Volume 14 No. 5: 491-501

Oktober 2022

DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i05.p08

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Ketahanan Daging Kambing yang Disimpan pada Suhu Ruang

(RESISTANCE OF GOAT MEAT STORED ON ROOM TEMPERATURE)

Vinensia Ghona Gani1*, Ida Bagus Ngurah Swacita2, Kadek Karang Agustina2

  • 1Mahasiswa Pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali, Indonesia.

  • 2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali, Indonesia.

*Email: [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketahanan daging kambing yang disimpan pada suhu ruang. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 kali waktu pengamatan yaitu jam ke-8, 16 dan 24 pada setiap pengamatan diperiksa sebanyak 5 sampel. Pengujian sampel daging kambing diawali dengan uji fisik secara subjektif dan objektif kemudian uji Eber, selanjutnya dilakukan uji H2S. Hasil penelitian menunjukan bahwa kelima sampel tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap konsistensi, tekstur, dan berbeda nyata (P<0,05) pada warna, bau, nilai pH, kadar air dan daya ikat air, uji Eber dan uji H2S. Pada jam ke 16 dan 24 warna pada kambing mengalami perubahan menjadi merah kecoklatan, berbau busuk, kosisitensi menjadi lembek, tekstur kelima daging telah menjadi kasar, terjadi penurunan nilai pH, kadar air meningkat dan daya ikat air menurun. Pada uji Eber terlihat adanya uap pada dinding tabung dan untuk uji H2S terlihat adanya bintik kecoklatan pada kertas tisu diamana hal ini telah terjadi proses pembusukan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, daging kambing yang disimpan pada suhu ruang mengalami pembusukan pada jam ke-16. Disarankan bahwa meletakkan daging kambing pada suhu ruang, sebaiknya tidak lebih dari 16 jam dan untuk mempertahankan kualitasnya, daging kambing dapat disimpan pada suhu dingin.

Kata kunci: Daging; kambing; kualitas; uji Eber; uji fisik; uji H2S

Abstract

The purpose of this study was to determine the resistance of goat meat stored at room temperature. This study used a completely randomized design with 3 times of observation time, namely at the 8th, 16th and 24th hours in which 5 samples were examined for each observation. Testing of goat meat samples begins with subjective and objective physical tests, then the Eber test, then carried out a H2S test. The results showed that the five samples were not significantly different (P>0.05) with respect to consistency, texture, and significantly (P<0.05) in the color, smell, pH value, water content and water binding capacity, Eber test, and H2S test. At 16 and 24 hours, the color of the goats changes to brownish red, has a foul odor, the content becomes soft, the texture of the five meats has become coarse, a decrease in pH value, decreased water content and increased water binding capacity. In the Eber test, there was steam on the tube wall and for the H2S test, brown spots were seen on the tissue paper where this process of decay had occurred. From this research it can be concluded that, goat meat stored at room temperature decomposes at 16 hours. It is recommended that put the goat meat at room temperature, preferably no more than 16 hours and to maintain its quality, goat meat can be stored at cold temperatures.

Keywords: Eber test; goat; H2S test; meat; physical test; quality

PENDAHULUAN

Kambing merupakan ternak jenis ruminansia    yang     sudah    biasa

dibudidayakan di masyarakat termasuk masyarakat Bali. Selain sebagai sumber pendapatan dari hasil penjualannya, kambing juga dipelihara sebagai sumber pupuk organik. Permintaan akan daging kambing dari tahun ke tahun terus meningkat. Namun ditinjau dari persebaran populasi kambing dalam kurun waktu lima tahun terakhir di Pulau Bali, cenderung mengalami penurunan, dari tahun 2014 sebanyak 68.457 ekor, menjadi 49.778 ekor tahun 2018 (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI, 2018). Di Bali saat ini ada tiga jenis kambing yaitu kacang, PE (Peranakan Ettawa) dan kambing gembrong (Suyasa et al., 2016).

Daging kambing adalah bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena mengandung nutrisi yang baik bagi tubuh seperti protein, lemak, kalsium, fosfor, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Tingginya kandungan nutrisi pada daging karena daging mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap dan seimbang (Rosyidi et al., 2009). Tingkat konsumsi daging di Indonesia terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk serta bertambahnya keinginan masyarakat yang mengonsumsi daging. Tingkat konsumsi daging kambing masyarakat Indonesia mencapai 0,052 kg/kapita pada tahun 2017 (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI, 2018). Daging kambing umumnya dikonsumsi dalam bentuk olahan seperti sate, soto, gulai, tongseng dan sebagainya. Penjualan olahan daging kambing terlihat di pinggir jalan, pasar, rumah makan, restoran dan hotel berbintang (Sunarlim et al.,   2004;

Sembiring et al., 2015).

