HISTOPATHOLOGY OF RAT KIDNEY EXPOSED TO LEAD HEAVY METAL
on
Volume 15 No. 1: 45-53
Pebruari 2023
DOI: 10.24843/bulvet.2023.v01.i01.p06
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Histopatologi Ginjal Tikus yang Terpapar Logam Berat Timbal
(HISTOPATHOLOGY OF RAT KIDNEY EXPOSED TO LEAD HEAVY METAL)
Kevin Dominika1*, I Ketut Berata2, Ni Luh Eka Setiasih3
-
1Mahasiswa Sarjana Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;
-
2Laboratorium Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;
-
3Laboratorium Histologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234
*Email: [email protected]
Abstrak
Timbal adalah logam berat non-esensial yang bersifat toksik pada ginjal, karsinogenik, serta teratogenik, apabila masuk dalam tubuh hewan maupun manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi ginjal tikus yang terpapar timbal dengan dosis yang berbeda. Penelitian menggunakan tikus putih jantan strain Wistar umur 2 bulan dengan berat badan 250-300 g sebanyak 20 ekor. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan, yaitu kontrol (P0), Pb asetat 0,5 ppm (P1), Pb asetat 1,0 ppm (P2), dan Pb asetat 2,0 ppm (P3). Perlakuan diberikan setiap hari selama 30 hari dan pada hari ke 31 dilakukan euthanasia dan nekropsi kemudian organ ginjal diambil dan dimasukkan ke dalan netral buffer formalin 10%. Selanjutnya dibuat preparat histopatologi dengan metode pewarnaan hematoksilin eosin. Perubahan histopatologi ginjal yang diperiksa yaitu lesi perdarahan, nekrosis, dan peradangan. Tingkat keparahan lesi dibuat skoring dengan kategori ringan apabila fokal, sedang apabila multifokal dan berat apabila difusa. Pada uji Kruskal-Wallis hasil pemeriksaan histopatologi ginjal tikus yang dipapar Pb asetat menunjukkan lesi perdarahan, nekrosis dan peradangan yang nyata dibandingkan tanpa pemberian Pb asetat (kontrol). Pada uji Mann-Whitney menunjukkan hasil signifikansi yang bervariasi diantara lesi pendahan, nekrosis maupun nefritis (peradangan). Dapat disimpulkan bahwa pemberian Pb asetat pada dosis 0,5 ppm, 1,0 ppm maupun 2,0 ppm dapat menimbulkan lesi pendarahan, nekrosis maupun nefritis dibandingkan kontrol serta pemberian dosis 2,0 ppm menunjukkan lesi yang paling parah. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak paparan Pb asetat dengan dosis yang lebih besar.
Kata kunci: Timbal; histopatologi; ginjal; tikus
Abstract
Lead is a non-essential heavy metal which is toxic to kidney, carcinogenic, and teratogenic if get inside animal or even human’s body. The research aims to determine the histopatologic view of rat’s kidney which was exposed to lead with different doses. The research uses 20 of 2 months old Wistar strain white rat with 250-300 g body weight. The research uses completely randomized design with 4 treatments, which is control (P0), 0.5 ppm lead acetate (P1), 1.0 ppm lead acetate (P2), and 2.0 lead acetate (P3). Treatment were given daily for 30 days and on day 31 euthanation and necropsy was performed then the kidney tissue was removed and put into 10% neutral buffer formalin. Then histopathologic preparation with hematoxilyn eosin stain was made. Kidney histopathology changes that were examined were bleeding, necrosis, and inflammation. Severity of the lesion was made into scoring wiith mild category of it was focal, moderate if it was multifocal, and severy if it was diffuse. The Kruskal-Wallis test of the histopathologic examination result of rat’s kidney which was exposed to lead acetate shows a significant bleeding, necrosis and even nephritis (inflammation) lesion compared to without the exposure to lead acetate (control). The Mann-Whitney test shows a significant result which varies between bleeding, necrosis, even nephritis (inflammation) lesion. with
a It can be concluded that the administration of lead acetate with the dose of 0.5 ppm, 1.0 ppm, even 2.0 ppm can cause bleeding, necrosis even nephritis compared to control and the administration of 2.0 ppm dose shows the most severe lesions. There needs to be a continued research regarding the effects of lead with higher doses.
