IDENTIFICATION OF CELLS IN DOG SALIVA
on
Volume 15 No. 3: 458-466
Juni 2023
DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i03.p15
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Identifikasi Jenis Sel pada Saliva Anjing
(IDENTIFICATION OF CELLS IN DOG SALIVA)
Drevani Angelika Sachio1*, Iwan Harjono Utama2, Sri Kayati Widyastuti3
-
1Mahasiswa Pendidikan Sarjana Dokter Hewan, Fakultas Kedoteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234,
-
2Laboratorium Biokimia Veteriner, Fakultas Kedoteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB.
Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234,
-
3Laboratorium Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedoteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234,
*Email: [email protected]
Abstrak
Saliva adalah cairan tubuh unik yang mudah diakses, dan memiliki berbagai peran dalam menjaga kesehatan tubuh. Karena kelebihan ini, saliva memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi sampel biologis yang non-invasif dalam dunia kedokteran hewan, dimana kesejahteraan hewan selalu diupayakan. Meskipun saliva anjing sudah cukup banyak diteliti, namun belum ada penelitian mengenai komponen seluler pada saliva anjing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis sel yang dapat ditemukan pada saliva anjing normal. Penelitian ini menggunakan objek penelitian berupa spesimen saliva dari anjing sehat. Sampel saliva dari 15 anjing kemudian dibuat menjadi 15 sediaan segar sebelum diperiksa menggunakan mikroskop. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan menggunakan perbesaran 400x untuk mengidentifikasi jenis sel yang dapat ditemukan pada saliva anjing. Data yang didapatkan akan dilaporkan secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saliva anjing dapat ditemukan beberapa sel yaitu sel epitel, sel darah putih, mikroorganisme, serta komponen bukan sel yaitu kristal. Sel yang ditemukan merupakan sel yang berasal dari rongga mulut, sedangkan pembentukan kristal pada saliva anjing disebabkan oleh kandungan mineral serta pH saliva anjing yang bernilai tinggi. Perlu dilakukan penelitian lanjutan agar sel dapat teridentifikasi dengan lebih baik.
Kata kunci: Preparat segar; saliva anjing; sel
Abstract
Saliva is a unique body fluid that is easily accessible, with varying roles in maintaining body health. Because of these advantages, saliva has great potential to be used clinically as a non-invasive and easily collected biological sample, especially in veterinary medicine, where there is always a need to uphold animal welfare. Although there has been quite a lot of research concerning dog saliva, there has been no research on the cellular components of dog saliva. This study aims at determining the types of cells found in healthy dog saliva. This study used saliva specimens collected from healthy dogs as the research object. Immediately after collection, samples were made into 15 native saliva preparation before being examined under the microscope. Microscopic examinations were done with 400x magnification to identify the types of cells that can be found within the dog saliva. The obtained data were reported in a qualitative descriptive manner. The results showed that in dog saliva, there were several cells such as epithelial cells, white blood cells, and microorganisms. Non-cellular components such as crystals were also found in the samples. Identified cells come from the oral cavity, while the formation of crystals in the saliva was supported by the high quantity of minerals and the basic pH of the dog saliva. Further research is needed to allows better identification of cells.
Keywords: Native preparation; dog saliva; cell
PENDAHULUAN
Saliva atau air liur adalah suatu cairan sekresi eksokrin yang mengisi rongga mulut (Kasuma, 2015). Cairan kompleks ini terdiri atas berbagai komponen seperti elektrolit, enzim, protein dan sel yang berperan penting dalam menjaga kesehatan tubuh dan mulut (Iacopetti et al., 2017). Menurut Kasacka et al. (2006), saliva mengandung beberapa sel yaitu sel epitel, sel bakteri dan leukosit. Vila et al. (2019) menuliskan, bahwa lingkungan rongga mulut yang lembab dan kaya nutrisi menjadikannya tempat yang ideal untuk berkembangnya mikroorganisme seperti bakteri dan jamur.
