CASE REPORT: EHRLICHIOSIS IN 4 YEARS OLD POMERANIAN DOG
on
Volume 15 No. 3: 471-482
Juni 2023
DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i03.p17
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Laporan Kasus: Ehrlichiosis pada Anjing Pomeranian Umur 4 Tahun
(CASE REPORT: EHRLICHIOSIS IN 4 YEARS OLD POMERANIAN DOG)
Ni Komang Ade Juliantari1*, Putu Devi Jayanti2, I Nyoman Suartha3
-
1Mahasiswa Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia.
-
2Laboratorium Diagnosa Klinik, Patologi Klinik, dan Radiologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. Raya Sesetan, Gg. Markisa No. 6 Denpasar Selatan Bali, Indonesia;
-
3Laboratorium Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. Raya Sesetan, Gg. Markisa No. 6 Denpasar Selatan, Bali, Indonesia;
*Email: [email protected]
Abstrak
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui keberhasilan penanganan kasus ehrlichiosis pada anjing. Penanganan kasus ehrlichiosis menggunakan metode pengobatan dengan antibiotik Doxycycline. Anjing kasus merupakan anjing ras Pomeranian berumur 4 tahun, bernama Husky, berjenis kelamin betina, dan dengan bobot badan 2,7 kg. Hasil pemeriksaan fisik secara umum yaitu lemas, mukosa mata dan mulut pucat, CRT >2 detik, dan demam. Observasi ditemukan caplak Rhipicephalus sanguineus. Hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan anemia, leukopenia, neutropenia, limfopenia, dan trombositopenia. Hasil pemeriksaan ulas darah menunjukkan adanya Ehrlichia sp. Hasil pemeriksaan snap test menunjukkan hasil positif E. canis. Berdasarkan anamnesis, tanda klinis, pemeriksaan penunjang yang dilakukan, maka anjing kasus didiagnosis mengalami ehrlichiosis dengan prognosis fausta. Penanganan yang diberikan pada anjing kasus yaitu dengan pemulihan kondisi pascaoperasi dengan pemberian infus sodium chloride 0,9%, carprofen (Rymadyl®) dosis 4 mg/kg PO, nexgard (NexGard® S) 1 tablet kunyah, cefotaxime (Cefotaxime®) dosis 10 mg/kg IV, hematodin (Hematodin®) 1 ml IV. Setelah 3 hari rawat inap, luka jahitan diberi salep Bioplacenton (Bioplacenton®). Setelah hari ke-5 anjing kasus sudah diperbolehkan untuk pulang dengan kondisi sudah membaik. Anjing kasus diberi obat pulang Doxycycline (Doxilin-DT) dosis 5 mg/kg BB PO selama 14 hari, Carprofen (Rymadyl®) dosis 4 mg/kg PO selama 7 hari, dan Sangobion (Sangobion®) 1 kapsul PO selama 14 hari. Selama pemantauan tingkat kesembuhan dengan komunikasi kepada pemilik bahwa selama 1 minggu pengobatan anjing menunjukkan aktivitas baik, nafsu makan baik, serta tidak adanya infestasi caplak. Sebaiknya perlu dilakukan tes hematologi setelah pengobatan selama dua minggu untuk dapat memastikan bahwa infeksi sudah benar-benar hilang dan jika hasilnya masih mengarahkan pada parasit darah dapat diberikan lagi Doxycycline karena sebenarnya pengobatan memang dianjurkan untuk 28 hari.
Kata kunci: Anemia; ehrlichiosis; Ehrlichia canis; leukopenia; limfopenia; neutropenia;
trombositopenia
Abstract
The purpose of this article is to determine the successful treatment of ehrlichiosis case in a dog. Handling of ehrlichiosis in this case is using the treatment method which is the antibiotic Doxycycline. The dog is a 4-year-old Pomeranian dog, named Husky, female, and with a body weight of 2.7 kg. Initially, Husky were taken to the Estimo Pet House & Clinic with complaints of being bitten by a large dog. The presence of torn wounds on the ventral abdomen and medial right thigh. However, when treated there is a suspicion of blood parasites. The results of the physical examination in general are weakness, pale eye and mouth mucosa, CRT >2 seconds, and fever. Observations found ticks Rhipicephalus sanguineus. The results of hematological examination show anemia, leukopenia, neutropenia, lymphopenia, and thrombocytopenia. The results of the blood smear showed the presence
of Ehrlichia sp. The results of the snap test showed a positive result of E. canis. Based on the anamnesis, clinical signs, all of the examinations, then the dog is diagnosed ehrlichiosis with a prognosis of fausta. The treatment that given to this dog is by restoring postoperative conditions by giving 0.9% sodium chloride infusion, carprofen (Rymadyl®) dose 4 mg/kg PO, nexgard (NexGard® S) 1 chewable tablet, cefotaxime (Cefotaxime®) dose 10 mg/kg IV, hematodin (Hematodin®) 1 ml IV. After 3 days of hospitalization, suture wounds are given Bioplacenton ointment (Bioplacenton®). After the 5th day the dog is already allowed to go home with the condition has improved. Dog were given Doxycycline (Doxilin-DT) dose 5 mg/kg BB PO for 14 days, Carprofen (Rymadyl®) dose 4 mg/kg PO for 7 days, and Sangobion (Sangobion®) 1 capsule PO for 14 days. Monitoring of the dog condition with communication to the owner that for 1 week of treatment the dog shows good activity, good appetite, as well as the absence of tick infestation. It is necessary to do a hematology test after treatment for two weeks to be able to confirm that the infection has completely disappeared and if the results still direct to blood parasites, Doxycycline can be given again because actually the treatment is recommended for 28 days.