Keywords: Lead; histopathology; kidney; rat
PENDAHULUAN
Meningkatnya proses industrialisasi, terjadi juga peningkatan pencemaran berbagai logam berat termasuk logam berat timbal (Pb). Timbal yang terhirup atau tertelan akan berikatan dengan darah, kemudian bersirkulasi dalam aliran darah didistribusikan ke jaringan lunak dahulu seperti ginjal dan hati, kemudian didistribusikan kembali pada tulang dan rambut. Timbal memiliki waktu paruh hingga 30 hari sebelum diekskresikan melalui urin. Sedangkan waktu paruh selama dalam tulang lebih dari 20 tahun (Kim et al., 2017). Timbal sangat berbahaya apabila masuk dalam tubuh hewan maupun manusia, baik yang masuk lewat oral, inhalasi maupun diserap di permukaan kulit (Brochin et al., 2008). Berbagai dampak dari akibat adanya timbal dalam tubuh hewan maupun manusia seperti gangguan syaraf pusat, anemia, gangguan reproduksi dan sistem jaringan lainnya. Metabolisme dari timbal dalam tubuh tidak jelas sebagaimana metabolisme zat nutrisi, sehingga dapat berakumulasi dalam waktu yang lama (Jaishankar et al., 2014). Walaupun demikian, kadar ambang batas maksimal timbal dalam pangan yang layak dikonsumsi ditetapkan maksimal 1,0 ppm (BSN, 2009).
Timbal dalam tubuh dapat menimbulkan kerusakan pada berbagai jaringan melalui mekanisme terbentuknya radikal bebas, sehingga dapat terbentuknya jaringan yang nekrosis. Ginjal sebagai organ yang berperan dalam proses filtrasi dan ekskresi sangat peka terhadap paparan logam berat timbal. Logam berat timbal yang bersirkulasi dalam darah dapat menimbulkan reaksi pembentukan reactive oxygen species (ROS) dalam jaringan
glomerulus maupun tubulus ginjal. Akibat dari peroksidasi sel-sel glomerulus maupun tubulus, menyebabkan terjadinya nekrosis dan nefritis (Sharma et al., 2014).
Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi ginjal tikus yang terpapar logam berat timbal dengan dosis yang berbeda.
METODE PENELITIAN
Pernyataan Etik Penelitian
Seluruh prosedur pemakaian hewan coba telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, dengan Surat Persetujuan Etik Hewan nomor: B/37/UN14.2.9/PT.01.04/2022.
Sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan tikus putih strain Wistar umur 2 bulan dengan berat badan 250-300 g. Sampel penelitian ini berupa ginjal dari tikus yang diambil dengan nekropsi setelah diberi perlakuan.
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan, yaitu kontrol (P0), Pb asetat 0,5 ppm (P1), Pb asetat 1,0 ppm (P2), dan Pb asetat 2,0 ppm (P3). Pembuatan larutan Pb asetat menggunakan serbuk timbal (II) asetat trihidrat, tiga gelas kaca dengan ukuran masing-masing 1 liter, dan aquades. Serbuk timbal (II) asetat trihidrat ditimbang sebanyak 0,002 mg dan dimasukkan ke dalam salah satu gelas kaca. Pada gelas kaca tersebut dituang aquades sebanyak satu liter dan dilarutkan hingga homogen untuk membentuk larutan Pb asetat 2 ppm. Pada satu liter larutan Pb asetat dengan konsentrasi 2 ppm tersebut, 400 ml diambil dan dituang pada gelas kaca
kedua. Gelas kaca kedua tersebut ditambahkan dengan 400 ml aquades untuk membentuk larutan Pb asetat 1 ppm. Dari larutan Pb asetat 1 ppm tersebut, 300 ml diambil dan dituang ke gelas kaca ketiga. Gelas kaca ketiga ditambahkan 300 ml aquades untuk membentuk 0,5 ppm larutan Pb asetat. Prosedur perlakuan sampel berupa alat dan bahan yang digunakan pada perlakuan dipersiapkan. Spuit dipersiapkan dengan mengambil cairan dengan konsentrasi Pb asetat yang sesuai sebanyak 1 ml. Hewan coba berupa tikus yang diberi perlakuan dipersiapkan dan ditandai pada ekor dengan spidol untuk mencegah pemberian berulang. Tikus yang sudah ditandai, diambil lalu diberi larutan Pb asetat dengan konsentrasi yang sesuai perlakuan sebanyak 1 ml menggunakan sonde. Perlakuan diberikan setiap hari selama 30 hari dan pada hari ke 31 dinekropsi untuk pengambilan ginjal. Sampel ginjal kemudian dimasukkan ke dalam neutral buffer formalin 10% (NBF) minimal 24 jam untuk fiksasi.