Komposisi sel pada saliva dapat menggambarkan kondisi kesehatan tubuh (Theda et al, 2018). Misalnya, saat terjadinya inflamasi, maka akan terjadi peningkatan jumlah leukosit, atau terjadinya deskuamasi sel epitel premature dapat menandakan squamous cell carcinoma (Deo dan Deshmukh, 2018). Bidang ilmu yang mempelajari sel adalah sitologi. Pada bidang klinis, pemeriksaan sitologi seringkali digunakan sebagai metode skrining kanker dan membantu diagnosis berdasarkan komposisi sel yang terlihat pada sampel. Berdasarkan tulisan dari Al-Abbadi (2011), pemeriksaan sitologi terhadap sampel saliva digolongkan sebagai exfoliative cytology, dimana sampel menggambar sel yang tereksfoliasi dari lapisan serosa superfisial maupun lapisan mukosa. Penggunaan sitologi klinis sudah cukup berkembang di kedokteran manusia dan lebih sering digunakan di bidang kedokteran gigi.
Saliva mendapatkan julukan “mirror of the body” karena komponen-komponen yang terkandung dalam saliva dapat mencerminkan status kesehatan tubuh (Turunen et al., 2020). Selain itu, saliva memiliki keuntungan terbesar yaitu non-invasif, yang berarti dalam
pengumpulannya tidak memerlukan penetrasi pada jaringan tubuh (Iacopetti et al., 2017; Mada et al., 2020; Niedrig et al., 2018). Keuntungan ini akan membuat
pengambilan spesimen saliva pada hewan menjadi lebih tidak sakit, jumlah yang terkumpul lebih berlimpah, dan lebih bisa ditoleransi oleh hewan serta pemilik hewan (Franco-Martinez et al., 2019). Semakin meningkatnya kesadaran manusia akan pentingnya kesejahteraan hewan dan pentingnya mengurangi efek stres yang disebabkan oleh tindakan klinis, maka pemanfaatan saliva sebagai sampel turut dilakukan pada ternak dan hewan kesayangan (Depamede et al., 2014). Salah satunya adalah pada anjing, yang merupakan hewan peliharaan dengan hubungan paling dekat dengan manusia (Mahindra et al., 2020).
Sejauh ini, penelitian saliva pada anjing lebih berfokus pada penentuan kadar kortisolnya (Pasha et al., 2018). Beberapa teknik seperti immunofluorometric assay, enzyme-linked immunosorbent assay, dan radioimmunoassay dilakukan untuk mendeteksi protein pada saliva anjing (Sanguansermsri et al.,2018). Kegunaan lain misalnya sampel saliva yang digunakan untuk pengukuran IgG, deteksi antigen virus rabies, dan monitor kadar obat.
Turunen et al. (2020) menyebutkan bahwa terdapat kemiripan anatomis dan fisiologis pada kelenjar saliva anjing dengan kelenjar saliva manusia, dan belakangan ini ketertarikan terhadap saliva anjing kian meningkat. Karena ini, dapat diperkirakan bahwa saliva anjing memiliki potensi untuk dikembangkan dalam berbagai bidang ilmu, termasuk sitologi, sehingga kedepannya dapat digunakan di bidang klinik. Sebelum digunakan dalam pemeriksaan klinis, diperlukan
pengetahuan dan pemahaman mengenai sel-sel pada saliva anjing dalam kondisi normal. Akan tetapi, sejauh ini belum ada penelitian yang mempelajari jenis sel pada saliva anjing. Maka itu, penelitian ini dilakukan untuk memberikan informasi serta gambaran dari jenis sel yang dapat ditemukan pada saliva anjing normal.
METODE PENELITIAN
Obyek Penelitian
Obyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah saliva anjing sehat yang dikumpulkan dari 15 ekor anjing, berlokasi di wilayah kota Denpasar. Saliva yang diambil berasal dari area bawah lidah di dalam mulut anjing.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan small samples (Spiegel dan Stephens, 2008). Pengambilan data dilakukan dengan mengambil saliva dari bawah lidah anjing menggunakan pipet plastik. Kemudian, dilakukan pencatatan terhadap jenis kelamin, umur, breed serta warna rambut anjing.
