Volume 15 No. 2: 162-168

April 2023

DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i02.p01

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Prevalensi Infestasi Tungau Kudis pada Anjing di Bali dengan Metode Tape Strip

(PREVALENCE OF MANGE MITE INFESTATION ON DOGS IN BALI BY TAPE STRIP METHOD)

Nonitema Nazara1*, Ida Bagus Made Oka2, I Made Dwinata2

  • 1Mahasiswa Sarjana Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia;

  • 2Labolatorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia.

*Email: temanazara2911@gmail.com

Abstrak

Kudis adalah gangguan pada kulit yang dapat menyebabkan kegatalan dan perubahan pada kulit. Penyakit kudis disebabkan oleh Sarcoptes scabiei dan Demodex spp. Banyaknya kejadian dermatitis pada anjing disebabkan karena manajemen pemeliharaan dengan cara dilepas yang kemungkinan dapat kontak dengan anjing penderita kudis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi infestasi tungau kudis, jenis tungau, dan hubungannya dengan faktor risiko yang mempengaruhi infestasi pada anjing di Bali. Jumlah sampel penelitian adalah 100 ekor anjing di Bali yang menunjukkan gejala klinis berupa kegatalan yang dibedakan berdasarkan umur, ras, jenis kelamin, dan cara pemeliharaan. Anjing yang terpilih sebagai sampel diselotip kemudian diperiksa dengan mikroskop untuk mengidentifikasi tungau. Sampel anjing dinyatakan positif apabila ditemukan minimal satu tungau. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi tungau kudis pada anjing di Bali adalah 22% yang terdiri dari Sarcoptes scabiei 10% dan Demodex spp. 12%. Identifikasi lebih lanjut ditemukan Demodex canis dengan prevalensi sebesar 7% dan Demodex cornei 5%. Uji Chisquare mendapatkan bahwa umur dan cara pemeliharaan memiliki hubungan prevalensi infestasi tungau, sedangkan jenis kelamin dan ras tidak berhubungan dengan prevalensi infestasi tungau. Sehubungan dengan besarnya prevalensi tersebut, perlu perhatian serius terhadap anjing-anjing yang dipelihara di Bali, terutama menyangkut kebersihan dan kesehatan kulit.

Kata kunci: Anjing; prevalensi; tape strip; tungau kudis

Abstract

Mange is a disorder of the skin that can cause displeasure and changes in the skin. Scurvy is caused by Sarcoptes scabiei and Demodex spp. The number of dermatitis events in dogs is caused by maintenance management by removing which may be able to contact with dogs with mange. The purpose of this study was to find out the prevalence of mange mite infestations, the type of mite, and its relationship to risk factors that influence infestations in dogs in Bali. The number of study samples was 100 dogs in Bali that showed clinical symptoms in the form of disobedience which was distinguished by age, race, gender, and way of maintenance. The dog selected as a diselotip sample is then examined with a microscope to identify the mites. A dog sample tests positive if at least one mite is found. The results showed the prevalence of mange mites in dogs in Bali was 22% consisting of Sarcoptes scabiei 10% and Demodex spp. 12%. Further identification found Demodex canis with a prevalence of 7% and Demodex cornei 5%. The Chi-square test found that age and way of maintenance had a prevalence relationship between mite infestations, while gender and race were not associated with the prevalence of mite infestations. In connection with the large prevalence, serious attention is needed for dogs kept in Bali, especially regarding skin hygiene and health.

Keywords: Dogs; prevalence; tape strips; mange mites

PENDAHULUAN

Anjing atau Canis familiaris merupakan hewan peliharaan yang sangat disukai dan sering disebut sebagai sahabat manusia karena anjing memiliki beberapa potensi yang dimanfaatkan pemiliknya karena anjing adalah hewan yang paling mudah menyesuaikan diri dengan manusia dan menjadi teman dekat yang setia (Latif, 2001). Peranan anjing di dunia tidak jauh berbeda dengan Indonesia terutama Bali. Kehidupan masyarakat di Bali tidak lepas dari hubungan mereka dengan anjing karena pada dasarnya memelihara anjing juga merupakan bagian dari kebudayaan (Satria, 2017). Saat ini, jumlah ras anjing sudah mencapai ratusan dan salah satu hasil domestikasi tersebut adalah Anjing Kintamani Bali.