Ditinjau dari komposisinya daging kambing segar termasuk salah satu bahan pangan yang mudah rusak dan cepat

mengalami penurunan mutu apabila disimpan pada suhu ruang. Menurut Hadja (2006), daging segar yang disimpan pada suhu ruang hanya bertahan selama 24 jam dan setelah itu daging sudah menunjukan adanya kerusakan. Kerusakannya dapat terjadi karena adanya pertumbuhan mikroorganisme yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya pembusukan. Proses pembusukan akan diikuti dengan perubahan pH, daya ikat air, kadar air, warna, bau, tekstur juga konsistensi pada daging (Soeparno, 2005).

Tingginya kadar nutrisi yang terkandung pada daging kambing segar menjadikan daging sebagai media yang baik bagi mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang. Kerusakan daging akibat mikroorganisme dapat berakibat terhadap penurunan kualitas dari daging tersebut. Banyak hal yang dapat mempengaruhi kualitas daging baik ketika pemeliharaan ataupun ketika pengolahan. Kualitas daging dapat ditinjau dari dua faktor, yaitu kualitas fisik dan kimia daging. Kualitas fisik dan kimia daging kambing dipengaruhi oleh proses sebelum dan setelah pemotongan (Suryati, 2006). Pengujian terhadap daging kambing dilakukan untuk mengetahui mutu dan ketahanan daging kambing sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Pengujian dapat diawali dengan uji subjektif dan objektif kemudian uji Eber yakni uji awal pembusukan, dan yang selanjutnya dilakukan uji H2S pada daging kambing (SNI, 2008).

Daging seharusnya disimpan pada suhu dingin untuk mempertahankan kesegaranya sebelum diolah untuk dikonsumsi, namun dalam kenyataannya banyak di antara para pedagang daging kambing potong yang tidak menyimpan dagingnya pada refrigerator atau suhu dingin sehingga memudahkan mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang. Biasanya hal ini disebabkan tidak tersedianya lemari pendingin di tempat-tempat mereka berdagang. Selain itu belum meratanya pengetahuan konsumen akan pentingnya penyimpanan produk olahan daging yang

baik dan benar menjadi alasan penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan ketahanan daging kambing yang disimpan pada suhu ruang ditinjau dari uji subjektif dan objektif. uji Eber, dan uji H2S.

METODE PENELITIAN

Objek Penelitian

Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging kambing segar, jenis lokal seperti kambing kacang dan peranakan etawa. Daging kambing yang diambil tanpa memperhatikan jenis kelaminnya. Daging kambing diperoleh dari Kampung Jawa, Denpasar.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 kali waktu pengamatan yaitu pada jam ke-8, 16 dan 24, pada setiap pengamatan diperiksa sebanyak 5 sampel. Pengujian sampel daging kambing diawali dengan uji fisik secara subjektif dan objektif kemudian uji Eber dan selanjutnya dilakukan uji H2S.

Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri atas 3 variabel diantaranya yaitu variabel bebas adalah penyimpanan daging kambing, serta rentang waktu penyimpanan selama 8, 16, dan 24 jam, variabel terikat adalah kualitas dan ketahanan daging kambing yang dilihat dari nilai uji subjektif, nilai uji objektif , nilai uji Eber, nilai uji H2S dan variabel kontrol adalah sampel merupakan daging kambing segar bagian paha, berasal dari jenis lokal seperti kambing kacang dan peranakan etawa, penyimpanan pada suhu ruang (29oC).

Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan sampel dilakukan dengan membeli daging kambing di Kampung Jawa, Denpasar. daging kambing yang diambil adalah pada bagian paha lalu disimpan pada suhu ruang. Evaluasi sampel dilakukan dengan uji fisik daging meliputi uji warna, bau, konsistensi, tekstur, pH, daya ikat air dan kadar air, kemudian uji

Eber atau uji awal pembusukan, dan dilanjutkan dengan uji H2S.

Prosedur Penelitian

Pengumpulan sampel

Sampel berupa daging kambing dibeli dari Kampung Jawa, Denpasar masing-masing sebanyak 200 gram pada 5 ekor kambing lalu dibungkus dalam kantong plastik bersih, kemudian dimasukkan ke dalam boks dan dibawa ke Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas udayana untuk diperiksa lebih lanjut.

Perlakuan sampel

Sampel daging kambing yang diambil dari Kampung Jawa, kemudian dibungkus dengan kantong plastik bersih dan dibawa ke Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner. Sampel yang diambil masing-masing sebanyak 200gr pada 5 ekor kambing dan kemudian di bagi menjadi 5 kantong. Pada setiap kantong plastik akan di beri kode 1-5, sampel lalu disimpan pada suhu ruang (29oC), yang selanjutnya sampel akan diuji menggunakan uji subjektif, uji objektif, uji Eber dan uji H2S.