Pembuatan Preparat Histologi
Pembuatan preparat dilakukan sesuai metode Kiernan (2015), yaitu fiksasi jaringan dengan merendam organ ke dalam larutan neutral buffer formalin (10%) selama 24-48 jam pada suhu kamar. Jaringan yang telah difiksasi kemudian diiris (trimming) agar dapat dimasukkan ke dalam kotak (tissue cassete) untuk kemudian diproses dalam tissue processor. Dalam tissue processor berlangsung proses dehidrasi dalam alkohol. Selanjutnya dilakukan clearing dengan xylol 1-2 masing-masing 2 jam. Langkah berikutnya adalah embedding dan blocking, dimana jaringan ditanam pada blok parafin yang telah disediakan dan kemudian disimpan dalam inkubator minimal selama 24 jam. Blok parafin tersebut kemudian dipotong (cutting) menggunakan microtome dengan ketebalan 4-5 µm. Jaringan yang terpotong selanjutnya diapungkan ke dalam waterbath dengan suhu 60°C untuk menghindari terjadi lipatan irisan jaringan
setelah pemotongan. Sediaan dipindahkan ke object glass untuk kemudian dikeringkan dalam suhu kamar 26-27°C. Proses berikutnya yaitu pewarnaan sediaan jaringan dengan metode Harris Hematoksilin-Eosin (HE). Prosedur pewarnaan meliputi tahap deparafinasi. Setelah itu dilakukan dehidrasi dan dibilas dengan air mengalir selama 1 menit. Preparat direndam dalam larutan Harris Hematoksilin selama 15 menit. Celup ke dalam aquades selama 1 menit dengan cara mengangkat dan menurunkan, selanjutnya celupkan ke dalam campuran asam-alkohol 1% secara cepat 5-7 celupan. Bilas dalam aquades selama 1 menit dan bilas kembali dengan aquades selama 15 menit. Celup sebanyak 3-5 kali dalam larutan lithium karbonat selama 15-30 detik hingga potongan berwarna biru cerah dan kemudian cuci dengan air mengalir selama 15 menit. Preparat kemudian direndam dalam eosin selama 2-3 menit. Berikutnya dilakukan tahapan dehidrasi dengan memasukkan preparat dalam alkohol bertingkat dari 80%, 90%, 95% hingga alkohol absolut I-III. Selanjutnya dilakukan clearing preparat dan proses mounting dengan cover glass menggunakan permount sebagai perekat. Sediaan histopatologi diamati dibawah mikroskop.
Variabel Penelitian
Perubahan histopatologi ginjal yang diamati berupa adanya lesi perdarahan, nekrosis, dan peradangan (nefritis). Masing-masing lesi diperiksa pada lima lapang pandang mikroskopik. Tingkat keparahan lesi masing-masing dibuat skoring yaitu skor 0 apabila tidak terdapat lesi; skor 1 apabila terdapat lesi yang bersifat fokal; skor 2 apabila terdapat lesi yang bersifat multifokal; skor 3 apabila terdapat lesi yang bersifat difusa.
Analisis Data
Data lesi dan tingkat keparahannya dianalisis dengan uji non-parametrik Kruskal-Wallis. Apabila terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05), maka
dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Analisis data dilakukan dengan menggunakan aplikasi SPSS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil penelitian histopatologi ginjal hewan coba yang diberikan Pb asetat (Tabel 1) menunjukkan bahwa terjadi perdarahan, nekrosis, dan peradangan dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Pemeriksaan preparat histopatologi ginjal hewan coba yang diberikan Pb asetat, ditemukan adanya perubahan sebagai berikut: perubahan perdarahan ringan
ditemukan pada satu jaringan ginjal pada perlakuan P1 dan P2, dua jaringan ginjal pada perlakuan P3 perdarahannya bersifat sedang dan tiga perlakuan P3 perdarahannya bersifat berat, sedangkan pada kontrol (P0) tidak ditemukan adanya perubahan perdarahan.
