Volume 15 No. 3: 389-400

Juni 2023

DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i03.p07

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Identifikasi Potensi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Produk Daging Babi Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran

(IDENTIFICATION OF POTENTIAL HAZARDS AND RISK ASSESSMENT IN PORK MEAT PRODUCTS OF PESANGGARAN SLAUGHTERHOUSE)

Fazral Anshari Berutu1*, I Wayan Suardana2, I Ketut Suada2

  • 1Mahasiswa Program Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia;

  • 2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia.

*Email: [email protected]

Abstrak

Pada setiap langkah-langkah di RPH terdapat banyak peluang untuk kontaminasi karkas babi dengan bakteri yang berpotensi patogen. Terdapat proses yang mengurangi jumlah bakteri, tetapi tidak dapat menghilangkan bahaya sepenuhnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi bahaya dan penilaian risiko pada produk daging babi Rumah Pemotongan Pesanggaran. Penelitian ini menggunakan metode pengamatan yang dilakukan 15 kali yaitu observasi lapangan secara langsung (inspeksi) serta wawancara untuk memperoleh data. Data kemudian dianalisis dengan Failure Modes and Effect Analysis (FMEA) dalam menetukan potensi bahaya dan penilaian risiko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 15 potensi bahaya pada produk daging babi Rumah Pemotongan Pesanggaran. Adapun nilai Risk Assesment Code (RAC) potensi bahaya tersebut yaitu 9 potensi bahaya memiliki nilai RAC 1, 2 potensi bahaya memiliki nilai RAC 2 dan 4 potensi bahaya memiliki nilai RAC 4. Adapun semua potensi bahaya dikategorikan sebagai potensi bahaya yang tidak dapat diterima. Potensi bahaya tersebut harus dihilangkan oleh pihak Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran untuk menghindari terjadi penyebaran penyakit menular melalui makanan (foodborne disease).

Kata kunci: Bahaya; daging babi; risiko; rumah pemotongan hewan

Abstract

At each step in the abattoir there are many opportunities for contamination of pig carcasses with potentially pathogenic bacteria. There are processes that reduce the number of bacteria, but do not completely eliminate them. This study aims to identify the potential hazards and risks of pork products at the Pesanggaran Slaughterhouse. This study used the observation method which was carried out 15 times, namely direct field observations (inspections) and interviews to obtain data. The data is then analyzed by Failure Modes and Effect Analysis (FMEA) in determining the potential hazards and risk assessment. The results showed that there were 15 potential hazards in pork products at the Pesanggaran Slaughterhouse. The Risk Assessment Code (RAC) values for these potential hazards are 9 potential hazards having an RAC value of 1, 2 potential hazards having an RAC value of 2 and 4 potential hazards having an RAC value of 4. All potential hazards are categorized as unacceptable potential hazards. These potential hazards must be eliminated by the Pesanggaran Slaughterhouse to avoid the spread of infectious diseases through food (foodborne disease).

Keywords: Hazard; pork meat; risk; slaughterhouse

PENDAHULUAN

Daging babi (babi) merupakan salah satu daging yang paling banyak dikonsumsi di dunia (McGlone, 2013). Masyarakat Kota Denpasar dan umumnya masyarakat di pulau Bali sebagian besar mengonsumsi daging babi. Alasan utama hal ini karena mayoritas penduduk merupakan penganut agama Hindu yang tidak mengharamkan daging babi untuk di konsumsi (Sriyani, 2015; Agustina et al., 2016).