Uji Subjektif

Pengujian kualitas fisik daging terhadap warna, aroma, tekstur, dan konsistensi daging kambing diuji oleh 10 orang panelis mahasiswa FKH Universitas Udayana yang telah memenuhi syarat (sudah pernah mengambil mata kuliah Kesehatan Masyarakat Veteriner, tidak sedang mengalami gangguan pancaindra, tidak suka/alergi terhadap daging kambing). Sedangkan untuk uji pH, daya ikat air dan kadar air diuji menggunakan peralatan laboratorium. Pada uji subjektif (uji warna, bau, tekstur dan konsistensi) kelima sampel ditimbang sebanyak 100 gram, lalu setiap sampel dibagi menjadi 10 kemudian disimpan di dalam wadah dan diberi kode pada setiap wadah tersebut. Masing-masing panelis akan diberikan kuisioner yang berisi tentang standar umum pada warna, bau, tekstur, dan konsistensi pada daging. Selanjutnya panelis akan mengamati perubahan yang terjadi pada

daging dan hasilnya akan diisi pada kuisioner.

Setiap    panelis     masing-masing

mengamati lima sampel daging kambing yang telah disimpan pada suhu ruang dengan kriteria yaitu yang pertama ada warna daging; diberikan skor 1 (warna merah keunguan), skor 2 (merah cerah), skor 3 (merah kecoklatan) dan skor 4 (merah kehijauan), Bau daging; diberikan skor 1 (bau darah segar sedikit amis/ bau prengus)    dan    skor 2    (bau

lainnya/menyimpang)          kemudian

Konsistensi daging; diberikan skor 1 (empuk), skor 2 (kenyal), skor 3 (sangat kenyal, dan skor 4 (lembek atau berair) dan yang terakhir ada tekstur daging; diberikan skor 1 (tekstur halus), dan skor 2 (kasar).

Uji Objektif

Uji nilai pH daging

Daging kambing ditimbang sebanyak 10 gram lalu daging dilumatkan dalam mortir. Ditambahkan aquades sebanyak 10 ml dan homogenkan, kemudian pisahkan bagian ampas dan ekstraknya. Masukkan alat pH meter dimasukkan kedalam ekstrak daging lalu dibaca angka yang ditunjukan oleh pH meter setelah angkanya tetap. Prosedur pengukuran pH dilakukan dengan pengulangan sebanyak 2-3 kali, kemudian hasilnya dirataratakan.

Penetapan kadar air daging

Untuk mengukur kadar air dalam daging kambing, cawan pengering dimasukkan ke dalam Forced Draft Oven yang bersuhu 105oC selama beberapa menit sampai uap airnya hilang dan beratnya konstan kemudian didinginkan dengan desikator lalu ditambahkan ± 5 gram daging yang telah dicacah. Selanjutnya daging dalam cawan ditimbang, kemudian dikeringkan dalam oven selama ± 3 jam lalu didinginkan dan ditimbang. Setelah itu cawan dimasukkan lagi ke dalam oven kemudian dinginkan dalam desikator selama 30 menit dan timbang lagi. Prosedur pengeringan dan penimbangan diulang sampai didapatkan berat yang konstan.

Persentase kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

1    .    berat awai-berat akhir   „

Kadar air =-----------------× 100%

berat awal

Penetapan daya ikat air

Pengukuran daya ikat air akan menggunakan metode Hamm (penekanan). Pertama, ditimbang terlebih dahulu daging kambing yang akan diuji sebanyak 5 gram lalu ditempatkan potongan daging dalam lipatan kain nilon atau kertas saring diantara dua lempengan kaca. Sampel kemudian ditekan selama 10 menit

menggunakan beban seberat 35 kg. Persentase daya ikat air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Daya ikat air (%)


berat residu

:-------------------------------------------------------------------------

berat awal

× 100%


Uji Eber

Daging kambing yang sudah disimpan pada suhu ruang dipotong kecil berbentuk kubus ukuran ± 1 x 1 x 1 cm lalu ditusuk menggunakan tusuk sate. Kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi pereaksi Eber. Amati perubahan yang terjadi setelah 2-3 menit. Jika timbul uap putih di sekitar daging berarti daging telah mengalami proses awal pembusukan. Sebaliknya jika tidak terdapat uap putih pada dinding tabung maka kualitas daging masih bagus.

Uji H2S

Daging kambing yang telah dipotong dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian di atas daging tersebut diletakkan tisu. Pb asetat sebanyak 10% diteteskan pada tisu yang menutupi daging. Setelah 23 menit diamati perubahan yang terjadi pada tisu. Jika pada tisu timbul titik-titik berwarna coklat sampai hitam artinya daging telah mengalami proses awal pembusukan atau telah terbentuk PbSO3.