Data hasil pemeriksaan histopatologi selanjutnya dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis (Tabel 2) dan diperoleh nilai setiap perlakuan untuk lesi perdarahan P= 0,002, menunjukkan bahwa adanya perbedaan signifikan (P<0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Nilai setiap perlakuan untuk lesi nekrosis P= 0,003, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan (P<0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Nilai setiap perlakuan untuk lesi nefritis P= 0,001, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan (P<0,05) antara perlakuan kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Melalui hasil uji Kruskal-Wallis dengan perbedaan yang signifikan tersebut, maka akan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.
Hasil uji Mann-Whitney untuk kategori perdarahan, tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan perlakuan P1 dan P2 (P>0,05), sedangkan antara kontrol dengan P3 terdapat perbedaan yang signifikan (P<0,05). Antara P1 dengan P2, tidak terdapat perbedaan yang signifikan, namun
terdapat perbedaan yang signifikan antara P1 dengan P3. Perbandingan antara P2 dengan P3 juga ditemukan adanya perbedaan yang signifikan. Hasil dari uji Mann-Whitney untuk kategori nekrosis, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kontrol dengan P1 (P>0,05), namun ditemukan perbedaan yang signifikan antara kontrol dengan P2 dan P3 (P<0,05). Selanjutnya perbandingan antara P1 dengan P2 dan P3 ditemukan adanya perbedaan yang signifikan (P<0,05). Perbandingan antara P2 dengan P3 tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0,05). Hasil dari uji Mann-Whitney untuk lesi peradangan, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dengan P1 (P>0,05), namun ditemukan adanya perbedaan nyata (P<0,05) antara kontrol dengan P2 dan P3. Selanjutnya antara P1 dengan P2 dan P3, ditemukan perbedaan yang signifikan (P<0,05). Perbandingan antara P2 dengan P3 juga ditemukan perbedaan yang signifikan (P<0,05).
Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya perubahan histopatologi berupa perdarahan, nekrosis, dan peradangan (nefritis) akibat pemberian Pb asetat pada tikus putih (Rattus norvegicus). Menurut Moorthy et al. (2019), lesi yang paling sering ditemukan pada ginjal akibat keracunan berupa nekrosis pada tubulus dan korteks, serta nefritis interstisial. Pada perlakuan kontrol (P0) ditemukan adanya perubahan nekrosis bersifat fokal yang diduga merupakan akibat dari status kesehatan hewan coba yang kurang sehat sebelum diberi perlakuan atau penggunaan hewan coba yang tidak bersifat SPF (specific pathogen free). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Berata et al. (2017; 2021), dimana faktor lingkungan tempat pemeliharaan ternak yang buruk dapat menyebabkan kadar timbal organ hati, ginjal, paru-paru dan jaringan otot meningkat, seperti pada
sapi-sapi yang dipelihara di tempat pembuangan akhir (TPA).
Perdarahan merupakan keadaan dimana keluarnya darah dari pembuluh darah yang diakibatkan oleh rusaknya dinding vaskular, ditandai dengan ditemukannya eritrosit diluar pembuluh darah atau dalam jaringan (Rafe et al., 2020). Penyebab-penyebab terjadinya perdarahan berupa trauma, agen infeksius, luka pada organ dalam, kanker, kelainan koagulasi darah, paparan zat toksik, dan lain-lain. Infeksi agen-agen patogen atau paparan zat toksik akan megakibatkan perobekan dinding pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan (Diba dan Rahman, 2018). Pada penelitian ini, penyebab terjadinya perdarahan disebabkan oleh adanya paparan zat toksik, yaitu Pb asetat.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Mabrouk (2018) yaitu pemberian Pb asetat, dosis 2000 ppm pada tikus wistar jantan selama 5 minggu, ditemukan adanya lesi perdarahan, nekrosis pada sel mesangial dan sel epitel tubulus, sel radang interstisial serta les-lesi lainnya. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bhattacharjee et al. (2021), dimana tikus wistar jantan yang diberi Pb asetat dengan dosis 60 ppm per oral selama 60 hari, secara histopatologis menunjukkan adanya nekrosis berat pada tubulus, infiltrasi sel inflamasi kronis, serta perdarahan multifokal. Perdarahan dapat disebabkan karena pelebaran sel endotel pada proses peradangan (Sahmiranda, 2017). Vasodilatasi endotel tersebut menyebabkan terjadinya perubahan permeabilitas pada endotel berupa peningkatan volume darah dalam pembuluh darah sehingga eritrosit dapat ikut keluar dari pembuluh darah (Simarmata et al., 2020).