Rumah Pemotongan Hewan merupakan sebuah bangunan yang digunakan untuk menyembelih hewan di bawah pengawasan yang berwenang atau dokter hewan yang bertujuan menyediakan daging konsumsi masyarakat (Borch, 1996). Langkah-langkah yang terdapat selama pemrosesan daging babi di Rumah Pemotongan Hewan diantaranya penampungan (lairage), pemingsanan (stunning), penyembelihan (killing), perendaman dengan air panas (scalding), penghilangan bulu (dehairing), penggosokan (polishing), pengeluaran jeroan (evisceration), pemisahan daging (splitting), inspeksi daging (meat inspection) dan pemisahan daging dan tengkorak kepala (deboning head) (Borch, 1996). Pada setiap langkah-langkah di Rumah Pemotongan Hewan terdapat banyak peluang untuk kontaminasi karkas babi dengan bakteri yang berpotensi patogen. Terdapat proses yang mengurangi jumlah bakteri, tetapi tidak dapat menghilangkan bahaya sepenuhnya (Borch, 1996).

Identifikasi bahaya bertujuan untuk mengidentifikasi agen biologis yang mampu menyebabkan efek merugikan kesehatan dan yang mungkin ada dalam makanan atau kelompok makanan tertentu (Toyofuku, 2006). Implementasi Good Manufacturing Practice (GMP), Analisa Bahaya dan Titik Kontrol Kritis (HACCP) serta berbagai intervensi seperti intervensi fisik (dehiding, scalding / polishing, evisceration) dan intervensi kimia (dekontaminasi karkas) pada Rumah

Pemotongan Hewan berperan penting dalam meningkatkan keamanan produk daging (Bohaychuk et al., 2011). Intervensi ini menyebabkan jumlah mikroba pada karkas menurun signifikan (Mrdovic, 2017).

Penilaian risiko mengevaluasi semua data dan informasi untuk lebih memahami interaksi antara mikroorganisme, makanan, dan penyakit manusia (Toyofuku, 2006). Tujuan akhir dari proses penilaian risiko adalah untuk memperkirakan probabilitas dan tingkat keparahan terjadinya risiko menggunakan informasi kualitatif dan/atau kuantitatif. Risiko kesehatan manusia dari mikroorganisme tertentu dalam makanan dapat diperkirakan dan dapat digunakan untuk mengevaluasi skenario serta mengidentifikasi data yang diperlukan untuk memperkirakan dan mengoptimalkan intervensi mitigasi (Toyofuku, 2006).

Pada Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran ditemukan bahwa pada unit pemotongan daging babi terdapat langkah-langkah yang berpotensi menimbulkan bahaya keamanan makanan misalnya penanganan karkas dilantai, kelengkapan APD petugas yang kurang memadai, dan sanitasi yang buruk, sehingga identifikasi potensi bahaya dan penilaian risiko perlu dilakukan. Didasarkan atas pertimbangan tersebut, maka penelitian ini menarik dilakukan.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik, yaitu pengamatan dilakukan pada setiap tahapan dari proses pemotongan untuk selanjutnya diberikan skor / penilaian terhadap variable-variabel yang diamati. Untuk melihat konsistensi kejadian, pengamatan diulang sebanyak 15 kali pengamatan.

Analisis Data

Data yang didapat selanjutnya dianalisis menggunakan Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) kemudian dimasukkan

kedalam matriks risiko untuk dianalisis nilai RAC (Risk Assesment Code).

Klasifikasi Kemungkinan

Kemungkinan diklasifikasikan secara kualitatif yaitu: (1) Sering: bila kejadian terjadi > 75%, (2) Kemungkinan besar: bila kejadian terjadi 50 – 75% (3) Kadang-kadang: bila kejadian terjadi 25 – 50 % (4) Kemungkinan kecil: bila kejadian terjadi < 25% (5) Tidak pernah: kemungkinan tidak akan pernah terjadi.

