Studi Variasi Suhu Pengeringan dan Kapasitas Wadah Fermentasi terhadap Karakteristik Biji Kakao (Theobroma cacao L.) Kering
on
JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta
Volume 11, Nomor 2, bulan September, 2023
Studi Variasi Suhu Pengeringan dan Kapasitas Wadah Fermentasi terhadap Karakteristik Biji Kakao (Theobroma cacao L.) Kering
Study of Variation of Drying Temperature and Fermentation Container Capacity on the Characteristics of Dry Cocoa Beans (Theobroma cacao L.)
I Ketut Adwitya Ari Sudarsa, Ni Luh Yulianti*, I Gusti Ketut Arya Arthawan Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem , Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia
*email: [email protected]
Abstrak
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. Produksi kakao di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami peningkatan dan hal ini berbanding lurus dengan bertambahnya luas areal perkebunan kakao. Dari hasil produksi kakao tersebut hanya sebagian kecilnya saja yang menerapkan proses pascapanen seperti fermentasi biji kakao. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan variasi suhu udara pengeringan dan kapasitas wadah fermentasi terhadap karakteristik biji kakao kering untuk menghasilkan biji kakao yang berkualitas sesuai dengan standar SNI. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua faktor, yaitu faktor pertama kapasitas wadah fermentasi yaitu, kapasitas fermentasi 5,5 kg, 7,5 kg, dan 9,5 kg dan faktor kedua suhu pengeringan yaitu 40oC, 50oC, dan 60oC. Adapun parameter yang diteliti meliputi: suhu fermentasi, kadar air, kadar kulit, dan uji belah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan parameter yang diamati, perlakuan A2B3 dengan kapasitas fermentasi 7,5 kg dan suhu udara pengeringan 60oC menghasilkan karakteritik biji kakao kering terbaik yaitu suhu biji kakao fermentasi sebesar 46,5oC, kadar air sebesar 7,54%, kadar kulit sebesar 10,79%, biji tidak terfermentasi sebesar 2,67%, biji setengah terfermentasi sebesar 14%, dan biji terfermentasi sempurna sebesar 83,88%.
Kata kunci: kakao, biji kakao kering, kapasitas wadah fermentasi, suhu pengeringan
Abstract
Cocoa (Theobroma cacao L.) is one of the primary commodities of plantations that has an important role in the national economy. Cocoa production in Indonesia in recent years has continued to increase and this is directly proportional to the increase in the area of cocoa plantations. From the cocoa production, only a small part of it applies post-harvest processes such as cocoa bean fermentation. The purpose of this study was to determine the effect of air drying temperature treatment and storage on dry cocoa beans to produce quality cocoa beans according to SNI standards. This study used a completely randomized design with two factors, the first factor is the storage capacity of the fermentation, which consists of 5.5 kg, 7.5 kg, and 9.5 kg and the second factor is the drying temperature, which consists of 40oC, 50oC, and 60oC. The parameters studied include: fermentation temperature, moisture content, skin content, and split test. The results showed that based on the observed parameters, the A2B3 treatment with a fermentation capacity of 7.5 kg and a drying temperature of 60oC produced the best dry cocoa beans characteristics, namely the temperature of fermented cocoa beans at 46.5oC, moisture content of 7.54%, skin content of 10 .79%, 2.67% unfermented beans, 14% semi-fermented beans, and 83.88% fully fermented beans.
Keywords: dried cocoa beans, cocoa, drying temperature, fermentation container capacity
PENDAHULUAN
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang memiliki peran penting dalam perekonomian nasional, khususnya sebagai sumber devisa negara, penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan (Suprapti & Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011). Produksi kakao di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus
mengalami peningkatan dan hal ini berbanding lurus dengan bertambahnya luas areal perkebunan kakao. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, pada tahun 2019 Indonesia mampu memproduksi kakao dengan jumlah 734.796 ton selanjutnya, produksi kakao pada tahun 2021 diperkirakan mencapai 728.046 ton. Dari jumlah hasil produksi kakao tersebut hanya sebagian kecilnya saja yang menerapkan proses pascapanen seperti fermentasi 336
biji kakao. Menurut Rachmatullah et al.,(2021), proses fermentasi bertujuan untuk menghasilkan aroma dan rasa dari biji kakao akibat adanya reaksi biokimia selama proses fermentasi berlangsung. Biji kakao terfermentasi memiliki kualitas yang lebih baik dikarenakan mampu menghasilkan cita rasa dan aroma yang lebih baik dibandingkan dengan biji tanpa fermentasi. Hal ini yang menjadi salah satu faktor utama yang mampu meningkatkan nilai jual produk.