Analisis Data

Data hasil penelitian uji fisik berupa skor warna, aroma, tekstur, konsistensi, uji Eber, dan uji H2S menggunakan analisis statistik non parametrik Kruskal Wallis dan apabila hasilnya berbeda nyata maka

dilanjutkan dengan uji Mann Whitney. Sedangkan nilai pH, daya ikat air dan kadar air menggunakan analisis statistik sidik ragam dan apabila hasilnya berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji duncan. Semua data hasil penelitian ditabulasi, dicari rataan dan simpangan bakunya kemudian dijelaskan secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel (Sampurna dan Nindhya, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Uji Kualitas Daging Kambing pada Suhu Ruang berdasarkan Uji Subjektif

Hasil analisis statistika pada uji organoleptik menggunakan uji non-parametrik Kruskal Wallis. Berikut tabel hasil analisis Kruskal Wallis pada uji organoleptic (Tabel 1). Berdasarkan tabel di atas, pada uji subyektif ditinjau dari konsistensi dan tekstur tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05). Sedangkan uji organoleptik ditinjau dari warna terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05), sementara uji bau menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Sehingga data dilanjutkan dengan uji Mann Whitney untuk mengetahui perbedaan pada jam keberapa terjadinya perubahan warna dan bau.

Berdasarkan hasil analisis Mann Whitney pada uji warna terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada jam ke-8 dan jam ke-24. Begitupun pada uji bau, terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada jam ke-8 dan jam ke-24 serta pada jam ke-16 dan jam ke-24. Penyimpanan daging kambing pada suhu ruang hingga jam ke-24 telah mengalami pembusukan jika dilihat dari perubahan warna , bau, konsistensi dan tekstur (Tabel 2).

Uji Kualitas Daging Kambing yang Disimpan pada Suhu Ruang Berdasarkan Uji Obyektif

Hasil analisis sidik ragam terhadap nilai pH, kadar air dan daya ikat air daging kambing yang disimpan pada suhu ruang

disajikan pada tabel 3. Berdasarkan hasil sidik ragam pada tabel 3 diketahui bahwa terdapat perbedaan pH yang sangat nyata (P<0,01) serta perbedaan kadar air dan daya ikat air yang nyata (P<0,05) pada daging kambing yang disimpan pada suhu ruang dalam kurun waktu penyimpanannya.

Hasil analisis Duncan pada Tabel 4 diketahui bahwa nilai pH daging terjadi penurunan yang nyata selama masa penyimpanannya. Sementara kadar air daging mengalami peningkatan yang signifikan pada jam 16 ke 24. Sedangkan daya ikat air terjadi penurunan yang nyata pada jam 16 ke-24. Hal ini menunjukan semakin lama daging disimpan pada suhu ruang maka pH daging akan semakin asam, daya ikat air pada daging semakin menurun dan kadar air semakin meningkat.

Uji Kualitas Daging Kambing yang Disimpan pada Suhu Ruang Berdasarkan Uji Eber dan Uji H2S

Uji Kualitas daging kambing pada suhu ruang berdasarkan uji Eber dan H2S menggunakan uji statistika non-parametrik Kruskal Wallis (Tabel 5). Jika terdapat perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Mann Whitney (Tabel 6). Hasil analisis Kruskal Wallis tabel terhadap kualitas daging kambing yang disimpan pada suhu ruang berdasarkan uji Eber dan H2S diketahui terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Hasil uji Mann Whitney terhadap kualitas daging kambing yang disimpan pada suhu ruang berdasarkan uji Eber terdapat perbedaan yang sangat nyata pada jam ke-8 dan 24 (P<0,01) serta terdapat perbedaan yang nyata antara jam ke-16 dan 24 (p<0,05). Sama halnya dengan hasil uji H2S dimana terdapat perbedaan sangat nyata pada jam ke 8 dan jam ke 24 (P<0,01) serta terdapat perbedaan yang nyata antara jam ke-8 dan jam ke 16. Hal ini menunjukan bahwa daging kambing yang disimpan pada suhu ruang telah mengalami pembusukan mulai jam ke-16.

Pembahasan

Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi dan merupakan hasil ternak yang kaya akan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dalam pemenuhan kebutuhan protein. Kualitas daging dapat ditinjau warna, tekstur, konsistensi dan aroma atau bau. Kualitas daging juga dapat ditinjau dari dua faktor yakni faktor sebelum pemotongan dan setelah pemotongan. Faktor setelah pemotongan yang mengakibatkan daging cepat rusak yaitu pH, udara, kebersihan, metode pemasakan, pelayuan dan penyimpanan (Soeparno, 2009). Oleh sebab itu dilakukannya beberapa uji seperti uji fisik, uji Eber dan uji H2S untuk mengetahui kualitas daging.

