Buletin Veteriner Udayana                                                              Volume 15 No. 5: 787-793

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712                                                            Oktober 2023

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet                    https://doi.org/10.24843/bulvet.2023.v15.i05.p12

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal

Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Pertumbuhan Pembuluh Darah pada Fase Kesembuhan Luka Insisi Tikus Wistar yang Ditetesi Antibiotika

(BLOOD VESSELS DEVELOPMENT IN THE WOUND HEALING PHASE OF THE WISTAR RAT INCISION DUE TO ANTIBIOTICS DROP)

Nabilah Rizky Amalia1*, Anak Agung Gde Jayawardhita2, Samsuri2

  • 1Mahasiswa Sarjana Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia;

  • 2Laboratorium Ilmu Bedah Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia.

*Corresponding author email: [email protected]

Abstrak

Mekanisme pemberian tetes antibiotika terhadap kesembuhan luka insisi yang ditinjau dari jumlah pembuluh darah belum diketahui tingkat efektivitasnya. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian tetes antibiotika terhadap jumlah pembuluh darah pada luka insisi tikus wistar (Rattus norvegicus). Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus wistar betina dengan berat badan masing-masing sekitar 150-200 gram. Setelah proses adaptasi selama satu minggu, selanjutnya dibuat luka insisi dengan panjang 1,5 cm dengan kedalaman sampai muskulus (0,5 mm) pada empat kelompok dengan pembagian kontrol (T0) diberikan NaCl fisiologis, perlakuan I (T1) tetes antibiotik oksitetrasiklin, perlakuan II (T2) tetes antibiotik amoxisillin, dan perlakuan III (T3) tetes antibiotik cefotaxime. Pada tiap kelompok tikus diberikan tetes antibiotika sebanyak tiga tetes atau sebanyak 0,15 ml. Setelah diberi perlakuan, kemudian dilakukan pengambilan sampel kulit tikus yang telah di insisi untuk dilakukan pemerikasaan histopatologi untuk diamati jumlah pembuluh darahnya. Hasil data perbedaan rerata jumlah pembuluh darah dianalisis menggunakan sidik ragam atau Analysis of Variant (ANOVA) dan apabila ditemukan hasil dengan perbedaan nyata maka dilanjutkan dengan uji Post Hoc Duncan. Hasil perbandingan rerata jumlah pembuluh darah pada keempat perlakuan secara berturut-turut yaitu 88.17 ± 77.78, 370.33 ± 277.14, 213.33 ± 41.44, dan 268.17 ±141.10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotik dari golongan tetrasiklin memiliki rerata jumlah pembuluh darah paling tinggi dan memiliki kemampuan paling baik dalam meningkatkan proses angiogenesis.

Kata kunci: Kesembuhan luka; luka insisi; tetes antibiotic; tikus Wistar

Abstract

The mechanism of administration of antibiotic drops on incision wound healing in terms of the number of blood vessels is not yet known for its effectiveness. Therefore, this study aims to determine the efficacy of administering antibiotic drops on the number of blood vessels in the incision wound of Wistar rats (Rattus norvegicus). This study used 24 female Wistar rats with a body weight of about 150-200 grams each. Following the adaptation process in one week, an incision wound at 1.5 cm in a depth of up to the muscle (0.5 mm) is made in four groups with the control division (T0) given physiological NaCl. Treatment I (T1) drops of oxytetracycline antibiotics, treatment II (T2) drops of antibiotic amoxicillin, and treatment III (T3) drops of antibiotic cefotaxime. In each group of rats, three drops of antibiotic are given or 0.15 ml. After being treated, the skin samples of the incised mice were taken for histopathological examination to observe the number of blood vessels. The data results on the mean difference in the number of blood vessels were analyzed using Analysis of Variant (ANOVA). It continued with Duncan's Post Hoc test if there were significant differences. The results of the comparison of the mean number of blood vessels in the four treatments were 88.17 ± 77.78, 370.33 ± 277.14, 213.33 ± 41.44, and 268.17 ± 141.10. The

results showed that antibiotics from the tetracycline group had the highest mean number of blood vessels compared to the other three treatments.