Nekrosis merupakan proses kematian sel pada organisme yang disebabkan oleh kondisi-kondisi tertentu, seperti adanya agen infeksi atau peradangan. Sel nekrosis merupakan sel yang mengalami perubahan akibat dari proses degenerasi irreversible sehingga menyebabkan kematian sel yang
dapat merusak jaringan. Nekrosis dapat ditandai dengan hilangnya struktur jaringan dalam sel (karyolisis), perubahan inti sel menjadi lebih gelap dan mengecil (piknosis) atau pecahnya inti sel (karyorheksis) (Berata et al., 2015). Nekrosis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti lingkungan, patogen, makanan, serta zat-zat lain yang masuk ke dalam tubuh organisme. Tingkat keparahan nekrosis dapat dipengaruhi oleh luka berat, lamanya organ terluka atau terpapar zat toksik, atau organisme infeksius (Alif et al., 2021). Penyebab terjadinya nekrosis pada organ ginjal di penelitian ini dikarenakan oleh dampak toksik dari Pb asetat. Munculnya nekrosis akibat paparan timbal sudah banyak dilaporkan di berbagai jurnal. Salah satunya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Muselin et al. (2010), namun dengan dosis dan lama paparan timbal asetat yang berbeda, yaitu selama enam bulan dengan dosis 1000 hingga 3000 ppm menunjukkan terjadinya nekrosis pada korpuscle ginjal. Hal ini diduga disebabkan oleh radikal bebas yang dibentuk oleh logam berat timbal sehingga menyebabkan terjadinya stres oksidatif (Janardani et al., 2018).
Stres oksidatif terjadi apabila ROS (reactive oxygen species) melebihi jumlah antioksidan untuk melindungi sel terhadap molekul-molekul yang teroksidasi (Lopes et al., 2016). Mekanisme stres oksidatif akibat induksi timbal secara umum adalah dengan merusak membran sel, DNA, dan antioksidan baik pada hewan maupun manusia (Sharma et al., 2014). Timbal dapat menjadi radikal bebas karena timbal memiliki atom bebas yang akan melengkapi lapisan luar timbal menjadi lebih stabil dengan mengikat molekul lain dari tubuh (Dewi et al., 2017). Sifat timbal yang lipofilik akan mengakibatkan timbal cepat bereaksi dengan lipid bilayer yang akan memicu kerusakan pada sel. Radikal bebas yang dibentuk oleh timbal akan mengambil elektron dari molekul lipid membran sel yang pada akhirnya akan menginduksi peroksidasi lipid yang
dapat mengubah permeabilitas dan integritas dinding sel tubulus proksimal (Jaishankar et al., 2014). Hasil akhir dari peroksidasi lipid yaitu malondialdehida (MDA) yang dapat bereaksi dengan protein, lipoprotein, RNA dan DNA sehingga memicu terganggunya fungsi biomolekuler dan mengakibatkan nekrosis pada sel tubulus proksimal (Natalia et al., 2017). Proses oksidasi radikal bebas dapat dihambat oleh antioksidan fisiologis berupa glutation (GSH), glutation disulfide (GSSG), enzim karalase (CAT), enzim superoksida dismurase (SOD), dan enzim nitric oxyde syntase, sehingga aktivitas antioksidan dapat menjadi marker terjadinya keracunan timbal (Yulia et al., 2014). Namun, tingkat peroksidasi lipid yang tinggi akan menyebabkan kerusakan sel yang melampaui kapasitas perbaikan dan menyebabkan terjadinya kematian sel atau nekrosis (Ayala et al., 2014).