Anjing kintamani adalah anjing ras Indonesia yang berasal dari Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, yang diakui sebagai anjing trah dunia pada 20 Februari 2019 oleh FCI (Federation Cynologique Internationale) (Bantolo, 2019). Selain anjing kintamani, anjing yang banyak dipelihara oleh masyarakat di Bali adalah anjing geladak dan campuran. Kedekatan masyarakat Bali dengan anjing menimbulkan kekhawatiran terkait penyakit zoonosis. Zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia (Khairiyah, 2011). Salah satu penyakit yang sering ditemukan pada anjing dan bersifat zoonosis adalah kudis yang disebabkan oleh tungau. Kudis adalah gangguan pada kulit yang menyebabkan kegatalan dan perubahan pada kulit (Satria, 2017). Kegatalan pada anjing bisa disebabkan oleh ektoparasit, bakteri dan jamur (Wiryana et al., 2014). Parasit penyebab kudis pada anjing adalah Sarcoptes scabiei dan Demodex spp. (Satria, 2017).

Sarcoptes scabiei adalah tungau yang menyebabkan kegatalan pada anjing dan dapat menular pada manusia. Siklus hidup

berlangsung pada tubuh inang dan menembus lapisan korneum epidermis kulit, menghisap cairan limfe dan memakan sel-sel epitel. Tungau dewasa bertahan hidup selama 3-4 minggu (Latif, 2001). Tungau demodex menyerang anjing dengan gejala klinis terjadinya alopecia, bintik-bintik kemerahan disertai rasa gatal. Luka atau lesi yang bermuala lokal, kemudian berkembang dengan cepat pada sebagian besar tubuh hewan penderita (Sardjana, 2012). Pada umumnya, diagnosa tungau kudis dilakukan dengan kerokan kulit atau biopsi sampai mengeluarkan darah. Tentunya hal ini bisa menyakiti hewan, dan luka yang muncul berkemungkinan     akan     terinfeksi.

Allternatif lain untuk antisipasi hal tersebut adalah menggunakan metode Tape strip. Tape strip adalah metode pengambilan sampel tungau dengan selotip. Selain tidak menyakiti hewan, metode ini juga mudah dilakukan dan mempunyai sensitivitas lebih baik dibandingkan kerokan kulit (Pereira et al., 2015). Banyaknya kejadian dermatitis pada anjing disebabkan karena manajemen pemeliharaan dengan cara dilepas, yang berkemungkinan kontak dengan anjing penderita kudis. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Shrestha et al. (2015) melaporkan prevalensi anjing penderita tungau kudis lebih tinggi pada anjing yang dilepas, yakni sebesar 48,9%, lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang dikandangkan sebesar 13,1%.

Berdasarkan data dari Bidang Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, jumlah anjing di Bali mencapai angka 500.000 ekor pada tahun 2018. Angka ini akan terus bertambah tiap tahun (Bagja, 2020). Dengan meningkatnya populasi anjing di Bali, maka risiko penyebaran penyakit terutama kudis juga akan meningkat (Satria, 2017). Berkaitan hal tersebut, maka perlu diketahui prevalensi dari tungau kudis pada anjing di Bali.

METODE PENELITIAN

Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah 100 ekor anjing dari 3 wilayah perwakilan pengambilan sampel (Denpasar, Badung dan Bangli) dengan gejala klinis gangguan kulit berupa kudis yang dibedakan berdasarkan kelompok umur (≤1 tahun dan >1 tahun) ras (kintamani, geladak dan campuran), jenis kelamin (jantan, betina), dan cara pemeliharaan (dilepas, dikandang dan dilepas, dikandang). Pemeriksaan dilakukan terhadap anjing yang menunjukkan gejala klinis berupa kudis.

Pemeriksaan Tape Strip

Anjing yang menunjukkan gejala kudis, dilakukan pemeriksaan dengan selotip. Pengambilan sampel menggunakan selotip ukuran 5 cm ditempel pada lokasi lesi, ditekan dengan ibu jari dan telunjuk agar tungau menempel pada selotip. Kemudian selotip diangkat dan diletakkan pada object glass, disimpan dalam stoples. Sampel selanjutnya diperiksa dengan mikroskop perbesaran 10x untuk mengidentifikkasi jenis tungau (Pereira et al., 2015). Sampel dianggap positif apabila menemukan satu atau lebih organisme tungau. Identifikasi tungau berdasarkan    morfologinya

(Wardhana et al., 2006; Izdebska, 2010).