Keywords: Antibiotic drop; incision wound; Wistar rat; wound healing

PENDAHULUAN

Luka mengacu pada laserasi atau kerusakan yang terjadi di jaringan atau membran kulit sebagai akibat dari kerusakan yang disebabkan oleh faktor fisiko-kimiawi dan biologis (Taheri et al., 2020). Terjadinya proses penyembuhan luka diawali dengan fase inflamasi, yaitu proses pertahanan oleh tubuh yang timbul karena adanya respon dari jaringan yang masuk ke tubuh.

Proses penyembuhan luka sangat diperlukan untuk mendapatkan kembali jaringan tubuh yang utuh. Ada beberapa faktor yang berperan dalam proses percepatan penyembuhan luka pada tubuh, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti penggunaan obat-obatan alami maupun sintetik, sedangkan faktor eksternal menggunakan larutan fisiologis (NaCl) dengan melakukan irigasi luka (Rahayu et al., 2013). Pada proses penyembuhan luka, pembentukan dan perkembangan pembuluh darah atau angiogenesis merupakan hal yang sangat penting (Fatimatuzzahroh, et al., 2016). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kurniawaty et al. (2018) menyatakan bahwa adanya pembuluh darah baru atau sel endotel vaskular sangat berperan dalam proses proliferasi karena pembuluh darah baru dapat menyediakan asupan nutrisi dan oksigen pada bagian luka yang umumnya lebih membutuhkan asupan untuk pembentukan jaringan baru.

Tujuan utama pengobatan luka adalah untuk mengembalikan fungsi dan bentuk jaringan kulit agar kembali normal dengan komplikasi seminimal mungkin. Untuk itu, perawatan luka yang tepat disertai dengan penggunaan antibiotika diperlukan untuk membantu mempercepat proses penyembuhan luka. Pemberian obat secara topikal telah diketahui dapat memberikan hasil yang lebih optimal dalam proses

penyembuhan luka, terutama dalam mempercepat kontraksi luka. Hal ini disebabkan karena pada penggunaan topikal, senyawa obat terakumulasi lebih banyak pada sisi luka (Yunanda et al., 2016). Atas dasar latar belakang tersebut, perlu dilakukan penelitian guna mengetahui jumlah pembuluh darah pada luka insisi tikur wistar setelah ditetesi antibiotika.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus Wistar (Rattus norvegicus), berjumlah 24 ekor, sehat, berjenis kelamin betina dengan berat badan masing-masing sekitar 150-200 gram. Pertama tikus diadaptasikan selama 1 minggu. Setelah dilakukan adaptasi selama 1 minggu, dibuat luka insisi pada bagian punggung dengan diberikan anestesi umum menggunakan injeksi ketamin 0,1 ml dan xylazin 0,05 ml secara intramuskular. Tikus yang sudah teranastesi diinsisi pada bagian punggung menggunakan scaple dengan panjang 1,5 cm dengan kedalaman sampai muskulus (0,5 mm). Setelah dibuat luka insisi, setiap kelompok tikus diberikan tetes antibiotika sebanyak tiga tetes sebelum dilakukan penjahitan, dengan pembagian kontrol (T0) diberikan NaCl fisiologis, perlakuan I (T1) diberikan tetes antibiotik oksitetrasiklin, perlakuan II (T2) diberikan tetes antibiotik amoxisillin, dan perlakuan III (T3) diberikan tetes antibiotik cefotaxime.

Koleksi Sampel

Setelah dilakukan perlakuan selama tujuh hari, pada hari ke-8 dilakukan pengambilan sampel kulit tikus yang diinsisi dengan melakukan anestesi umum menggunakan ketamine. Pengambilan sampel kulit setiap tikus dilakukan menggunakan gunting bedah yang steril,

sampel dimasukkan ke dalam empat pot yang berisi formalin NBF yang dipisahkan sesuai perlakuan.