Pemeringkatan Risiko

Selanjutnya akan dilakukan pemeringkatan risiko dengan menggunakan data yang di peroleh dari tabel matriks risiko. Hasil pengalian kemudian disebut Risk Assesment Codes (RAC) yang menunjukkan level risiko. (1) RAC 1-5: Tidak dapat diterima (Risiko harus dikurangi), (2) RAC 6-9: Tidak diinginkan (Segala tindakan kontrol praktis harus dilakukan), (3) RAC 10-17: Dapat diterima (dengan syarat pemantauan), (4) RAC 18-20: Diterima.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada aktivitas penerimaan babi terdapat kegagalan yaitu tidak terdapat pemeriksaan ante-mortem. Tujuan dari pemeriksaan ante-mortem adalah untuk menghindari adanya pemotongan hewan sakit (Edwards et al., 1997). Scara teoritis, inspeksi dilakukan sebelum dan sesudah pemotongsn hewan hewan yaitu pemeriksaan ante dan post-mortem (AnteMortem Inspection/AMI dan Post-Mortem Inspection/PMI). Data dari PMI sangat penting terkait indikasi beberapa penyakit atau belum optimalnya kesejahteraan (bebas dari penyakit). Data AMI dapat berkontribusi pada beberapa aspek tentang kesehatan dan kesejahteraan babi, serta menyarankan tindakan yang harus dilakukan ketika kondisi tertentu terpenuhi di RPH (Ghidini et al., 2021).

Pemingsanan di RPH pesanggaran sudah dilakukan dengan metode yang baik yaitu telah dilakukannya pemingsangan listrik. Babi digiring dari kandang

penampungan kemudian dipingsankan satu persatu. Aktivitas pemingsanan sudah dilakukan dengan baik. Setelah dipingsankan hewan segera disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggantung babi pada rel dengan pengait pada tendon Achilles. Aktivitas pemotongan sudah dilakukan dengan baik. Akan tetapi pada proses pemotongan ditemukan petugas tidak menggunakan APD.

Yang dimaksud dengan APD yaitu handglove, masker, apron, sepatu booth dan topi. Penilaian kelengkapan APD dilakukan dengan menilai secara lengkap yaitu jika salah satu dari APD tidak digunakan maka dianggap tidak menggunakan APD. Handglove merupakan APD indikator kelengkapan APD yang paling utama dalam penelitian ini karena tangan petugas bersentuhan langsung dengan karkas/produk. Pada tangan dan peralatan pekerja dapat menjadi tempat bakteri S. aureus bersarang. Kemungkinan terjadi selama pemrosesan karena lingkungan yang hangat dan lembab sehingga S. aureus dapat berproliferasi. Terutama jika tidak memadainya prosedur pembersihan dan desinfeksi peralatan dan sarung tangan petugas, flora yang hidup dapat berkembang. Namun, S aureus dianggap sebagai pesaing yang buruk, terlepas dari rentang pertumbuhan yang luas terhadap pH dan suhu (Borch, 1996). Bakteri stafilokokus memiliki reservoir utama manusia dan hewan. Pada manusia maupun hewan, stafilokokus berasal dari lubang hidung dan/atau tenggorokan (Borch, 1996).

Pada aktivitas scalding, dehairing dan pemotongan tapak kaki terdapat 2 kegagalan yaitu terkait keadaan mesin dehairing dan prosedur kerja yaitu pemotongan tapak kaki dilakukan diatas lantai. Dalam penyembelihan babi properti seperti cara transmisi, heat resistance, jangkauan pertumbuhan dan prevalensi penting untuk dipertimbangkan untuk mengidentifikasi bahaya bakteri tertentu.

Tabel 4.2 merupakan sifat-sifat bakteri yang penting dalam konteks HACCP/GMP untuk penyembelihan babi (Borch et al., 1996).