Analisis Data

Data yang diperoleh dilakukan Analisis menggunakan uji chi-square (X2) pada tingkat kemaknaan 95%, untuk mengetahui hubungan antara umur, ras, jenis kelamin, dan system pemeliharaan dengan prevalensi tungau kudis (Sampurna dan Nindhia. 2008). Parameter penelitian ini menggunakan rumus berikut:

Jumlah Hewan Sakit

pada Periode Waktu

P =


___________Tertentu__________

Jumlah Individu dalam Populasi

x100%


yang Berisiko pada Periode

Waktu Tertentu

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Prevalensi Infestasi Tungau Kudis di Bali

Dari hasil pemeriksaan terhadap 100 sampel pada anjing yang dipelihara di Bali didapatkan prevalensi infestasi tungau kudis sebesar 22% (22/100). Hasil tersebut secara ringkas disajikan pada gambar berikut.

Jenis-Jenis Tungau Kudis pada Anjing di Bali

Jenis tungau kudis yang ditemukan menginfestasi anjing yang dipelihara di Bali adalah Sarcoptes scabiei dengan prevalensi 10% dan Demodex sp. 12%. Identifikasi jenis tungau Demodex sp lebih lanjut teridentifikasi Demodex canis dengan prevalensi 7% dan Demodex cornei dengan prevalensi 5%. Ringkasannya seperti tabel 1 berikut.

Faktor Risiko

Dalam penelitian ini terdapat empat faktor risiko yang diamati, berdasarkan umur, ras, jenis kelamin dan cara pemeliharaan dengan hasil analisis uji Chisquare. Prevalensi tungau kudis berdasarkan umur dan ras diperoleh prevalensi sebesar 31,03% (18/58) pada umur ≤1 tahun, >1 tahun 9,52% (4/42), ras kintamani 6,7%  (1/15), geladak 25%

(8/32), dan ras campuran 24,5% (13/53). Berdasarkan jenis kelamin dan cara pemeliharaan diperoleh prevalensi sebesar 25% (15/60) pada anjing jantan, betina 17,5% (7/40), dikandangkan 5,3% (1/19), dilepas 33,3% (18/54), dikandang dan

dilepas 11,1% (3/27). Berdasarkan analisis statistic didapatkan hasil bahwa faktor risiko umur dan cara pemeliharaan memiliki hubungan (P<0,05) terhadap prevalensi   infestasi   tungau   kudis,

sedangkan ras dan jenis kelamin tidak memiliki hubungan (P>0,05) terhadap prevalensi   infestasi   tungau   kudis.

Ringkasannya seperti pada Tabel 2.

Pembahasan

Berdasarkan      hasil      penelitian,

didapatkan prevalensi infestasi tungau kudis pada anjing di Bali sebesar 22%. Hasil yang didapatkan lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan oleh Gunaseelan et al. (2011) di India dengan prevalensi 15,2% dan China 1,18% (Chen et al, 2014). Prevalensi ini lebih rendah dibandingkan yang dilaporkan oleh Pereira et al (2015) di Brasil dengan prevalensi 55,17%, Mizoram 46,6% (Kalyan et al, 2005), dan Korea 25,3% (Chee et al, 2008). Perbedaan ini disebabkan karena tempat pengambilan sampel dengan kondisi suhu dan kelembapan yang berbeda, serta cara pemeliharaan yang berbeda. Tungau dewasa dapat bertahan hidup selama 3-4 minggu di tubuh inang (Latif, 2001). Pada suhu dan kelembapan ideal (21oC dan 40-80% kelembapan relatif), rentang waktu hidup tungau dapat meningkat hingga 3-4 hari. Rentang waktu hidup tungau dapat lebih panjang pada suhu rendah dan kelembapan tinggi. Di bawah suhu 20oC sebagian besar tungau tidak bergerak (Sungkar, 2016).

Jenis tungau kudis yang ditemukan dalam penelitian ini adalah tungau Sarcoptes scabiei dengan prevalensi 10%, Demodex sp. 12%, Demodex canis 7%, dan Demodex cornei 5%. Hasil yang didapatkan tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan oleh Pereira et al. (2015) pada anjing di Brasil terinfestasi oleh tungau kudis Demodex sp dengan prevalensi 46,6% (27/58) dan Sarcoptes sp dengan prevalensi 8,6%  (5/58). Pada

penelitian ini ditemukan demodex canis dan demodex cornei, hasil yang didapat sama dengan hasil yang didapatkan oleh Oka et al. (2017) yang melaporkan prevalensi tungau kudis di Kota Denpasar sebesar 78,26% dengan infestasi Sarcoptes scabiei sebesar 22.22%, Demodex canis 42,86% dan Demodex cornei 14,29%.

