COMPARISON OF PHYSICAL QUALITY OF BALI BEEF PRODUCTED IN BADUNG AND BULELENG SLOUGHTERHOUSE
on
Volume 15 No. 2: 297-302
April 2023
DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i02.p16
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Perbandingan Kualitas Fisik Daging Sapi Bali Produksi Rumah Potong Hewan di Kabupaten Badung dan Buleleng
(COMPARISON OF PHYSICAL QUALITY OF BALI BEEF PRODUCTED IN BADUNG AND BULELENG SLOUGHTERHOUSE)
Gadis Ayu Septyawati1*, Ida Bagus Ngurah Swacita2, I Ketut Suada2
-
1Mahasiswa Pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan; Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;
-
2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan; Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234.
*Email: gadisayuseptyawati5@gmail.com
Abstrak
Kualitas fisik daging merupakan hal yang sangat penting yang harusdi perhatikan sebagai hasil produksi suatu Rumah Potong Hewan, karena kualitas fisik yang baik menghasilkan mutu daging yang berkualitas dan layak untuk dikonsumsi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas fisik daging sapi bali produksi RPH Badung, dan Buleleng. Penelitian ini mengenai kualitas daging hasil produksinya dengan mengambil sampel dari dua RPH yaitu Badung dan Buleleng. Sampel daging diambil pada bagian pahaRegio femoralis masing-masing sampel diambil sebanyak ± 100 gram. Sampel daging sapi diuji kualitas fisiknya terhadap warna, bau, tekstur dan konsistensi menggunakan 10 orang panelis yang telah memenuhi syarat. Data yang diperoleh dianalisis dengan wilcoxon signed test untuk melihat apakah terdapat perbedaan dari kedua sampel daging yang telah diambil dari RPH Badung, dan Buleleng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna, dan tekstur daging sapi RPH Mambal, Badung dan Panji Anom, Buleleng berbeda nyata (P<0,05). Sedangkan konsistensinya berbeda sangat nyata (P<0,01). Akan tetapi bau daging sapi dari RPH Mambal, Badung dan Panji Anom, Buleleng tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05). Dapat disimpulkan bahwa kualitas fisik daging sapi produksi RPH Mambal, Badung dengan produksi Panji Anom, Buleleng berbeda, kecuali bau dagingnya sama.
Kata kunci: daging; kualitas fisik; rumah potong hewan; sapi bali
Abstract
The physical quality of meat is a very important thing that must be considered as a result of the production of an Slaughterhouse, because good physical quality produces quality meat that is fit for consumption. The purpose of this study was to determine the physical quality of Bali beef produced by RPH Badung and Buleleng. This study examines the quality of the meat produced by taking samples from two abattoirs, namely Badung and Buleleng. Meat samples were taken from the thigh region of the femoral region, each sample was taken as much as ± 100 grams. Beef samples were tested for their physical quality for color, smell, texture and consistency using 10 panelists who had met the requirements. The data obtained were analyzed by using the Wilcoxon signed test to see if there was a difference between the two meat samples taken from the Badung and Buleleng abattoirs. The results showed that the color and texture of beef from the Mambal, Badung and Panji Anom slaughterhouses, Buleleng were significantly different (P<0.05). Meanwhile, the consistency was significantly different (P<0.01). However, there was no significant difference in the smell of beef from the Mambal, Badung and Panji Anom abattoirs, Buleleng (P>0.05). It can be concluded that the physical quality of beef produced by RPH Mambal, Badung and Panji Anom, Buleleng is different, except that the smell of the meat is the same.
Keywords: bali cattle; meat; physical quality; laughterhouse
PENDAHULUAN
Sapi bali merupakan sapi yang berasal dari Indonesia, sapi bali merupakan hasil domestikasi dari banteng(Bibos
banteng)yang telah didomestikasi berabad- abad lalu, dan merupakan sapi asliPulau Bali (Sutan, 1988). Sapi bali mempunyai beberapa keunggulan dalam daya reproduksi, daya adaptasi dan persentase karkas yang tinggi.Sapi bali juga memiliki performa produksi yang cukup bervariasi dan kemampuan reproduksi yang tetap tinggi, sehingga, sumberdaya genetik sapi bali merupakan salah satu aset nasional yang merupakan plasma nutfah yang perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan secara lestari sebab memiliki keunggulan yang spesifik. Sapi bali juga memiliki kualitas daging yang tinggi dengan persentase lemak yang rendah (Bugiwati, 2007), selain itu sapi bali memiliki fertilitas yang tinggi (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004).