Higiene pemrosesan sehubungan dengan standar higiene peralatan pemrosesan, seperti mesin dehairing, mesh gloves dan belts, Aeromonas sp. dapat sebagai     indikator.     Meningkatnya

konsentrasi Aeromonas spp. menunjukkan perlunya evaluasi ulang prosedur pembersihan dan desinfeksi peralatan (Borch et al., 1996). Mesin dehairing terdiri dari drum berputar yang dilengkapi dengan blok pengikis memutar hewan yang telah di sembelih untuk menghilangkan bulu. Prosesnya memakan waktu sekitar 10 detik. Selama proses ini, feses dapat menyebar ke permukaan karkas. Gill dan Bryant menemukan bahwa detritus dari mesin dehairing di dua rumah potong hewan ditemukan mengandung banyak Escherichia coli dan Campylobacter, masing-masing hingga 105 hingga l06 cfu/g, dan Salmonella spp. diisolasi pada 50% sampel dalam jumlah hingga l05 cfu/g (Gill dan Bryant, 1993). Baik E. coli dan Campylobacter dapat diisolasi dari permukaan karkas setelah dehairing dalam jumlah masing-masing hingga 6 x l03 dan 70 cfu/cm (Borch et al., 1996). Menurut Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 13 Tahun 2019 tentang Batas Maksimal Cemaran Mikroba Dalam Pangan Olahan yaitu konsentrasi maksimal Escherichia coli pada daging yaitu 102 koloni/g, Staphylococcus aureus 104 koloni/g. Jika total koloni bakteri (Total Plate Count/TPC) tidak melebihi 1x108 colony forming unit / per ml (CFU/ml) produk makanan dapat dikategorikan aman (Yunita et al., 2015).

Pada aktivitas pemisahan bagian kepala terdapat 2 kegagalan yaitu prosedur kerja yaitu pemotongan bagian kepala dilakukan diatas lantai dan pencampuran bagian kepala dengan karkas.

Pemotongan betis dan pemisahan jeroan terdapat 3 kegagalan yaitu terkait prosedur

kerja yaitu pemotongan betis dan pemisahan jeroan dilakukan diatas lantai, idak terdapat pemisahan antara pemisahan jeroan dan area pemotongan karkas, dan tidak terdapat pemeriksaan post-mortem. Listeria monocytogenes adalah agen etiologi listeriosis yang merupakan foodborne disease masalah kesehatan masyarakat yang penting. Kontaminasi daging dengan L. monocytogenes terjadi sering di rumah pemotongan. Lingkungan rumah pemotongan babi dapat terkontaminasi L. monocytogenes, yang kemudian dapat menjadi sumber kontaminasi karkas selama proses berlangsung. Meskipun pembersihan dan perawatan sanitasi, beberapa strain L. monocytogenes dapat bertahan di rumah pemotongan dan strain persisten telah terbukti bertanggung jawab atas kontaminasi makanan berulang (Borch et al., 1996). Pemahaman epidemiologi Salmonella    ditingkat pemotongan

diperlukan ketika mempelajari berbagai titik pada proses pemotongan yang terlibat dalam status akhir karkas. Dua sumber Salmonella telah diidentifikasi di dalam fasilitas pemotongan: (i) lingkungan RPH merupakan reservoir sehingga Salmonella sudah ada dalam pemotongan dan (ii) input Salmonella yang berasal dari babi yang terkontaminasi atau terinfeksi. Mengenai strain Salmonella yang sudah ada di lingkungan, isolat yang terdapat pada titik tertentu dari RPH dapat menjadi bagian dari reservoir (Arguello et al., 2013).

Pada aktivitas pemisahan karkas terdapat 1 kegagalan yaitu terkait prosedur kerja yaitu pemisahan karkas dilakukan diatas lantai. Pencucian karkas dengan air dingin sebelum dan sesudah pengeluaran jeroan (pencucian akhir) tidak memiliki efek dekontaminasi yang signifikan. Daripada mencapai pengurangan bersih dalam jumlah bakteri pada karkas yang dirawat, pencucian pra-pengeluaran dikaitkan dengan peningkatan 25 log10 cfu cm2, sedangkan pencucian pasca-eviscerasi dikaitkan dengan peningkatan 1

log10 cfu ml1 dalam jumlah bakteri. Peningkatan tersebut mungkin merupakan hasil pengendapan dari udara (karena jumlah bakteri di udara lingkungan pemrosesan adalah 29–34 log10 cfu m3 selama operasi pemotongan). Terlepas dari kontribusi relatif dari faktor-faktor ini dan faktor lainnya terhadap jumlah bakteri yang diperoleh kembali, jelas bahwa pencucian dengan air dingin tidak memberikan pengurangan yang diinginkan dalam jumlah bakteri pada karkas babi yang dicuci setelah eviscerasi (Bolton et al., 2002).