Hasil penelitian prevalensi infestasi tungau kudis pada anjing di Bali berdasarkan jenis anjing (ras) didapatkan anjing kintamani sebesar 6,7% (1/15),

anjing geladak sebesar 25% (8/32) dan

jenis anjing campuran sebesar 24,5% (13/53). Hasil analisi statistic didapatkan bahwa jenis anjing tidak berhubungan (P>0,05) terhadap prevalensi infestasi tungau kudis. Hasilnya yang didapat dimana jenis anjing tidak berhubungan dengan prevalensi infestasi tungau kudis, dengan kata lain bahwa anjing kintamani, geladak dan campuran memiliki kepekaan yang sama terhadap tungau kudis. Hasil penelitian ini serupa dengan yang dilaporkan oleh Shrestha et al. (2015)

dimana prevalensi infestasi tungau kudis pada anjing lokal sebesar 37,5% dan anjing campuran 25,9%. Dan penelitian yang dilakukan oleh Chen et al. (2014) yang melaporkan bahwa prevalensi tungau kudis pada anjing ras berbeda yakni anjing Peking sebesar 21,88%, Papillon 5,26% dan Bichon Frise sebesar 3,19%. Hasil penelitian didapatkan Anjing Kintamani Bali (AKB) terinfestasi tungau kudis dengan prevalensi 6,7%, berbeda dengan yang dilaporkan oleh Timur (2014) sebesar 10,1%. Perbedaan ini disebabkan karena rentang waktu penelitian yang dilakukan, dimana Timur (2014) meneliti anjing kintamani sebelum ditetapkan sebagai ras dunia sedangkan penelitian ini dilakukan setelah ditetapkan sebagai anjing ras dunia sejak 20 Februari 2019. Sejak ditetapkan sebagai ras dunia, cara pemeliharaan AKB semakin baik sehingga akan berpengaruh terhadap penanggulangan penyakit.

Hasil penelitian didapatkan prevalensi infestasi tungau kudis pada anjing muda sebesar 31,03% (18/58) dan pada anjing dewasa sebesar 9,52% (4/42) Hasil analisis statistic didapatkan bahwa umur berhubungan (P<0,05) dengan prevalensi infestasi. Hasil penelitian didapatkan bahwa umur anjing secara statistic berhubungan dengan prevalensi, atau dengan kata lain bahwa kepekaan anjing terhadap parasit dipengaruhi oleh umur. Hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Chen (2014) yang melaporkan bahwa prevalensi tungau kudis pada anjing umur <1 tahun sebesar 1,35% dan >1 tahun sebesar 1,08%. Dan penelitian yang dilakukan oleh Kumar et

al. (2018) yang melaporkan bahwa prevalensi infestasi tungau kudis pada anjing umur <1 tahun sebesar 55,56% dan umur >1 tahun sebesar 23,91%. Ali et al. (2011) melaporkan bahwa anjing muda lebih mudah terinfestasi tungau kudis dibandingkan anjing dewasa. Hewan yang lebih muda memiliki sistem imun yang belum berkembang sempurna dibandingkan anjing dewasa.

Hasil penelitian didapatkan prevalensi infestasi tungau kudis pada anjing jantan sebesar 25% (15/60) sementara pada anjing betina sebesar 17,5% (7/40). Analisis statistic didapatkan bahwa jenis kelamin anjing tidak berhubungan (P>0,05) prevalensi infestasi. Hasil penelitian sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh Satria (2017), dimana jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap prevalensi infestasi tungau kudis, dimana pada anjing jantan didapatkan sebesar 5% dan betina sebesar 3%. Dan hasilnya tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Shrestha et al. (2015) yang melaporkan bahwa prevalensi tungau pada anjing jantan sebesar 36,7% dan betina sebesar 22,9%.%. Dan penelitian yang dilakukan oleh Ali et al. (2011) yang melaporkan prevalensi infestasi tungau pada jantan sebesar 66,6% dan betina 57,1%. Hasil yang didapat berbeda dengan yang dinyatakan oleh Dharma et al. (2017), yang menyatakan anjing jantan memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap infestasi tungau kudis dibandingkan anjing betina, karena dibandingkan anjing betina memiliki kadar tatist estrogen yang lebih tinggi dibandingkan anjing jantan. Hormon estrogen akan memicu sel RES (Reticulo Endothelial System) sehingga akan terbentuk tatisti terhadap infestasi tungau.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan prevalensi infestasi tungau kudis pada anjing yang dikandang sebesar 5,3% (1/19), anjing yang dilepas sebesar 33,3% (18/54), dan anjing yang dikandang dan dilepas sebesar 11,1% (3/27). Hasil analisis statistic didapatkan bahwa cara pemeliharaan berhubungan (P<0,05)

