EFFECTIVENESS OF PROSTAGLANDIN F2? TO INDUCING HEAT AND CONCEPTION RATE IN BALI CATTLE ANESTRUS POSTPARTUM
on
Volume 13 No. 2: 118-124
Agustus 2021
DOI: 10.24843/bulvet.2021.v13.i02.p02
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Peringkat 3, DJPRP Kementerian Ristekdikti No. 21/E/KPT/2018, Tanggal 9 Juli 2018
Efektivitas Prostaglandin F2α dalam Menginduksi Berahi, Non Return Rate dan Conception Rate pada Sapi Bali Anestrus Postpartum
(EFFECTIVENESS OF PROSTAGLANDIN F2Α TO INDUCING HEAT AND CONCEPTION RATE IN BALI CATTLE ANESTRUS POSTPARTUM)
I Putu Agus Kertawirawan1*, I Gusti Ngurah Bagus Trilaksana2, Tjok Gede Oka Pemayun2
-
1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, JL. By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar Selatan, Bali, 80222, Pedungan, Denpasar, Bali 80222;
-
2Laboratorium Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB Sudirman, Denpasar, Bali. *Email: [email protected]
Abstrak
Induksi birahi adalah salah satu teknologi dalam bidang reproduksi untuk mempercepat munculnya birahi pada ternak. Banyak cara yang dilakukan untuk induksi birahi, salah satu diantaranya adalah dengan pemberian prostaglandin F2α. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian PGF2α pada sapi bali anestrus postpartum dengan korpus luteum berfungsi dan berat
badan berbeda dalam menginduksi munculnya birahi, non return rate dan conception rate setelah dilakukan inseminasi satu kali dan dua kali dengan interval 12 jam. Penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan acak kelompok berdasarkan berat badan dan jumlah pelaksanaan inseminasi. Kelompok I (P1) adalah kelompok dengan berat badan kurang dari 250 kg dan mendapat satu kali inseminasi saat munculnya birahi, Kelompok II (P2) dengan berat badan kurang dari 250 kg dan mendapat dua kali inseminasi dengan interval 12 jam, kelompok III (P3) dengan berat badan diatas 250 kg dengan satu kali inseminasi dan kelompok IV (P4) dengan berat badan diatas 250 kg dan mendapat dua kali inseminasi dengan interval 12 jam. Analisis dan pengujian statistik dilakukan dengan analisis varian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian PGF2α menyebabkan munculnya estrus pada semua hewan coba dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0,05) terhadap waktu munculnya birahi diantara keempat kelompok perlakuan, dan perlakuan inseminasi dua kali interval 12 jam juga tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan angka non return rate dan conception rate.
Kata kunci: Berat badan; connception rate; interval inseminasi; non return rate; PGF2α; birahi
Abstract
Induction of heat is one of the technologies in the field of reproduction to accelerate the appearance of heat in cattle. Many methods are used to induction of heat, one of them is by giving prostaglandin F2α. This study aims to determine the effectiveness of the administration of PGF2α in bali cattle anestrus postpartum with corpus luteum functioning and different body weights to induce the appearance of heat, non-return rate, and conception rate after insemination once and twice at 12-hour intervals. This research was conducted using a randomized block design based on body weight and the number of insemination. Group I (P1) is a group with a bodyweight of less than 250 kg and received one insemination when the appearance of lust, Group II (P2) with a bodyweight of less than 250 kg and received two inseminations at 12-hour intervals, group III (P3) with body weights above 250 kg with one insemination and group IV (P4) with body weights above 250 kg and received twice insemination at 12-hour intervals. Statistical analysis and testing are done by the analysis of variance. The results showed that the administration of PGF2α caused the emergence of estrus in all experimental animals and there was no significant difference (P> 0.05) to the appearance of heat between the four treatment groups, and the insemination treatment twice intervals 12 hours also had no significant effect to enhance the number of non-return rate and conception rate.