Daging sapi memiliki warna merah terang, tidak pucat dan mengkilap. Secara kasat mata fisik daging sedikit kaku, elastis dan tidak lembek, jika dipegang masih terasa basah dan tidak lengket di tangan, dari segi aroma daging sapi sangat khas (gurih). Kandungan protein daging sapi sebesar 18,80% (Usmiati, 2010). Nilai nutrisi daging yang tinggi disebabkan karena daging mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap dan seimbang (Forrest et al., 1975; Frankel, 1983). Selain protein, otot mengandung air, lemak, karbohidrat dan komponen anorganik. (Soeparno, 2005). Daging sapi juga telah menjadi salah satu bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat. Menurut Hidayat et al. (2016) faktor-faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotika dan mineral) dan stres. Kondisi ternak sebelum dipotong sangat berpengaruh terhadap kualitas daging
yang dihasilkan (Rahayu, 2019).
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan tempat dilakukannya segala aktifitas pemeriksaan dan pemotongan hewan. Kualitas daging sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, sarana dan prasarana tempat pemotongan yaitu RPH, kondisi ternak diawasi mulai dari sebelum disembelih, prosedur penyembelihan, penanganan karkas, proses pengangkutan daging, penjualan sampai proses pengolahan. Pemerintah mengharapkan daging sapi memiliki kualitas daging yang baik, segar dan layak untuk dikonsumsi sampai ke kalangan masyarakat. Hampir semua kabupaten/kota di Bali memiliki RPH, namun kondisi bangunan RPH, kondisi lingkungan, dan kualitas fisik daging yang dihasilkan belum ada informasi. Sampai saat ini penelitian terhadap kualitas fisik daging sapi bali produksi asal RPH Mambal kabupaten Badung, dan RPH Panji Anom, Buleleng belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan terkait kualitas daging sapi bali produksi dari kudua RPH dan apakah sesuai dengan standar nasional tentang mutu karkas dan daging sapi SNI 3932-2008.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas fisik daging sapi bali produksi RPH Badung dan Buleleng.
METODE PENELITIAN
Objek Penelitian
Objek yang digunakan dalam
penelitian ini adalah daging sapi bali produksi Rumah Pemotongan Hewan Badung, dan Buleleng. Sampel daging sapi yang diambil pada bagian paha (Regio femoralis) seberat ±100 gram setiap ekornya. Jumlah total sampel yang akan diamati sesuai dengan jumlah sapi yang disembelih di masing-masing RPH tersebut.
Parameter Penelitian
Sampel daging sapi akan diuji kualitas fisiknya terhadap warna, bau, konsistensi
dan tekstur menggunakan 10 orang panelis dari mahasiswi FKH Unud yang telah memenuhi syarat.Daging yang akan dinilai dibandingkan dengan standar mutu daging sapi Standar Nasional Indonesia 3931;2008 mengenai mutu karkas dan daging sapi.
Analisis Data
Data hasil skoring dihitung nilai rata-rata dan standar deviasinya, kemudian dianalisis perbandingan kualitasnya dengan Wilcoxon signed test.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Penelitian ini mengambil sampel daging sapi pada bagian paha (Regio femoralis) sebanyak 9 sampel dari Rumah Pemotongan Hewan Mambal, Badung dan Panji Anom, Buleleng. Adapun sebaran sampel yang diperoleh dari masing- masing RPH tersebut yaitu tiga sampel dari RPH Mambal, enam sampel dari RPH Panji Anom dengan tidak memperhatikan umur, jenis kelamin, dan berat badan dari sampel yang diperoleh.Berikut merupakan hasil analisis daging sapi dari masing-masing RPH berdasarkan Wilcoxon signed test dilampirkan pada Tabel 1.
Berdasarkan hasil Wilcoxom signed test menunjukkan bahwa warna, tekstur dan konsistensi daging sapi dari RPH Badung dengan RPH Buleleng menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Bau daging sapi dariRPH Badung dengan RPH Buleleng menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05).
Pembahasan
Warna daging merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam produksi daging sapi. Warna daging yang disukai konsumen adalah merah cerah yangmenunjukkan mutu daging (Kuntoro et al., 2013). Menurut Zulfahmi et al. (2013), faktor penentu warna daging dipengaruhi oleh kadar mioglobin bervariasi jumlahnya tergantung spesies, umur, jenis kelamin, dan aktivitas fisik
hewan. Perbedaan kadar mioglobin menyebabkan perbedan intensitas warna daging, penilaian warna daging dilakukan dengan cara mengamati warna daging sapi yang disesuaikan dengan standar warna SNI yang disimpulkan oleh sepuluh orang panelis. Kualitas warna daging dilihat dari standar warna daging sapi yang memiliki skala dari 1 – 9.Panelis akan mencocokkan dan menulis skala sesuai sampel yang ada.