Keywords: Anemia; ehrlichiosis; Ehrlichia
thrombocytopenia
PENDAHULUAN
Anjing merupakan hewan kesayangan yang banyak dipelihara orang, selain untuk kesenangan dan keindahan juga sebagai tambahan ekonomi bagi keluarga dari sebagian masyarakat tertentu. Banyak orang memelihara anjing untuk dijadikan teman bermain, berburu, sekaligus penjaga rumah yang dapat diandalkan (Ikliptikawati, 2018). Dalam memelihara anjing ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga kesehatannya. Beberapa infeksi ektoparasit walaupun sangat ringan dapat menyebabkan rasa tidak nyaman bagi hewan, banyak parasit eksternal dapat menyebabkan gatal-gatal yang parah, lesi kulit dan penyakit kulit kronis (Case, 1999). Tiga jenis parasit eksternal yang paling sering ditemukan pada anjing adalah kutu, caplak dan tungau. Ketiga parasit ini di klasifikasikan sebagai arthropoda. Kutu termasuk golongan insekta dengan enam kaki, dan caplak serta tungau adalah arachnida dan mempunyai delapan kaki (Case, 1999). Penyakit parasit adalah masalah yang paling umum ditemukan pada anjing. Terjadinya penyakit parasit zoonosis dapat ditularkan melalui gigitan kutu, dan nyamuk. Penelitian di Mabes Polri Baharkam, Depok, melaporkan bahwa prevalensi infestasi caplak pada anjing adalah 67,90% dengan kasus babesiosis 8% dan ehrlichiosis 12%, sedangkan di Lanud
canis; leukopenia; lymphopenia; neutropenia;
Atang Sanjaya, Bogor, prevalensi infestasi kutu 100%. dengan 16% kasus anaplasmosis dan 40% ehrlichiosis (Syaputra et al., 2020). Ehrlichiosis merupakan penyakit penting pada anjing yang disebabkan oleh bakteri intraseluler gram negatif dari genus ehrlichia yang termasuk dalam famili anaplasmataceae. Spesies penting dari genus ehrlichia adalah E. canis, E. ewingii, dan E. chaffeensis (Barman et al., 2014). Ehrlichia canis menyebabkan Canine Monocytic Ehrlichiosis (CME), yang merupakan penyakit fatal pada anjing yang membutuhkan diagnosis cepat dan akurat untuk memulai terapi yang tepat (Skotarczak, 2003).
Ehrlichia canis adalah bakteri kokoid, gram negative, berukuran kecil yang tinggal dan bereplikasi dalam sitoplasma monosit dan makrofag di dalam sirkulasi darah. Kutu yang tersebar di negara tropis dan subtropis adalah kutu anjing coklat Rhipicephalus sanguineus. Vektor R. sanguineus menyebabkan penyakit Ehrlichia canis, Hepatozoon canis dan Babesia canis vogeli. Meskipun penyakit ini memiliki distribusi global, penyakit ini banyak ditemukan di negara tropis dan subtropics (Piratae et al., 2015). Masa inkubasi ehrlichiosis berkisar antara 8-20 hari, setelah itu entitas klinis mengungkapkan 3 fase: akut, subklinis, dan kronis. Tanda-tanda yang sering dijumpai
seperti demam, splenomegali, limfadenopati, anemia, perdarahan pada selaput lendir dan konjungtiva serta perdarahan melalui orifisium alami berupa epistaksis, hematemesis, hematuria, dan melena sangat bervariasi dalam tingkat keparahan dan frekuensi kejadiannya (Parmar et al., 2013). Infeksi haemoprotozoan tickborne sering ditemui di daerah subtropis tropis dan Rhipicephalus sanguineus (brown ticks) bertindak sebagai vektor penting bagi banyak penyakit pada anjing. Ehrlichiosis monositik terlihat dalam tiga bentuk. Bentuk akut diikuti oleh bentuk subklinis dan kronis (Islam et al., 2017). Erhlicia canis menginfeksi sel darah melalui vektor Rhipicephalus sanguineus. Transmisi terjadi melalui vektor yang menginfeksi host dengan kelenjar saliva yang menyerap darah. Erhlichia sp. masuk ke dalam leukosit atau mungkin trombosit kemudian akan bertahan hidup lalu berkembang dan menyebar ke seluruh tubuh host melalui aliran darah menuju ke jaringan perifer. Ehrlichia canis mengnfeksi monosit dan limfosit di jaringan. Siklus hidup dari Ehrlichia canis ada tiga tahap yaitu elementary bodies, initial bodies dan morulae. Badan awal adalah struktur bola kecil (1-2 mikron) yang berkembang menjadi beberapa unit yang lebih besar yang dikenal sebagai morulae. Morula berdisosiasi menjadi butiran kecil yang disebut badan elementer. Selama sel kecil dari elementary bodies berkembang menjadi initial bodies dan masuk intracytoplasmis menjadi morulae. Organisme tersebut akan meninggalkan sel dan akan menjadi sel yang hancur atau disebut exocytosis (Dubie et al., 2014).
Setelah organisme telah ditransmisikan, ada tiga fase klinis Ehrlichiosis: akut, subklinis, dan kronis. Fase akut dimulai setelah masa inkubasi 8-20 hari dan berlangsung 2-4 minggu, organisme berkembang biak dalam sel retikuloendotelial, limfosit, dan monosit. Sel mononuklear yang terinfeksi bermigrasi ke jaringan endotel dan terjadi vaskulitis.
Mekanisme imunologi dan inflamasi terlibat dengan peningkatan konsumsi trombosit. IgG terkait trombosit dan antibodi yang mengenali protein trombosit pada anjing dengan infeksi E. canis akan berperan dalam trombositopenia. Fase akut biasanya sembuh secara spontan. Fase subklinis dapat bertahan selama bertahun-tahun. Anjing yang imunokompeten mungkin dapat mengeliminasi E. canis; namun, organisme tersebut bertahan secara intraseluler pada sebagian besar anjing, yang mengarah ke fase kronis. Fase ini mungkin ringan sampai berat. Dalam bentuk ringan, ada penurunan berat badan. Hipoplasia sumsum tulang yang menyebabkan pansitopenia terjadi dalam bentuk kronis yang parah. Tingkat keparahan penyakit tergantung pada usia anjing (yaitu, anjing muda lebih rentan), strain organisme, dan adanya penyakit bersamaan (Peters et al., 2000).