Pada RPH pesanggaran area teras dijadikan sebagai area penimbangan dan pemotongan kepala, betis dan karkas. Pada aktivitas penimbangan dan penilaian karkas, prosedur dilakukan dengan membungkus daging dengan plastik lalu kemudian di timbang. Penimbangan dan penilaian kualitas karkas sudah dilakukan dengan baik.

Pada RPH Pesanggaran tidak terdapat pendinginan. Pendinginan konvensional pada karkas babi mengurangi kadar Campylobacter jejuni, mungkin melalui proses pengeringan, berkurangnya kelembaban relatif, atau paparan oksigen yang terjadi di bawah ventilasi (Chang et al., 2003). Campylobacter sp. bersifat mikroaerofilik, tidak tumbuh pada suhu di bawah 30oC, memiliki yang resistensi panas yang rendah dan sensitif terhadap pengeringan, pembekuan dan suasana aerobic (Borch et al., 1996).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari 9 aktivitas di RPH Pesanggran 2 (22.2%) diantaranya sudah dilakukan dengan baik, 7 (78.8%) aktivitas memerlukan tindakan korektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 10 potensi bahaya pada produk daging babi Rumah Pemotongan Pesanggaran. Adapun nilai Risk Assesment Code (RAC) potensi bahaya tersebut yaitu 7 potensi bahaya memiliki nilai RAC 1, 1 potensi bahaya memiliki nilai RAC 2 dan 2 potensi

bahaya memiliki nilai RAC 4. Adapun semua potensi bahaya dikategorikan sebagai potensi bahaya yang tidak dapat diterima.

Saran

Perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan dari tahapan-tahapan dalam proses produksi babi di RPH Pesanggaran yang meliputi tahapan : penerimaan babi yaitu diadakan pemeriksaan ante-mortem, pemotongan yaitu penggunaan APD, scalding, dehairing dan pemotongan tapak kaki yaitu pembersihan mesin dehairing rutin dan pemotongan dilakukan diatas meja, pemisahan bagian kepala yaitu pemotongan dilakukan diatas meja dan disediakan wadah penampung kepala, pemotongan betis dan pemisahan jeroan yaitu pemisahan jeroan dipisahkan dengan area pemotongan karkas, pemotongan dilakukan diatas meja dan diadakan fasilitas pemeriksaan post-mortem, pemisahan karkas yaitu pemotongan dilakukan diatas meja dan pendinginan yaitu diadakan fasilitas pendinginan. Juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi bahaya pada produk daging babi Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran untuk mengetahui bahaya yang sesunguhnya yaitu dengan melakukan konfirmasi uji laboratorium.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih kepada Petugas dan Staff Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina KK, Wirata IW, Dharmayudha AAGO, Kardena IM, Dharmawan NS. 2016. Increasing farmer income by improved pig management systems. Bul. Vet. Udayana. 8(2): 122-127.

Arguello H, Alvarez-Ordonez A, Carvajal A, Rubio P, Prieto M. 2013. Role of slaughtering in Salmonella spreading and control in pork production. J. Food Prot. 76(5): 899-911.

Bergdoll MS. 1989. Staphylococcus aureus. In: Doyle MP (ed.) Foodborne Bacterial Pathogens. New York, Pp. 463-524.

Bolton DJ, Pearce RA, Sheridan JJ, Blair IS, McDowell DA, Harrington D. 2002. Washing and chilling as critical control points in pork slaughter hazard analysis and critical control point (HACCP) systems. J. Appl. Microbiol. 92(5): 893902.

