Volume 14 No. 5: 558-571

Oktober 2022

DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i05.p16

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Deteksi Infeksi Anaplasma sp., Borrelia burgdorferi dan Ehrlichia sp. pada Anjing yang Terinfestasi Caplak di Kota Denpasar

(DETECTION OF INFECTION ANAPLASMA SP., BORRELIA BURGDORFERI AND EHRLICHIA SP. IN THE DOG INFESTED WITH TICKS IN DENPASAR CITY)

Ni Made Devityasih Perayadhista1*, Nyoman Adi Suratma2, Nyoman Sadra Dharmawan3

  • 1UPTD. Balai Laboratorium Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali. Jl. Gurita No. 6 Sesetan, Denpasar Selatan; 2Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl.

PB. Sudirman, Denpasar;

  • 3Center for Study of Animal Disease (CSAD), Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. Raya sesetan Gg. Markisa No. 6, Denpasar Selatan.

*Email: annadevit92@gmail.com

Abstrak

Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeteksi adanya infeksi Anaplasma sp., Borrelia burgdorferi dan Ehrlichia sp. pada anjing yang terinfestasi caplak di Kota Denpasar. Deteksi agen penyakit dilakukan dengan pemeriksaan serologi, hematologi, dan identifikasi mikroskopik preparat hapus darah. Sampel darah yang diperiksa berasal dari 30 ekor anjing milik masyarakat yang terinfestasi Rhipicephalus sanguineus. Pemeriksaan serologi dilakukan dengan test kit SNAP® 4DX® Plus. Pemeriksaan hematologi menggunakan hematology analyzer I-CUBIO iCell-800 Vet®. Faktor risiko infeksi dipelajari dengan menganalisis hubungan kejadian infeksi pada anjing dengan beberapa faktor yang dinilai berpengaruh. Hasil pemeriksaan serologis menunjukkan 22 dari 30 anjing (73,3%) bereaksi positif terhadap Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp., tetapi negatif terhadap Borrelia burdorgferi. Gambaran hematologi memperlihatkan anemia, leukositosis, leukopenia, limfositosis, limfopenia, dan trombositopenia serta kelainan morfologi sel darah berupa poikilositosis, adanya krenasi, serta ditemukan agen Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. Infeksi agen patogen darah tersebut tidak berhubungan dengan faktor umur, ras, jenis kelamin, asal, adanya hewan lain yang tinggal bersama, dan sistem pemeliharaan anjing.

Kata kunci: Anjing; Anaplasma sp.; Borrelia burgdorferi; Ehrlichia sp.

Abstract

This research has been conducted as its purpose is to detect the infection of Anaplasma sp., Borrelia burgdorferi, and Ehrlichia sp. in dogs as well as it was manifested with ticks in Denpasar City. The detection of these parasites was conducted by serological examination, haematology test, and microscopic identification with blood smear. Blood samples were examined from 30 dogs which is belong to local society and it also invested with Rhipichepalus sanguineus. Serological examination was performed with SNAP® 4DX® Plus test kit. Haematology examination were using haematology analyzer I-CUBIO iCell-800 Vet®. The risk factor was learned by analyzing it with correlation to parasite infection case in dogs with a few factors which is considered being influenced. The result of serological examination shows that 22 of 30 dogs (73.3%) were positively reacted to Anaplasma sp. and Ehrlichia sp. but shown negative to Borrelia burgdorferi. In addition, haematology profile shown anemia, leucocytosis, leucopenia, lymphocitosis, lymphopenia, and thrombocytopenia, as well as abnormalities in blood cell morphology such as: poikilocytosis, and the presence of crenation. There is no correlation between blood pathogenic agents in this research to: age, breed, sex, origin, presence of other pets, or grooming management.

Keywords: Anaplasma sp.; Borrelia burgdorferi; dog; Ehrlichia sp.