Keywords: Body weight; conception rate; interval insemination; non return rate; PGF2α; heat
PENDAHULUAN
Gizi dan status nutrisi ternak dapat mempengaruhi intensitas birahi karena berhubungan erat dengan hormon-hormon reproduksi (Partodihardjo, 1980). Nutrisi, menyusui dalam waktu lama dan infeksi uterus postpartus merupakan faktor yang dapat mempengaruhi periode anestrus postpartum, dan seluruh faktor tersebut akan mempengaruhi dimulainya kembali aktivitas ovarium postpartus (Ahuja dan Montiel, 2005).
Rendahnya efisiensi reproduksi menjadi masalah yang sering dijumpai dalam upaya meningkatkan populasi ternak sapi bali di lapangan (Laksmi et al., 2019). Untuk mengetahui tinggi rendahnya efisiensi reproduksi dapat dilakukan dengan menghitung angka kebuntingan atau conception rate (CR); jarak antara melahirkan atau calving interval; angka perkawinan per kebuntingan atau service per conception; dan angka kelahiran atau calving rate; serta repeat breeder (Hardjopranjoto, 1995).
Permasalahan yang sering muncul di peternakan rakyat adalah panjangnya waktu estrus post partus akibat peternak tidak dapat mengenali gejala dan tanda birahi pada ternaknya, karena intensitas estrus tersebut kurang nampak jelas sehingga waktu IB kurang tepat dan berdampak pada ketidak berhasilan IB (Hafizuddin et al., 2012). Untuk memanipulasi estrus penggunaan PGF2α banyak digunakan dengan hasil yang bervariasi.
Prostaglandin F2α merupakan agen luteolitik yang bekerja melisiskan korpus luteum (Hafez, 2002) dan banyak digunakan untuk menginduksi berahi post partum, seperti sinkronisasi estrus yang bertujuan untuk efisiensi reproduksi. Fenomena penggunaan PGF2α dalam upaya menginduksi berahi pada sapi yang mengalami keterlambatan berahi post partum yang disebabkan oleh silent heat, corpus luteum persisten (CLP) dan deteksi berahi yang kurang baik oleh peternak saat
ini banyak terjadi di lapangan dengan hasil yang bervariasi.
Performan ternak di lapangan sering mempengaruhi kualitas estrus yang ditunjukkan pada penggunaan
prostaglandin, dimana intensitas estrus post partum sangat terkait dengan aktivitas ovarium yang dipengaruhi oleh status nutrisi dan keseimbangan energi sehingga berat badan dapat menjadi acuan keberhasilan dari penggunaan
prostaglandin dalam menginduksi birahi. Banyak laporan penelitian yang menyatakan peranan utama PGF2 α dalam meregresi korpus luteum pada beberapa spesies (Milvae, 2000; Okuda et al., 2002). PGF2 α hanya mampu meregresi korpus luteum yang berumur diatas 6 hari siklus estrus, sedangkan korpus luteum dibawah 6 hari kurang peka terhadap PGF2 α (Girsh et al., 1995). Penggunaan PGF2α yang tidak tepat kurang mampu memberikan efek positif terhadap keberhasilan perkawinan ataupun berahi yang ditunjukkan dari penggunaan hormon tersebut. Dengan induksi birahi yang tepat, kita mampu mengamati waktu birahi pasca pemberian PGF2α dengan tepat sehingga penentuan waktu inseminasi yang tepat akan meningkatkan angka non return rate (NRR) dan angka konsepsi (conception rate).
Inseminasi buatan (IB) merupakan satu cara untuk meningkatkan efisiensi reproduksi pada sapi (VanDemark, 1961). Keberhasilan IB sangat tergantung dari kualitas berahi dan waktu inseminasi yang tepat. Penggunaan prostaglandin dalam menginduksi berahi pada sapi bali dikombinasikan dengan waktu inseminasi yang tepat diharapkan mampu meningkatkan angka conception rate. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Saili et al. (2017) penggunaan FGF2 α dikombinasikan dengan inseminasi buatan menggunakan semen sexing pada sapi bali menunjukkan tanda birahi serta tingkat kebuntingan yang cukup baik.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas penggunaan PGF2α pada sapi bali anestrus post partum dalam menginduksi berahi serta meningkatkan angka conception rate pada level berat badan dan waktu inseminasi yang berbeda. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam penggunaan prostaglandin pada sapi bali anestrus post partus dengan corpus luteum aktif dan fungsional serta pemilihan waktu inseminasi yang tepat untuk meningkatkan angka conception rate di tingkat lapangan.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada wilayah pengembangan sapi bali di kecamatan Nusa Penida. Pemilihan lokasi ini terkait dengan pertimbangan bahwa Nusa Penida sebagai sentra pembibitan sapi bali di Provinsi Bali dan merupakan wilayah lahan kering yang memiliki tingkat kesulitan dalam kegiatan usaha budidaya sapi terutama pada musim kemarau. Waktu penelitian dilakukan selama empat bulan (Desember 2019-Maret 2020).