Peneguhan diagnosis ehrlichiosis didasarkan pada anamnesis, presentasi klinis, dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi demonstrasi organisme dalam apusan darah dan kultur in vitro (Parmar et al., 2013). Pada pemeriksaan fisik, anjing lemas, mukosa mata dan mulut pucat dan CRT > 2 detik (anemia), dan adanya banyak caplak dan lesi gigitan caplak, serta demam. Sementara pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan hematologi, ulas darah dan juga pemeriksaan dengan test kit dengan snap test. Pada kasus ini, anjing betina ras Pomeranian bernama Husky berumur empat tahun mengalami anemia, leukopenia, neutropenia, limfopenia, dan trombositopenia. Penulisan laporan ini bertujuan untuk membahas kejadian ehrlichiosis pada anjing Pomeranian dalam melakukan tindakan diagnosa serta penanganan dan terapi yang tepat terhadap anjing kasus.
METODE PENELITIAN
Sinyalemen dan Anamnesis
Anjing kasus bernama Husky dengan ras Pomeranian, berjenis kelamin betina serta
berumur empat tahun, memiliki bobot badan 2,7 kg dan rambut berwarna coklat. Anjing kasus dibawa ke Estimo Petshop & Clinic, Denpasar pada tanggal 14 Agustus 2022 dengan keluhan tergigit anjing besar. Kondisi Husky lemas, adanya luka robek pada ventral abdomen dan medial paha kanan. Anjing kasus dimiliki oleh Erika Candra Dewi yang beralamat di Denpasar. Pemilik baru memelihara anjing kasus yang sebelumnya dipelihara di rumah ibunya. Pemilik hanya memiliki satu anjing peliharaan di rumah yang dilepaskan di pekarangan rumah dan terkadang saat membuka pintu gerbang anjing ikut keluar dan bermain di luar. Anjing kasus diberi pakan nasi dan ayam. Anjing kasus memiliki caplak dan belum adanya pengobatan yang pernah dilakukan untuk mengeliminasi caplak. Pemilik mengetahui anjingnya memiliki caplak saat dipindahkan dari rumah ibunya kurang lebih selama 1 bulan pelihara. Anjing kasus sudah diberikan vaksinasi lengkap dan obat cacing secara rutin.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara memeriksa keadaan pasien secara keseluruhan mulai dari memeriksa warna mukosa mulut, CRT, kardiovaskuler, respirasi, pemeriksaan kulit dengan memeriksa adanya caplak dan identifikasi caplak dan juga memeriksa tugor kulit dan suhu anjing kasus.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu dalam peneguhan diagnosis, dimana pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan hematologi, pemeriksaan ulas darah, dan pemeriksaan dengan test kit (snap test).
Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan hematologic dilakukan dengan cara mengambil sampel berupa darah diletakkan pada tabung EDTA lalu dimasukkan pada mesin hematologi untuk Complete Blood Count (CBC).
Pemeriksaan Ulas Darah
Pemeriksaan ulas darah dilakukan dengan setetes darah diambil di dekat salah satu ujung kaca objek bersih dan kaca objek lainnya digunakan untuk membuat sediaan apus darah. Tepi slide kedua, dipegang pada sudut 45o disentuh dengan tetesan yang menyebar di kedua sisi. Kemudian, slide dipindahkan ke arah depan sehingga darah menyebar sebagai lapisan tipis di permukaan slide. Apusan dibiarkan kering di udara. Apusan darah difiksasi dalam metil alkohol selama 5 menit dan dibiarkan kering. apusan kering ditempatkan dalam wadah kaca yang berisi pewarna eosin dan pewarna methylene blue selama 10 menit. setelah apusan dikeluarkan dan dicuci dengan air suling untuk menghilangkan noda berlebih. Slide dibiarkan kering di udara dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop yang sebelumnya diberi minyak imersi.
Pemeriksaan dengan Test Kit
Pemeriksaan antibodi Ehrlichia canis dengan cara mengambil darah sebelumnya pada vena cephalica lalu tuangkan sebanyak 5 tetes darah dan 4 tetes pelarut kedalam lubang sampel, akan teramati warna bulat biru bila positif pada alat tes, hasil tes akan muncul pada 10 menit. Bulat biru kiri atas pertama sebagai kontrol, bulat biru di tengah baris kedua bila positif anaplasma, bulat biru kiri baris ketiga bila positif ehrlichia, bulat biru kanan baris ketiga bila positif Dirofilaria immitis, dan bulat biru di tengah baris keempat bila positif Lyme disease.
Diagnosis dan Prognosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, maka diperoleh diagnosis bahwa anjing kasus mengalami ehrlichiosis dengan prognosis fausta dikarenakan anjing kasus masih menunjukkan aktivitas makan yang baik dan masih responsif.