PENDAHULUAN

Infeksi parasit darah pada anjing dapat disebabkan oleh Ehrlichia sp., Anaplasma sp. dan Borrelia sp. Canine ehrlichiosis yang disebabkan oleh infeksi Ehrilchia sp. merupakan tick-borne disease yang sangat penting pada anjing (Beall et al., 2012). Beberapa penelitian tentang prevalensi Ehrlichia canis dengan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) telah dilakukan di berbagai negara. Kaewmongkol et al. (2017) melaporkan kasus prevalensi ehrlichiosis di Bangkok, Thailand sebesar 9.88%. Alho et al. (2017) melaporkan dari 64 anjing yang diteliti sebanyak 2 ekor (3,1%) positif terinfeksi E. canis. Laporan kasus ehrlichiosis di Indonesia juga telah banyak dilaporkan, diantaranya di Klinik Hewan Yogyakarta (Nesti et al., 2018), Depok dengan prevalensi 12%, Bogor dengan prevalensi 40% (Hadi et al., 2016) dan kasus pada seekor anjing kampung di Bali (Putra et al., 2019).

Kejadian Anaplasmosis pada anjing di tiga shelter di wilayah Penisular, Malaysia dilaporkan prevalensinya sebesar 16.7% (Lau et al., 2017). Fragmen DNA Anaplasma phagocytophilum pertama kali terdeteksi pada Ixodes persulcatus di Cina (Cao et al., 2003) dan Haemaphysalis longicornis di Korea Selatan (Kim et al., 2003). Hasil studi Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta melaporkan bahwa dari 30 ekor anjing yang diperiksa menggunakan metode ulas darah, sebanyak 11 ekor positif terinfeksi Anaplasma sp. (Atmojo, 2010). Faizal et al. (2019) telah melaporkan kasus anaplasmosis di Klinik Hewan Yogyakarta sebanyak 6 dari 51 ekor anjing positif Anaplasma platys dengan metode PCR. Putra et al. (2019) juga melaporkan kasus anaplasmosis pada anjing kampung di Bali.

Beberapa spesies Borrelia yang berbeda dapat ditularkan oleh Ixodes persulcatus di Asia. Sebuah survei epidemiologis terbaru tentang Borrelia di

Asia mengungkapkan bahwa B. garinii, B. afzelii, B. japonica, B. valaisiana dan B. sinica merupakan patogen utama. B. japonica, B. tanukii dan B. turdi juga telah diisolasi di Jepang dari I. ovatus, I. tanuki dan I. turdus (Kawabata et al., 1993; Fukunuga et al., 1996). Uesaka et al. (2015) telah mensurvei secara serologi terhadap infeksi Borrelia di Sapporo, Jepang menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), ditemukan 34 dari 314 serum anjing positif (10.8%) terinfeksi Borrelia, sedangkan dengan metode Western blot ditemukan 32 positif (10.2%).

Caplak memiliki peranan penting sebagai vektor dalam patogenesis infeksi parasit darah pada anjing. Berdasarkan laporan Hadi et al. (2016) dari 67,90% anjing yang terinfestasi caplak di Depok sebanyak 12% positif ehlichiosis, sedangkan dari 100% anjing yang terinfestasi caplak di Pangkalan Udara Angkatan Udara Atang Sanjaya, Bogor sebanyak 16% positif anaplasmosis dan 40% positif ehrlichiosis. Erawan et al. (2017) dan Erawan et al. (2018) telah melaporkan kaitan kasus infestasi caplak Riphichepalus sp. dengan kejadian infeksi ehrlichiosis dan anaplasmosis pada anjing Kintamani dan Pomeranian.

Kejadian infestasi ektoparasit pada anjing di Kota Denpasar sangat tinggi, dari 220 ekor anjing yang telah diteliti, sebanyak 162 ekor (73,6%) terinfestasi ektoparasit. Prevalensi ektoparasit yang tertinggi adalah caplak Rhipicephalus sanguineus (71,8 %), dimana caplak tersebut merupakan salah satu vektor penting dalam penularan infeksi parasit darah (Sunita, 2017). Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi kemungkinan infeksi Anaplasma sp., Borrelia burgdorferi dan Ehrlichia sp. di Kota Denpasar sangat tinggi, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendeteksi infeksi Anaplasma sp., Borrelia burgdorferi dan Ehrlichia sp. pada anjing yang terinfestasi caplak.

