begum M, Akter S, Mondal M. 2013. In vitro study of environmental and nutritional factors on the hatching and development of eggs of Haemonchus contortus. Bangladesh Vet. 30(1): 1-9.

Mahmood OI, Muhsin SN, Hussein M. 2019. Morphological diagnosis for some eggs of gastrointestinal nematodes from sheep. Tikrit. J. A. Sci. 19(3): 6-9.

Morgan ER, Dijk JV. 2012. Climate and the epidemiology of gastrointestinal nematode infections of sheep in Europe. Vet. Parasitol. 189(1): 8-14.

Rajib SMFR, Dey AR, Begum N, Momin MA, Talukder MH. 2014. Prevalence and in vitro culture of Trichostrongylus spp. in goat at Trishal, Mymensingh, Bangladesh. J. Adv. Parasitol. 1(4): 4448.

Sutherland I, Scott I. 2010. Gastrointestinal nematodes of sheep and cattle. First Edition. Wiley-Blackwell.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary parasitology. Third Edition. Blackwell Publishing Ltd, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK.

Yuswandi, Rika YS. 2015. Studi biologi larva dan cacing dewasa hemonchus contortus pada kambing a biological study of larvae and adult hemonchus contortus in goat. J. Sain. Vet. 33(1): 4252.

Zaman MA,  Iqbal Z,  Khan MN,

Muhammad G. 2012. Anthelmintic

activity of a herbal formulation against gastrointestinal nematodes of sheep. Research Article. Pak. Vet. J. 32(1): 117-121.

Tabel 1. Persentase larva stadium pertama

Perlakuan

Ulangan    Rataan ulangan larva     Total rataan larva

(Hari)     stadium pertama (%)   stadium pertama (%)

Aqua

Proinjection (pH 7)

1                  42

2               26

3                  51

4                24,5

5                 32,4

6                30,5                   26,5

  • 7               47

  • 8                27

  • 9                 31

  • 10                41

Tabel 2. Suhu padang penggembalaan bulan Juni – Juli 2022

Waktu observasi (Hari)

Suhu padang penggembalaan (oC) Waktu pengukuran (WITA)

05.00   08.00   12.00    16.00    20.00    24.00

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

22      28      34      27      24      22

23      29      33      28      25      24

23      28,5     33,5      28      24,5     23,5

22,5     28      34      27,5      24       23

22     27,5     34       27       25      22,5

22,5     28      32,5     27,5     23,5     21,5

23     28,5    33,5      28       25       22

23     27,5     34       28       25      22,5

22      28      34      27      25,5      22

22,5     28,5     33,5     27,5      24      22,5

Gambar 1. Telur cacing H. contortus Sebelum Dibiakkan pada Media Air

Gambar 2A. Telur cacing H. contortus pada Media Air: a. Kulit telur, b. Segmen embrional, c. L. Gambar 2B. Acuan (Yuswandi dan Rika, 2015)

Gambar 3. Tanda panah menunjukkan abnormalitas embrio

765