Sampel Penelitian
Ternak yang digunakan dalam penelitian adalah induk sapi bali yang mengalami anestrus postpartum (corpus luteum berfungsi) dengan variasi berat badan berbeda. Jumlah sapi yang digunakan sebanyak 28 ekor.
Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat kelompok perlakuan dan tujuh ulangan.
P1: Kelompok sapi berat < 250 kg yang diinjeksi PGF2α + 1 kali IB
P2: Kelompok sapi berat > 250 kg yang diinjeksi PGF2α + 1 kali IB
P3: Kelompok sapi berat < 250 kg yang diinjeksi PGF2α + 2 kali IB (Interval 12 jam) P4: Kelompok sapi berat > 250 kg yang diinjeksi PGF2α + 2 kali IB (Interval 12 jam)
Perlakuan pada Hewan Sampel
Hormon yang diberikan berupa preparat prostaglandin F2α; Lutalyse ® (Dinoprost tromethamine, UpJohn) dengan dosis 25 mg/ekor melalui IM.
Pengambilan Data
Parameter yang diukur adalah waktu munculnya estrus, angka non return rate serta angka conception rate. Munculnya estrus ditandai dengan keluarnya lendir, perubahan kondisi vulva (merah, bengkak, basah ), gelisah dan nafsu makan menurun, menaiki dan diam dinaiki sesama sapi betina (Hafez, 2002). Pengamatan terhadap munculnya estrus dilakukan dua kali sehari yaitu pagi pukul 06.00-07.00 WITA dan sore hari pukul 17.00-18.00 WITA. Angka non return rate diamati berdasarkan jumlah sapi yang tidak menunjukkan gejala berahi 18-30 pasca inseminasi. Sedangkan angka conseption rate ditentukan berdasarkan diagnosa kebuntingan yang dilakukan dalam waktu 40-60 hari pasca inseminasi (Toelihere,1985).
Analisis Data
Analisis data terkait persentase munculnya estrus, non return rate dan conception rate disajikan dalam bentuk deskriptif kuantitatif. Sedangkan untuk mengetahui signifikansi hasil terbaik dari ke empat perlakuan menggunakan Analysis of Varian (ANOVA) menggunakan aplikasi software SPSS 17.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berat Badan Populasi Sampel
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebanyak 28 sampel diperoleh dari 5 desa di kecamatan Nusa Penida yaitu desa Ped sebanyak 16 sampel, Bunga Mekar sebanyak 7 sampel, Kutampi Kaler sebanyak 2 sampel, Batumadeg sebanyak 2 sampel dan desa Batukandik sebanyak 1 sampel. Seluruh sampel yang digunakan mewakili kelompok yang diklasifikasikan kedalam empat perlakuan yaitu P1, P2, P3 dan P4. Berdasarkan hasil penimbangan, diperoleh rata-rata berat badan tiap
kelompok perlakuan sebagaimana terlihat
pada Tabel 1. |
Tabel 1. Rerata berat badan sapi bali tiap perlakuan No Perlakuan Rerata Berat Badan (Kg) = (x + SD) 1 P1 223+ 14,59 2 P2 276,3+ 2,36 3 P3 221,7+ 15,71 4 P4 271,7+ 12,19 |
Keterangan: SD: Standar Deviasi; P1: Kelompok sapi berat < 250 kg yang diinjeksi PGF2α + 1 kali IB; P2: Kelompok sapi berat > 250 kg yang diinjeksi PGF2α + 1 kali IB; P3: Kelompok sapi berat < 250 kg yang diinjeksi PGF2α + 2 kali IB (Interval 12 jam); P4: Kelompok sapi berat > 250 kg yang diinjeksi PGF2α + 2 kali IB (Interval 12 jam)
Waktu Munculnya Estrus
Hasil penelitian terhadap rata-rata munculnya estrus setelah pemberian PGF2α pada penelitian ini tersaji pada Tabel 2. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana tersaji pada Tabel 2 terlihat tidak terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap waktu munculnya estrus pada kelompok
sapi dengan berat badan < 250 kg dengan kelompok sapi yang memiliki berat badan > 250 kg. Pada kelompok sapi dengan berat badan < 250 kg, rata-rata waktu munculnya estrus antara 36 + 9.31 jam hingga 42,57 + 9.59 jam, sedangkan pada kelompok berat badan > 250 kg, rata-rata waktu munculnya estrus lebih cepat yaitu antara 32,43 + 9.52 jam hingga 32,71 + 8.34jam.