Penanganan
Penanganan yang dilakukan terhadap anjing kasus yaitu dengan memulihkan kondisi anjing setelah penjahitan terhadap
luka robek akibat gigitan anjing besar yaitu dengan pemberian infus Nacl 0,9% (Sodium Chloride 0,9%, PT Widatra Bhakti, Pasuruan, Jawa Timur), Carprofen (Rymadyl®, Zoetis United States) dengan dosis 4 mg/kg PO q 24 jam, Afoxolaner (NexGard® S, Boehringer Ingelheim) dengan dosis 1 tablet kunyah q 30 hari, injeksi Cefotaxime (Cefotaxime®, PT. Dankos Farma, Jakarta, Indonesia) dengan dosis 10 mg/kg BB IV q 12 jam, dan Hematodin (Hematodin®, PT Romindo Primavetcom, Jakarta Selatan, Indonesia) 1 ml IV q 24 jam dengan kandungan berupa taurine, ammonium feeric citrate, methionine, histidine HCl, trypthopan, cobalt acetate, cyanocobalamine. Setelah 3 hari rawat inap, Luka jahitan diberi salep Bioplacenton® (Bioplacenton®, Kalbe Farma) dan dipantau pemulihan anjing kasus sudah membaik, caplak sudah banyak yang mati lepas dari rambut hewan, nafsu makan mulai meningkat, turgor kulit <5 detik. Setelah hari ke-5 anjing kasus sudah diperbolehkan untuk pulang dengan kondisi yang semakin membaik dari sebelumnya. Untuk itu, anjing kasus diberi obat pulang Doxycycline (Doxilin-DT®, PT MedFence) dengan dosis 5 mg/kg BB PO q 24 jam selama 14 hari, Carprofen (Rymadyl®, Zoetis United States) dengan dosis 4 mg/kg PO q 24 jam selama 7 hari, dan Sangobion (Sangobion®, Zuellig Pharma) dengan dosis 1 kapsul PO q 24 jam selama 14 hari. Selama pemantauan tingkat kesembuhan dengan komunikasi yang dilakukan dengan pemilik anjing kasus, selama 1 minggu pengobatan dari rumah menunjukkan hasil yang baik ditandai dari anjing yang sudah mulai aktif, nafsu makan baik, serta tidak adanya infestasi caplak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil pemeriksaan status praesens pasien (Tabel 1) menunjukkan Capillary Refill Time (CRT), suhu tubuh dan turgor kulit tidak normal. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan anjing terlihat lemas, mukosa mata dan mulut anjing kasus terlihat pucat,
ventral abdomen terasa panas. Pada kulit, terdapat banyak caplak dan lesi gigitan caplak. Observasi caplak yang dilakukan dengan mengamati caplak secara makroskopis yaitu memiliki 4 pasang kaki dan ada 2 jenis warna yang ditemukan, ada yang berwarna cokelat kemerahan dan ada yang berwarna hitam.
Hasil pemeriksaan hematologi (Complete Blood Count/CBC) anjing kasus (Tabel 2) menunjukkan RBC, HCT, HGB, MCV, WBC, LYM, NEU dan PLT rendah. MCHC dan RDWc tinggi. Hasil pemeriksaan hematologi mengindikasikan anjing kasus mengalami anemia mikrositik, leukopenia, limfopenia, neutropenia dan trombositopenia.
Pada pemeriksaan ulas darah ditemukan organisme intrasitoplasmik dalam sel mononuklear dengan ciri berbentuk bulat kecil dan berwarna biru keunguan. Menurut Hamilton et al. (2004) pada limfosit lebih sering terlihat pada kasus yang terinfeksi Ehrlichia. Pada monosit yang berisi intrasitoplasmik morula, morula tampak sebagai organisme biru abu-abu yang tidak jelas.
Hasil pemeriksaan test kit (SNAP 4Dx® Plus test) menunjukkan hasil positif mengandung antibodi Ehrlichia canis yang ditunjukkan dengan munculnya bulat biru (T) dan pada control positif (C).
Pembahasan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa anjing kasus didiagnosis mengalami ehrlichiosis. Disamping adanya anemia, leukopenia, neutropenia, limfopenia, trombositopenia, adanya agen infeksi pada limfosit yang terlihat dibawah mikroskop hasil daripada ulas darah. Hal ini juga dibuktikan dengan hasil positif Ehrlichia canis pada test kit. Ehrlichiosis adalah penyakit parasit darah disebabkan oleh bakteri intraseluler gram negatif dari genus ehrlichia yang ditularkan melalui caplak. Menurut Kristianty dan Resyana (2018) ehrlichiosis adalah penyakit yang ditularkan melalui caplak. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri
intraseluler obligat gram negatif dari genus ehrlchia. Ehrlchia memiliki tiga spesies berbeda yaitu E. canis, E. chaffeensis, dan E. ewingii. Han dan Ki-jeong Na (2018) melaporkan beberapa spesies ehrlichia diketahui dapat menginfeksi dan mengakibatkan demam, mialgia, depresi, leukopenia dan trombositopenia. Tanda-tanda klinis yang paling umum dari Ehrlichiosis termasuk inappetence, lesu, demam, epistaksis, dan mukosa pucat. Anemia hemolitik dan trombositopenia juga dapat terlihat. Anjing yang terkena memiliki riwayat atau adanya infestasi caplak (Suartha et al., 2022). Pada anjing, ehrlichiosis terutama disebabkan oleh E.canis, yang ditularkan oleh
Rhipicephalus sanguineus. Penyakit ini terdiri dari 3 fase berbeda yang digambarkan sebagai akut, subklinis, dan kronis. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan dua warna caplak dengan jumlah yang banyak. Dua warna caplak (cokelat dan hitam) diidentifikasi sebagai brown tick/Rhipicephalus sanguineus jantan dan betina serta adanya lesi gigitan caplak hampir diseluruh tubuh (dominan bagian punggung). Rhipicephalus sanguineus akan aktif sepanjang tahun di daerah tropis dan subtropis serta tidak musiman. Namun, suhu lingkungan yang lebih hangat dapat berkontribusi dalam perkembangbiakan caplak yang lebih cepat dengan tingkat mortalitas caplak lebih rendah (Pradnyantari et al., 2019).
Anjing kasus mengalami anemia mikrositik. Menurut Cahuvin et al., (2009) luka akibat gigitan caplak dapat menjadi tempat infeksi sekunder. Bakteri yang masuk ke dalam sel darah merah menyebabkan sistem kekebalan tubuh menghancurkan sel darah merah yang terinfeksi, dan mengakibatkan penurunan sel darah merah. Penurunan konsentrasi hemoglobin diakibatkan oleh akumulasi eritrosit yang rendah. Faktor-faktor yang memengaruhi nilai hematokrit adalah jumlah eritrosit, jenis kelamin, ras, umur dan keadaan patologis (Triakoso dan Putri, 2012). Pada kasus ini jumlah eritrosit
menunjukkan hasil lebih rendah dari normalnya sehingga nilai hematokritnya juga rendah. Rendahnya nilai MCV juga berhubungan dengan rendahnya nilai hematokrit. Rendahnya nilai MCV dan tingginya nilai MCHC biasa terlihat saat eritrosit berada dalam plasma hypoosmolar, yang biasa disebabkan oleh gangguan elektrolit (Tvedten, 2010). Pada hematologi juga menunjukkan anjing kasus mengalami peningkatan nilai MCHC. Penyebab MCHC tinggi pada kasus yang juga mengalami anemia yaitu salah satunya adalah anemia hemolitik autoimun. Menurut Narurkar et al., (2017) anemia hemolitik autoimun (Auto Immune
Hemolytic Anemia/AIHA) disebabkan oleh infeksi parasit dan virus tetapi belum dikarakterisasi dengan baik. Tingginya nilai MCHC dapat disebabkan oleh dehidrasi, dimana darah menjadi lebih pekat (Jaya et al., 2022). Pada teori
tersebut, sejalan dengan anjing kasus yang mengalami anemia.