METODE PENELITIAN

Sampel Penelitian

Pada penelitian ini, dilakukan pengambilan sampel darah anjing secara purposive sampling dari 30 ekor anjing milik warga masyarakat di wilayah Kota Denpasar yang terinfestasi caplak Rhipicephalus sanguineus. Penelitian berlangsung pada bulan November 2019 sampai Januari 2020. Pemilihan sampel didahului dengan pemeriksaan klinis anjing serta informasi terkait lainnya yang diperoleh dari pemilik anjing dan dicatat dalam formulir ambulatoir. Kota Denpasar memiliki empat kecamatan yakni Denpasar Selatan, Denpasar Barat, Denpasar Utara, dan Denpasar Timur dengan estimasi populasi anjing sekitar 10.000 ekor di masing-masing kecamatan. Penentuan besaran sampel anjing yang digunakan, sesuai Thrusfield (2007).

Metode Pemeriksaan Klinis dan Pengambilan Sampel Darah

Pemeriksaan klinis didahului dengan anamnesa untuk memperoleh informasi berkaitan dengan penyakit dan kondisi lain yang dialami anjing. Informasi tersebut berupa identitas anjing, riwayat penyakit anjing sebelumnya, status keberadaan ektoparasit caplak, sistem pemeliharaan, keberadaan hewan lain di lingkungan, dan apakah anjing dipelihara sejak kecil. Pemeriksaan fisik untuk melihat gejala klinis yang tampak pada hewan meliputi pemeriksaan suhu tubuh, nadi, mukosa mulut dan konjungtiva mata, serta status kondisi tubuh (terlihat lemah, lesu atau tidak). Semua keterangan dan informasi tersebut dicatat dalam formulir ambulatoir.

Pengambilan sampel darah dilakukan pada anjing yang positif terinfestasi caplak. Sampel darah diambil melalui vena cephalica yang terletak pada bagian distal kaki depan. Aspirasi dilakukan untuk mengambil sekitar 3 ml darah anjing. Sampel darah yang diperoleh lalu dimasukkan ke dalam tabung tanpa EDTA untuk pemeriksaan serologi dan ke dalam tabung yang berisi EDTA untuk

pemeriksaan hematologi rutin dan hapusan darah. Serum darah diperoleh dari pemisahan serum dengan benda korpuskular darah melalui sentrifugasi sampel darah yang ditampung pada tabung tanpa EDTA.

Metode Pemeriksaan Laboratorium (Serologi dan Hematologi)

Pemeriksaan serologi untuk deteksi adanya infeksi Anaplasma sp. (Anaplasma phagocytophylum dan Anaplasma platys), Borrelia burgdorferi, dan Ehrlichia sp. (Ehrlichia canis dan Ehrlichia ewingii) dilakukan dengan test kit SNAP® 4DX® Plus (IDEXX Laboratories, Inc. USA). Pemeriksaan hematologi untuk mengetahui status eritrosit, leukosit, dan trombosit sampel darah anjing yang terinfestasi caplak, dilakukan dengan menggunakan hematology analyzer I-CUBIO iCell-800 Vet® China.

Untuk mengetahui morfologi sel darah termasuk adanya infeksi parasit, dilakukan dengan pemeriksaan preparat hapus darah. Prosedur pembuatan dan pewarnaan preparat dilakukan sebagaimana prosedur yang sudah lazim menggunakan pewarnaan Giemsa (Christopher, 2004; Faria et al. 2010; Adewoyin dan Nwogoh, 2014).

Faktor Risiko

Faktor risiko kejadian infestasi caplak dan infeksi agen Anaplasma sp., Borrelia burgdorferi, dan Ehrlichia sp. pada anjing di Kota Denpasar dipelajari dengan menganalisis hubungan kejadian infeksi pada anjing dan beberapa data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan anamnesa yang dilakukan ke pemilik anjing. Daftar pertanyaan berupa faktor risiko yang diajukan ke pemilik anjing meliputi: umur anjing, jenis/ras anjing, jenis kelamin, asal anjing, ada tidaknya hewan lain yang dipelihara bersama anjing, dan sistem pemeliharaan yang dicatat pada formulir ambulatoir.