Berdasarkan kondisi di lapangan, tidak semua produk kakao yang dihasilkan di Indonesia memiliki kualitas yang baik. Menurut Ariningsih et al., (2021), hal ini dikarenakan sebagian besar petani kakao tidak melalui tahap fermentasi. Hanya perusahaan-perusahaan dengan produksi kakao yang banyak yang melakukan proses tersebut. Kurangnya pengetahuan dan fasilitas yang dimiliki oleh petani menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan kondisi tersebut. Selain itu, kebanyakan dari petani kakao dengan jumlah lahan terbatas serta hasil produksi yang tidak banyak sehingga sebagian dari petani lebih memilih untuk tidak melakukan proses fermentasi pada proses pascapanen kakao. Selain proses fermentasi, pengolahan biji kakao juga nantinya akan melalui proses pengeringan. Pengeringan juga merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan mutu biji kakao, di samping proses fermentasinya karena mutu biji kakao ditentukan dari kadar airnya. Kadar air biji kakao setelah dipanen masih tinggi yaitu sekitar 51% - 60% Basis Basah (Mahardika, 2015) sehingga memberikan peluang yang besar untuk mengalami pembusukan akibat adanya pertumbuhan mikroorganisme. Oleh karena itu, dengan adanya pengeringan diharapkan mampu mengurangi kadar air dalam biji kakao hingga mencapai kadar air 6 -7,5% basis basah. Tujuan dilakukannya proses pengeringan adalah untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang dapat menurunkan kualitas biji kakao kering yang dihasilkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penggunaan suhu udara 60oC mampu menghasilkan mutu biji kakao kering yang cukup baik (Utami & Rustijarno, 2012). Selanjutnya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arinata et al., (2019) diketahui bahwa penggunaan kotak kayu sebagai wadah fermentasi biji kakao mampu menghasilkan biji kakao hasil fermentasi yang cukup baik. Selain jenis wadah dan lama waktu fermentasi, kualitas biji kakao kering juga kemungkinan dipengaruhi oleh dimensi wadah fermentasi dan suhu pengeringan yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan studi lebih lajut mengenai pengaruh kapasitas wadah fermentasi dan variasi suhu
pengeringan terhadap karakteristik biji kakao kering (Theobroma cacao L.) yang dihasilkan.
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, adalah proses fermentasi yang dilakukan di Desa Medahan, Gianyar dan tahap kedua dilakukan proses pengeringan di Laboratorium Teknik Pascapanen dan Laboratorium Analisis Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan 14 Juni – 14 Juli 2019.
Alat dan Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji kakao yang diperoleh dari petani rakyat Desa Gadungan, Tabanan yang diterima dalam bentuk buah kakao yang sudah disortasi. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini timbangan manual skala 150 Kg (Model Krisbow), timbangan skala 5 Kg (Model Kenmaster), timbangan analitik (Model Shimadzu, Jepang), thermometer digital long stik (Model TP3001), ember, loyang, rumpang, desikator, oven (Model Blue-m), pisau, talenan, kamera, spidol dan alat tulis.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan rancangan faktorial dua faktor yang terdiri dari kombinasi perlakuan kapasitas fermentasi dan suhu selama proses pengeringan dengan bahan baku biji kakao. Pada proses fermentasi ini, kapasitas fermentasi divariasikan menjadi tiga yaitu:
A1 = Perlakuan fermentasi dengan kapasitas 5,5 Kg; A2 = Perlakuan fermentasi dengan kapasitas 7,5 Kg; A3 = Perlakuan fermentasi dengan kapasitas 9,5 Kg; dengan suhu yang digunakan pada saat proses pengeringan divariasikan menjadi tiga yaitu:
B1 = Perlakuan suhu udara pengering 40±1oC;
B2 = Perlakuan suhu udara pengering 50±1oC; dan B3 = Perlakuan suhu udara pengering 60±1oC.