Pemeriksaan hematologi menunjukkan anjing kasus mengalami trombositopenia. Kottadamane et al., (2017) menyatakan bahwa temuan yang paling umum diamati pada anjing penderita ehrlichiosis adalah anemia, leukositosis, limfopenia,
eosinofilia, neutropenia, trombositopenia. Trombositopenia biasanya menjadi parah pada fase kronis disertai dengan anemia dan leukopenia yang nyata. Pansitopenia karena hipoplasia sumsum tulang adalah karakteristik dari bentuk kronis. Trombositopenia pada fase akut dikarenakan peningkatan konsumsi trombosit karena perubahan inflamasi pada endotel pembuluh darah, peningkatan sekuestrasi limpa dari trombosit, dan kerusakan imunologis atau cedera yang mengakibatkan penurunan secara
signifikan masa hidup (Harrus et al., 1997). Menurut Syaputra et al., (2020) trombositopenia dapat disebabkan oleh gangguan produksi sumsum tulang belakang, penggunaan atau penghancuran yang berlebihan, sekuestrasi dan kehilangan yang berlebihan. Gangguan
produksi akibat gagal ginjal akut, penyakit yang dimediasi imun, obat-obatan, agen infeksi, septikemia, endotoksemia, dan pelepasan zat prokoagulan. Anemia non-regeneratif, leukopenia, neutropenia dan limfopenia atau limfositosis ringan adalah kelainan tambahan. Pada kasus ini, trombositopenia dapat terjadi karena Ehrlichia canis menyerang endotel pembuluh darah sehingga menyebabkan peradangan dan adanya kehadiran trombosit saat peradangan yang jika terus menerus dikeluarkan akan menyebabkan penurunan jumlah trombosit dalam darah.
Pemeriksaan hematologi juga menunjukkan anjing kasus mengalami leukopenia. Ehrlichia menyebar melalui darah dan pembuluh limfatik. Kelenjar getah bening dan cairan tubuh, membawa sel-sel yang membantu melawan infeksi. Ehrlichia canis menyerang sel-sel tertentu (monosit dan makrofag) yang memainkan peran penting dalam sistem kekebalan tubuh dengan menelan dan mencerna mikroorganisme. Penurunan monosit telah dinyatakan sebagai beberapa monosit yang terinfeksi Ehrlichia canis akan menempel pada endotel vaskular, yang menyebabkan penurunan jumlah darah perifer penderita (Ettinger, 2000). Pemeriksaan hematologi juga menunjukkan neutropenia, dan limfopenia. Menurut Wood (2022) neutropenia dapat terjadi karena sel darah putih menempel pada dinding pembuluh darah yang rusak, penghancuran neutrofil, atau berkurangnya pembentukan di sumsum tulang. Neutropenia dapat terjadi pada semua spesies selama infeksi bakteri yang berlebihan. Reaksi yang merugikan terhadap obat dapat menyebabkan neutropenia atau bahkan pansitopenia (pengurangan sel darah merah, sel darah putih dan trombosit). Limfopenia pada inflamasi akut biasanya disertai dengan neutrofilia atau neutropenia, seperti enteritis parvovirus, distemper, infeksi FeLV (Feline Leukopenia Virus), dan infeksi bakteri sistemik akut.
Kasus ehrlichiosis pada anjing didiagnosis berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan apus darah dan polymerase chain reaction (PCR). Temuan klinis secara umum adalah selaput lendir yang terlihat pucat, peningkatan suhu awal yang tinggi, lemas, penurunan berat badan yang nyata, urin berwarna gelap, hepatomegali dan splenomegali. Masa inkubasi ehrlichiosis anjing berkisar antara 8-20 hari, setelah itu entitas klinis mengungkapkan 3 fase: akut, subklinis, dan kronis (Barman et al., 2014). Menurut Parmar et al., (2013) diagnosis ehrlichiosis anjing didasarkan pada anamnesis, presentasi klinis, dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi 2 konvensional, (apusan darah dan kultur in vitro), imunologi, dan molekuler dengan PCR.
Pemeriksaan ulas darah pada anjing kasus menunjukkan adanya organisme pada intrasitoplasmik dalam sel mononuclear (limfosit). Parmar et al., (2013) ehrlichia menunjukkan organisme intrasitoplasmik dalam sel mononuklear. Pada pewarnaan Giemza and Field akan terlihat warna ungu. Deteksi inklusi intrasitoplasmik pada leukosit dapat mendukung diagnosis pada hewan yang terinfeksi secara akut (Erawan et al.,2018). E. canis akan membentuk mikrokoloni dalam vakuola intraseluler yang juga disebut morula, terutama dalam monosit dan makrofag. Patogen hanya jika bereplikasi di dalam sitoplasma sel monositik dan pembentukan morula merupakan ciri khas yang dapat digunakan untuk diagnosis (Kristianty dan Yogiswari, 2018). Pemeriksaan test kit terhadap anjing kasus menunjukkan hasil positif. Menurut Erawan et al., (2018) tes serologi dengan rapid test kit berguna menegakkan diagnosis, karena tes ini dapat mendeteksi antibodi E. canis. Uji serologi merupakan salah satu uji yang dapat digunakan untuk memastikan diagnosis ehrlichiosis pada anjing (Nakaghi et al., 2008). Namun, perlu digaris bawahi bahwa penggunaan rapid test kit bisa saja menunjukkan hasil negatif ketika hewan berada pada fase akut penyakit, dimana fase akut ehrlichiosis ini berlangsung selama 7 sampai 14 hari (Nesti et al., 2018).