Teknik Pengambilan Saliva
Salivasi pada anjing di induksi dengan cara memposisikan makanan didepan mata maupun diatas hidung anjing. Proses ini dilakukan hingga anjing sudah terlihat bersalivasi. Selain itu, anjing yang akan diambil salivanya tidak diperbolehkan untuk makan selama 20 menit, untuk menghindari terjadinya kontaminasi sampel (Colussi et al., 2018). Setelah proses induksi selesai, maka anjing di restrain pada bagian tubuh dan kepala, kemudian mulut anjing dibuka dan saliva diambil menggunakan pipet plastik dari bawah lidah anjing. Saliva yang sudah terambil dipindahkan ke wadah plastik 10 ml dan wadah disimpan dalam termos pendingin.
Pemeriksaan Saliva
Sampel segera dibawa ke laboratorium dan dibuat menjadi preparat segar untuk menjaga keutuhan bentuk sel (Stone dan Reppas, 2016). Preparat yang sudah dibuat kemudian diperiksa menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x. Sel yang teramati diambil gambarnya menggunakan kamera ponsel sebagai dokumentasi hasil penelitian.
Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini dilaporkan secara deksriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Sel epitel oral paling banyak teramati pada preparat. Ciri-ciri yang ditemukan yaitu sel berbentuk pipih, berukuran besar dan warna bening/ translusen. Beberapa sel ditemukan tanpa inti maupun dengan inti. Inti sel yang teramati berada ditengah sel dan memiliki warna yang lebih gelap daripada sitoplasma (Gambar 1).
Temuan mikroskopik pada Gambar 2 diduga adalah leukosit atau sel darah putih. Karakteristik morfologi yang ditemukan yaitu sel berbentuk bulatan yang dikelilingi oleh bulatan lain bertepi irregular. Ukurannya kecil dengan warna yang hampir tembus pandang.
Pada Gambar 3, disajikan beberapa temuan yang diduga sebagai mikroorganisme yaitu bakteri dan jamur yang berada pada saliva anjing. Panah nomor 1 menunjukkan sel berbentuk panjang dengan ukuran yang sangat kecil dan menyerupai bentuk dari bakteri basilus/ rod-shaped bacteria. Pada panah nomor 2, sel yang ditunjuk berupa bulatan kecil yang serupa bakteri coccus. Sedangkan, panah nomor 3 menunjuk sel berbentuk bulat hingga oval yang saling menempel. Bentuk ini serupa dengan bentuk yeast dari jamur Candida.
Salah satu benda mikroskopis bukan sel yang teramati pada preparat adalah kristal. Kristal memiliki tampilan yang terlihat lebih terang dan menyerupai kaca dibawah mikroskop. Kebanyakan kristal yang ditemukan memiliki bentuk menyerupai jarum (Gambar 4A-4C), atau hanya berupa kumpulan yang tidak berbentuk (Gambar 4D).
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saliva anjing dapat ditemukan beberapa sel yaitu epitel oral, leukosit, bakteri dan jamur. Teramati juga benda non-seluler yaitu kristal.
Sel Epitel yang ditemukan adalah sel epitel pipih dengan inti yang tunggal (Gambar 1A-1B). Namun, beberapa sel
epitel ditemukan tidak memiliki inti sel (1C-1D). Karakteristik ini sesuai dengan ciri-ciri sel skuamosa oral normal yang disebutkan oleh Sabirin (2015). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa sel epitel yang ditemukan adalah sel epitel yang terdeskuamasi dari jaringan epitel skuamous pada rongga mulut. Jaringan epitel skuamous kompleks adalah jaringan epitel yang melapisi ketiga jenis mukosa pada rongga mulut. Berdasarkan tulisan dari Sabirin (2015), mukosa rongga mulut terbagi menjadi lining mucosa yang dilapisi oleh epitel skuamous kompleks non-keratin, serta masticatory dan specialized mucosa yang dilapisi oleh sel epitel skuamous kompleks berkeratin.
