Volume 15 No. 2: 199-204

April 2023

DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i02.p06

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Prevalensi Infeksi Cacing Toxocara Canis pada Anak Anjing Kintamani di Kabupaten Bangli Bali

(PREVALENCE OF TOXOCARA CANIS WORM INFECTION OF KINTAMANI PUPPIES IN BANGLI REGENCY BALI)

Ni Nyoman Widiasih1*, I Made Dwinata2, Ida Bagus Made Oka2

  • 1Mahasiswa Pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;

  • 2Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234.

*Email: [email protected]

Abstrak

Toxocariosis merupakan salah satu penyakit yang umum menginfeksi anak anjing. Infeksi cacing T. canis dapat menimbulkan peradangan dan edema pada organ hati dan paru-paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi infeksi cacing T. canis pada anak anjing Kintamani Bali dan hubungannya dengan faktor risiko umur anjing. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross-sectional. Total sampel penelitian ini berjumlah 100 sampel feses anak anjing Kintamani Bali, diperiksa dengan metode konsentrasi pengapungan menggunakan larutan garam jenuh. Data penelitian disajikan secara deskriptif dan untuk mengetahui hubungan antara umur dengan prevalensi di analisis menggunakan chi-square. Hasil penelitian didapatkan prevalensi infeksi cacing T. canis pada anak anjing Kintamani Bali sebesar 79% (79/100). Hasil penelitian berdasarkan kelompok umur: pada anak anjing Kintamani Bali berumur 1 bulan prevalensinya 62,5% (15/24), umur 2 bulan prevalensinya 90,3% (28/31), dan umur 3 bulan prevalensinya 80,0% (36/45). Hasil analisis uji chi-square didapatkan ada hubungan yang signifikan antara faktor risiko umur (P<0,05) terhadap prevalensi infeksi cacing T canis. Pemberian secara teratur obat cacing pada anak anjing dan pada induk anjing yang bunting 1 sampai 2 minggu sebelum kelahiran untuk mencegah dan mengurangi penularan infeksi cacing T. canis melalui prenatal maupun transmamari.

Kata kunci: Anjing kintamani; prevalensi; Toxocara canis

Abstract

Toxocariosis is one of the most common diseases infecting puppies. The more interest of this puppies, it affect the way they are kept, which sometimes causes diseases caused by bacteria, viruses and parasites. One of the is T. canis worm can cause inflammation and edema in the liver and lungs puppies. This study aims to determine the prevalence of T. canis infection in kintamani puppies and their relationship with risk factors for dog age. This study is an observational study with a crosssectional approach. The total sample of this study amounted to 100 samples of feces of kintamani puppies, examined by flotation concentration method using saturated salt solution. The research data is presented descriptively and to determine the relationship between age and prevalence, the chisquare analysis is used. The results showed that the prevalence of T. canis infection in kintamani puppies was 79% (79/100). The results of the study were based on age group: the prevalence of kintamani puppies at 1 month old was 62.5% (15/24), at 2 months the prevalence was 90.3% (28/31), and at 3 months the prevalence was 80.0% (36/45). The results of the chi-square test analysis showed that there was a significant relationship between age risk factors (P<0.05) and the prevalence of T. canis infection. Regular administration of deworming drugs to puppies and pregnant mother dogs 1 to 2 weeks before birth to prevent and reduce transmission of T. canis worm infection through prenatal and transmamari.

Keywords: Kintamani dog; prevalence; Toxocara canis

PENDAHULUAN

Anjing Kintamani Bali berasal dari daerah pegunungan Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali (Gunawan et al., 2012). Anjing Kintamani Bali ditetapkan oleh Perkumpulan Kinologi Indonesia sebagai anjing ras pertama di Indonesia dan telah ditetapkan oleh Asian Kennel Union (AKU) sebagai ras anjing asli Indonesia pada forum AKU di Filipina pada tanggal 23 Pebruari 2012. Saat ini anjing Kintamani Bali telah ditetapkan sebagai ras dunia asli Indonesia oleh Federation Cynolagique Internationale (FCI) (Puja, 2007).