Pembuatan Preparat Histopatologi

Sampel kulit dibuat menjadi preparat histopatologi untuk dilakukan pemeriksaan pembuluh darah secara mikroskopis. Pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratorium Patologi, Balai Besar Veteriner dengan menggunakan metode Kiernan (1990). Sampel biopsi kulit didehidrasi dengan merendam sediaan tersebut ke dalam larutan alkohol bertingkat, yang secara berturut-turut mulai dari larutan alkohol 70%, 80%, 90% alkohol absolut I, absolut II, xilol I, xilol II, paraffin, dan terakhir ke dalam paraffin II. Masing-masing perendaman dilakukan selama dua jam. Setelah itu dilakukan embedding, kemudian jaringan dipotong dengan ketebalan 5-6 μm dan hasil pemotongan diletakkan di atas air hangat untuk menghindari lipatan akibat pemotongan. Sediaan diangkat dan diletakkan pada gelas objek dan dikeringkan dalam inkubator bersuhu 60°C selama 24 jam. Pada pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE), sediaan preparat pada gelas objek direndam dalam xylol 1 dan 2 masing-masing selama dua menit untuk dilakukan deparafinasi kemudian rehidrasi dengan perendaman secara berturut dalam alkohol absolut, alkohol 95%, dan alkohol 80% masing- masing selama dua menit, lalu dicuci dengan air mengalir.

Pewarnaan dengan Hematoksilin dilakukan selama 8 menit, selanjutnya dibilas dengan air mengalir, lalu dicuci dengan Lithium karbonat selama 15- 30 detik, dibilas dengan air mengalir, serta diwarnai dengan Eosin selama 2-3 menit. Sediaan yang diwarnai eosin dicuci dengan air mengalir lalu dikeringkan. Sediaan dimasukkan kedalam alkohol 95% dan alkohol absolut masing- masing sebanyak 10 kali celupan, lalu ke dalam alkohol absolut 2 selama 2 menit. Selanjutnya ke dalam xylol 1 selama 1 menit dan xylol 2 selama 2 menit. Sediaan kemudian

diteteskan dengan perekat permount dan ditutup dengan gelas penutup.

Pengamatan Pembuluh Darah

Pengamatan pembuluh darah dilakukan dengan    menggunakan    mikroskop

binokuler di Laboratorium Histopatologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Pembuluh darah yang terlihat pada mikroskop dilakukan penghitungan pada seluruh lapang pandangnya. Jumlah pembuluh darah pada setiap perlakuan dihitung rerata jumlah pembuluh darahnya, kemudian hasil rerata dianalisis menggunakan SPSS.

Analisis Data

Data yang diambil berupa data-data dari hasil pengamatan dan perhitungan jumlah pembuluh darah yang diamati melalui mikroskop. Jika sebaran data normal dan varian data sama maka akan dianalisis dengan menggunakan Uji Parametrik metode One Way Anova dengan aplikasi SPSS, kemudian bila terjadi perbedaan maka dilanjutkan dengan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil perbandingan rerata jumlah pembuluh darah pada luka insisi tikus Wistar berdasarkan pengamatan pada preparat histopatologi dari keempat perlakuan yakni kontrol (T0), antibiotika oksitetrasiklin (T1), antibiotika amoxicillin (T2), dan antibiotika cefotaxime (T3) disajikan pada Gambar 1.

Tampak pada Gambar 1. mengenai perbandingan     gambaran     preparat

histopatologi kulit tikus Wistar setelah diberi perlakuan tetes antibiotika. Pada perlakuan kontrol (T0) yang diberi NaCl fisiologis, rerata jumlah pembuluh darahnya adalah 88.17±77.78. Pada perlakuan kedua (T1) dengan pemberian tetes antibiotika oksitetrasiklin, diperoleh rata-rata 370.33±277.14. Hasil rata-rata pada perlakuan ketiga (T2) yang diberi tetes antibiotika amoxicillin, memiliki hasil rata-rata 213.33±41.44. Sedangkan pada perlakuan keempat (T3), yakni

pemberian tetes antibiotika cefotaxime didapati hasil rata-rata 268.17±141.10. Dari data tersebut diketahui adanya perbedaan hasil rata-rata dari jumlah pembuluh darah pada luka insisi tikus Wistar setelah diberi tetes antibiotika.