Pada penelitian ini dilakukan tiga kali ulangan sehingga didapatkan 27 data pengamatan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan apabila terdapat pengaruh perlakuan yang signifikan dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil).
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan penelitian, yaitu tahap pertama adalah proses fermentasi. Buah kakao yang diperoleh dari petani kemudian dibelah untuk dipisahkan kulit buah dan biji kakaonya. Setelah dilakukan pemisahan biji kakao kemudian dimasukkan kedalam wadah
fermentasi berupa kotak kayu sesuai perlakuan yaitu 5,5 Kg, 7,5 Kg, dan 9,5 Kg. Biji kakao tersebut difermentasi selama 6 hari dan dilakukan pengamatan suhu setiap 12 jam. Kemudian dilakukan proses pengadukan setelah 60 jam pertama setelah penyimpanan dalam wadah. Pada hari ke enam fermentasi untuk masing-masing perlakuan dihentikan untuk dilakukan perendaman selama 2 jam dan kemudian dicuci menggunakan air bersih. Pada tahap kedua, biji kakao yang sudah dicuci kemudian dikeringkan dengan menggunakan alat pengering berupa oven dengan suhu masing-masing perlakuan sebesar 40oC, 50oC, dan 60oC hingga berat yang dicapai konstan. Selama proses pengeringan dilakukan penimbangan setiap 2 jam sekali.
Parameter Yang Diamati
Parameter yang diamati pada penelitian ini yaitu suhu fermentasi biji kakao basah yang diamati setiap 12 jam selama 6 hari, kadar kadar air, kadar kulit, uji
belah meliputi biji tidak terfermentasi, biji setengah terfermentasi, dan biji terfermentasi sempurna.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu Biji Kakao Basah Selama Fermentasi
Proses fermentasi yang memiliki kecukupan oksigen akan dapat berjalan dengan baik dan akan menghasilkan sejumlah panas (perubahan suhu) yang merupakan hasil oksidasi senyawa gula di dalam pulpa (lendir) (Marwati et al., 2013). Proses fermentasi dapat diketahui dari perubahan suhu yang terjadi selama proses fermentasi. Fermentasi merupakan proses perombakan gula dan asam sitrat menjadi asam-asam organik yang dilakukan oleh mikroba pelaku fermentasi. Suhu fermentasi dari masing-masing unit percobaan diamati setiap 12 jam sekali hingga hari ke-6. Pengamatan suhu dari masing-masing unit perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1.
50,0
47,5
45,0
42,5
40,0
37,5
35,0
32,5
30,0
27,5
25,0
22,5
20,0
0
12
24
36
48
60
72
84 96 108 120 132 144
Lama Fermentasi (Jam)
A1B1 —■—A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 —•—A2B3 —I—A3B1 ^^^^A3B2 ^^^^^^HA3B3
Gambar 1. Gambar diagram nilai rata-rata suhu fermentasi biji kakao
Berdasarkan diagram diatas dapat diketahui bahwa suhu awal pada semua perlakuan berkisar antara 27.8oC -28,3oC. Kemudian semua perlakuan mengalami peningkatan suhu pada jam ke 12. Peningkatan cukup tinggi terjadi pada 12 jam pertama dimana peningkatan suhu untuk semua perlakuan mencapai 8oC -11oC hingga suhu mencapai 36,2oC -39,5oC dimana peningkatan tertinggi dialami perlakuan A1B3 sebesar 11,5oC dan selanjutnya perlakuan ini menunjukkan peningkatan suhu yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya sejak awal proses fermenasi berlangsung. Selanjutnya, berdasarkan data pada gambar 1, juga dapat diketahui bahwa semua perlakuan mampu mencapai suhu optimum yakni
pada semua perlakuan mulai dari A1B1, A1B2, A1B3, A2B1, A2B2, A2B3, A3B1, A3B2, dan A3B3 dengan nilai berturut-turut 45.4oC, 45.1oC, 45.4oC, 45.4oC, 46,2oC, 46,5oC, 46,5oC, 45.6oC, 47,1oC yang dicapai pada jam ke-84. Sesuai dengan pernyataan Karinawantika (2015), dimana untuk mendapatkan hasil fermentasi biji kakao yang baik dibutuhkan suhu optimum yang berkisar antara 44oC -48oC. Selain itu, menurut Kustyawati dan Setyani (2008), fermentasi dapat menentukan mutu produk akhir kakao karena adanya reaksi eksothermal yang mengakibatkan pembentukan flavor, aroma, dan warna. Kemudian suhu biji fermentasi mulai mengalami penurunan pada jam ke-96 hingga akhir proses fermentasi pada jam ke-144.