Cacing T. canis secara umum menular karena tertelannya telur infektif bersama makanan dan atau minuman, tetapi pada anak anjing yang berumur 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan cara penularan yang lebih dominan adalah melalui plasenta dan transmamari terutama kolostrum. T. canis bersifat zoonosis, dapat menyebabkan visceral larva migran dan ocular larva migran (Teixeira et al., 2006). Kerugian yang ditimbulkan oleh infeksi cacing T .canis, antara lain, pada saat migrasi larva dapat menimbulkan peradangan dan edema pada organ hati dan paru, cacing dewasanya berkompetisi memperebutkan nutrisi dengan hospesnya, serta secara ekonomi sangat merugikan karena biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka usaha pengendaliannya (Ballweber, 2000, Taylor et al., 2007).

Berdasarkan laporan beberapa peneliti, prevalensi infeksi cacing T. canis pada anjing : di Chubut (Argentina) sebesar 8,8 % (Thevenet et al., 2003), Republik Ceko sebesar 9,5% (Borcovcova, 2003), Aires (Argentina) sebesar 11 % (Fantanarrosa et al.,  2006), Venezuela sebesar 11,4%

(Barrios et al., 2004), Ethiopia 25 %

(Paulos et al., 2012), Amerika Serikat didapatkan prevalensi T. canis lebih tinggi pada anak anjing yang umurnya dibawah 6 bulan dengan sistem pemeliharaan buruk (CDC, 2013). Thailand 6.6 %, (Wichit et

al., 2014), Brazil 8,7 %. (Katagiri et al., 2007).

Faktor risiko yang mempengaruhi infeksi cacing T. canis pada anjing, diantaranya: agen penyebab, inang (host) dan lingkungan (kondisi di luar tubuh inang) yang mendukung terhadap munculnya kasus cacingan (Akhira et al., 2013, Fatmawati, 2014).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi infeksi cacing T. canis pada anak anjing Kintamani Bali. Hingga saat ini belum ada data yang dipublikasikan berkaitan dengan prevalensi infeksi cacing T. canis pada anak anjing Kintamani Bali sehingga penelitian ini perlu dilakukan.

METODE PENELITIAN

Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses anak anjing Kintamani Bali yang dikelompokkan berdasarkan umur (1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan) yang dipelihara di Kabupaten Bangli, Bali dengan jumlah sampel yang digunakan sebanyak 100 ekor.

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Pengambilan sampel dilakukan di Desa Sukawana dan Desa Pengotan, Kabupaten Bangli. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil feses dengan menggunakan sarung tangan segera setelah defekasi atau feses yang keluar setelah defikasi tidak lebih dari waktu 3 jam. Sampel sebanyak kira-kira 10 gram dimasukkan ke dalam pot plastik yang segera diberi label agar tidak tertukar. Masing-masing pot plastik kemudian diisi dengan larutan pengawet berupa formalin 5% hingga sampel terendam. Anak anjing Kintamani Bali tersampel kemudian dicatat datanya terkait dengan umur. Sampel kemudian dibawa ke Laboratorium Parasitologi Universitas Udayana untuk dilakukan pemeriksaan.