Radang adalah respons tubuh terhadap patogen, sel mati maupun sel rusak, agar meminimalisir kerusakan yang terjadi (Ikaratri dan Kumorowati, 2021). Peradangan merupakan respons yang penting untuk mempertahankan diri, memperbaiki struktur dan gangguan fungsi jaringan yang ditimbulkan agen asing sehingga terjadi netralisasi dan pembuangan agen-agen asing untuk menciptakan keadaan yang dibutuhkan untuk perbaikan dan pemulihan tubuh (Ramadhani dan Sumiwi, 2016). Pb asetat yang masuk ke dalam tubuh akan dikenal oleh sistem imun sebagai antigen asing, sehingga akan memicu terjadinya peradangan. Ciri-ciri terjadinya radang adalah rubror, kalor, dolor, tumor, dan fungsio laesa.
Sifat timbal yang lipofilik akan mengakibatkan timbal cepat bereaksi pada lipid membran sel sehingga akan memicu kerusakan pada sel tersebut. Sel yang rusak tersebut akan memicu terjadinya radang. Paparan timbal dalam jangka panjang, dapat menyebabkan terjadinya nefropati timbal kronis (Benjelloun et al., 2007). Nefropati timbal kronis sendiri
akan menyebabkan terjadinya nefritis interstisial progresif yang ditunjukkan dengan menurunnya tingkat filtrasi glomerulus (Evans dan Elinder, 2011). Pada penelitian yang dilakukan oleh Dewi et al. (2017), babi yang diberikan ransum dengan tambahan eceng gondok dari perairan yang tercemar logam berat, sebanyak 2,5%, 5%, dan 7,5% eceng
gondok yang diberi perlakuan selama 4 bulan ditemukan adanya perubahan histopatologi berupa nekrosis dan degenerasi melemak pada ginjal dengan perlakuan 2,5% dan 5%. Perlakuan 7,5% eceng gondok ditemukan perubahan histopatologi berupa nekrosis, degenerasi melemak, dan inflamasi.
Reaksi peradangan akibat paparan logam berat berkaitan dengan mekanisme keracunan. Mekanisme keracunan tersebut dapat dibagi menjadi fase kinetik dan dinamik. Pada fase kinetik, logam berat yang masuk dalam tubuh dapat mengalami proses sinergetik atau antagonis. Proses sinergetik merupakan proses dimana daya racun zat toksik dapat meningkat, sedangkan proses antagonis merupakan proses pengurangan atau hilangnya daya racun suatu zat toksik. Pada fase dinamik yang merupakan proses lanjut dari fase kinetik, zat toksik tidak dapat dinetralisir oleh tubuh dan akan bereaksi dengan senyawa-senyawa hasil biosintesis seperti protein, enzim, asam lemak, dan lain-lain. Produk dari logam berat yang bereaksi dengan hasil proses biosintesis tersebut akan merusak proses biomolekul tubuh dan memicu reaksi peradangan (Janardani et al., 2018).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian Pb asetat menyebabkan adanya perubahan histopatologi pada ginjal tikus berupa perdarahan, nekrosis dan nefritis. Perubahan terparah
ditemukan pada pemberian Pb asetat dosis 2,0 ppm.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak paparan Pb asetat dengan dosis yang lebhi besar atau mendekati dosis lethal untuk mengetahui parubahan histopatologi yang lebih luas dan jelas.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar dan Kepala Laboratorium Patologi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang telah memfasilitasi penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alif A, Syawal H, Riauwaty M. 2021.
Histopatologi hati dan usus ikan jambal siam (Pangasionodon hypopthalmus) yang diberi pakan mengandung ekstrak daun Rhizophora apiculata. J. Ilmu Perairan. 9(2): 152-161.
Ayala A, Muñoz MF, Argüelles S. Lipid peroxidation: production, metabolism, and signaling mechanisms of malondialdehyde and 4-Hydroxy-2-Nonenal. Oxid. Med. Cell. Longev. 2014: 360-438.
