Volume 15 No. 2: 272-277

April 2023

DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i02.p13

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Seks Rasio pada Anak Tikus yang Dilahirkan Akibat Pemberian Bee Pollen

(SEX RATIO IN RATS AS A RESULT OF BEE POLLEN TREATMENT)

Kresensia Cyntia Dosom1*, Desak Nyoman Dewi Indira Laksmi2, I Gusti Ngurah Bagus Trilaksana2

1Mahasiswa Sarjana Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia;

2Laboratorium Reproduksi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia.

*Email: cyntiadosom@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang efektivitas bee pollen dalam penentuan jenis kelamin pada anak tikus. Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan dan 1 kontrol. Pada kontrol tikus tidak diberikan bee pollen. Kemudian pada P1 hanya tikus betina yang diberikan bee pollen (18mg), pada P2 bee pollen hanya diberikan pada tikus jantan (22mg), sedangkan pada P3 bee pollen diberikan pada tikus jantan dan betina dengan dosis yang sama. Setelah pemberian bee pollen selama 49 hari, tikus jantan dan betina dikawinkan, dan setelah 21 hari lama kebuntingan, anak tikus yang baru lahir dihitung seks rasionya. Data kemudian dianalisis dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji Duncan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bee pollen mampu meningkatkan presentase jenis kelamin jantan anak tikus. Hal ini dikarenakan pemberian bee pollen pada individu (tikus) jantan memungkinkan spermatozoa berkromosom Y yang lebih banyak dihasilkan dan bertahan hidup dalam kondisi basa. Apabila diberikan pada individu (tikus) betina dapat menyebabkan kondisi alkalis pada saluran reproduksi betina. Kondisi ini menguntungkan androsperma karena dapat bergerak lebih cepat dan gesit daripada gynosperma. Oleh karena sperma Y (andosperma) atau sperma jantan lebih dulu mencapai sel telur dan membuahinya maka anak tikus yang dihasilkan lebih banyak berjenis kelamin jantan. Pemberian bee pollen pada individu jantan dan betina sekaligus dapat meningkatkan seks rasio anak tikus yang berjenis kelamin jantan.

Kata kunci: Bee pollen; tikus putih; seks rasio

Abstract

The purpose of this study was to see how effective bee pollen is at determining sex in rats. This was an experimental study with three treatments and control group that used a completely randomized design. There was no bee pollen in control group. Then in P1, only female rats were given bee pollen (18mg), in P2 only male rats (22mg), and in P3 both male and female rats were given the same dose of bee pollen. Male and female rats were mated after receiving bee pollen for 49 days, and the sex ratio of the newborn rats was calculated after 21 days of gestation. ANOVA was used to analyze th data before proceeding with Duncan’s test. The findings of this study revealed that bee pollen could increase the proportion of male rats. This is because giving bee pollen to male rats allows more Y-chromosome spermatozoa to be produced and survive in this condition in the female reproductive tract. Andosperms benefit from this condition because they can move faster and more agilely than gynosperma. More male offspring are produced because the Y sperm (andosperm) or male sperm first reaches the egg and fertilizes it. Giving male and female rats bee pollen at the same time can increase the sex ratio of male rat pups.

Keyword: Bee pollen; white mouse; sex ratio.

PENDAHULUAN

Kehadiran anak dalam pernikahan dianggap oleh masyarakat sebagai suatu hal yang lumrah terjadi dan diinginkan dalam pernikahan. Masyarakat Indonesia masih melestarikan budaya patriarki di segala tingkatan dalam kehidupan masyarakat, dimana anak laki-laki memiliki arti penting di dalam sebuah keluarga. Anak laki-laki berkewajiban mengurus kelangsungan hidup keluarga dan juga berperan sebagai penerus marga. Salah satu tolak ukur efisiensi reproduksi adalah dicapainya umur pubertas sesuai dengan potensi genetiknya, hal ini penting untuk mencapai performa reproduksi yang optimum dan memberikan peningkatan produktivitasnya (Laksmi et al., 2022).