Melalui hasil dari pengamatan pada preparat histopatologi secara mikroskopik, pemberian tetes antibiotika pada proses kesembuhan luka insisi pada kulit tikus Wistar menunjukkan adanya perbedaan hasil rerata jumlah pembuluh darah.

Hasil perbandingan rerata jumlah pembuluh darah pada Tabel 1. didapati perbandingan rata-rata jumlah pembuluh darah pada luka insisi tikus Wistar setelah diberi tetes antibiotika. Pada perlakuan kontrol (T0) yang diberi NaCl fisiologis, rerata jumlah pembuluh darahnya adalah 88.17±77.78. Pada perlakuan kedua (T1) dengan pemberian tetes antibiotika oksitetrasiklin, diperoleh rata-rata 370.33±277.14. Hasil rata-rata pada perlakuan ketiga (T2) yang diberi tetes antibiotika amoxicillin, memiliki hasil rata-rata 213.33±41.44. Sedangkan pada perlakuan keempat (T3), yakni pemberian tetes antibiotika cefotaxime didapati hasil rata-rata 268.17±141.10. Rerata jumlah pembuluh darah pada perlakuan kontrol (T0), yaitu pemberian NaCl fisiologis memiliki rerata paling sedikit jika dibandingkan dengan perlakuan pada kelompok lain. Hal ini menandakan bahwa NaCl digunakan sebagai pembersih luka dan untuk menghilangkan benda asing yang menempel, bukan sebagai antiseptik sehingga tidak dapat membunuh bakteri (Hidayat et al., 2015).

Melalui uji parametrik One Way ANOVA, diperoleh kesimpulan yakni adanya perbedaan terhadap perbandingan rerata jumlah pembuluh darah pada kesembuhan luka insisi tikus Wistar. Dari hasil uji One Way ANOVA diperoleh hasil (P-value) = 0.047, maka uji harus dilanjutkan dengan uji lanjutan Duncan. Melalui uji Duncan diperoleh hasil terdapat perbedaan yang signifikan nyata (P≤0,05) antara perlakuan T0 dengan T1.

Sedangkan pada perlakuan T0 dengan T2, dan T3, diperoleh hasil tidak beda nyata. Begitupun dengan perlakuan T1 dengan T2 dan T3. Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan T1 atau tetes antibiotika oksitetrasiklin memiliki rerata jumlah pembuluh darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (pemberian NaCl fisiologis) atau T0, T2 (tetes antibiotika amoxicillin), maupun T3 (tetes antibiotika cefotaxime).

Pembahasan

Antibiotik merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri/jamur) dan memiliki sifat mampu menghambat     pertumbuhan     atau

membunuh organisme (Maida dan Lestari, 2019). Tujuan utama penggunaan antibiotika umumnya adalah untuk pengobatan, sehingga dapat mengurangi risiko kematian dan meningkatkan kesehatan pada hewan. Sedangkan manfaat utama pemberian antibiotika adalah mengurangi inokulasi bakteri hidup pada luka. Penggunaan antibiotik dapat dikatakan tepat apabila efek terapi yang ditimbulkan mampu mencapai batas maksimum, sementara efek toksik yang berhubungan dengan obat menjadi minimum (Pratiwi, 2017).

Dalam proses penyembuhan luka, pembuluh darah dengan jumlah yang banyak dibutuhkan untuk membantu mempercepat proses penyembuhan dengan meningkatkan sirkulasi oksigen dan perfusi jaringan (Nugroho et al., 2016). Pembuluh darah yang dihasilkan dari proses angiogenesis ini berperan dalam mempertahankan kelangsungan fungsi berbagai jaringan atau organ yang terkena, selain itu dapat memberikan suplai oksigen, nutrisi, sel inflamasi, serta mampu menghilangkan jaringan yang terkena nekrosis. Semakin banyak jumlah pembuluh darah yang ditemukan, maka akan semakin cepat proses perbaikan jaringan. Hal ini yang menyebabkan proses penyembuhan luka semakin cepat (Nadira et al., 2021).