dengan prevalensi infestasi tungau kudis pada anjing di Bali. Hasil penelitan ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan oleh Shrestha et al. (2015) yang melaporkan prevalensi infestasi pada anjing yang tidak dipelihara (liar), yakni 48,9% dibandingkan dengan anjing yang dipelihara sebesar 13,1%. Perbedaan hasil yang didapat disebabkan karena anjing yang dikandangkan, cara pemeliharaanya paling intensif dibandingkan yang lainnya. Ajing diberi makan dengan kualitas yang baik, dijaga kesehatannya dan bahkan sampai reproduksinya diatur oleh pemiliknya. Anjing yang dipelihara secara dikandangkan dan dilepas ini, walaupun makanannya sudah bagus, kesehatannya sudah agak diperhatikan, tetapi karena pernah dilepaskan sehingga memungkinkan kontak dengan anjing lainnya yang terinfestasi tungau kudis. Ajing yang dipelihara dengan cara dilepaskan, makanan yang diberikan seadanya, kesehatannya kurang mendapat perhatian dan sangat memungkinkan untuk kontak dengan anjing lainnya yang terinfestasi tungau kudis.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Prevalensi infestasi tungau kudis pada anjing di Bali adalah sebesar 22%. Jenis-jenis tungau kudis yang ditemukan pada anjing di Bali adalah Sarcoptes scabiei 10%, Demodex spp. 12%, Demodex canis 7%, dan Demodex cornei 5%. Terdapat hubungan antara faktor risiko umur dan cara pemeliharaan dengan prevalensi infestasi tungau kudis pada anjing di Bali. Sedangkan faktor risiko ras dan jenis kelamin tidak terdapat hubungan dengan prevalensi infestasi tungau kudis pada anjing di Bali.

Saran

Pemilik anjing sebaiknya memperhatikan pemeliharaan anjing, baik dari kebersihan kandang, kesehatan anjing dan tidak membiarkan anjing terlalu lama di luar untuk menghindari kontak dengan anjing penderita tungau kudis.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih saya ucapkan kepada staf Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ali MH, Begum N, Azam MG, Roy BC.

2011. Prevalence and pathology of mite infestation in street dogs at Dinajpur municipality area. J. Bangladesh Agric. Univ. 9(1): 111-120.

Bagja W. 2020. Problema over populasi anjing dan kucing di Indonesia. No Strays Pawject.

Bantolo. 2019. Anjing kintamani bali diakui sebagai anjing ras dunia. https://www.agrofarm.co.id/2019/04/an jing-kintamani-bali-diakui-sebagai-anjing-ras-dunia/

Chee JH, Kwon JK, Cho HS, Cho KO, Lee

YJ, Abd El-Aty AM, Shin SS. 2008. A survey of ectoparasite infestations in stray dogs of Gwang-ju City, Republic of Korea. Korean. J. Parasitol. 46(1): 23-27.

Chen YZ, Liu GH, Song HQ, Lin RQ, Weng YB, Zhu XQ. 2014. Prevalence of Sarcoptes scabiei infection in pet dogs in Southern China. Sci. World J. 2014.

Dharma IPPN, Oka IBM, Dharmawan NS.

2017. Prevalensi infeksi cacing ancylostoma spp. pada anjing di kawasan wisata di bali. Indon. Med. Vet. 6(3): 230-237.

Gunaseelan L, Bhavya S, Senthilkumar K, Balachandran C. 2011. Influencing factors for mange mite infestation of dogs in Chennai city. J. Vet. Anim. Sci. 7(5): 247-249.