Benjelloun M, Tarrass F, Hachim K, Medkouri G, Benghanem MG, Ramdani B. 2007. Chronic lead poisoning: A “forgotten” cause of renal disease. Saudi J. Kidney Dis. Transpl. 18(1): 83-86.
Berata IK, Susari NNW, Kardena IM, Winaya IBO, Manuaba IBP. 2017. Comparison of lead contamination in innards and muscle tissues of bali cattle reared in Suwung Landfill. Bali Med. J. 6(1): 147-149.
Berata IK, Winaya IBO, Adi AAM, Adnyana IBW. 2015. Patologi veteriner umum. Swasta Nulus: Denpasar.
Berata IK, Susari NNW, Sudira IW, Agustina KK. 2021. Level of lead contamination in the blood of Bali cattle associated with
their age and geographical location. Biodiversitas. 22(1): 23-29.
Bhattacharjee A, Kulkarni VH, Chakraborty M, Habdu PV, Ray A. 2021. Ellagic acid restored lead-induced nephrotoxicity by anti-inflammatory, anti-apoptotic and free radical scavenging activities. Heliyon. 7(1), e05921.
Brochin R, Leone S, Phillips D, Shepard, N, Zisa D, Angerio A. 2008. The cellular effect of lead poisoning and its clinical picture. The Georgetown Undergraduate J. Health Sci. 5(2): 1–8.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2009. Standar Nasional Indonesia (SNI) 7387-2009 tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan. Pp: 1-25.
Dewi NKNL, Winaya IBO, Dharmawan NS. 2017. Gambaran histopatology hati dan ginjal babi landrace yang diberi pakan eceng gondok dari perairan tercemar timbal. Bul. Vet. Udayana 9(1): 1-8.
Diba DF, Rahman WE. 2018. Gambaran histopatologi hati, lambung dan usus ikan cakalang (katsuwonus pelamis) yang terinfestasi cacing endoparasit. Octopus J. Ilmu Perikanan 7(2): 24-30.
Evans M, Elinder CG. 2011. Chronic renal failure from lead: myth or evidencebased fact?. Kidney Int. 79(3): 272-279.
Ikaratri R, Kumorowati E. 2021. Gambaran histopatologi ginjal, hati, dan paru tikus liar yang terinfeksi Leptospira patogen berdasarkan gen LIPL32. Bul. Lab. Vet. 21(2).
Jaishankar M, Tseten T, Anbalagan N, Mathew BB, Beeregowda KN. 2014. Toxicity, mechanism and health effects of some heavy metals. Interdisciplinary Toxicol. 7(2): 60-72.
Janardani NMK, Berata IK, Kardena IM. 2018. Studi histopatologi dan kadar timbal pada ginjal sapi bali di Tempat Pembuangan Akhir Suwung Denpasar. Indon. Med. Vet. 7(1): 42-50.
Kiernan JA. 2015. Histological and
histochemical methods: theory and practice (fifth edition). Bioxham: Scion.
Kim YS, Ha M, Kwon HJ, Kim HY, Choi YH. 2017. Association between Low blood lead levels and increased risk of dental caries in children: a crosssectional study. BMC Oral Health. 17: 42.
Lopes ACBA, Peixe TS, Mesas AE, Paoliello MMB. 2016. Lead exposure and oxidative stress: a systematic review. Rev. Environ. Contamination and Toxicol. 236: 193-238.
Mabrouk A. 2018. Thymoquinone attenuates lead‐induced nephropathy in rats. J. Biochem. Mol. Toxicol. e22238.
Moorthy S, Samuel AE, Moideen F, Peringat J. 2019. Interstitial nephritis presenting as acute kidney injury following ingestion of alternative medicine containing lead: a case report. Adv. J. Emerg. Med. 3(1): e8.
Muselin F, Trif A, Brezofan D, Stancu C, Snejana P. 2010. The consequences of chronic exposure to lead on liver, spleen, lungs and kidney arhitectonics in rats. Lucrări Ştiinłifice Med. Vet. 43:(2): 123-127.