Pemeriksaan awal dilakukan dengan uji fisik. Uji fisik organoleptik melibatkan 10 orang panelis yang bertugas untuk menilai dan memberikan respon perubahan pada daging kambing selama penelitian berupa perubahan warna, bau, konsistensi dan perubahan tekstur (Prasafitra et al., 2014). Hasil analisis data statistik pada perubahan warna terdapat perbedaan yang sangat nyata pada kelompok pengulangan jam ke-8 dan jam ke-24. Hal ini didukung dengan pengamatan makroskopis dimana daging kambing yang disimpan hingga 24 jam mengalami perubahan warna menjadi merah kecokelatan hingga merah kehijauan. Hal ini dikarenakan perubahan warna dapat terjadi bila terpapar udara, pigmen mioglobin yang terdapat pada daging akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang menghasilkan warna merah terang selanjutnya oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna cokelat, timbulnya warna coklat menandakan bahwa daging terlalu lama terkena udara bebas, sehingga menjadi rusak (Toba et al., 2018).

Pada uji bau daging kambing, panelis melaporkan pada jam ke-8 bau pada daging kambing tersebut masih normal. Pengaruh dari kontaminasi bakteri belum terjadi pada jam ke-8, sehingga daging masih dikatakan

memiliki bau yang normal (prengus) dan pada jam ke-24 daging kambing yang disimpan pada suhu ruang mengeluarkan bau busuk. Hal ini dikarenakan bakteri yang semakin banyak memdegradasi protein, lemak dan karbohidrat pada daging (Prasafitra et al., 2014). Hasil analisis uji statistika pada bau daging kambing, terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada jam ke-8 dan jam ke-24. jika daging didiamkan dalam suhu ruang selama lebih dari 20 menit, maka bakteri bisa membelah. Adanya kerusakan protein oleh bakteri akan menyebabkan perubahan bau pada daging (Madruga et al., 1999).

Uji konsistensi dan tekstur secara makroskopis menunjukan bahwa daging yang disimpan pada jam ke-8 konsistensinya kenyal dan teksturnya halus, jam ke-16 daging kambing mengalami perubahan konsistensi menjadi sangat kenyal dengan tekstur halus, sedangkan pada jam ke-24 konsistensi daging kambing menjadi lembek dan bertekstur kasar. Hal ini berbeda dengan hasil uji statistika pada konsistensi dan tektur dimana tidak terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada ketiga kelompok waktu tersebut. Perubahan konsistensi dikarenakan terjadinya penurunan jaringan ikat yang menyusun otot sehingga daging menjadi lembek. Begitupun perubahan tekstur pada daging kambing yang menjadi kasar, hal ini disebabkan oleh aktivitas mikroba yang mendegradasi struktur protein pada daging sehingga tekstur daging bisa berubah (Setyarwadani dan Haryanto, 2005).

Nilai pH daging pada hewan sehat sebelum disembelih adalah 7,2 - 7,4 yang akan menurun terus sampai 5,3 - 5,5

(Naibaho et al.,  2013). Hasil analisis

statistika pada nilai pH bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata pada kelompok waktu jam ke-8 dan jam ke-24 dimana menunjukan bahwa semakin lama daging disimpan pada suhu ruang maka pH sampel daging kambing akan semakin menurun. Berbeda dengan daging ayam broiler, jika disimpan pada suhu ruhu ruang akan lebih cepat mengalami penurunan

nilai pH. Hal ini didukung dengan Suradi (2006) dalam penelitiannya mengatakan bahwa daging ayam yang disimpan pada suhu ruang menunjukan penurunan yang nyata pada jam ke-4 setelah pemotongan. Penurunan pH terjadi setelah perubahan otot menjadi daging yang disebabkan oleh terbentuknya asam laktat pada proses glikolisis. Hal tersebut disebabkan karena glikogen sebagai sumber energi otot akan mengalami proses glikolisis setelah hewan dipotong dan secara enzimatis akan menghasilkan asam laktat sehingga pH daging menurun (Kurniawan et al., 2014). Faktor yang mempengaruhi perubahan pH yakni konsumsi pakan, stres saat pemotongan, spesies, individu ternak dan macam otot (Soeparno, 2005).