Izdebska JN. 2010. Demodex spp. (Acari, Demodecidae) and demodecosis in dogs:    Characteristics, symptoms,

occurrence. Bul.        Vet.        Inst.

Pulawy. 54(3): 335-338.

Kalyan S, Borthakur SK, Kalita G. 2005.

Incidence of mange mite infestation in

dogs-A report. J. Vet. Parasitol. 19(2): 147-148.

Khairiyah K. 2011. Zoonosis dan upaya pencegahannya (kasus Sumatera Utara). Bali Pengkajian   Teknologi

Pertanian Sumatera Utara. J. Litbang Pertanian. 30(3): 117-124.

Kumar A, Das AK, Sinha M, Arya SK, Kumar A, Kumar B. 2018. Study on the prevalence of demodectic mange in dogs in and around Patna. Int. J. Curr. Microbiol. Appl. Sci. 7: 4216-4221.

Latif A. 2001. Studi kasus pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta periode Januari 1999-Juli   2000. Skripsi.

Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Oka IBM, Dwinata IM, Arjana AA. 2017. Prevalence and Identification of Dogs Scabies in Denpasar. Proc. International Seminar Studies on Bali Dog:  Genetics, Culture,  Diseases,

Zoonoses and Community Health. Denpasar, Bali, 31 March–1 April 2017. Pp. 170-174.

Pereira DT, Castro LJM, Centenaro VB, Amaral AS, Krause A, Schmidt C. 2015. Skin impression with acetate tape in Demodex canis and Scarcoptes scabiei var. vulpes diagnosis. Arq. Bras. Med. Vet. Zootec. 67(1): 49-54.

Sampurna IP, Nindhia TS. 2008. Analisis data dengan SPSS, dalam rancangan percobaan. Udayana University Press. Denpasar.

Sardjana IKW. 2012. Pengobatan demodekosis pada anjing di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Vet Med. J. Klin. Vet. 1(1): 9-14.

Satria J. 2017. Prevalensi infestasi tungau kudis pada anjing di kawasan wisata di Bali. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Shresth D, Thapa B, Rawal G, Dhakal S, Sharma B.  2015. Prevalence  of

demodectic mange  in Canines  of

kathmandu valley having skin disorder and its associated risk factors. Int. J. Appl. Sci. Biotechnol. 3(3): 459-463.

Sungkar S. 2016. Skabies: etiologi, patogenesis,               pengobatan,

pemberantasan dan pencegahan. Badan Penerbit     Fakultas     Kedokteran

Universitas Indonesia.

Timur NPVT, Putriningsih PAS, Puja IK. 2015. Prevalence of skin disorders in Kintamani dog prevalensi gangguan kulit pada anjing kintamani. J. Ilmu Kes. Hewan. 3(1): 5-9.

Wardhana AH, Joses M, Tolibin I. 2006. Skabies tantangan penyakit zoonosis masa kini dan masa datang. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Wartazoa. 16(1): 40-52.

Wiryana IKS, Damriyasa IM, Dharmawan NS, Arnawa KAA, Dianiyanti K, Harumna D. 2014. Kejadian dermatosis yang tinggi pada anjing jalanan di Bali. J. Vet. 15(2): 217-220.

Prevalensi Iiifestasi Tungau Kudis


Gambar 1. Prevalensi Infestasi Tungau Kudis pada Anjing di Bali

Tabel 1. Jenis-Jenis Tungau Kudis yang Menginfestasi Anjing di Bali

Jenis

Tungau kudis

Jumlah terinfestasi

Prevalensi %

Sarcoptes scabiei

10

10

Demodex spp

12

12

a. Demodex canis

7

7

b. Demodex cornei

5

5

c. Demodex injai

0

0

Tabel 2. Prevalensi Infestasi Tungau Kudis pada Anjing Berdasarkan Faktor Risiko

Faktor Risiko

Σ

Jumlah Positif

Prevalensi (%)

P value

≤1 tahun

58

18

31,03

Umur

0,010

>1 tahun

42

4

9,52

Jenis

Jantan

60

15

25

Kelamin

Betina

40

7

17,5

0,375

Kintamani

15

1

6,7

Ras

Geladak

32

8

25

0,298

Campuran

53

13

24,5

Dikandang

19

1

5,3

a a          Dilepas

Pemeliharaan

54

18

33,3

0,011

Dikandang & dilepas

27

3

11,1

168