Keberadaan sel epitel pada saliva disebabkan oleh peristiwa deskuamasi lapisan jaringan epitel pada rongga mulut. Peristiwa ini normal terjadi, disebut sebagai “turnover time”. Pada proses ini, sel-sel baru dari lapisan basal akan mengalami diferensiasi dan maturasi hingga akhirnya mencapai lapisan mukosa superfisial dan mengalami keratinisasi. Sedangkan, sel lama yang sudah mati akan terlepas dan mengalami deskuamasi. Proses ini bertujuan untuk menggantikan sel pada permukaan jaringan menjadi sel baru. Pada lapisan mukosa lining, sel epitel yang terlepas biasanya masih memiliki inti (Sabirin, 2015). Beberapa sel yang ditemukan tanpa inti sel kemungkinan adalah sel epitel skuamous yang melapisi daerah gingiva dan pallatum durum. Sel-sel ini tergolong sebagai epitel skuamous berkeratin dan dalam proses “turnover time”-nya, terjadi degenerasi dan piknosis pada nukleusnya. Maka itu, sel yang berada pada lapisan permukaan/ stratum corneum adalah sel skuamous mati yang sudah tidak memiliki organel dan inti sel (Deo dan Deshmukh, 2018).
Penyebab lain munculnya sel epitel pada saliva adalah tergerusnya lapisan mukosa mulut saat anjing makan atau mengunyah sesuatu, sehingga sel epitel lepas dari permukaan mukosa. Selain itu, gerusan dari makanan yang dikonsumsi
anjing dapat menyebabkan kerusakan pada membran sel epitel, misalnya oleh trauma mekanis, yang menyebabkan sitoplasma dan inti sel keluar dan menyisakan cangkang sel, sehingga sel yang ditemukan tidak memiliki inti.
Dalam pemeriksaan sitologi eksfoliatif, jumlah dan morfologi dari sel epitel oral dapat dipengaruhi oleh berbagai zat kimia, dan dapat merefleksikan terjadinya suatu gangguan kesehatan. Beberapa faktor seperti, bahan kimia (seperti merkuri, nikotin), infeksi, trauma, defisiensi vitamin A, dapat menganggu proses keratinisasi sehingga akan muncul abnormalitas pada sel epitel oral, baik ukurannya, morfologi maupun jumlah epitel yang terdeskuamasi.
Sel darah putih atau leukosit adalah salah satu komponen seluler dari saliva yang berasal dari peredaran darah dan ikut berperan dalam menjalankan fungsi saliva untuk mengeliminasi zat asing yang masuk ke rongga mulut. Sehingga ditemukannya leukosit pada saliva anjing diperkirakan sebagai hal yang normal. Berdasarkan tulisan dari Kasacka dan Łapinska (2010), mayoritas sel darah putih yang ditemukan pada saliva manusia normal adalah monosit dan limfosit. Monosit berperan penting dalam proses autoimun, sedangkan limfosit berperan penting dalam melawan infeksi bakteri maupun virus. Berdasarkan karakteristik morfologi pada Gambar 12, dapat diduga bahwa benda mikroskopik tersebut merupakan sel darah putih/ leukosit yang berada pada saliva. Akan tetapi, diperlukan pewarnaan untuk memastikan dan mengidentifikasi jenis leukosit yang terdapat pada saliva.
Pengamatan terhadap jumlah dan jenis leukosit dapat mencerminkan kondisi patologis yang terjadi. Umumnya, kenaikan jumlah leukosit pada saliva dapat menandakan terjadinya inflamasi oral, misalnya gingivitis (Theda et al., 2018). Selain itu, Mada et al. (2020) menyatakan bahwa peningkatan jumlah neutrofil dapat menandakan keberadaan sel tumor, dimana semakin tinggi jumlah neutrofilnya, maka
semakin ganas tingkat tumor yang ditemukan.
Rongga mulut adalah lingkungan hangat dan kaya nutrient yang mendukung berkembangnya mikroorganisme seperti bakteri dan jamur (Vila et al., 2019). Fatima et al. (2020) memperkirakan, terdapat lebih dari 700 spesies mikroorganisme yang hidup sebagai flora normal dalam rongga mulut anjing. Maka itu, teramatinya sel bakteri (Gambar 3) pada saliva anjing merupakan hal yang normal, karena pada saliva anjing terkandung banyak flora normal. Namun, sama seperti leukosit, identifikasi bakteri baru dapat dilakukan dengan pengamatan mikroskopis saliva menggunakan pewarnaan.