Banyak pasangan yang terus mencoba untuk mendapatkan anak laki-laki tetapi tidak semua berhasil memperoleh anak laki-laki. Dalam usaha mendapatkan anak laki-laki berbagai cara dilakukan, salah satunya dengan menggunakan obat tradisional. Salah satunya menggunakan bee pollen. Bee pollen adalah sel gamet jantan pada bunga yang merupakan nutrisi yang mengandung protein bagi lebah madu. Bee pollen juga telah terbukti aman dikonsumsi dan tidak mengandung zat-zat yang dapat membahayakan (Estenvinho et al., 2011). Bee pollen mengandung karbohidrat, asam amino esensial., asam lemak tak jenuh, protein, dan mengandung vitamin dan mineral yang menyehatkan (Campos et al., 2008). Mineral merupakan salah satu komponen nutrisi yang memiliki peran penting dalam pertumbuhan, kesehata n, reproduksi dan kekebalan tubuh hewan (Velladurai et al., 2016). Mineral yang terkandung dalam bee pollen diantaranya yaitu kalsium, fosfor, besi, kalium, magnesium dan natrium. Nutrisi mikro berupa mineral tersebut sangat dibutuhkan oleh tubuh (Attia et al., 2014). Mineral-mineral tersebut mempengaruhi keberhasilan sperma X atau Y yang membuahi sel telur (Philips dan Hilton, 1985).

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melihat efektivitas bee pollen yang diberikan pada tikus jantan dan tikus betina terhadap seks rasio anak tikus yang dilahirkan.

METODE PENELITIAN

Objek Penelitian

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) sebanyak 24 ekor tikus putih betina dan 12 ekor tikus putih jantan yang berumur 3-4 bulan dengan berat tikus betina 180-200 gram dan tikus jantan dengan berat 240-250 gram.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Bee Pollen dengan merek dagang K-Kelle, pakan tikus berupa konsentrat (HI-GRO 551 Charoen Pokphand). Untuk dosis bee pollen yang diberikan pada tikus jantan 22 mg/hari dan pada tikus betina 18mg/hari.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental     laboratorik     dengan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 1 kontrol dengan masing-masing perlakuan terdiri dari 6 ekor tikus betina dan 3 ekor tikus jantan.

P0: tikus tidak diberikan bee pollen

P1: pemberian bee pollen pada tikus betina dengan dosis 18 mg/hari

P2: pemberian bee pollen pada tikus jantan dengan dosis 22 mg/hari

P3: pemberian bee pollen pada tikus jantan dan betina dengan masing-masing dosis 22 mg/hari pada tikus jantan dan pada tikus betina dengan dosis 18 mg/hari.

Variabel Penelitian

Variabel bebas:  dosis pemberian bee

pollen dan jenis kelamin

Variabel kendali: strain tikus, umur, berat badan

Variabel terikat: rasio jenis kelamin anak tikus yang dilahirkan

Persiapan Hewan Uji

Sebelum penelitian dilakukan, tikus dibiarkan beradaptasi selama 7 hari. Keesokan harinya dilakukan pemberian bee pollen setiap hari selama 49 hari terhadap kelompok perlakuan P1 P2 P3 melalui per oral dengan menggunakan alat sonde. Di hari ke 50, tikus jantan dan betina digabungkan dalam satu kandang untuk terjadi perkawinan.

Perlakuan Sampel

Tikus dibagi ke dalam 4 kelompok yang terdiri atas kelompok kontrol (P0) yang diberi pakan dan minum. Kelompok (P1) diberikan bee pollen 1 kali sehari pada tikus betina dengan jumlah masing-masing dosis 18 mg yang diberikan secara oral. Kelompok (P2) diberikan bee pollen 1 kali sehari pada tikus jantan dengan jumlah masing-masing dosis 22 mg yang diberikan secara oral. Kelompok (P3) diberikan bee pollen 1 kali sehari pada jantan dan betina dengan jumlah masing-masing dosis pada tikus jantan 22 mg dan pada tikus betina 18. Pemberian bee pollen dilakukan selama 49 hari.