Gambar 1 menunjukkan puncak fermentasi terjadi pada jam ke-84 ditandai dengan tercapainya suhu optimum fermentasi antara 44oC-48oC. Berdasarkan penelitian Rasadi (2015), peningkatan suhu yang terjadi dikarenakan adanya oksigen setelah proses pembalikan pada jam ke-72 yang mengakibatkan kondisi aerob pada proses fermentasi. Namun peningkatan suhu yang terjadi berjalan lambat, dimana untuk mendapatkan hasil fermentasi yang baik seharusnya suhu optimum fermentasi dicapai pada jam ke-48. Hal ini diduga karena kerapatan dalam pembuatan kotak tidak sempurna sehingga panas yang dihasilkan selama proses fermentasi mudah keluar.
Kadar Air
Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam suatu bahan yang dinyatakan dengan persen (%). Menurut Winarno (1993), kadar air merupakan salah satu karakteristik penting pada bahan pangan karena mampu mempengaruhi penampakan, tekstur, dan juga cita rasa. Tujuan utama dari proses pengeringan biji kakao adalah untuk mengurangi kadar air biji dari 60% menjadi 6-7,5% berdasarkan SNI 2323 : 2008. Berdasarkan pengukuran suhu yang dilakukan setiap 2 jam dihasilkan data perubahan massa biji kakao seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai rata-rata kada air biji kakao (%bb)
Kapasitas Fermentasi |
Suhu Udara Pengering |
Rata-rata | ||
B1 |
B2 |
B3 | ||
A1 |
9.27 c |
8.98 c |
7.90 a |
8.72 |
A2 |
9.22 c |
8.97 c |
7.54 a |
8.57 |
A3 |
9.35 c |
8.09 b |
7.87 a |
844 |
Rata-rata |
9.28 |
8.68 |
7.77 |
Keterangan : Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan berdasarkan uji DMRT
Berdasarkan data pada Taebl 1 diketahui bahwa, secara keseluruhan kadar air yang dihasilkan berkisar antara 7,54%-9,35% bb. Dan selanjutnya berdasarkan hasil dari analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interkasi antar perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar air biji kakao kering yang dihasilkan. Selanjutnya berdasarkan nilai rata-rata kadar air biji kakao kering, diketahui bahwa perlakuan yang memenuhi standar SNI kadar air kakao kering adalah A2B3 yaitu sebesar 7,54% bb, kemudian interaksi perlakuan tersebut, memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan A1B3 dan A3B3, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan perlakuan lainnya. Berdasarkan uji lanjut yang dilakukan, diketahui bahwa biji kakao yang difermentasikan penggunaan kotak berkapasitas 5,5 Kg dan dikeringkan pada suhu 40oC belum mampu mencapai kadar air yang sesuai dengan standar SNI. Hal ini diduga masih adanya aktivitas mikroba dalam pulp yang berbeda-beda dalam setiap dimensi wadah fermentasi, sehingga menyebabkan aktivitas mikroba dalam pulp masih bekerja dan dapat mengganggu kemampuan bahan untuk melepaskan air dari permukaan bahan.
Berdasarkan nilai kadar air yang tercantum pada tabel diatas diketahui juga bahwa semakin tinggi suhu udara pengering maka kadar air yang dihasilkan semakin rendah. Hal tersebut
menunjukkan bahwa suhu udara pengering berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air biji kakao. Ini juga diperkuat oleh pernyataan Cahyaningrum et al., (2019) yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu udara pengering maka semakin banyak energi panas yang dibawa ke udara, sehingga semakin banyak air yang keluar dari bahan yang dikeringkan.