Pada perlakuan dengan pemberian antibiotik tetrasiklin diketahui memiliki jumlah rerata pembuluh darah yang paling banyak, karena antibiotik ini mampu menekan pertumbuhan bakteri piogenik pada luka insisi. Antibiotik ini berspektrum luas, dan bersifat bakteriostatik (menekan pertumbuhan bakteri). Antibiotik ini peka terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Antibiotik dari golongan tetrasiklin bekerja dengan cara menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Struktur inti dari antibotik tetrasiklin memungkinkan tetrasiklin untuk berinteraksi dengan subunit 30S dari ribosom bakteri, sehingga mencegah terjadinya pengikatan oleh molekul tRNA yang dimuat oleh asam amino. Hal itu dapat menyebabkan sintesis protein menjadi terhambat (Anggita et al., 2022). Antibiotik golongan tetrasiklin dikontraindikasikan pada hewan yang bunting dan hewan muda, karena tetrasiklin membentuk kelat dengan kalsium pada permukaan gigi dan tulang. Selain itu dapat menyebabkan adanya perubahan pada warna gigi dan perkembangan kerangka menjadi terhambat. Hal ini juga berlaku pada pengobatan manusia, yakni pada wanita hamil dan anak kecil.

Baik antibiotika amoxicillin maupun cefotaxime, memiliki mekanisme kerja yang sama dan termasuk ke dalam jenis antibiotika β-laktam. Antibiotika β-laktam mempunyai komponen cincin beta-lactam yang berperan penting dalam menghambat sintesis dinding sel (Biutifasari, 2018). Antibiotik β-laktam ini digunakan untuk melawan bakteri Gram negatif maupun bakteri Gram positif. Pada bakteri Gram negatif, bakteri mensekresikan enzim β-laktam dalam jumlah sedikit, namun lokasinya strategis yaitu ke dalam ruang periplasma bakteri. Sedangkan pada bakteri Gram positif, bakteri mensekresikan enzim β-laktam keluar sel dalam jumlah yang relatif besar, sehingga obat yang akan menembus dinding sel menjadi tidak aktif. Karena adanya

perbedaan struktur pada dinding sel antara bakteri Gram negatif dan Gram positif, maka akan berbeda pula pola resistensinya. Enzim Beta-lactamase menyebabkan terjadinya resistensi bakteri dengan cara memecah struktur dari antibiotika tersebut. Beta-lactamase akan membuka cincin β-laktam dan merubah struktur obat, serta menghalangi ikatan Penisilin Binding Protein (PBP). Perubahan yang terjadi pada struktur obat, akan menyebabkan inaktivasi dari obat tersebut (Biutifasari, 2018).

Pada hasil penghitungan rerata jumlah pembuluh darah, antibiotika oksitetrasiklin memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan antibiotika amoksisilin dan sefotaksim. Hal ini diperkirakan karena bakteri pyogenik yang ada pada luka insisi sebagian besarnya adalah bakteri yang menghasilkan β-laktamase seperti Staphylococcus aureus, sehingga menyebabkan terjadinya resistensi terhadap kedua antibiotik tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pemberian tetes antibiotika terbukti dapat meningkatkan proses pembentukan pembuluh darah baru atau angiogenesis. Pemberian tetes antibiotika oksitetrasiklin terbukti memiliki kemampuan yang lebih baik dalam meningkatkan proses angiogenesis jika dibandingkan pemberian NaCl fisiologis, amoxicillin, dan cefotaxime pada luka insisi tikus Wistar.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian tetes antibiotika dalam hal dosis, toksisitas, dan lainnya dalam rentang waktu yang berbeda untuk mengetahui lebih pasti tingkat keefektifan pemberian tetes antibiotika dalam proses penyembuhan luka. Dalam hal dosis, perlu penelitian lebih lanjut mengenai dosis optimal dan dosis maksimal dari pemberian tetes antibiotika untuk melihat

efektivitas dan toksisitas dalam proses penyembuhan luka.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Laboratorium Histologi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, serta semua pihak yang terlibat pada penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anggita D, Nurisyah S, Wiriansya EP.