Natalia MC, Yunita EP, Triastui E. 2017. Pengaruh mikrosfer kitosan minyak kelapa sawit pada mus musculus dengan nekrosis tubular akut. Pharmaceutical J. Indon. 2(2): 37–43.
Rafe MASR, Gaina CD, Ndaong NA. 2020. Gambaran histopatologi ginjal tikus putih (rattus norvegicus) jantan yang diberi infusa pare lokal pulau timor. J. Vet. Nusantara. 3(1).
Ramadhani S, Sumiwi SA. 2016. Aktivitas antiinflamasi berbagai tanaman diduga berasal dari flavonoid. Farm. Supl. 14(2): 111-123.
Sahmiranda D. 2017. Pengaruh preventif ekstrak buah pepaya (carica papaya) terhadap kadar malondialdehid (Mda) dan histopatologi duodenum tikus jantan (rattus norvegicus) yang diinduksi plumbum asetat. Thesis. Malang: Universitas Brawijaya.
Sharma B, Singh S, Siddiqi NJ. 2014. Biomedical implications of heavy metals induced imbalances in redox systems. Bio. Med. Res. Int. 2014, 640754.
Simamarta YTRMR, Tophianong TC, Amalo FA, Nitbani H, Lenda H. 2020. Gambaran patologi anatomi pada babi landrace suspect african swine fever (Asf) di Kabupaten Kupang. J. Kajian Vet. 8(21): 136-146.
Yulia R, Karina L, Christyaningsih J. 2014. Efek glycine max varietas anjasmoro terhadap kadar timbal dan malondialdehid pada mencit
terintoksikasi timbal. J. Farm. Indon. 7(1).
Tabel 1. Data Skoring Histopatologi Ginjal Hewan Coba setelah Diberi Perlakuan
Perlakuan Perdarahan Nekrosis Peradangan (nefritis)
Skoring |
0 |
1 |
2 |
3 |
0 |
1 |
2 |
3 |
0 |
1 |
2 |
3 |
P0 (Kontrol) |
5/5 |
4/5 |
1/5 |
5/5 | ||||||||
P1 (Pb 0,5 ppm) |
4/5 |
1/5 |
4/5 |
1/5 |
4/5 |
1/5 | ||||||
P2 (Pb 1 ppm) |
4/5 |
1/5 |
3/5 |
2/5 |
2/5 |
3/5 | ||||||
P3 (Pb 2 ppm) |
2/5 |
3/5 |
1/5 |
4/5 |
2/5 |
3/5 |
Keterangan: 0=Normal, 1=Ringan, 2=Sedang, 3=Berat
Tabel 2. Hasil Uji Kruskal-Wallis Data Skoring Berdasarkan Lesi yang Diperiksa
Perdarahan |
Nekrosis |
Peradangan (nefritis) | |
Chi-Square |
15,141 |
14,140 |
17,196 |
df |
3 |
3 |
3 |
Asymp. Sig. |
0,002 |
0,003 |
0.001 |
Tabel 3. Hasil Analisis Mann-Whitney antar Perlakuan
Uji Mann-Whitney antar perlakuan |
Signifikansi Lesi yang diperiksa | ||
Perdarahan |
Nekrosis |
Peradangan (nefritis) | |
PO-Pl |
0,317 |
1,000 |
0,317 |
P0-P2 |
0,317 |
0,014* |
0,006* |
P0-P3 |
0,008* |
0,007* |
0,004* |
P1-P2 |
1,000 |
0,014* |
0,011* |
P1-P3 |
0,008* |
0,007* |
0,005* |
P2-P3 |
0,006* |
0,221 |
0,014* |
(Keterangan: (*) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan)
Gambar 1. Histopatologi Ginjal Hewan Coba. P0 (Kontrol) Normal. P1 (Pemberian Pb 0,5 ppm) terdapat Perubahan Peradangan Ringan (Panah Putih). P2 (Pemberian Pb 1,0 ppm) terdapat Nekrosis Sedang (Panah Kuning) dan Peradangan Sedang (Panah Biru). P3 (Pemberian Pb 2,00 ppm) terdapat Perdarahan Berat (Panah Merah), Peradangan Sedang (Panah Biru) dan Nekrosis Sedang (Panah Kuning). (HE, 40x).
53
Discussion and feedback