Pemeriksaan Feses

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode konsentrasi pengapungan menurut (Zajac dan Conboy, 2012) dengan modifikasi, tahapan pengerjaan sebagai berikut: feses kira-kira sebanyak 3 gram, ditambahkan air dan diaduk hingga homogen. Saring dan filtratnya dimasukkan ke dalam tabung sentrufuge sampai ¾ volume tabung. Sentrifuge menggunakan sentrifugator dengan kecepatan 1500rpm selama 5 menit. Supernatannya dibuang, sedimen (endapannya) ditambahkan larutan garam jenuh hingga mencapai kira-kira ¾ tabung. Aduk atau kocok hingga homogen, sentrifuse kembali dengan kecepatan 1500rpm selama 5 menit. Tabung sentrifuge dikeluarkan secara perlahan, taruh pada rak tabung reaksi dengan posisi tegak lurus dan tambahkan kembali larutan garam jenuh dengan menggunakan pipet pasteur hingga permukaan cairan terlihat cembung. Diamkan kurang lebih 2 - 3 menit, kemudian tempelkan cover glass pada permukaan cairan dan segera tempelkan pada objek glass. Periksan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 10× dan 40× untuk melihat ada dan tidaknya telur cacing (Zajac dan Conboy, 2012).

Perhitungan Prevalensi

Untuk mengetahui prevalensi infeksi cacing T. canis dapat dihitung dengan menggunakan rumus prevalensi Budiharta dan Suardana (2007).

Prevalensi =


Jumlah sampel terinfeksi Jumlah sampel yang diperiksa

x100%


Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan secara deskriptif. Untuk mengetahui hubungan antara umur terhadap prevalensi infeksi cacing T. canis dianalisis menggunakan uji chi-square (X2) pada tingkat kemaknaan 95 %, (Sampurna dan Nindhia, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Prevalensi T. canis pada anak anjing Kintamani Bali yang dipelihara di Kabupaten Bangli.

Hasil pemeriksaan 100 sampel feses anak anjing Kintamani Bali yang didapatkan di Kabupaten Bangli Bali, 79 sampel feses positif terinfeksi cacing T. canis sehingga prevalensinya adalah sebesar 79%. Ringkasannya seperti gambar 1 berikut:

Hubungan antara Faktor Risiko Umur terhadap Prevalensi Infeksi Cacing T. canis pada anak anjing Kintamani Bali yang Dipelihara di Kabupaten Bangli.

Hasil penelitian berdasarkan kelompok umur: pada anak anjing Kintamani Bali berumur 1 bulan prevalensinya 62,5% (15/24) umur 2 bulan prevalensinya 90,3% (28/31), dan umur 3 bulan prevalensinya 80,0%  (36/45). Hasil analisis uji chi

square didapatkan ada hubungan faktor risiko umur (P<0,05) terhadap prevalensi infeksi cacing T. canis. Ringkasannya seperti tabel 1 berikut:

Pembahasan

Prevalensi infeksi cacing T. canis pada anak anjing Kintamani Bali di Kabupaten Bangli Bali yang didapatkan sebesar 79%. Hasil yang didapat lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi yang dilaporkan oleh beberapa peneliti seperti di Jakarta sebesar 38,3% (Taniawati dan Margono, 2008), di Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali yaitu sebesar 22,22% (Evayana et al, 2017), di kawasan wisata di Bali didapatkan prevalensi sebesar 11,1% (Jaya et al., 2017). Perbandingan hasil prevalensi pada penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang lebih kecil karena pada penelitian terdahulu umumnya pada umur anjing yang sudah dewasa. Tingginya prevalensi pada anak anjing Kintamani Bali dari penelitian ini disebabkan oleh penularan dari cacing T. canis secara prenatal dan transmamari. Dari hasil wawancara kepada pemilik anak anjing

Kintamani Bali, umumnya induk anjing yang bunting tidak pernah diberikan obat cacing sehingga tingginya penularan melalui prenatal dan transmamari.