Penanganan yang dilakukan terhadap anjing kasus yaitu dengan memulihkan kondisi anjing setelah penjahitan terhadap luka robek akibat gigitan anjing besar yaitu dengan pemberian infus NaCl 0,9% (Sodium Chloride 0,9%, PT Widatra Bhakti, Pasuruan, Jawa Timur) untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang, menangani ketidakseimbangan elektrolit, dan menjaga tubuh agar tetap terhidrasi. Menurut Porter dan Kaplan (2011) terapi cairan bertujuan untuk menjaga tingkat dari permeabilitas pembuluh darah. Apabila terjadi gangguan keseimbangan, baik cairan maupun elektrolit, maka akan memberikan pengaruh terhadap
pengobatan. Tindakan ini merupakan langkah awal pada pasien yang mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh seperti penurunan nafsu makan dan minum serta pada keadaan muntah (Stoelting et al., 2015). Pemberian Carprofen (Rymadyl®, Zoetis United States) diberikan secara oral untuk mengobati peradangan yang mungkin terjadi pada daerah luka setelah operasi. Menurut Gaynor et al., (2002) carprofen oral telah terbukti efektif untuk menghilangkan rasa sakit dan peradangan yang terkait dengan osteoartritis pada anjing, dan formulasi injeksi telah digunakan untuk mengontrol rasa sakit yang terkait dengan berbagai operasi ortopedi dan jaringan lunak pada anjing dan kucing dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi. Mekanisme kerja carprofen belum sepenuhnya dijelaskan. Carprofen sebagai penghambat COX yang lemah pada dosis terapeutik, namun menunjukkan aktivitas anti-inflamasi yang baik. Penghambatan yang lemah dari kedua isoform COX ini menjelaskan margin keamanannya yang luas dibandingkan dengan NSAID lain (Murphy and Hawkins, 2012). Afoxolaner (NexGard® S, Boehringer Ingelheim) diberikan secara oral untuk membasmi seluruh caplak yang dimiliki anjing kasus. Afoxolaner adalah senyawa isoxazoline yang dicirikan oleh profil keamanan yang baik dan efektivitas
yang diperpanjang terhadap kutu dan caplak pada anjing setelah pemberian oral tunggal (Shoop et al., 2014). Injeksi
Cefotaxime (Cefotaxime, PT. Dankos Farma, Jakarta, Indonesia) diberikan untuk mengurangi pertumbuhan bakteri penyebab infeksi sekunder pada daerah luka operasi dan menghindari terjadinya komplikasi dari infeksi. Menurut Sanjaya dan Pemayun (2021) Cefotaxime bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri. Penggunaan antibiotik cefotaxime baik digunakan untuk mengurangi pertumbuhan atau reproduksi dari bakteri dan berguna untuk mencegah komplikasi dari infeksi, yang secara umum dapat diberikan sampai dengan 24 jam pascaoperasi. Injeksi Hematodin (Hematodin®, PT Romindo Primavetcom, Jakarta Selatan, Indonesia) diberikan untuk memperbaiki metabolisme tubuh anjing kasus sehingga kerja otot menjadi lebih baik dan daya tahan tubuh lebih prima, dan untuk penanganan anemia akibat defisiensi zat besi dan infestasi caplak. Setelah 3 hari rawat inap, Luka jahitan diberi salep Bioplacenton® (Bioplacenton®, Kalbe Farma) diberikan untuk mengobati luka jahitan dan mempercepat proses kesembuhan luka. Setelah hari ke-5 anjing kasus sudah diperbolehkan untuk pulang dengan kondisi yang semakin membaik dari sebelumnya. Untuk itu, anjing kasus diberi obat pulang Doxycycline (Doxilin-DT®, PT
MedFence) diberikan selama 14 hari untuk mengobati agen penyebab infeksi yaitu Erhlichia canis. Menurut Maurin et al., (2003) doksisiklin adalah obat yang paling aktif secara in vitro. Senyawa tetrasiklin dianggap sebagai antibiotik lini pertama untuk pengobatan penyakit ehrlichia. Obat ini juga memiliki keuntungan menunjukkan aktivitas tambahan terhadap Borrelia burgdorferi, agen penyakit Lyme, yang ditularkan oleh vektor caplak yang sama. Islam et al., (2017) juga mengatakan bahwa obat yang efektif melawan E. canis adalah doxycycline. Antibiotik yang dilaporkan tidak efektif terhadap E. canis termasuk penicillin G, erythromycin, dan
chloramphenicol. Doxycycline memiliki aktivitas lipofilik tinggi sehingga mampu melewati lapisan ganda protein bakteri (Petrov et al., 2018). Carprofen (Rymadyl®, Zoetis United States) diberikan selama 7 hari dan Sangobion (Sangobion®, Zuellig Pharma) diberikan selama 14 hari yang mengandung vitamin B12 dan asam folat unuk merangsang sintesis eritrosit dan haemoglobin. Pemberian sangobion pada anjing kasus dengan tujuan untuk meningkatkan pembentukan darah oleh karena anemia yang dialami anjing kasus.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan hematologi, pemeriksaan ulas darah, dan pemeriksaan dengan test kit, anjing kasus didiagnosa mengalami ehrlichiosis. Karena anjing memiliki riwayat tergigit sebelumnya, maka diberikan pengobatan untuk memulihkan keadaan pasca operasi berupa infus NaCl, terapi dengan antibiotik cefotaxime, antiradang carprofen, hematopoietik berupa hematodin dan nexgard untuk menghilangkan infestasi caplak. Setelah 5 hari rawat inap dengan kondisi membaik, diberikan obat pulang antibiotik doxycycline, antiradang carprofen, dan penambah darah sangobion. Selama pemantauan tingkat kesembuhan dengan komunikasi yang dilakukan dengan pemilik anjing kasus, selama 1 minggu pengobatan dari rumah menunjukkan hasil yang baik ditandai dari anjing yang sudah mulai aktif, nafsu makan baik, serta tidak adanya infestasi caplak.