Mikroorganisme lain yang teramati adalah sel jamur/ fungi. Karakteristik morfologi yang ditemukan pada preparat berupa sel berbentuk bulat dan oval yang saling merekat. Bentuk ini juga ditemui oleh Poloni dan Rotta (2020) pada pemeriksaan natif urin, dan disebut sebagai bentuk yeast dari jamur Candida. Candida adalah salah satu jenis fungi yang berkembang dalam bentuk yeast, dimana ia bersifat komensal, namun dapat berubah menjadi bentuk filamen invasif, dan menyebabkan berbagai penyakit mukosal seperti oral candidiasis. Pada saliva anjing sehat, Candida ditemukan dalam bentuk yeast karena kerja protein histatin-5 dan statherin yang terkandung pada saliva (Vila et al., 2019). Histatin-5 bekerja dengan cara menganggu proses homeostasis sel jamur. Sedangkan, statherin bekerja dengan cara menginduksi transisi hyphae-to-yeast dan mempertahankan jamur berada pada bentuk komensalnya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa bentuk yang ditemukan adalah bentuk yeast. Selain itu, hal ini dapat menjelaskan kaitan terjadinya hiposalivasi dan xerostomia dengan meningkatnya predisposisi anjing terkena infeksi oleh bakteri maupun jamur dari rongga mulut (Schenkels et al., 1995).
Kristal adalah senyawa berbentuk geometris yang terbentuk atas mineral. Keberadaan kristal pada sedimen urin – baik pada manusia, anjing maupun kucing – memiliki nilai diagnostik yang cukup penting, dimana keberadaanya pada urin dapat menandakan terjadinya over-saturasi elektrolit maupun substansi tertentu yang seringkali disebabkan oleh penyakit metabolik, penyakit menurun maupun obat-obatan (Katica et al., 2020). Selain karena kadar elektrolit yang berlebih, pembentukan kristal juga dipengaruhi oleh pH. Beberapa kristal seperti uric acids cenderung terbentuk pada lingkungan dengan pH asam. Sedangkan kristal seperti kalsium fosfat lebih cenderung terbentuk pada lingkungan dengan pH basa. Sejauh ini, belum ada publikasi yang membahas mengenai penemuan kristal pada saliva manusia maupun anjing.
Berdasarkan faktor-faktor yang menyebabkan terbentuknya kristal, dapat diduga bahwa penemuan kristal pada saliva anjing merupakan peristiwa normal. Pembentukan kristal pada saliva anjing dapat dijelaskan oleh tingginya kadar mineral serta pH saliva anjing. Saliva anjing diketahui memiliki kandungan mineral seperti sodium, kalium, kalsium, magnesium, bikarbonat, dan fosfat yang lebih tinggi dari manusia (Pasha et al., 2018). Selain itu, saliva anjing memiliki nilai pH yang cenderung bersifat basa, dengan rentang nilai 7,2 – 8,5, sedangkan pH saliva manusia cenderung bersifat netral. Maka itu, dapat disimpulkan bahwa komponen mineral dan pH saliva anjing mendukung terjadinya pembentukan kristal seperti kalsium fosfat dan struvite.
Dari hasil penelitian yang didapatkan (Gambar 4), kristal yang teramati pada saliva memiliki bentuk menyerupai jarum, yang merupakan salah satu bentuk dari kristal kalsium fosfat (Gambar 4A-4C). Berdasarkan tulisan dari Katica et al. (2020), pembentukan kristal kalsium fosfat pada urin terjadi ketika pH urin melampaui nilai 6.5 serta tingginya konsentrasi kalsium dan fosfat pada urin.