Tabel 2. Rata-rata waktu munculnya estrus sapi bali setelah pemberian PGF2α 25 mg
No Perlakuan Waktu munculnya estrus (jam)
-
1. P1 42,57 + 9.59a
-
2. P2 32,71 + 8.34a
-
3. P3 36 + 9.31a
-
4. P4 32,43 + 9.52a
Keterangan: Nilai yang diikuti superskrip yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05).
Pembahasan
Tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap waktu munculnya estrus akibat induksi PGF2α kemungkinan disebabkan oleh respon tubuh ternak terhadap dosis PGF2α yang sama meskipun berat badan sapi berbeda. Variasi berat badan yang tidak terlalu besar kemungkinan menyebabkan PGF2α yang disuntikkan larut dalam lemak kemudian diangkut bersama darah menuju ovarium untuk meregresi korpus luteum (CL) dalam waktu yang bersamaan.
Menurut Tagama (1995), aksi dari PGF2α akan menyebabkan vasokonstriksi, sehingga menghambat aliran darah menuju ovarium, akibatnya suplai makanan yang
dibutuhkan ovarium akan berkurang bahkan terhenti dan CL fungsional mengalami regresi. Regresinya CL menyebabkan terhentinya sekresi hormon progesteron yang akan diikuti dengan naiknya hormone follicle stimulating hormone (FSH) untuk merangsang pertumbuhan folikel dan terjadinya estrus. Kecepatan timbulnya estrus disebabkan oleh fase pertumbuhan folikel yang bersamaan akibat peran FSH.
Pierson dan Ghinter (1984) dalam Bintara (2001) yang menyatakan bahwa perbedaan fase pertumbuhan folikel pada ovarium dapat mengakibatkan variasi timbulnya estrus. Hasil yang hampir sama dilaporkan oleh Melia et al. (2013) dimana
proses regresi CL pada ovarium sapi aceh mulai terjadi ± 1 hari setelah pemberian PGF2α. Menurut Siregar et al. (2010), pemberian PGF2α dapat menyebabkan regresinya CL fungsional dan memungkinkan dimulainya siklus estrus yang baru yang ditandai dengan munculnya estrus.
Non return rate dan Conception rate
Persentase angka non return rate (NRR) yang diperoleh pada penelitian ini adalah 71,43% masing-masing untuk kelompok perlakuan P1 dan P2 dengan inseminasi dilakukan sebanyak 1 kali. Sedangkan persentase angka NRR pada kelompok perlakuan P3 dan P4 adalah masing-masing 100% dan 85,71 % dengan inseminasi dilakukan sebanyak 1 kali (Tabel 3).
Angka konsepsi atau conception rate (CR) merupakan salah satu metode untuk
mengukur tinggi rendahnya efisiensi reproduksi. Conception rate adalah presentase sapi betina yang bunting dari inseminasi pertama (Costa et al., 2016).
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa persentase angka conception rate seluruh perlakuan antara 71,43% - 85,71%, dimana angka tertinggi terlihat pada ternak yang diperlakukan 2 kali inseminasi dalam satu siklus estrus interval 12 jam (P3 dan P4) yaitu masing-masing 85,71%, sedangkan ternak yang diperlakukan 1 kali IB (P1 dan P2) yaitu masing-masing 71,43%. Seluruh angka conception rate dari penelitian ini masih cukup tinggi sejalan dengan pendapat Harjopranjoto (1995) yang menyatakan bahwa conception rate yang ideal untuk suatu populasi ternak sapi adalah sebesar 60-75%, dimana semakin tinggi nilai CR semakin subur sapi tersebut dan begitu juga sebaliknya.