Kopulasi, Fertilisasi dan Kebuntingan Hewan

Setelah proses pemberian bee pollen selama 49 hari selesai, tikus jantan dan betina dimasukan ke dalam satu kandang. Perbandingan dalam satu kandang adalah 1:2. Cara untuk untuk mengetahui kebuntingan pada tikus betina yaitu dilakukan dengan cara meraba bagian perut tikus betina dan melihat perubahan warna dan ukuran pada permukaan perut tikus betina pada hari ke-14 semenjak tikus betina dan jantan disatukan. Apabila perut tikus betina menunjukkan pertambahan ukuran dan warna permukaan kulit bagian perutnya cenderung berwarna merah jambu maka dipastikan tikus betina telah bunting. Kemudian tikus betina yang bunting dipisahkan dari tikus jantan dalam kandang individu untuk menunggu kelahiran. Lama masa kebuntingan tikus betina 20-22 hari. Setiap hari dilakukan pemantauan untuk mengetahui

perkembangan masa kehamilan tikus (Turner dan Bagnara, 1976).

Analisis Data

Data yang diperoleh ditabulasikan dan dianalisis secara statistik. Pengujian homogenitas menggunakan Levene Test dan uji normalitas menggunakan Kolmogorov Smirnov. Data diuji secara statistik menggunakan Analysis of Variance (ANOVA)-SPSS dengan taraf kepercayaan 95% nilai sig α = 0,05 untuk mengetahui perbedaan nyata. Bila terjadi perbedaan yang bermakna maka dilanjutkan dengan menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS versi 25.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil analisis data berupa jumlah anak jantan dan betina serta seks rasio disajikan pada tabel 1.

Analisis data menunjukkan bahwa pengaruh bee pollen terhadap seks rasio jantan terhadap betina pada perlakuan P1 menunjukkan tidak berbeda nyata, dengan total rata-rata pada P1 yaitu 1,90 ± 1,10a. Pada tikus jantan yang diberikan bee pollen juga menunjukan tidak berbeda nyata, dengan total rata-rata pada P2 yaitu 1,34 ± 0,69a . Sedangkan pada P3 menunjukan perbedaan nyata, dengan total rata-rata 2,50 ± 1,36b.

Pembahasan

Jenis kelamin anak yang dilahirkan ditentukan pada saat fertilisasi yang sangat bergantung pada nutrisi yang dikonsumsi induk sebelum perkawinan (Prasojo et al., 2010). Pengontrolan jenis kelamin dapat dimulai dari pengkondisian saluran reproduksi betina agar lebih baik bagi spermatozoa X dari spermatozoa Y atau sebaliknya (Afiati, 2003).

Secara umum, spermatozoa (yang bersifat haploid) terbagi menjadi dua golongan, yaitu spermatozoa berkromosom X dan spermatozoa berkromosom Y, sedangkan sel telur memiliki dua

kromosom XX (diploid). Kromosom X memiliki ukuran yang cukup besar dan panjang namun geraknya lambat, tidak tahan terhadap suasana basa dan dapat bertahan 72 jam (3 hari). Sedangkan kromosom Y memiliki ukuran yang lebih kecil (sepertiga dari kromosom X) dengan bentuk bundar, tidak tahan terhadap suasana asam, gerakannya cepat namun daya hidupnya hanya 48 jam (lebih cepat musnah). Ketika spermatozoa bertemu dengan sel telur dan terjadi pembuahan, maka kemungkinan (probabilitas) keturunan yang akan dihasilkan adalah hibrid (keturunan) berkromosom XX (betina) dan XY (jantan) (Mukti, 2009).

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian bee pollen dapat meningkatkan seks rasio anak tikus yang berjenis kelamin jantan. Pengaruh pemberian bee pollen ini terlihat dari kelompok P3, yaitu pemberian bee pollen pada tikus jantan dan betina sekaligus dapat meningkatkan seks rasio anak tikus yang berjenis kelamin jantan dengan menunjukkan perbedaan yang bermakna (P<0,05).