Pembentukan kristal yang berlebih dapat meningkatkan predisposisi anjing terkena gingivitis. Kristal dapat membentuk kalkulus gigi, dan apabila berakumulasi dapat menyebabkan
gingivitis. Hal ini sesuai dengan tulisan dari Lesmana et al. (2016) yang menyebutkan bahwa kandungan mineral yang tinggi pada saliva anjing menyebabkan anjing lebih rentan terkena gingivitis, namun lebih rendah kemungkinannya terserang karies. Maka itu, penting bagi pemilik anjing untuk mengatur nutrisi serta kebersihan mulut anjing untuk mencegah terbentuknya kristal berlebih pada mulut anjing.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pada saliva anjing, dapat ditemukan adanya sel epitel, sel darah putih, mikroorganisme yang berasal dari rongga mulut. Ditemukannya kristal pada saliva anjing dapat dikaitkan dengan pH serta kandungan mineral saliva anjing yang tinggi.
Saran
Diperlukan penelitian lanjutan untuk memperdalam pemahaman serta
memaksimalkan potensi saliva anjing sebagai sampel biologis non-invasif yang dapat kedepannya dapat digunakan di bidang klinik. Penelitian lanjutan dapat berupa pemeriksaan sediaan saliva menggunakan metode fiksasi dan pewarnaan, supaya sel dapat teridentifikasi dengan lebih jelas. Selain itu, penelitian perlu dilakukan untuk menentukan metode yang paling ideal dalam mengambil saliva anjing untuk memudahkan proses koleksi spesimen kedepannya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, kepada Bapak Pembimbing I dan Ibu Pembimbing II yang telah mengajari serta membimbing kami selama penelitian, kepada pihak
Laboratorium Bersama Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana, kepada pemilik–pemilik anjing yang sudah mengizinkan penulis untuk mengambil spesimen saliva, dan kepada semua pihak yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abbadi MA. 2011. Basics of cytology. Avicenna J. Med. 1(1):18-28.
Colussi A, Stefanon B, Adorini C, Sandri M. 2018. Variations of salivary cortisol in dogs exposed to different cognitive and physical activities. Italian J. Anim. Sci. 17(4):1030-1037.
Deo PN, Deshmukh R. 2018. Pathophysiology of keratinization. J Oral Maxillofac. Pathol. 2018(22): 8691.
Depamede SN, Rosyidi A, Sriasih M, Dahlanuddin, Yulianti E, Suparman. 2014. Potensi air liur sebagai perantara dalam pemeriksaan noninvasive pada hewan piaraan. J. Vet. 15(4):564-569.
Fatima S, Muzammal M, Rehman A, Shah KU, Kamran M, Mashal S, Rustam SA, Sabir MW, Nayab A. 2020. Composition and function of saliva: a review. World J. Pharm. Pharm. Sci. 9(6): 1552-1567.
Franco-Martínez L, Tvarijonaviciute A, Horvatic A, Guillemin N, Bernal LJ, Rafaj RB, Ceron JJ, del Carmen Thomas M, López MC, Tecles F, Martínez-Subiela S, Mrljak V. 2019. Changes in saliva of dogs with canine leishmaniosis: A proteomic approach. Vet. Parasitol. 2019(272): 44-52.
Iacopetti I, Perazzi A, Badon T, Bedin S, Contiero B, Ricci R. 2017. Salivary pH, calcium and phosphorus and selected enzymes in healthy dogs: a pilot study. BMC Vet. Res.2017(13): 330-337.
Kasacka I, Łapinska J. 2010. Salivary cells in patients with dental amalgam and composite resin material restorations – a morphological investigation. Polish J. Environ. Stud. 19(6): 1223-1227.
Kasacka I, Szarmach IJ, Buczko P, Tankiewicz A, Pawlak D. 2006. Preliminary evaluation of
morphological parameters of the saliva in patients undergoing orthodontic treatment. Adv. Med. Sci. 2006(51): 5254.
Kasuma N. 2015. Saliva. In: Kasuma (ed.) Fisiologi dan Patologi Saliva.1st Edition. Andalas University Press. Padang. Pp. 1.
Lesmana D, Tjahajawati S, Lubis VT. 2016. Saliva sebagai biomarker potensial diagnostik penyakit rongga mulut dan sistemik. Dentika Dental J. 19(2):160-167.
Mada LN, Kumarguru BN, Gaur U. 2020. A clinical study on detection of dysplastic cells through saliva. Indian J. Otolaryngol. Head Neck Surg. 73: 6-11.