Dilihat dari cara penularannya, selain memakan makanan yang tercemar telur cacing T. canis penularan juga bisa berlangsung dari induk ke anaknya melalui air susu dan janin (Taylor, 2007). Umumnya cara penularannya dapat dibedakan menjadi 3, diantaranya: peroral, prenatal dan transmamari. Penularan secara peroral, telur infektif yang mengandung L2 tertelan bersama makanan atau minuman. Pada anjing yang umurnya lebih tua, L3 yang telah menetas akan bermigrasi menuju hati paru-paru, tetapi lebih lanjut akan bermigrasi menuju jaringan somatik, dimana L3 akan berhenti berkembang (mengalami hypobiosis, dorman) dan akan diaktifkan lagi setelah induk anjing bunting atau menjelang melahirkan. (Soulsby, 1982, Ballweber, 2000, Baker, 2007). Penularan secara prenatal, pada anjing yang bunting umumnya terjadi infeksi prenatal, dimana sekitar 3 minggu sebelum kelahiran L3 hypobiosis akan diaktifkan karena pengaruh hormon dan termobilisasi melewati barrier plasenta menginfeksi paru-paru anak yang masih didalam kandungan serta mengalami ekdisis menjadi L4. Cara penularan secara prenatal adalah yang paling umum untuk T. canis yang menginfeksi anjing (Soulsby, 1982, Ballweber, 2000, Baker, 2007). Penularan secara transmamari, L3 dorman (hypobiosis) yang "diaktifkan" akan bermigrasi menuju kelenjar susu dan akan tertelan oleh anak anjing selama menyusui. Cara penularan secara transmamari lebih jarang dibandingkan penularan secara prenatal (Soulsby, 1982, Ballweber, 2000, Baker, 2007). Selain itu pemberian obat cacing yang tidak teratur juga akan berpengaruh terhadap infeksi parasit cacing.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan 100 sampel feses anak anjing Kintamani Bali yang ditemukan di Kabupaten Bangli, prevalensi infeksi cacing T. canis pada anak anjing Kintamani Bali di Kabupaten Bangli Bali sebesar 79%, pada anak anjing Kintamani Bali berumur 1 bulan prevalensinya sebesar 62,5%, umur 2 bulan prevalensinya sebesar 90,3%, dan umur 3 bulan prevalensinya sebesar 80,0%. Ada hubungan yang signifikan antara umur dengan prevalensi infeksi cacing T. canis pada anak anjing Kintamani Bali di Kabupaten Bangli Bali

Saran

Tingginya infeksi cacing T. canis pada anak anjing Kintamani Bali di Kabupaten Bangli Bali, maka perlu dilakukan tindakan pencegahan dengan cara memperbaiki manajemen pemeliharaan, sanitasi kandang, sanitasi lingkungan, serta pengobatan dengan pemberian secara teratur obat cacing pada anak anjing umur 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan dan pada induk anjing yang bunting 1 sampai 2 minggu sebelum melahirkan untuk mencegah dan mengurangi penularan infeksi cacing T. canis melalui prenatal maupun transmamari. Pencegahan infeksi cacing T. canis pada manusia karena bersifat zoonosis dapat dilakukan dengan mengurangi kontak dengan lingkungan yang kotor atau tercemar, mencuci tangan setelah bermain dengan anjing, dan mencuci tangan sebelum makan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kepala Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan yang telah memberikan izin serta sarana dan prasarana selama penulis melakukan penelitian sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Akhira D, Fahrimal Y, Hasan M. 2013. Identifikasi parasit nematoda saluran pencernaan anjing pemburu (canis familiaris) di Kecamatan Lareh Sago Halaban Provinsi Sumatera Barat. J. Med. Vet. 7: 42-45.

Baker DG. 2007. Flynn's parasites of laboratory animals. American College of Laboratory Animal Medicine.

Ballweber LR. 2000. Veterinary parasitology. College of Veterinary Medicine, Mississippi State University, Mississippi State.

Barrios RAR, Mena GB, Munoz J, Culbillon FA, Herunandez E, Gonzalez F, Escalona F. 2004. Prevalence of intestinal parasites in dogs under veterinary care in Maracaiba Venezuela. Vet. Parasitol. 6: 1-10.

Borcovcova M. 2003. Prevalence of intestinal parasites of dogs in Rural Areas of South Moravia (Czech Republic). Helminthol. 40(3): 141-146.

Budiharta S, Suardana IW. 2007. Buku ajar epidemiologi dan ekonomi veteriner. Udayana University Press. Denpasar.