Keberhasilan bee pollen dalam meningkatkan seks rasio anak tikus yang berjenis kelamin jantan dikarenakan bee pollen mengandung mineral-mineral yang dapat mempengaruhi keberhasilan spermatozoa Y dalam proses pembuahan, sehingga semakin tinggi spermatozoa Y yang membuahi sel telur, maka semakin tinggi pula anak tikus yang berjenis kelamin jantan yang dilahirkan oleh induk. Mineral-mineral tersebut mempengaruhi keberhasilan sperma X atau sperma Y dalam membuahi sel telur (Riyanto, 2001).

Pemberian bee pollen pada individu (tikus) jantan memungkinkan spermatozoa berkromosom Y yang lebih banyak dihasilkan dan bertahan hidup dalam kondisi basa, sedangkan apabila diberikan pada individu (tikus) betina dengan proses pembuahan di dalam tubuh, maka memungkinkan spermatozoa berkromosom Y yang mampu bertahan hidup dan berhasil membuahi sel telur (Mukti, 2009).

Bee pollen yang diberikan pada induk tikus tersebut mengandung natrium dan kalium yang dapat menyebabkan kondisi alkalis pada saluran reproduksi betina yang merupakan ruang ekstraseluler tempat jalan nya sel telur bertemu sel sperma (Riyanto,     2001).     Kondisi     ini

menguntungkan androsperma karena dapat bergerak lebih cepat dan gesit daripada gynosperma. Oleh karena sperma Y (andosperma) atau sperma jantan lebih dulu mencapai sel telur dan membuahinya maka anak tikus yang dihasilkan lebih banyak berjenis kelamin jantan (Rosalina dan Amelisa, 2020). Sifat kebasaan dapat meningkatkan     ketahanan     hidup

spermatozoa Y dibandingkan spermatozoa X. Semakin basa kondisi saluran reproduksi jantan atau betina suatu organisme, maka semakin tinggi spermatozoa Y yang dihasilkan dan bertahan hidup serta membuahi sel telur (Mukti, 2009).

Kandungan kalium dapat mengubah lemak menjadi pregnolon yang merupakan sumber biosintesis hormon steroid oleh kelenjar andrenal dan berpengaruh terhadap produksi testosteron (Rosalina dan Amelisa, 2020). Selain itu, ketika betina mendapatkan asupan natrium dan kalium yang tinggi, dan kalsium dan magnesium yang rendah, maka dinding oosit akan berubah dan menarik spermatozoa yang berkromosom Y (Bakry, 2016).

Antioksidan chrysin merupakan salah satu jenis flavonoid yang terkadung dalam bee pollen berfungsi sebagai aromatase inhibitor (penghambat kerja enzim aromatas) (Rosalina dan Amelisa, 2020). Cara kerja dari aromatase inhibitor ini adalah dengan menghambat kerja enzim aromatase yang memproduksi hormon estradiol. Menurut Sever (1999), bahwa aromatase inhibitor bekerja dengan cara menghambat     aktivitas     aromatase.

Penghambatan    ini    mengakibatkan

terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah pada tidak aktifnya

transkrip dari aromatase sebagai feedbacknya.

Pada penelitian ini didapatkan hasil pemberian bee pollen pada tikus selama 49 hari secara per oral dapat meningkatkan seks rasio anak tikus yang berjenis kelamin jantan, khususnya pada pemberian bee pollen pada tikus jantan dan betina sekaligus.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, disimpulkan bahwa pemberian bee pollen pada tikus jantan dan betina dapat meningkatkan seks rasio anak tikus yang berjenis kelamin jantan. Selain itu, untuk mendapatkan presentase anak tikus jantan yang tinggi maka bee pollen harus diberikan kepada jantan dan betina.