2022. Mekanisme kerja antibiotik. UMI Med. J. 7(1): 46-58.

Biutifasari V. 2018. Extended spectrum beta-lactamase (ESBL). Oceana Biomed. J. 1(1): 1-11.

Fatimatuzzahroh F, Firani NK, Kristianto

H. 2016. Efektifitas ekstrak bunga cengkeh (syzygium aromaticum) terhadap jumlah pembuluh darah kapiler pada proses penyembuhan luka insisi fase proliferasi. Maj. Kes. FKUB. 2(2): 92-98.

Hidayat FK, Elfiah U, Sofiana KD. 2015.

Perbandingan jumlah makrofag pada luka insisi full thickness antara pemberian ekstrak umbi bidara upas dengan NaCl pada tikus wistar jantan. J. Agromed. Med. Sci. 1: 9-13.

Kurniawaty E, Farmitali CG, Rahmanisa S, Andriani S. 2018. Perbandingan tingkat kesembuhan luka sayat terbuka antara pemberian etakridin laktat dan pemberian propolis secara topikal pada tikus putih (Rattus norvegicus). Proc. Sem. Nas. Pakar. Pp. 339-345.

Maida S, Lestari KAP. 2019. Aktivitas antibakteri amoksisilin terhadap bakteri

gram positif dan bakteri gram negatif. J. Pijar MIPA. 14(3): 189-191.

Nadira LA, Jayawardhita AAG, Adi AAAM. 2021. Pemberian salep ekstrak daun kersen, efektif meningkatkan proses angiogenesis pada kesembuhan luka insisi kulit mencit hiperglikemia. Indon. Med. Vet. 10(6): 851-860.

Nugroho AM, Elfiah U, Normasari R. 2016. Pengaruh gel ekstrak dan serbuk mentimun (Cucumis sativus) terhadap angiogenesis pada penyembuhan luka bakar derajat IIB pada tikus wistar. e-J Pustaka Kes. 4(3): 446.

Pratiwi RH. 2017. Mekanisme pertahanan bakteri patogen terhadap antibiotik. J. Pro-life. 4(3): 418-429.

Rahayu F, Ade WFW, Rahayu W. 2013. Pengaruh pemberian topikal gel lidah buaya (Aloe chinensis Baker) terhadap reepitalisasi epidermis pada luka sayat kulit mencit (Mus musculus). e-J. Ked. Riau. Pp. 1-8.

Sanu EM, Sanam MUE, Tangkonda E. 2015. Uji sensitivitas antibiotika terhadap Staphylococcus Aureus yang diisolasi dari luka kulit anjing di Desa Merbaun, Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kupang. J. Kajian Vet. 3(2): 175-189.

Taheri A, Mirghazanfari SM, Dadpay M. 2020. Wound healing effects of persian walnut (Juglans regia L.) green husk on the incision wound model in rats. Eur. J. Transl. Myol. 30(1): 8671.

Yunanda V, Rinanda T. 2016. Aktivitas penyembuhan luka sediaan topikal ekstrak bawang merah (Allium cepa) terhadap luka sayat kulit mencit (Mus musculus). J. Vet. 17(4): 606-614.

Gambar 1. Gambaran perbandingan preparat histopatologi (HE, 100X) kulit tikus Wistar pasca perlakuan kontrol NaCl fisiologis (A), pemberian tetes antibiotika oksitetrasiklin (B), tetes antibiotika amoxicillin (C), dan tetes antibiotika cefotaxime (D). Pembuluh darah ditunjukkan oleh tanda panah.

Tabel 1. Perbandingan rerata jumlah pembuluh darah pada masing-masing perlakuan pada luka insisi tikus Wistar yang diberi tetes antibiotika.

Perlakuan (T)

N

Mean

Std. Deviation

Uji Duncan

T0

6

88,17

77,78

88,17a

T1

6

370,33

277,14

370,33b

T2

6

213,33

41,44

213,33ab

T3

6

268,17

141,10

268,17ab

Total

24

235

537,46

*Keterangan: huruf superskrip yang sama menandakan tidak berbeda nyata (P>0.05) sedangkan huruf superskrip yang berbeda menandakan berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan Uji ANOVA dan post-hoc Duncan.

793