Dari hasil penelitian didapatkan skor nilai rataan warna dagingsapi dari terendah yaitu 3,83 berwarna merah cerah untuk RPH Badung diikuti dengan RPH Buleleng 4,26 berwarna merah muda. Hasil wilcoxon signed test menunjukkan bahwa warna daging sapi dari RPH Badung dan Buleleng berbeda nyata (P<0,05). Perubahan warna daging dipengaruhi oleh banyak faktor. Daging yang terekspose dengan udara (O2), pigmen mioglobin pada daging akan teroksigenasi membentuk ferrousoxymioglobin (Oxy-Mb) sehingga daging akan berwarna merah cerah. Apabila waktu kontak antara pigmen mioglobin dengan oksigen berlangsung lama, maka akan membentuk ferrousmetmyoglobin (Met-Mb), sehingga daging berwarna coklat dan kurang menarik (Jeong et al., 2009).
Bau merupakan salah satu parameter untuk penilaian uji subjektif terhadap suatu produk. Menurut Suardana dan Swacita (2009) faktor yang mempengaruhi rasa adalah bau yang terdeteksi oleh hidung. Bau pada daging dipengaruhi oleh fraksi yang mudah menguap yang segera akan dikonversi menjadi inosin-5-monofosfat setelah hewan mati. Berdasarkan hasil analisis wilcoxom signed test menunjukan bahwa bau daging dari RPH Badung dan Buleleng tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) yaitu memperoleh skor yang sama dari penilaian panelis yaitu skor 1 (bau daging segar), daging yang sudah rusak berbau busuk, hal ini disebabkan karena daging sudah mengalami autolysis atau kontaminasi mikroba sehingga protein mengalami lisis.
Konsistensi daging ditentukan oleh banyak sedikitnya jaringan ikat yang menyusun otot suatu daging. Daging yang baik mempunyai konsistensi kenyal dan elastis bila ditekan dan kalau dipegang terasa basah (Susanto, 2014). Konsistensi daging disebabkan oleh banyak sedikitnya jaringan ikat yang terdapat dalam daging. Jaringan ikat dalam daging terdiri atas jaringan ikat kolagen, jaringan ikat retikulin dan jaringan ikat elastin dan banyak sedikitnya jaringan ikat sangat mempengaruhi kualitas daging. Semakin sedikit kandungan jaringan ikat pada daging maka konsistensi daging akan semakin empuk dan kualitasnya semakin baik, sebaliknya apabila jaringan ikat pada daging semakin banyak, maka kualitas daging semakin jelek konsistensinya sangat kenyal atau liat dan jaringan ikat yang banyak pada daging sering ditemukan pada daging hewan yang sudah tua (Suardana dan Swacita, 2009). Berdasarkan hasil analisis wilcoxom signed test menunjukan bahwa konsistensi daging sapi dari RPH Badung dan Buleleng berbeda sangat nyata (P<0,01).
Tekstur daging dipengaruhi oleh konsistensi daging. Daging yang konsistensinya kenyal karena banyak mengandung jaringan ikat akan memiliki tekstur kasar. Sebaliknya konsistensi daging ditentukan oleh banyak sedikitnya jaringan ikat yang menyusun otot suatu daging. Menurut Soeparno (2005), keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin dan stres. Faktor post-mortem antara lain meliputi metode pelayuan (chilling), refrigerasi dan pembekuan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk. Waktu istrahat juga mempengaruhi kualitas daging, standar waktu istrahat
yang dibutuhkan sapi sekitar 12-24 jam (Ferguson et al., 2007).
Berdasarkan hasil analisis wilcoxom signad test menunjukan bahwa nilai rataan tekstur daging produksi RPH Mambal memiliki nilai rataan 1,37 dimana nilai tersebut berbeda nyata (P<0,05) dengan nilai yang dihasilkan RPH Panji Anom dengannilai rataan 1,50. Menurut hasil penelitian (Merthayasa et al., 2015) mengenai tekstur daging sapi bali dan daging Wagyu, tekstur daging sapi bali memiliki nilai rataan 1.8. Semakin besar angka rataan menunjukkan daging tersebut memiliki tekstur kasar. Hal ini diduga karena umur sapi yang dipotong di RPH Panji Anom sudah termasuk sapi-sapi tua sehingga banyak mengandung jaringan ikat dan teksturnya terlihat sangat kasar.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa warna dan tekstur daging sapi dari RPH Mambal dan Panji Anom berbeda nyata (P<0,05). Sedangkan untuk konsistensi berbeda sangat nyata (P<0,01). Akan tetapi bau daging sapi dari RPH Mambaldan Panji Anom tidak berbeda nyata (P>0,05). Dapat disimpulkan bahwa kualitas daging yang di potong pada RPH Mambal lebih baik dari yang dipotong pada RPH Jambi Anom yang dinilai dari segi kualitas fisik meliputi warna, bau dan tekstur.