Saran
Untuk menghindari terulangnya infeksi Ehrlichia canis dapat dilakukan dengan penanggulangan infeksi ektoparasit dengan cara menghindari kontak langsung anjing peliharaan dengan anjing liar dan selalu memperhatikan kebersihan lingkungan. Serta perlu diulangi untuk pemeriksaan
hematologi rutin pasca pengobatan selama 2 minggu untuk memastikan anjing kasus sudah benar-benar bebas dari Ehrlichia canis. Jika infestasi caplak belum sepenuhnya hilang selama 1 bulan pemberian nexgard, dapat diulangi lagi pada bulan berikutnya dan pemakaian diberhentikan ketika caplak sudah tidak lagi ditemukan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff Laboratorium Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, serta Estimo Pet House & Clinic yang telah membimbing, memberikan fasilitas serta dukungan dan saran kepada penulis sehingga penulisan laporan kasus ini dapat terselesaikan
DAFTAR PUSTAKA
Ali EA, Tajeldin MA, Ishag A. 2017. Platelet distribution width, mean platelet volume, and hematological parameters in patients with uncomplicated plasmodium falciparum and P. vivax malaria. F1000 Res. 6: 855.
Barman, Baishya BC, Sarma D, Phukan A, Dutta TC. 2014. A Case Report of Canine Ehrlichia Infection in A Labrador Dog and Its Therapeutic Management. Bangl. J. Vet. Med. 12(2): 237-239.
Case LP. 1999.The dog it’s behavior, nutrition, and health. Lowa: Lowa State Press.
Cahuvin A, Moreau E, Bonnet S. 2009. Babesia and its hosts: adaptation to long-lasting interactions as a way to achieve efficient transmission. Vet. Res. 40(2):1-18.
Dubie T, Mohammed Y, Terefe G, Muktar Y, Tesfaye J. 2014. An insight on canine ehrlichiosis with emphasis on its epidemiology and pathogenesity importance. Glob. Sci. Res. J. 2(4): 5967.
Ettinger J, Feldman C. 2000. Diseases of the dog and cat. In: Textbook of Veterinary Internal Medicine. 5th edition, W.B. Saunders Co., Philadelphia, Pp. 402-406.
Erawan IGMK, Duarsa BSA, Suartha IN. 2018. Laporan kasus: Anaplasmosis pada anjing pomeranian. Indon. Med. Vet. 7(6): 737-742.
Gaynor, JS., Sean B, Craig M, Geri B, Kathy W. 2002. Effect of Perioperative Oral Carprofen on Postoperative Pain in Dogs Undergoing Surgery for Stabilization of Ruptured Cranial Cruciate Ligaments. Vet. Folio. 3(4): 425-434.
Harrus S, Kass PH, Klement E, Waner T. 1997. Canine monocytic ehrlichiosis: a retrospective study of 100 cases, and an epidemiological investigation on prognostic indicators for the disease. Vet. Rec. 141: 360–363.
Hamilton KS, Steven MS, Marsha CK. 2004. Characteristic peripheral blood findings in human Ehrlichiosis. Mod. Phatol. 17(5): 512-517.
Han, Jae-I, Ki-Jeong N. 2018. Ehrlichia ewingii infection in a dog from South Korea- A case report. Korean J. Vet. Serv. 41(4): 277-280.
Islam ST, Mohd YG, Satuti S, Sabahu N. 2017. Ehrlichiosis in A Labrador Dog. The Pharm. Innov. J. 6(11): 690-692.
Ikliptikawati, K. 2018. Penyakit Kulit dan Parasit Darah pada Anjing. Thesis. Makasar: Universitas Hasanuddin.
Jaya IMAM, Putriningsih PAS, Soma IG. 2022. Laporan kasus: infeksi canine parvovirus pada anjing lokal. Bul. Vet. Udayana. 14(1): 43-49.
Kottadamane MR, Dhaliwal PS, Singla LD, Bansal BK, Uppal SK. 2017. Clinical and hematobiochemical response in canine monocytic ehrlichiosis
seropositive dogs of Punjab. Vet. World. 10: 255–261.
Kristianty TA, Ni NYR. 2018. Haemogram Parameter of 17 Dogs That Have Been Infected by Ehrlichia canis in My Vets Animal Clinic Kemang in 2017. Proc.
of the 20th FAVA CONGRESSG and the 15th KIVNAS PDHI. 1(3): 197-198.
Koenhemsi L. 2019. Determination of platelet count and platelet indices in canine parvoviral enteritit. Med. Sci. aDiscovery. 6(2): 24-26.
Maurin M, Abergel C, Raoult D. 2003. Antibiotic susceptibilities of
Anaplasma (Ehrlichia)
phagocytophilum strains from various geographic areas in the United States. Antimicrob. Agents Chemother. 47(1): 413-415.
Murphy JP, Hawkins MG. 2012. Avian analgesia. Fowler's zoo and wild animal medicine. Pp. 649-669.
Nakaghi ACH, Machado RZ, Costa MT, André MR, Baldani CD. 2008. Canine ehrlichiosis: clinical, hematological,
serological and molecular aspects. Ciencia Rural. 38(3): 766-770.
Narurkar R, Aleksandra MD, John CN, Delong L. 2017. Autoimmune hemolytic anemia associated with Babesiosis. Biomarker Res. (8)5: 14.
Nesti DR, Baidowi A, Ariyanti F, Tjahajati I. 2018. Deteksi penyakit zoonosis Ehrlichiosis pada pasien anjing di klinik hewan Jogja. J. Nas. Teknol. Terapan. 2(2): 191-197.
Peters TR, Edwards KM, Standaert SM. 2000. Severe ehrlichiosis in an adolescent taking trimethoprimsulfamethoxazole. The Pediatric Infect. Dis. J. 19(2): 170-172.
Plumb CD. 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook. 6th Ed. Stockholm. Pharma Vet. Inc.