Control Desease, Prevention (CDC). 2013. Parasites - toxocariasis (also known as roundworm infection). USA. (http://www.cdc.gov/parasites/ toxocariasis/).

Evayana M, Dwinata IM, Puja IK. 2017. Prevalensi infeksi cacing toxocara canis pada anjing kintamani di Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, Indonesia. Indon. Med. Vet. 6(2): 115-123.

Fantanarrosa MF, Vezzani D, Basabe J, Eiras D. 2006. An epidemiological study of gastrointestinal parasites of dogs from southern greater buenos aires (argentina); age, gender, breed, mixed infections and seasonal and spatial patterns. Vet. Parasitol. 136: 283-295.

Fatmawati D. 2014. Identifikasi toxocara canis pada anak anjing di Makassar Pet Clinic.     Makassar:     Universitas

Hasanuddin.

Gunawan NF, Sukada M, Puja IK. 2012. Perilaku bermasalah pada anjing kintamani Bali. Bul. Vet. Udayana. 4(2): 95-100.

Jaya KU, Oka IBM, Dharmawan NS. 2017.     Prevalensi infeksi cacing

toxocara canis pada anjing di kawasan wisata di Bali. Indon. Med. Vet. 6(4): 288-295.

Paulos D, Addis M, Fromsa A, Mekibib B. 2012.     Prevalence     of     gas

trointestinal helminthes among dogs and owners perception about zoonotic dog parasites in Hawassa Town, Ethiopia. J. Pub. Health Epidemiol. 4: 205-209.

Puja IK. 2007. Anjing kintamani bali maskot fauna Kabupaten Bangli. Universitas Udayana. Denpasar.

Sampurna IP, Nindhia TS. 2008. Analisis data dengan SPSS dalam rancangan percobaan. Penerbit Udayana Press. ISBN: 978-979-8286-40-7.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, arthropods, and protozoa of domesticated animals. New York: Academic Press

Taniawati S, Margono S. 2008. Epidemiologi soil transmited helminths. Dalam: Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary parasitology. London: Royal Veterinary College.

Teixeira CRPP, Chieffi SA, Lescano EO, Melo SBF. 2006: Frequency and risk factors for toxocariasis in children from a pediatric outpatient center in southeastern Brazil. Rev. Inst. Med. Trop. Sa~o Paulo. 48: 251-255.

Thevenet PS, Jensen D, Mellado I, Torrecillas C, Raso S, Flores ME, Minvielle MC, Basualdo JA. 2003. Presence and persistence of intestinal parasites in canine faecal material collected from the environment in The Province of Chubut, Argentina Patagonia. Vet. Parasitol. 117: 263-269.

Wichit R, Chaisiri K, Mahittikorn A, Pubampen S, Sanguankiat S, Kusolsuk T, Maipanich W, Udonsom R, Mori H.

2014. Gastrointestinal parasites of dogs and cats in a refuge in Nakhon Nayok, Thailand. J. Trop. Med. Parasitol. 38, 17-24.

Zajac AM, Conboy GA. 2012. Veterinary clinical parasitology 8th   edition.

American Association of Veterinary Parasitologists (AAVP).

PREVALENSI INFEKSI CACING T. CANIS PADA ANAK ANJING KINTAMANI BALI

■ POSITIF ■ NEGATIF


Gambar 1 : Diagram Prevalensi infeksi cacing T. canis pada anak anjing Kintamani Bali di Kabupaten Bangli Bali.

Tabel 1. Prevalensi infeksi cacing T. canis pada anak anjing Kintamani Bali di Kabupaten Bangli Bali berdasarkan Umur

Umur

Jumlah sampel (Ekor)

Infeksi

T. canis

Prevalensi (%)

Asymp. Sig. (2-Sided)

Positif Negatif

1 Bulan

24

15       9

62,5

0,042

2 Bulan

31

28       3

90,3

3 Bulan

45

36       9

80,0

204