Interaksi antara kapasitas fermentasi dan suhu udara pengeringan menunjukkan bahwa pada perlakuan kapasitas fermentasi 9,5 Kg dan pengeringan dengan suhu 40oC memberikan hasil kadar air biji tertinggi yang berbeda nyata dengan perlakuan suhu 50oC dan 60oC, Sedangkan pada perlakuan kapasitas
fermentasi 7,5 Kg dengan suhu 40oC menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan suhu 50oC, namun berbeda nyata dengan perlakuan suhu 60oC. Sama halnya pada perlakuan kapasitas fermentasi 7,5 Kg, perlakuan kapasitas 5,5 Kg juga menunjukkan hasil yang serupa. Dapat dilihat juga dari semua perlakuan bahwa perlakuan dengan suhu 60oC mampu menghasilkan kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan suhu 40oC dan 50oC. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ariyanti (2017) dimana semakin tinggi suhu udara
pengeringan, maka kemampuan bahan untuk melepaskan air dari permukaan bahan juga akan semakin meningkat. Menurut Hayati et al., (2012), bahwa suhu dan lama waktu pengeringan sangat berpengaruh pada proses pengeringan. Disebutkan
juga bahwa penggunaan suhu yang terlalu tinggi pada proses pengeringan dapat mengakibatkan produk kering yang tidak merata.
Kadar air pada interaksi perlakuan A2B3 memenuhi standar SNI yaitu sebesar 7,54% bb kemungkinan disebabkan jumlah air yang yang terkadung di dalam biji kakao lebih mudah menguap kelingkungan akibat dari lapisan pulp yang menempel pada biji lebih rendah, sehingga penggunaan suhu udara pengeringan sebesar 60oC mempermudah proses pindah panas dan pindah masa dibandingkan perlakuan lainnya. Menurut Utami et al., (2016), rendahnya lapisan pulp pada biji kakao akan mempermudah proses penguapan air dalam bana. Hal ini mengakibatkan kadar air yang mampu Tabel 2. Nilai rata-rata kadar kulit biji kakao (%)
dicapai pada interaksi perlakuan ini menjadi lebih baik.
Kadar Kulit
Kadar kulit merupakan persentase berat biji kakao yang sudah dikeringkan yang diperoleh dengan menggunakan biji kakao kering sebanyak 100 Gram yang masih utuh kulitnya, kemudian dipisahkan nib dan kulit kakao tersebut. Berat biji kakao kering dengan berat kulit kakao akan didapatkan hasil dalam satuan persen. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa interaksi perlakuan kapasitas fermentasi dan suhu udara pengering berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar kulit biji kakao. Adapun hasil rata-rata dari kadar kulit dapat dilihat pada Tabel 2.
Kapasitas Fermentasi |
Suhu Udara Pengering |
Rata-rata | ||
B1 |
B2 |
B3 | ||
A1 |
12.40 d |
12.58 d |
12.57 d |
12.52 |
A2 |
12.36 d |
12.37 d |
10.79 a |
11.84 |
A3 |
11.99 c |
11.18 a |
11.69 b |
11.62 |
Rata-rata |
12.25 |
12.04 |
11.69 |
Keterangan : Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan berdasarkan uji DMRT
Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kadar kulit biji kakao yang dihasilkan berkisar antara 10,79% -12,58%. Dimana kadar kulit tertinggi didapat pada perlakuan kapasitas 5,5 Kg dengan suhu udara pengeringan 50oC (A1B2). Sedangkan kadar kulit terendah ditunjukkan pada perlakuan A2B3 dengan kapasitas fermentasi 7,5 Kg dengan suhu udara pengeringan 60oC yakni sebesar 10,79%. Perlakuan A2B3 merupakan perlakuan yang memenuhi standar kadar kulit yang cukup baik dengan nilai rata-rata sebesar 10,79% yang sesuai dengan standar kadar kulit dikarenakan nilai rata-ratanya tidak melebihi 11%. Menurut Rasadi (2015), semakin tinggi kadar kulit maka tingkat rendeman biji akan semakin rendah. Berdasarkan hasil uji lanjut yang dilakukan, dapat diketahui bahwa kadar kulit terendah yang diperoleh pada perlakuan A2B3 (10,79%) memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan A3B2, namun memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan perlakuan lainnya. Tingginya kadar kulit pada kombinasi perlakuan A1B1, A1B2, dan A1B3 diduga akibat proses fermentasi tidak berlangsung dengan baik pada kapasitas 5,5 Kg. Hal ini diduga karena terlambatnya biji kakao fermentasi dalam mencapai suhu optimum fermentasi dimana
seharusnya suhu optimum dicapai pada jam ke-48, sehingga aktivitas mikroba pada proses fermentasi tidak berjalan dengan baik yang kemudian mengakibatkan pulp yang masih menempel pada biji. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Alviyan (2020), yang menyatakan bahwa tingginya kadar kulit dapat dikarenakan pulp yang masih menempel akibat proses fermentasi yang kurang sempurna.