Otot mengandung sekitar 75% air dengan kisaran 68-80%, apabila kadar air daging melebihi kadar air daging normal (75%) maka dapat menurunkan kualitas daging (Soeparno, 2009). Air pada daging mempengaruhi kualitas daging terutama terhadap kebasahan (juiciness), keempukan, warna dan citarasa (taste) (Rosyidi at al., 2000). Uji statistik pada kadar air menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada ketiga kelompok waktu tersebut dimana telah terjadi peningkatan kadar air pada jam ke-24. Hal ini didukung dengan pernyataan Suradi (2003), bahwa semakin lama daging disimpan pada suhu ruang, kadar air semakin meningkat. Berbeda dengan daging ayam dan sapi yang memiliki tekstur dan konsistensi yang lebih halus dan memiliki kadar air yang lebih tinggi sehingga menyebabkan daging ayam dan sapi lebih cepat mengalami pembuskkan. Daging dengan kadar air tinggi akan terlihat pucat, berair dan tekstur yang lembek karena banyak air yang terikat keluar dari daging. Tingginya kandungan air dalam daging mengakibatkan protein yang larut dalam air sedikit sehingga daya ikat air oleh protein daging akan menurun. kadar air daging dipengaruhi oleh jenis ternak, umur, kelamin, pakan serta lokasi dan fungsi bagian-bagian otot dalam tubuh. Kadar air

yang tinggi disebabkan umur ternak yang muda, karena pembentukan protein dan lemak daging belum sempurna (Rosyidi et al., 2000).

Daya mengikat air adalah kemampuan protein daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh dari luar seperti proses pemotongan daging, penggillingan dan tekanan (Rompis, 2015). Lawrie (2003) menyatakan bahwa daya mengikat air daging sangat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir semakin tinggi daya mengikat air atau nilai mgH2O rendah. Tingkat penurunan pH post-mortem berpengaruh terhadap daya mengikat air. Analisis data statistik pada daya ikat air daging kambing yang disimpan pada suhu ruang menunjukan bahwa terjadi penurunan yang nyata pada kelompok waktu 16 jam dan ke-24 jam. Hal ini didukung oleh Lawrie (2003) bahwa semakin tinggi jumlah air yang keluar, maka daya mengikat airnya semakin rendah. Berbeda dengan daging ayam broiler yang jika disimpan pada suhu ruhu ruang akan lebih cepat mengalami penurunan daya ikat air. Hal ini didukung dengan Suradi (2006) dalam penelitiannya mengatakan bahwa daging ayam yang disimpan pada suhu ruang menunjukan penurunan yang nyata daya ikat air pada jam ke-4 setelah pemotongan. Penurunan daya ikat air disebabkan oleh makin banyaknya asam laktat yang terakumulasi akibatnya banyak protein miofibriler yang rusak, sehingga diikuti dengan kehilangan kemampuan protein untuk mengikat air (Lawrie, 2003). Selain pH, adapun faktor lain yang mempengaruhi daya ikat air daging yaitu, stres, bangsa, pembentukan aktomyosin (rigor-mortis), temperatur dan kelembaban, pelayuan karkas dan aging, tipe otot dan lokasi otot, spesies, umur, fungsi otot, pakan, dan lemak intramuskuler (Uyun et al., 2008).

Hasil analisis statistika pada uji eber menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata pada jam ke-8 dan jam ke-24 serta terdapat perbedaan yang nyata pada jam ke-16 dan jam ke-24. Hal ini

menunjukan bahwa daging telah mengalami pembusukan awal pada jam ke-16. Hal ini berbeda dengan daging sapi yang menunjukkan bahwa daging yang dibiarkan pada suhu ruang sudah mulai melepaskan gas hasil pembusukannya pada jam ke 9 (Priharsanti, 2009). Pembusukan pada daging dikarenakan adanya hasil reaksi uap HCl dari reagen Eber dengan NH3 dari daging. Reaksi ini menimbulkan uap putih pada dinding tabung reaksi. Prinsip kerja pada uji Eber adalah daging yang mengalami pembusukan akan mengeluarkan gas NH3. Gas amonia (NH3) terbentuk akibat adanya aktivitas biokimia mikroorganisme dalam daging (Franciska et al., 2018). Gas NH3 ini kemudian

berikatan dengan asam kuat (HCl) sehingga membentuk NH4Cl. Soelih (2011) dalam penelitiannya mengatakan bahwa hasil uji Eber pada daging yang disimpan pada suhu ruang lebih cepat mengalami pembusukan awal daripada daging yang disimpan pada suhu chilling. Menurut Yulistiani (2010) pembusukan daging dapat terjadi karena pertumbuhan        dan        aktivitas

mikroorganisme. Aktivitas mikroba pembusuk menyebabkan terjadinya degradasi protein daging menjadi asam amino sehingga sel-sel daging menjadi busuk (Usmiati et al., 2007).

Uji H2S bertujuan untuk melihat gas H2S yang dibebaskan oleh bakteri pembusuk yang terdapat pada daging yang telah mengalami proses pembusukan (Dengen, 2015). Hasil analisis uji H2S daging kambing yang disimpan pada suhu ruang terdapat perbedaan yang sangat nyata pada kelompok perlakuan jam ke-8 dan jam ke 24 serta terdapat perbedaan yang nyata pada jam ke-16 dan jam ke-24. Hal ini menunjukan bahwa pada jam ke-24 bakteri pengahasil H2S telah tumbuh pada daging dan daging mengalami pembusukkan. Hasil analisis didukung dengan pengamatan makroskopis dimana terjadi perubahan warna daging yang ditutup tisu dan ditetesi Pb-asetat sehingga mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan pada kelompok perlakuan jam ke-16 hingga jam ke-24.