Saran
Disarankan agar pemerintahan setempat beserta dinas terkait memperhatikan bangunan RPH Panji Anom, Buleleng agar sesuai dengan standar RPH, dan pemerintahmemperhatikan sanitasi dan hygiene RPH sehingga menghasilkan daging yang lebih baik, sehat, utuh dan halal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada kepala RPH Mambal, Kab.Badung dan kepala RPH Panji Anom, Buleleng
serta kepala Laboratorium
KesehatanMasyarakat Veteriner dan Epidemiologi Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan UniversitasUdayana dan seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bugiwati SRA. 2007. Body dimension growth of calf bull in Bone and Baru District. South Sulawesi. J. Sains and Teknol. 7: 103-108.
Ferguson DMFD, Shaw, Stark JL. 2007. Effect of reduced lair age duration on beef quality. Aus J Exp. Agric. 47:770773.
Forrest C, Aberle ED, Hendrick HB, Judge MD, Markel RA. 1975. Principles of meat science. W. H. Freeman and Company, San Francisco.
Handiwirawan E, Subandriyo. 2004. Potensi dan keragaman sumber daya genetik sapi bali. Bogor. Bul. Ilmu Pet. Indon. 14(3): 107-115.
Hidayat MA, Kuswati K, Susilawati T. 2016. Pengaruh lama istirahat terhadap karakteristik karkas dan kualitas fisik daging sapi Brahman Cross Steer. J. Ilmu-Ilmu Peternakan, 25(2): 7179.
Jeong JY, Hur SJ, Yang HS, Moon SH, Hwang YH, Park GB, Joo ST. 2009. Discoloration characteristics of 3 major muscles from cattle during cold storage. J. Food Sci. 74(1): C1-C5.
Kuntoro B, Maheswari RRA, Nurain H. 2013. Mutu fisik dan mikrobiologi daging sapi asal rumah potong hewan
(RPH) Kota Pekan baru. J. Pet. 10(1): 1-8.
Merthayasa JD, Suada, IK, Agustina KK. 2015. Daya ikat air, pH, warna, bau dan tekstur daging sapi Bali dan daging Wagyu. Indon. Med. Vet. 4(1):16-24.
Rahayu S. 2009. Sifat fisik daging sapi, kerbau dan domba pada lama postmortem yang berbeda (physical characteristics of beef, buffalo and lamb meat on different postmortem periods). Bul. Pet. 33(3): 183-189.
Soeparno. 2005. Ilmu dan daging
teknologi. Cetakan Kelima. Gadjah
Mada.University Press. Yogyakarta.
Sutan SM. 1988. Suatu perbandingan
performans reproduksi dan produksi antara sapi Brahman, Peranakan Ongole, dan Bali di daerah Transmigrasi Batu Marta Sumatera Selatan.Disertasi. Program Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suardana IW, Swacita IBN. 2009. Higene makanan. Kajian Teori dan Prinsip Dasar. Udayana University Press. ISBN 978-979-8286-76-6.
Susanto E. 2014. Standar penanganan pasca panen daging segar. J. Ternak. 5(1): 15-20.
Usmiati S. 2010. Pengawetan daging segar dan olahan. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian. Bogor.
Zulfahmi M, Pranomo YB, Hintono A. 2013. Pengaruh marinasi ekstrak kulit nenas (Ananas comocus L.mer) pada daging itik tegal betina afkirterhadap kualitas kempukan dan sifat organoleptik. J. Pangan Gizi. 4: 19-26
Tabel 1. Kualitas Fisik Daging Sapi bali Produksi RPH Badung dan RPH Buleleng.
RPH |
N |
Rataan ± SD Warna |
Rataa ± SD Bau |
Rataan ± SD Tektur |
Rataan ± SD Konsistensi |
Badung |
10 |
3,83 ± 0,48a |
1.000 ± 0,00a |
1.37 ± 0,11a |
2.03 ± 0,11a |
Buleleleng |
10 |
4,27 ± 0,39b |
1.000 ± 0,00a |
1.50 ± 0,00b |
2.20 ± 0,00b |
Keterangan: Nilai dengan huruf yang berbeda ke arah kolom menunjukan berbeda nyata (P<0,05), sebaliknya nilai dengan huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Gambar 1. Grafik rataan uji fisik daging sapi produksi RPH Mambal dan Panji Anom.
302
Discussion and feedback