Mahindra AT, Batan IW, Nindhia TS. 2020. Gambaran hematologi anjing peliharaan di Kota Denpasar. Indon. Med. Vet. 9(3): 314-324.
Niedrig M, Patel P, El Wahed AA, Schädler R, Yactayo S. 2018. Find the right sample: A study on the versatility of saliva and urine samples for the diagnosis of emerging viruses. BMC Infect. Dis. 2018(18): 707-721.
Pasha S, Inui T, Chapple I, Harris S, Holcombe L, Grant MM. 2018. The saliva proteome of dogs: Variations within and between breeds and between species. Proteomics. 18(3-4): 1-7.
Sabirin IPR. 2015. Sitopatologi eksfoliatif mukosa oral sebagai pemeriksaan penunjang di Kedokteran Gigi. J. Ked. Kes. 2(1): 157-161.
Sanguansermsri P, Jenkinson HF, Thanasak J, Chairatvit K, Roytrakul S, Kittisenachai S, Puengsurin D, Surarit R. 2018. Comparative proteomic study
of dog and human saliva. PLoS ONE. 13(12): 1-16.
Spiegel MR, Stephen LJ. 2008. Small sampling theory. In: Spiegel MR, Stephen LJ (ed.) Theory and Problems of Statistics. 4th Ed. The McGraw-Hill. USA. Pp. 275.
Stone B, Reppas G. 2010. Cytology sample collection and preparation for veterinary practitioner.
https://www.vetqml.com.au/Portals/0/P DF/Publications/CytologySampleCollec tion.pdf
Theda C, Hwang SH, Czaiko A, Loke YJ, Leong P, Craig JM. 2018. Quantitation of the cellular content of saliva and buccal swab samples. Sci. Rep. 2018(8): 6944.
Turunen S, Puurunen J, Auriola S, Kulla AM, Kärkkäinen O, Lohi H, Hanhineva K. 2020. Metabolome of canine and human saliva: a non-targeted
metabolomics study. Metabolomics. 16(9): 90-102.
Vila T, Rizk AM, Sultan AS, Jabra-Rizk MA. 2019. The power of saliva: antimicrobial and beyond. PLoS Pathog. 15(11): 1-7.
Poloni JAT, Rotta LN. 2020. Urine sediment findings and the immune response to pathologies in fungal urinary tract infections caused by Candida spp. J. Fungi. 6(4): 245-256.
Schenkels LCPM, Veerman ECI, Nieuw Amerongen AV. 1995. Biochemical composition of human saliva in relation to other mucosal fluids. Critical Rev. Oral Biol. Med. 6(2): 161-175.
Katica M, Ahmed NH, Gradaščević N, Salkić A, Dervišević E. 2020. A contribution to the study of crystalluria: a significance in the diagnosis of metabolic and renal diseases. J Adv. Vet. Biol. Sci. Tech. 5(2): 81-89.
Gambar 1. Sel Epitel yang ditemukan pada preparat segar saliva anjing. Epitel skuamosa yang memiliki inti (1A-1B). Epitel skuamosa yang tidak memiliki inti (1C-1D). X: Cangkang sel. Y: Inti sel. (400x)
Gambar 2. Sel Darah Putih/Leukosit yang teramati pada preparat segar saliva anjing. 2A dan 2C: Gambaran mikroskopis dari saliva anjing (Sel darah putih ditandai oleh lingkaran merah). 2B: Pembesaran dari gambar 2A. 2D: Pembesaran dari gambar 2C. (Sel darah putih ditandai dengan panah hitam). (400X).
Gambar 3. Gambaran mikroorganisme yang teramati pada preparat segar saliva anjing. 1: Benda mikroskopis yang menyerupai bakteri batang/ rod-shaped bacteria. 2: Benda mikroskopis yang menyerupai bakteri coci. 3: Benda mikroskopis yang diduga yeast jamur Candida. (400x).
Gambar 4. Kristal yang teramati pada preparat saliva anjing. Kristal berbentuk jarum yang serupa dengan kristal kalsium fosfat pada sedimen urin (4A-4C). Kumpulan kristal tanpa bentuk jelas atau disebut amorphous microcrystal (4D). (400X).
466
Discussion and feedback