Porter RS, Kaplan JL. 2011. The Merck Manual Nineteenth edition of Diagnosis and Therapy. Merck Sharp & Dohme Corp., A Subsidiary of Merck & Co., INC. Whitehouse Sation. NJ.
Parmar C, Pednekar R, Jayraw A and Gatne M. 2013. Comparative diagnostic methods for canine ehrlichiosis. Turkish J. Vet. Anim. Sci. 37: 282-290.
Piratae, S. Kiattisak P, Kotchaphon V, Wasupon C. 2015. Molecular detection of Ehrlichia canis, Hepatozoon canis,
Babesia canis vogeli in strays dog in Mahasarakham Province, Thailand. Ann. Parasitol. 61(3): 183-187.
Petrov EA, Igor U, Irena C, Ksenija I, Pandorce ST, Todor N, Kiril K, Toni D, Jovana S. 2018. Effects of doxycycline treatment on hematological and blood biochemical parameters in dogs naturally infected with Ehrlichia Canis. Macedonian Vet. 41(1): 99-105.
Pradnyantari AASI, Suartha IN, Erawan IGMK, Mahardika IGNK. 2019.
Deteksi Anaplasma sp. pada anjing di Bali secara klinis, serologis, dan
molekuler. J. Vet. 20(4): 479-48.
Skotarczak B. 2003. ehrlichiosis anjing. Ann. pertanian. Mengepung. Med. 10: 137-142.
Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. 2015. Intravenous fluids and electrolytes. Dalam Handbook of
Pharmacology and Physiology in
Anesthetic Practice 3rd Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health. 17: 341-49.
Shoop WL, Hartline EJ, Gould BR, Waddell ME, McDowell RG. 2014. Discovery and mode of action of afoxolaner, a new isoxazoline parasiticide for dogs. J. vetpar. Veterinary Parasitology. 201(2014): 179-189.
Syaputra, JGE., Sajuthi CK, Sajuthi TP, Herlina, Permata FS, Purwatiningsih W. 2020. Case study of canine monocytic Ehrlichiosis (CME) Pomerian Dog at PDHB drh. Cucu K. Sajuthi. J. Physics: Conf. Series. 1430: 012009.
Sanjaya GP, Pemayun IGAGP. 2021. Laporan kasus: vulnus laceratum akibat jeratan kawat pada leher anjing lokal. Indon. Med. Vet. 10(2): 293-303.
Suartha IN, Pradnyantari AASI, Erawan IGMK, Mahardika IGNK. 2022. Clinical observations, hematological profile, serological testing, and molecular detection of Ehrlichia canis in veterinary clinics in Bali, Indonesia. Int. J. Vet. Sci. 12(1): 18-23.
Tvedten H. 2010. Laboratory and clinical diagnosis of anemia. Weiss DJ, Wardrop KJ, eds. Schalm' s Veterinary Hematology. 6th Ed. Ames, IA: Wiley-Blackwell.
Triakoso N, Putri PR. 2012. Perbandingan packed cell volume darah anjing sebelum dan sesudah penyimpanan menggunakan citrate-phosphate-
dextrose. J. Klin. Vet. 1(1): 23- 26.
Wood RD. 2022. White Blood Cell Disorders of Dogs. MSD Veterinary Manual.
Tabel 1. Hasil pemeriksaan status praesens anjing kasus
No. |
Jenis Pemeriksaan |
Hasil |
Nilai rujukan* |
Keterangan |
1. |
Denyut Jantung (kali/menit) |
100 |
80-120 |
Normal |
2. |
Pulsus (kali/menit) |
96 |
80-120 |
Normal |
3. |
Capillary Refill Time/CRT (detik) |
>2 |
<2 |
Tidak Normal |
4. |
Frekuensi Respirasi (kali/menit) |
24 |
15-30 |
Normal |
5. |
Suhu Tubuh (oC) |
39,5 |
37,5-39,2 |
Tidak Normal |
6. |
Turgor Kulit |
Baik |
Baik |
Normal |
Sumber: *Plumb (2008)
Tabel 2. Hasil CBC anjing kasus
Parameter |
Hasil |
Nilai Referensi* |
Keterangan |
RBC (x1012/L) |
4,49 |
5.5-8.5 |
Rendah |
HCT (%) |
22,8 |
37.0-55.0 |
Rendah |
HGB (g/dL) |
9,8 |
12.0-18.0 |
Rendah |
MCV (fL) |
50,7 |
60.0-77.0 |
Rendah |
MCH (pg) |
21,8 |
19.5-24.5 |
Normal |
MCHC (g/dL) |
43,0 |
31.0-39.0 |
Tinggi |
WBC (x109/L) |
3,37 |
6.0-17.0 |
Rendah |
LYM (x109/L) |
0.72 |
1.0-4.8 |
Rendah |
MON (x109/L) |
0.42 |
0.2-1.5 |
Normal |
NEU (x109/L) |
2.23 |
3.0-12.0 |
Rendah |
EOS (x109/L) |
0.0 |
0.0-0.8 |
Normal |
BAS (x109/L) |
0.0 |
0.0-0.4 |
Normal |
RDWc (%) |
22.3 |
14.0-20.0 |
Tinggi |
PLT (x109/L) |
78 |
165.0-500.0 |
Rendah |
Sumber: *Abaxis Vetscan HM5 Hematology Analyzer, Zoetis US, New Jersey, America.
Keterangan: RBC= red blood cell, HCT= hematocrit, HGB= hemoglobin, MCV= mean corpuscular volume, MCH= mean corpuscular hemoglobin, MCHC= mean corpuscular hemoglobin concentration, WBC= white blood cell, LYM= lymphocytes, MON= monocytes, NEU= neutrophils, EOS= eosinophils, BAS= basophils, RDW= red cell distribution width, PLT= platelet.
Gambar 1. Anjing kasus bernama Husky
Gambar 2. Hasil pemeriksaan ulas darah Ehrlichia canis pada limfosit dengan (a) pembesaran 400X dan (b) pembesaran 1000X.
482
Discussion and feedback