Perubahan warna menjadi kecoklatan menunjukan bahwa terdapat H2S yang dibebaskan oleh bakteri pembusuk daging. Gas H2S yang dilepaskan oleh bakteri pembusuk akan berikatan dengan Pb-acetat menjadi Pb- sulfit (PbSO3) lalu menghasilkan warna coklat pada tisu. Bakteri yang menghasilkan H2S antara lain, Pseudomonas. Bakteri Pseudomonas juga menghasilkan enzim yang mampu memecah komponen lemak dan komponen protein dari bahan pangan sehingga menimbulkan bau busuk dan menimbulkan lendir (Dengen, 2015).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa ketahanan daging kambing yang disimpan pada suhu ruang ditinjau dari uji subjektif (warna, bau, konsistensi dan tekstur) dan uji objektif (nilai pH, kadar air dan daya ikat air), uji Eber, dan uji H2S hanya bertahan sampai jam ke-16.

Saran

Apabila meletakkan daging kambing pada suhu ruang, sebaiknya tidak lebih dari 16 jam dan untuk mempertahankan kualitasnya, daging kambing dapat disimpan pada suhu dingin (kulkas).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana karena telah mendukung dan memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standar Nasional. 2008. [SNI] Standar Nasional Indonesia Nomor 3932:2008. Tentang mutu karkas dan daging sapi. Jakarta.

Dengen PMR. 2015. Perbandingan uji pembusukan dengan menggunakan metode uji postma, uji Eber, uji H2S dan pengujian mikroorganisme pada daging

babi di pasar tradisional sentral Makassar. Skripsi.        Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI, 2018. Stastistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.

Franciska J, Suardana IW, Suarsana IN. 2018. Bakteriosin asal Streptococcus bovis 9A sebagai biopreservatif pada daging sapi ditinjau dari uji eber. Indon. Med. Vet. 7(2): 158-167.

Hadja. 2006. Kajian efek waktu blansir dan lama penyimpanan pada suhu rendah terhadap mutu daging sapi yang dikemas vakum. J. Zootek. 22(2): 2128.

Kurniawana NP, Septinova D, Adhianto K. 2014. Kualitas fisik daging sapi dari tempat pemotongan hewan di Bandar Lampung. J. Ilmiah Peternakan Terpadu. 2(3): 16-20.

Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. 5th Ed. Terjemahan aminudin parakasi. Jakarta. UI Press.

Madruga MS, Arruda SGB, Nascimento JA. 1999. Castration and slaughter age efffects on nutitive value of the ”mestico” goat meat. Meat Sci. 52: 119125.

Naibaho AA, Oka IBM, Swacita IBN. 2013. Kualitas daging babi ditinjau dari uji objektif dan pemeriksaan larva cacing Trichinella spp. Indon. Med. Vet. 2(1): 12-21.

Prasafitra AF, Suada IK, Swacita IBN. 2014. Ketahanan daging rendang tanpa pemasakan ulang selama penyimpanan suhu ruang berdasarkan uji reduktase dan organoleptik. Udayana university press, Denpasar, Bali. Indon. Med. Vet. 3(1): 20-25.

Priharsanti AHT. 2009. Populasi bakteri dan jamur pada daging sapi dengan penyimpanan suhu rendah. Sains Peternakan. 7(2): 66-72.

Rompis JEG. 2015. Daya mengikat air dan susut masak daging sapi blansir yang

dikeringkan dalam oven dan dikemas vakum. J. Zootek. 35(1): 131-137.

Rosyidi D, Ardhana M, Santoso RD. 2000. Kualitas daging kambing ekor gemuk betina dengan perlakuan docking dan tingkat pemberian konsentrat ditinjau dari kadar air, kadar lemak dan kadar protein. J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 7(2): 106-110.

Rosyidi D, Radiati LE, Uyun N. 2009. Kualitas kimia daging kambing peranakan etawah (pe) jantan dan kambing peranakan boer (pb) kastrasi. J. Ilmu Teknol. Hasil Ternak. 4(2): 916.

Sampurna IP, Nindhia TS. 2008. Analisis Data dengan SPSS dalam Rancangan Percobaan. 1st Ed. Denpasar: Udayana University Press.

Sembiring UR, Suada IK, Agustina, KK. 2015. Kualitas daging kambing yang disimpan pada suhu ruang ditinjau dari uji subjektif dan objektif. Indon. Med. Vet. 4(2): 155-162.