Borch E, Nesbakken T, Christensen H. 1996. Hazard identification in swine slaughter with respect to foodborne bacteria. Int. J. Food Microbiol. 30(12): 9-25.

Cherifi T, Arsenault J, Pagotto F, Quessy S, Côté JC, Neira K, Fravalo P. 2020. Distribution, diversity and persistence of Listeria monocytogenes in swine slaughterhouses and their association with food and human listeriosis strains. PloS One. 15(8): e0236807.

D'Aoust JY. 1994. Salmonella and the international food trade. Int. J. Food Microbiol. 24(1-2): 11-31.

Donoghue AM. 2001. The design of hazard risk assessment matrices for ranking occupational health risks and their application in mining and minerals processing. Occupational Med. 51(2): 118-123.

Edward DS, Johnston AM, Mead GC. 1997. Meat Inspection and overview of present practice and future trend. Vet. J. 154(2): 135-147.

Edwards DS, Johnston AM, Mead GC. 1997. Meat inspection: an overview of present practices andfuture trends. Vet. J. 154(2): 135-147.

Evangelopoulou    G,     Kritas     S,

Christodoulopoulos G, Burriel AR. 2015. The commercial impact of pig Salmonella spp. infections in border-free markets during an economic recession. Vet. World. 8(3): 257.

Ghidini S, Alborali GL, De Luca S, Maisano AM, Guadagno F, Conter M, Zanardi E. 2021. Predictivity of antemortem findings on postmortem

inspection in italian heavy pigs slaughterhouses. Animals. 11(8): 2470.

Gill CO, Bryant J. 1993. The presence of Escherichia coli, Salmonella and Campylobacter in pig carcass dehairing equipment. Food Microbiol. 10(4): 337344.

Grahan CGM, Collins JK. 1991. Listeriosis: biology and implications for the food industry. Trends Food Sci. Technol. 1991(4): 89-93.

Kirov SM. 1993. The public health significance of Aeromonas spp. in foods. Int. J. Food Microbiol. 20: 179198.

McGlone JJ. 2013. The future of pork production in the world: towards sustainable, welfare-positive systems. Animals. 3(2): 401-415.

Mrdovic B, Raseta M, Brankovic-Lazic I, Milijasevic M, Baltic B, Nastasijevic I. 2017. Pigs and cattle slaughter process hygiene in a large-scale and small-scale abattoir: A report from one county in Serbia. Sci. J. Meat Technol. 58(2): 6572.

Oosterom J, Dekker R, De Wilde GJA, van Kempende Troye F, Engels GB. 1985. Prevalence of Campylobacter jejuni and Salmonella during pig slaughtering. Vet. Quarterly. 7(1): 3134.

Pointon AM. 1997. An empirical risk assessment of post mortem pig meat inspection in Australia. Sub–project report from the Pig Meat Hygiene Project, Pig Research and Development Corporation.     Canberara.    ISBN

1876007036.

Schiemann DA. 1989. Yersinia enterocolitica       and       Yersinia

pseudotuberculosis. In: Doyle MP. (ed.) Foodborne Bacterial Pathogens. New York. Pp. 601-672.

Sriyani NLP, Artiningsih Rasna NM, Lindawati SA, Oka AA. 2015. Studi perbandingan kualitas fisik daging babi bali dengan babi landrace persilangan yang di Pemotongan di rumah

Pemotongan hewan tradisional. Maj. Ilmiah Peternakan. 18(1): 164185.

Stern NJ, Kazmi SU. 1989.

Campylobacterjejuni. In: Doyle MP. (ed.) Foodborne Bacterial Pathogens.

New York. Pp. 77-110.

Toyofuku H. 2006. Harmonization of international risk assessment protocol. Marine Pollution Bul. 53(10-12): 579590.