Tabel 3. Persentase birahi, dan angka non return rate pada sapi bali setelah pemberian PGF2α 25 mg dan inseminasi buatan
No Perlakuan N Sampel |
Kejadian Angka non return rate birahi Berahi % Tidak % Uji (%) kembali birahi Duncan* (ekor) kembali (ekor) |
|
100 2 28,57 5 71,43 1.0768a 100 2 28,57 5 71,43 1.0768a 100 1 14,29 6 85,71 1.1508a 100 0 0 7 100 1.2247a |
Keterangan: Nilai superskrip yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05)
Tabel 4. Persentase birahi dan Conception rate pada Sapi Bali setelah pemberian PGF2α 25 mg dan inseminasi buatan
No Perlakuan N Sampel |
Kejadian Conception rate birahi (%) Bunting % Tidak % Uji (ekor) bunting Duncan* (ekor) |
|
100 5 71,43 2 28,57 1.0768a 100 5 71,43 2 28,57 1.0768a 100 6 85,71 1 14,29 1.1508a 100 6 85,71 1 14,29 1.1508a |
Keterangan: Nilai superskrip yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05)
Angka conception rate pada penelitian ini terlihat berbeda dengan nilai non return rate (NRR) pada pengamatan 30 hari sebelumnya, dimana pada P4 yang memiliki nilai NRR 100% ternyata conception rate nya 85,71% yang artinya bahwa ada sapi yang tidak menunjukkan gejala berahi kembali pasca dikawinkan namun tidak bunting pada pemeriksaan 6090 hari berikutnya. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh ketidakcermatan dalam pengamatan berahi 30 hari setelah inseminasi atau akibat kematian embrio dini. Nilai NRR dan CR sangat penting untuk diketahui, karena rendahnya nilai CR bisa menimbulkan sebuah kerugian ekonomis pada petani peternak karena perlu melakukan inseminasi buatan lebih dari satu kali.
Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa, kelompok P3 dan P4 memiliki angka non return rate dan conception rate yang lebih tinggi dibandingkan dengan P1 dan P2 meskipun tidak berbeda nyata (P>0.05). Pada kelompok P3 dan P4 perkawinan dilakukan dua kali dengan interval 12 jam dimana berat badan kelompok tersebut berbeda, begitu pula pada kelompok P1 dan P2 yang memiliki nilai NRR dan CP yang lebih rendah dengan inseminasi dilakukan satu kali. Nilai NRR dan CP yang lebih tinggi pada kelompok P3 dan P4 kemungkinan disebabkan oleh waktu inseminasi.
Alexander et al. (1998) dan Apriem et al. (2012) menyatakan bahwa tinggi rendahnya CR sangat dipengaruhi oleh kondisi ternak, deteksi birahi, deteksi estrus, waktu pelayanan IB, teknisi serta pengelolahan reproduksi yang baik. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Rasad dkk (2008) yang menyatakan bahwa perkawinan pada sapi jika dilakukan pada waktu berahi yang tepat selain meningkatkan angka kebuntingan juga memudahkan dalam pelaksanaan IB.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan PGF2α dosis 25 mg pada sapi bali anestrus post partus yang memiliki corpus luteum aktif dan fungsional dengan berat badan berbeda 100% mampu menginduksi munculnya estrus. Perlakuan inseminasi 2 kali dengan interval 12 jam secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan angka non return rate dan conception rate.
Saran
Penggunaan PGF2α di lapangan hendaknya dilakukan dengan memastikan kondisi sapi memiliki CL fungsional, dan untuk meningkatkan angka conception rate inseminasi buatan hendaknya dilakukan antara antara 12-20 jam setelah munculnya estrus.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada peneliti, penyuluh dan litkayasa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali yang telah terlibat dalam pelaksanaan kegiatan penelitian serta staf Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung melalui petugas inseminator se-Nusa Penida yang secara aktif membantu proses penelitian di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahuja C, Montiel F. 2005. Body condition and suckling as factors influencing the duration of postpartum anestrus in cattle: a review. J. Anim. Sci. 85: 1-26.