Setyawardani T, Haryanto I. 2005. Kajian Pengempukan Daging Kambing. J. Anim. Prod. 7(2): 106-110.

Soelih E, Dimas H, Setya B. 2011. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap terjadinya awal pembusukan daging yang dijual di salah satu pasar tradisional Surabaya. Vet. Med. 4(2): 15-17.

Soeparno. 2005.  Ilmu  dan Teknologi

Daging.  4th  Ed.  Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Soeparno. 2009.  Ilmu  dan Teknologi

Daging.   5th  Ed.  Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Sunarlim R, Triyantini, Setiadi B. 2004. Penggunaan stimulasi listrik pada kambing lokal terhadap mutu daging selama penyimpanan suhu kamar. Proc. Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. Pp. 427432.

Suradi K. 2006. Perubahan sifat fisik daging ayam broiler post mortem

selama penyimpanan temperatur ruang. J. Ilmu Ternak. 6 (1): 23-27.

Suryati T, Arief II, Maheswari. 2006. Sifat fisik daging sapi dark firm dry (dfd) hasil fermentasi bakteri asam laktat Lactobacillus Plantarum. Med. Peternakan. 29(2): 76-82.

Suyasa N, Parwati IA, Rohaeni ES. 2016. Potensi dan keragaman karakter kambing kacang, peranakan ettawa (pe) dan gembrong di Bali. Banjarbaru. Proc. Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian. 20 Juli. Pp.13591366.

Toba RDS, Hafid H, Pagala, MA. 2018. Kualitas organoleptik daging sapi yang

diberi pasta lengkuas (Alpinia Galanga L.) dengan lama simpan yang berbeda. JITRO. 5(1): 28-30.

Usmiati S, Marwati T. 2007. Seleksi dan optimasi proses produksi bakteriosin dari Lactobacillus sp. J. Pascapanen. 4(1):27-37.

Uyun N. 2008. Kualitas kimia daging kambing peranakan etawah (pe) jantan dan kambing peranakan boer (PB) kastrasi. Malang. J. Ilmu Teknol. Hasil Ternak. 4(2): 9-16.

Yulistiani R. 2010. Study of unslaughtered chicken carcass: organoleptic changes and bacterial growth pattern. J. Teknol. Pertanian. 11(1): 27-36.

Tabel. Hasil analisis Kruskal Wallis pada uji subyektif

Warna        Bau         Konsistensi Tekstur

Signifikansi      0,017*         0,001**       0,052          0,317

Keterangan: * Signifikan, ** Sangat signifikan

Tabel 2. Hasil analisis Mann Whitney pada uji warna dan bau

Uji Kualitas

Signifikansi

Jam ke-8 dan 16

Jam ke-8 dan 24

Jam ke-16 dan 24

Warna

0,307

0,005**

0,053

Bau

1,000

0,003**

0,003**

Keterangan: * Signifikan, ** Sangat signifikan

Tabel 3. Hasil sidik ragam terhadap kualitas daging kambing yang disimpan pada suhu ruang ditinjau dari nilai pH, kadar air dan daya ikat air.

Uji kualitas

Jam

Mean

Std. deviasi

Signifikan

ke-8

6,395

0,2408

pH

ke-16

6,022

0,1819

0,000**

ke-24

5,705

0,1292

ke-8

69,900

2,9765

kadar air

ke-16

72,700

3,7351

0,041*

ke-24

76,242

3,6025

ke-8

82,440

3,6753

daya ikat air

ke-16

77,880

5,3639

0,026*

ke-24

72,480

5,6632

Keterangan: * Signifikan, ** Sangat signifikan

Tabel 4. Hasil Uji Duncan terhadap nilai pH, kadar air dan daya ikat air daging kambing yang disimpan pada suhu riuang.

Jam        pH            Kadar air          Daya ikat air

8

6,39a

69,90a

82,44a

16

6,02b

72,70ab

77,88ab

24

5,70c

76,24b

72,48b

Keterangan: superscript dengan huruf yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan, sementara huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan.

Tabel 5. Uji Kruskal Wallis terhadap Kualitas daging kambing yang disimpan pada suhu ruang ditinjau dari uji Eber dan H2S.

Uji Eber          Uji H2S

Signifikansi         0,009**            0,009**

Keterangan: ** Sangat signifikan

Tabel 6. Uji Mann Whitney terhadap Kualitas daging kambing yang disimpan pada suhu ruang ditinjau dari uji Eber dan H2S.

Uji Kualitas

Waktu penyimpanan (jam)

8 dan 16

8 dan 24

16 dan 24

Uji Eber

Sig. 0,134

Sig. 0,003**

Sig. 0,050*

Uji H2S

Sig. 0,050*

Sig. 0,003**

Sig. 0,134

Keterangan: * Signifikan, ** Sangat signifikan

501