Uji Belah
Biji Kakao Tidak Terfermentasi
Biji tidak terfermentasi dapat diketahui melalui pengamatan mata dimana biji ini ditandai dengan warna biru keabu -abuan yang dominan serta memiliki tekstur padat. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan kapasitas fermentasi berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap hasil uji belah biji tidak terfermentasi. Sedangkan perlakuan suhu udara pengeringan dan interaksi antara perlakuan kapasitas fermentasi dan perlakuan suhu udara pengeringan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hasil uji belah biji tidak terfermentasi. Adapun hasil rata-rata dari uji belah biji kakao tidak terfermentasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai rata-rata biji kakao tidak terfermentasi (%)
Kapasitas Fermentasi |
Suhu Udara Pengering |
Rata-rata | ||
B1 |
B2 |
B3 | ||
A1 |
10.00 d |
7.33 c |
8.67 b |
8.67 |
A2 |
5.33 a |
4.00 a |
2.67 a |
4.00 |
A3 |
6.67 a |
4.67 a |
6.00 a |
5.78 |
Rata-rata |
7.33 |
5.33 |
5.78 |
Keterangan : Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan berdasarkan uji DMRT
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa salah satu perlakuan memenuhi standar biji tidak terfermentasi sebesar maksimal 3% (SNI 2323, 2008). Rata-rata kadar biji yang tidak terfermentasi yang telah memenuhi standar tersebut adalah pada kombinasi perlakuan kapasitas fermentasi 7,5 Kg dan suhu udara pengeringan 60oC dimana rata-rata kadar biji yang tidak terfermentasi yang dihasilkan sebesar 2,67%. Hal ini dapat terjadi diduga karena pada saat fermentasi perlakuan mampu mencapai suhu optimum yang merupakan salah satu syarat berhasilnya sebuah fermentasi.
Biji Kakao Setengah Terfermentasi
Biji setengah terfermentasi ditandai oleh kenampakan warna biji coklat mudan dan ungu yang
tidak merata. Hal tersebut dikarenakan proses fermentasi yang belum tercapai. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan kapasitas fermentasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan (P>0,01) terhadap hasil uji belah biji setengah terfermentasi. Begitu juga dengan perlakuan suhu udara pengeringan dan interaksi antara perlakuan kapasitas fermentasi dan perlakuan suhu udara pengeringan juga memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap hasil uji belah biji setengah terfermentasi. Adapun hasil rata-rata dari uji belah biji kakao setengah terfermentasi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nila rata-rata biji kakao setengah terfermentasi (%)
Kapasitas Fermentasi |
Suhu Udara Pengering |
Rata-rata | ||
B1 |
B2 |
B3 | ||
A1 |
18.67 a |
24.00 b |
20.67 b |
21.11 |
A2 |
18.00 a |
18.00 a |
14.00 a |
16.67 |
A3 |
18.67 a |
19.33 a |
20.67 b |
19.56 |
Rata-rata |
18.44 |
20.44 |
18.44 |
Keterangan : Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan berdasarkan uji DMRT
Berdasarkan nilai rata-rata biji setengah terfermentasi yang ditunjukkan Tabel 4, diketahui bahwa nilai biji kakao setengah terfermentasi berkisar 14% sampai 24% dimana nilai biji kakao setengah terfermentasi terendah diperoleh pada kombinasi perlakuan A2B3 dengan perlakuan kapasitas fermentsi 7,5 Kg denan suhu udara pengeringan 60oC sebesar 24%. Sedangkan nilai biji kakao setengah terfermentasi tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan kapasitas 5,5 Kg dan suhu udara pengeringan 60oC.