Analisis Data

Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis secara deskriftif kualitatif,

kemudian disajikan dalam bentuk grafik dan/atau tabel. Faktor risiko dianalisis dengan Uji Chi-square dan penentuan odds ratio (OR) (Kirkwood dan Sterne 2003; Budiarto 2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Deteksi Serologi

Hasil deteksi serologi Anaplasma sp., Borrelia burgdorferi dan Ehrlichia sp dengan menggunakan test kit SNAP® 4DX® Plus tertera pada Gambar 1. Hasil pemeriksaan menunjukkan sebanyak 22 ekor anjing (73.3%) bereaksi positif terhadap antibodi Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. Sampel darah anjing yang positif terdiri atas 1 ekor anjing yang seropositif Anaplasma sp. (4.5%); 9 seropositif Ehrlichia sp. (10.9%); dan 12 seropositif campuran Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. (54.5%). Hasil serologi menunjukkan semua sampel negatif terhadap Borrelia burdorgferi.

Informasi mengenai titer antibodi pada anjing yang secara alami terinfeksi A. platys cukup langka (Sainz et al., 2015). Penurunan titer antibodi yang stabil setelah terapi telah dijelaskan pada anjing yang secara eksperimental terinfeksi A. platys (Gaunt et al., 2010). Titer antibodi anjing yang terinfeksi E. canis dapat bertahan selama berbulan-bulan. Titer antibodi pada sebagian besar infeksi E. canis dapat berkurang secara bertahap selama 6-9 bulan setelah dilakukan terapi. Antibodi tidak terdeteksi lagi pada 12 bulan pasca terapi (Sainz et al., 2015). Pada beberapa kasus tetap seropositif selama beberapa tahun setelah perawatan (Perille dan Matus, 1991), terutama ketika diawali dengan titer antibodi yang sangat tinggi (Sainz et al., 2000).

Laporan mengenai seroprevalensi Anaplasma sp., Borrelia burgdorferi dan Ehrlichia sp. di berbagai negara banyak menggunakan test kit SNAP® 4DX® Plus. Penelitian di Meksiko, dari 1706 ekor anjing di 74 klinik hewan, sebanyak 51% terinfeksi E. canis, 16.4% terinfeksi Anaplasma spp. dan 4 ekor anjing terinfeksi

B. burgdorferi (Movilla, et al 2016). Penelitian di Polandia, dari 400 ekor anjing, sebanyak 11% terinfeksi B. burgdorferi, 8% terinfeksi A. phagocytophilum dan 1.5% terinfeksi E. canis (Dzięgiel, et al 2016).

Mrljak et al. (2017) melaprkan penelitian di Kroasia, dari 435 ekor anjing, sebanyak 6.21% terinfeksi A. phagocytophilum, 0.69% terinfeksi B. burgdorferi, 0.46% terinfeksi E. canis dan 1.61% kejadian co-infection E. canis dan A. phagocytophilum. Penelitian di Yunani, dari 1000 ekor anjing yang sehat dan diambil secara acak, sebanyak 12.5% terinfeksi Ehrlichia spp., 6.2% terinfeksi Anaplasma spp., 0.1% terinfeksi B. burgdorferi dan 2.1% kejadian co-infection Ehrlichia spp. dan Anaplasma spp. (Angelou, et al 2019). Penelitian di Osmaniye (Turki), dari 100 ekor anjing yang sehat, sebanyak 3% dilaporkan terinfeksi Ehrlichia canis/Ehrlichia ewingii dan tidak ada kejadian (0%) Anaplasma platys/Anaplasma phagocytophilum dan Borrelia burgdorferi (Gökmen, et al 2019).