Tabel 1. Matriks risiko

Keparahan

Peluang Kejadian

1          2            3            4           5

Individual

Kelompok

Sering

Kemungk inan besar

Kadang-kadang

Kemungk inan Kecil

Tidak pernah

1

Kematian

Bencana

1

2

3

4

5

2

Kecacatan mayor permanen (penyakit akut atau kronis)

Kritis

2

4

6

8

10

3

Kecacatan minor permanen

Marginal

3

6

9

12

15

4

Kecacatan minor

Diabaikan

4

8

12

16

20

Sumber: Donoghue (2001)

Tabel 3. Karakteristik bakteri

Bakteri

Sumber Utama

Heat resistance

Jangkauan pertumbuhan

pH

Temperature

Aeromonas spp.

Lingkungan RPH

2 menit 55°C, reduksi 8 log

4 - 10

4 - 42

Campylobacter spp.

Babi, Lingkungan RPH

D60 = 12-24 detik

4.9 - > 8.0

30 – 47

L. monocytogenes

Babi, Lingkungan RPH

D60  =  40-190

detik

4.5 – 9.6

1 - 45

Salmonella spp.

Babi, Lingkungan RPH

D60 = 33 detik -9.5 menit

4.5 – 9.0

5 – 47

S. aureus

Babi, Lingkungan RPH

D55 = 66 detik

4.0 – 9.8

6 - 44

Y. enterocolitica

Babi, Lingkungan RPH

D60 = 27 detik

4.2 – 9.0

(-2) - 42

Tabel 4. Kategori keparahan bahaya

Bakteri

Penyakit                                           Kategori

Keparahan

Aeromonas spp.

Diare ringan (dapat sembuh sendiri) sesekali muntah, pada anak-anak dan lanjut usia atau pasien dengan      4

gangguan kekebalan (Borch, 1996).

Campylobacter spp.

Enteritis dengan gejala demam, malaise, nyeri perut dan sakit kepala (Borch, 1996).

L. monocytogenes

listeriosis dengan gejala demam, menggigil, sakit kepala, meningitis dan septikemia yang dapat menyebabkan aborsi (Grahan dan Collins, 1991). Kasus yang lebih parah dapat menyebabkan sepsis, meningitis, ensefalitis dan bahkan kematian (Cherifi et al., 2020).

Salmonella spp.

Infeksi salmonella typhi dan organisme paratifoid terkait dapat menyebabkan demam enterik yang merupakan infeksi sistemik berat. Enterokolitis disebabkan oleh organisme non-tifoid, biasanya sembuh sendiri, tetapi dapat menyebabkan kondisi klinis yang parah (D'Aoust, 1994). Infeksi salmonella menyebabkan kematian 155.000 setiap tahunnya di seluruh dunia. (Evangelopoulou et al., 2015)

S. aureus

Gejala infeksi muntah, kram perut parah dan diare dengan waktu inkubasi antara 2 dan 6 jam. Penyakit      4

akan berlangsung sekitar 24 jam (Borch, 1996).

Y. enterocolitica

Gastroenteritis (yersiniosis) dengan gejala diare yang sembuh serta demam ringan dan sakit perut (Borch,      4

1996).


Gambar 1. Klasifikasi aktivitas di RPH


Gambar 2. Dokumentasi Kegagalan; A. Petugas tidak menggunakan APD, B. Tumpukan kepala dengan karkas, C. Pencucian jeroan di lantai, D. Pemotongan kepala di lantai, E. Lantai RPH terdapat feses dari pengeluaran jeroan (usus) F. Area pemisahan jeroan dan penanganan karkas tidak dipisah, G. Mesin dehairing dalam keadaan kotor, H. Penanganan jeroan di lantai I. Penanganan karkas di lantai

Tabel 2. Komputasi Failure Modes and Effect Analysis (FMEA)