Biji Kakao Terfermentasi Sempurna
Biji terfermantasi sempurna dapat dilihat dari penampilan fisik biji dimana biji memiliki warna
yang dominan coklat dan juga ditandai dengan adanya pori -pori kecil di dalam biji kakao ketika biji kakao dibelah. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan kapasitas fermentasi memberikan pengaruh yang signifikan (P<0,01) terhadap hasil uji belah biji terfermentasi sempurna. Sedangkan perlakuan suhu udara pengering dan interaksi antara perlakuan kapasitas fermentasi dan perlakuan suhu udara pengeringan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hasil uji belah biji terfermentasi sempurna. Adapun hasil rata-rata dari uji belah biji kakao terfermentasi sempurna dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai rata-rata biji kakao terfermentasi sempurna (%)
Kapasitas Fermentasi |
Suhu Udara Pengering |
Rata-rata | ||
B1 |
B2 |
B3 | ||
A1 |
71.33 a |
68.67 a |
70.67 a |
70.22 |
A2 |
80.00 d |
81.33 e |
83.33 e |
81.56 |
A3 |
75.33 b |
75.33 b |
76.00 c |
75.56 |
Rata-rata |
75.56 |
75.11 |
76.67 |
Keterangan : Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan berdasarkan uji DMRT
Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai biji kakao terfermentasi sempurna berkisar antara 68,67% hingga 83,33% dimana perlakuan yang memberikan nilai biji terfermentasi sempurna terendah adalah pada perlakuan A1B2 yakni sebesar 68,67%. Sedangkan nilai biji terfermentasi sempurna tertinggi didapat pada perlakuan A2B3 yaitu sebesar 83,33%. Sama seperti halnya pada parameter kadar kulit, hasil uji belah biji terfermentasi sempurna juga menunjukkan bahwa nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan A2B3 yakni perlakuan kapasitas fermentasi 7,5 Kg dan suhu udara pengeringan 60oC dengan persentase biji terfermentasi sempurna sebesar 83,33%. Hal ini diduga akibat dari proses fermentasi yang berjalan dengan baik yang ditandai dengan tercapainya suhu optimum selama proses fermentasi. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Nursalam (2016) yang menunjukkan bahwa tercapainya suhu optimum mampu menunjukkan hasil terbaik. Selain itu menurut Putra et al., (2017), persentase biji terfermentasi sempurna yang tinggi mamapu menghasilkan cita rasa pada biji kakao. Hasil tersebut sejalan dengan hasil rata-rata persentase biji kakao tidak terfermentasi yang juga menunjukkan hasil terendah pada perlakuan tersebut. Berdasarkan SNI 2323 – 2008 dikatakan bahwa semakin rendah nilai persentase biji tidak terfermentasi maka persentase nilai biji terfermentasi akan semakin tinggi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa selama proses fermentasi, semua perlakuan mampu untuk mencapai suhu optimum. Meskipun demikian, perlakuan yang mampu menghasilkan biji kakao dengan kualitas dan juga karakteristik terbaik adalah pada perlakuan kapasitas fermentasi 7,5 kg dan suhu udara pengering 60oC, hal ini dapat diketahui berdasarkan nilai kadar kulit yang dicapai sebesar 10,79% yang memenuhi standar kadar kulit. Begitu juga dengan nilai kadar air yang mencapai 7,54%, hasil uji belah biji yang menunjukkan nilai biji kakao tidak terfermentasi 2,67%, biji kakao
setengah terfermentasi 14%, dan biji kakao terfermentasi sempurna dengan nilai 83,88%.
DAFTAR PUSTAKA
Alvian S., H., Harnesa Putri, S., & Iflah, T. (2020). Perubahan Fisik Dan Kimia Biji Kakao Selama Fermentasi. Jurnal Industri Pertanian (JUSTIN), 2, 158-165.
Arinata, I., Yulianti, N., & Arda, G. (2019).
Pengaruh Variasi Dimensi Wadah dan Lama Fermentasi Terhadap Kualitas Biji Kakao (Theobroma cacao L.) Kering. Jurnal BETA (Biosisten dan Teknik Pertanian, 8, 1-3.