Apriem F, Ihsan N, Poetro SB. 2012.
Penampilan reproduksi sapi peranakan onggole berdasarkan paritas di Kota Probolinggo Jawa Timur. Tesis. Program Pascasarjana. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang.
Alexander PABD, Abeygunawardena H, Perera BMHO, Abeygunawaedena IS. 1998. Reproduction performance and factor affecting the success rate of artificial insemination of cattle in up-county multiple farrn of Sri Lanka. Trop. Agric. Res. 356: 37t.
Bintara S. 2001. Manipulasi pola gelombang pertumbuhan folikel
dengan human chorionic
gonadothropin pada sapi madura. Buletin Peternakan. 25(1): 1-8.
Costa ND, Susilawati T, Isnaini N, Ihsan MN. 2016. The difference of artificial insemination succesful rate of ongole filial cattle using cold semen with different storage time with tris aminomethane egg yolk dilution agent. IOSR J. Pharm. 6(6): 13-19.
Girsh E, Greber Y, Meidan R, 1995. Luteotrophic and luteolytic interactions between bovine small and large luteal-like cells and endothelial cells. Biology of Reproduction. Vol. 52, 954-962
Hafez ESE. 2002. Reproduction in Farm Animals. 7th Ed. Lippincott William & Wilkins. A Wolter Kluwer Company.
Hafizuddin T, Siregar N, Akmal M, Melia J, Husnurrizal, Arman-syah T. 2012. Perbandingan intensitas berahi sapi aceh yang disinkronisasi dengan prostaglandin F2 alfa dan berahi alami. J. Kedokteran Hewan. 6(2): 81-83.
Hardjopranjoto HS. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University
Press. Surabaya.
Laksmi DNDI, Trilaksana IGNB, Darmanta RJ, Drawan M, Bebas IW, Agustina KK. 2019. Correlation between body condition score and hormone level of Bali cattle with postpartum anestrus. Indian J. Anim. Res. 53(12): 1599-1603.
Milvae RA. 2000. Inter-relatonships between endothelin and prostaglandin F2 alpha in corpus luteum function. Rev. Reprod. 5(1): 1-5.
Melia J, Lefiana D, Siregar TN, Jalaluddin. 2013. Proses regresi corpus luteum sapi aceh yang disinkronisasi estrus menggunakan prostaglandin F2 alfa (PGF2α). J. Med. Vet. 7(1): 57-60.
Okuda K, Miyamoto Y, Skarzynski DJ. 2002. Regulation of endometrial prostaglandin F (2alfa) syntesis during luteolysis and early pregnancy in cattle. Domest. Anim. Endocrinol. 23(1-2):
255-264.
Partodihardjo S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara, Jakarta.
Rasad SD, Kuswaryan S, Sartika D, Salim R. 2008. Kajian pelaksanaan program inseminasi buatan sapi potong di Jawa Barat. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.
Saili T, Baa LO, Napirah A, Syamsudin, Sura W, Lopulalan F. 2017. Pregnancy rate of bali cows following artificial insemination using chilled sexed sperm under intensive management in tropical area. Proc. The 7th International
Seminar on Tropical Animal Production. Contribution of Livestock Production anf Food Severeignty in Tropical Countries. September 12-14 Yogjakarta. Indonesia. Pp. 738-742.
Siregar TN, Armansyah T, Sayuti A, Syafruddin. 2010. Tampilan reproduksi kambing betina lokal yang diinduksi berahinya dilakukan dengan system sinkronisasi cepat. J. Vet. 11(1): 30-35.
Tagama TR. 1995. Pengaruh hormon estrogen, progesteron dan
prostaglandin f2α terhadap aktivitas berahi sapi PO dara. J. Ilmiah Penelitian Ternak Grati. 4(1): 7-11.
Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
VanDemark NL. 1961. Artificial insemination of cattle. J. Diary Sci. 44(12): 2314-2322.
124
Discussion and feedback