No

Aktivitas

Kegagalan

Potensi Bahaya Akibat dari Kegagalan

S cs

cs

cs a

*

Potensi Mekanisme kegagalan

S

■5 cs

*

≡ cs S

a

U

Tindakan Korektif

1

Penerimaan babi

Ada

(Tidak terdapat pemeriksaan ante-mortem)

Hewan dalam keadaan sakit akan disembelih

1

Tidak tedapat pemisahan antara hewan sehat dan sakit

1

1

Diadakan fasilitas pemeriksaan ante-mortem

2

Pemingsana n

Tidak ada (sudah dilakukan proses pemingsanan dengan listrik)

Tidak ada

-

Tidak ada

-

-

Tidak ada

3

Penyembeli han

Ada

(Petugas tidak menggunakan

APD)

Karkas terkontami nasi  agen

penyakit asal tangan petugas

4

Kontaminas i silang dari tangan petugas ke karkas

1

4

Petugas menggunakan APD

4

Scalding, dehairing dan pemotongan tapak kaki

Ada

(Mesin penghilangan bulu    dalam

keadaan kotor)

Karkas terkontami nasi  agen

penyakit asal mesin dehairing

2

Kontaminas i silang dari mesin dehairing ke kulit hewan yang  telah

di sembelih

1

2

Mesin dehairing dibersihkan secara rutin

5

Ada (Pemotongan tapak     kaki

dilakukan diatas lantai)

Karkas terkontami nasi  agen

penyakit asal lantai

1

Kontaminas i silang dari lantai     ke

tapak kaki

1

1

Pemotongan dilakukan diatas meja

6

Pemisahan bagian kepala

Ada (Pemotongan kepala dilakukan diatas lantai)

Bagian kepala terkontami nasi  agen

penyakit asal lantai

1

Kontaminas i silang dari lantai     ke

kepala

1

1

Pemotongan dilakukan diatas meja

7

Ada

(Kepala yang sudah dipisahkan bercampur

Karkas terkontami nasi  agen

penyakit asal saluran

1

Kontaminas i silang dari tenggorokan atau kerongkong

4

4

Disediakan wadah penampung kepala

dengan karkas)

pencernaan dan pernafasan

an bagian kepala ke karkas

8

Pemotongan betis    dan

pemisahan jeroan

Ada (Pemisahan jeroan dilakukan diatas    lantai

dan berdekatan dengan pemotongan karkas)

Kontamina si karkas oleh isi jeroan

1

Kontaminas i silang dari lantai     ke

karkas

1

1

Pemisahan jeroan dipisahkan dengan   area

pemotongan karkas

9

Ada (Pemotongan betis dilakukan diatas lantai)

Betis terkontami nasi  agen

penyakit asal lantai

1

Kontaminas i silang dari lantai     ke

betis

1

1

Pemotongan dilakukan diatas meja

10

Ada

(Tidak terdapat pemeriksaan post-mortem)

Karkas yang dihasilkan berpotensi merugikan kesehatan masyarakat

1

Karkas yang mengandun g    bakteri,

virus ataupun parasit patogen dijual bebas

1

1

Diadakan fasilitas pemeriksaan post-mortem

11

Pemisahan karkas

Ada (Pemotongan karkas dilakukan diatas lantai)

Karkas terkontami nasi  agen

penyakit asal lantai

1

Kontaminas i silang dari lantai     ke

karkas

1

1

Pemotongan dilakukan diatas meja

12

Penimbanga n      dan

penilaian kualitas karkas

Tidak ada (alat penimbangan dalam keadaan bersih)

Tidak ada

-

Tidak ada

-

-

Tidak ada

13

Pendinginan

Ada (Tidak ditemukan proses pendinginan pada   karkas

hasil pemotongan

Karkas terinfeksi oleh agen terutama bakteri dan virus

1

Pertumbuha n    bakteri

atau   virus

dari lingkungan terjadi secara optimal pada karkas

1

1

Diadakan fasilitas pendinginan

400