Ariningsih, E., Purba, H., Sinuraya, J., Septanti, K., & Suharyono, S. (2021). Permasalahan dan Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Indonesia. Analisis kebijakan Pertanian, 19, 89-108.
Ariyanti, M. (2017). Karakteristik Mutu Biji Kakao (Theobroma Cacao L) Dengan Perlakuan Waktu Fermentasi Berdasar SNI2323-2008. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, 12, 3442.
Cahyaningrum, N., Safitri, A., Kobarsih, M., Fajri, M., & Marwati, T. (2019). Kajian
Pengeringan Biji Kakao Hasil Panen Akhir Musim di Gunungkidul Yogyakarta. Research Fair Unisri, 3, 655-662.
Hayati, R., Yusmanizar, Mustafril, & Fauzi, H. (2012). Kajian Fermentasi dan Suhu Pengeringan padaMutu Kakao (Theobroma cacao L.). JTEP (Jurnal Keteknikan Pertanian), 26, 129-135.
Karinawantika, E. (2015). Karakteristik Fisik dan Kimia Biji Kakao Hasil Fermentasi dalam Wadah Karung Plastik di Pusat Penelitian Kopi dan Kako Indonesia. Skripsi S1. Tidak dipublikasikan. Fakultas Teknologi Pertanian UNEJ, Jember.
Kustyawati, M., E., dan Setyani, S. (2008).
Pengaruh Penambahan Inokulum Campuran Terhadap Perubahan Kimia dan
Mikrobiologi Selama Fermentasi Coklat. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian, 13(2).
Mahardika, E. (2015). Karakteristik Fisiko Kimia Biji Kakao (Theobroma cacao L.) Hasil Variasi Jenis Ukuran dan Wadah Fermentasi di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Skripsi S1. Tidak dipublikasikan. Fakultas Teknologi Pertanian UNEJ, Jember.
Marwati, H., Suprapto, & Yulianti. (2013). Pengaruh Tingkat Kematangan Terhadap Mutu Biji Kakao (Theobroma cacao L.) yang Dihasilkan Petani Kakao di Teluk Kedondong Bayur Samarinda. Jurnal Teknologi Pertanian, 8(1), 6-11.
Nursalam, N. (2016). Mutu Biji Kakao Lindak pada Berbagai Lama Waktu Fermentasi. Jurnal Agrisains, 6(2).
Putra, G. G., Sutardi, S., & Kartika, B. (2017). Peranan Perubahan Komponen Prekursor Aroma dan Cita Rasa Biji Kakao Selama Fermentasi Terhadap Cita Rasa Bubuk Kakao yang Dihasilkan. Jurnal Agritech, 13(4), 13-17.
Rasadi, Y. (2015). Karakteristik Fisik dan Kimia Biji Kakao (Theobroma cacao L.) Hasil Fermentasi Variasi Wadah Kotak Kayu, Krat Plastik dan Daun Pisang di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Skripsi S1. Tidak dipublikasikan. Fakultas Teknologi Pertanian UNEJ, Jember.
SNI 2323. (2008). Standar Nasional Indonesia Biji Kakao. Jakarta: Dewan Standarisasi
Nasional.
Rachmatullah, D., Putri, D., Herianto, F., & Harini, N. (2021). Karakteristik Biji Kakao (Theobroma cacao L.) Hasil Fermentasi Dengan Ukuran Wadah Berbeda. Jurnal Viabel Pertanian, 15(1), 32-44.
Suprapti & Direktorat Jenderal Perkebunan. (2011). Statistik Perkebunan Kakao 2009-2012. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.
Utami, H., & Rustijarno, S. (2012). Teknologi Pengolahan Biji Kako Menuju SNI Biji Kakao . Yogyakarta: Badan Pengkajian Teknologi Pertanian.
Utami, R. R., Supriyanto, S., Rahardjo, S., & Armunanto, R. (2016). Aktivitas Antioksidan Kulit Biji Kakao dari Hasil Penyangraian Biji Kakao Kering pada Derajat Ringan, Sedang dan Berat. Agritech, 37. 88-94.
Winarno, F. G., (1997). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
343
Discussion and feedback