Saran

Penelitian selanjutnya bisa dilakukan dengan menggunakan dosis yang lebih tinggi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Departemen Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana atas dukungan dan segala bantuan fasilitas riset yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Afiati F. 2003. Proporsi dan karakteristik spermatozoa X dan Y hasil separasi kolom albumin. Med. Pet. 27(1): 16-20.

Attia YA, Abd AAE, Ibrahim MS, Al-Harthi MA, Bovera F, Elnaggar AS.

2014. Productive, performance, biochemical and hematological traits of broiler chikens supplemented with propolis, bee pollen, and mannam oligosaccharides continuously or intermittently. Live. Sci. 164(1): 87-95.

Bakry S, Oun AE, Soltan S, Taha A, Kadry E. 2016. Preconceptional minerals administration skewed sex ratio in rat offspring. J.   Obstet.

Gynecol. 4(1): 11-15.

Campos MGR, Almeida MLB, Szczesna T, Mancebo Y, Frigerio C, Ferreira F.

2008. Pollen composition and standardisation of analytical methods. J. Apicultural Res. 47(2): 154-161.

Estenvinho LM, Morais M, Moreira L, Feas X. 2011. Honeybee-collected pollen from five portuguese natural parks: palynological origin, phenolic content, antioxidant properties and antimicrobial activity. Food Chem. Toxicol. 49(5): 1096-1101.

Hosseini SE, Mehrabanu D, Razavi FS, Rafieirad M. 2013. The effect of palm pollen aqueous extract on the sex ratio of offspring in mice strain BALB. Quarterly Horizon Med. Sci. 15(2): 121-128.

Laksmi DNDI, Trilaksana IGNB, Prananda HWA. 2022. Kadar hormon estrogen pada sapi bali saat pubertas. Bul. Vet. Udayana. 14(3): 197-201.

Mukti AT. 2009. Pengaruh suplemen madu dalam pakan induk betina terhadap presentase jantan dan betina, pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih lobster air tawar red claw. J. Akuakultur Indon. 8(1): 37-45.

Prasojo G, Arifiantini I, Mohamad K. 2010.     Korelasi    antara lama

kebuntingan, bobot lahir dan jenis kelamin pedet hasil inseminasi buatan pada sapi bali. J. Vet. 11(1): 41-45.

Riyanto A. 2001. Pengaruh pemberian suplemen madu pada induk mencit terhadap rasio jenis kelamin anaknya. Berita Biol. 5(4): 439-440.

Rosalina D, Amelisa D. 2020. Konsentrasi madu pelawan yang berbeda terhadap nisbah kelamin ikan gapi. J. Airaha. 9(2): 202-208.

Sever DM, Halliday T, Waights V, Brown J, Davies HA, Moriarty EC.  1999.

Sperm storage in female of the smoth new (triturus vulgaris L) ultrastructure of the spemathecal during the breeding season. J. Exp. Zool. 283:51-70.

Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan prosedure statistika suatu pendekatan

biometrik. Ahli bahasa Ir B. Sumantri. Ed II. Gramedia. Jakarta.

Turner CD, Bagnara JJ. 1976. Endokrinologi umum. Ed VI. Airlangga University Press. Surabaya.

Velladurai C, Selvaraju M, Napolean RE. 2016. Effects of macro and micro mineral on reproduction in dairy cattle a review. Int. J. Sci. Res. Sci. Technol. 2(1): 68-7.

Tabel 1. Jumlah anak tikus jantan dan betina akibat pemberian bee pollen (X±SD). Total

Perlakuan

Jantan

Betina

Rasio Jantan/Betina

P0

3,16 ± 1,16a

4,16 ± 1,72a

0, 98 ± 0,70a

P1

5,00 ± 1,67a

2,83 ± 0,75a

1,90 ± 1,10a

P2

4,00 ± 1,54a

3,16 ± 0, 75a

1,34 ± 0,69a

P3

6,16 ± 2,48a

2,66 ± 0, 51a

2,50 ± 1,36b

Keterangan :

- superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang bermakna (P˂0,05).

277