Vektor dari Anaplasma platys adalah caplak Rhipicephalus sanguineus (Inokuma, et al 2000; Cohn, 2003) agen lain Ehrlichia canis juga umumnya ditularkan oleh caplak ini (Ferreira, et al 2008). Selain itu, beberapa spesies arthropoda, khususnya caplak, bertindak sebagai vektor lebih dari satu agen dan dapat terjadi co-infection pada masing-masing individu arthropoda (Shaw, et al 2001). Sedangkan, vektor dari B. burgdorferi adalah caplak Ixodes rinicus di Eropa (Kurtenbach, et al 1998), caplak Ixodes persulcatus di Asia, juga caplak I. ovatus, I. tanuki dan I. turdus yang sudah diisolasi di Jepang (Kawabata, et al 1993; Fukunuga, et al 1996), Ixodes scapularis di USA bagian Timur Laut dan Midwestern bagian atas, serta Ixodes pacificus adalah vektor di USA Barat (Gray, 1998).

Hadi et al. (2016) menyatakan caplak yang umum menginfestasi anjing di Indonesia adalah Rhipicephalus sanguineus. Sunita (2017) juga menyatakan

jenis caplak yang terindentifikasi di Kota Denpasar adalah caplak Rhipicephalus sanguineus. Tidak terdeteksinya antibodi terhadap B. burgdorferi pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh vektor caplak genus Ixodes belum ditemukan keberadaannya di Kota Denpasar atau vektor tidak membawa B. burgdorferi. Gökmen et al. (2019) menyatakan bahwa seropositif rendah dan tinggi dapat dikaitkan dengan ada atau tidaknya vektor serta tingkat endemis penyakit. Gökmen et al. (2019) pada penelitiannya tidak menemukan keberadaan B. burgdorferi karena tingkat endemis penyakit yang berbeda di berbagai provinsi di Turki, populasi vektor yang kecil atau vektor tidak membawa B. burgdorferi (Gökmen et al., 2019).

Hasil Pemeriksaan Hematologi

Sebanyak 30 sampel darah anjing yang terinfestasi Rhipicephalus sanguineus telah dilakukan pemeriksaan hematologi rutin untuk mengetahui status eritrosit, leukosit dan trombosit disajikan pada Tabel 1. Kelainan status eritrosit, leukosit, dan tombosit yang ditemukan adalah anemia, leukositosis, leukopenia, limfositosis, limfopenia, dan trombositopenia.

Semua anjing yang terinfeksi Anaplasma sp. atau Ehrichia sp., termasuk anjing yang tidak terinfeksi mengalami status anemia (100%). Sebanyak 22 ekor anjing yang terinfeksi Anaplasma sp. maupun Ehrichia sp. mengalami trombositopenia (100%). Sebanyak 22 ekor anjing yang terinfeksi Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. ditemukan 18.2% mengalami leukositosis, 22.7% leukopenia, 27,3% limfositosis, dan 13,6% limfositopenia.

Petrucelli dan Bermúdez (2017) melaporkan bahwa anjing yang terinfeksi Anaplasma platys maupun Ehrlichia canis mengalami variasi perubahan leukosit, namun anjing yang terinfeksi Ehrlichia canis sebagian besar mengalami leukopenia. Putra et al. (2019) melaporkan kejadian leukositosis pada anjing yang positif Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp.

Waner et al. (1997) menyatakan kelainan berupa    anemia    dan    leukopenia

kemungkinan disebabkan oleh supresi aktivitas   sumsum tulang belakang.

Kejadian limfopenia juga dapat terjadi pada anjing yang terinfeksi Anaplasma spp. dan Ehrlichia spp (Sainz et al., 2015; Putra et al., 2019).

Semua anjing yang positif Anaplasma sp. maupun Ehrlichia sp. dalam penelitian ini mengalami anemia. Hal serupa juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Ybañez et al. (2018), Piratae et al. (2019) dan Putra et al. (2019)

melaporkan bahwa keadaan anemia ditemukan pada anjing yang positif Anaplasma platys dan Ehrlichia canis. Piratae et al. (2019) menyatakan bahwa kadar hematokrit yang rendah dipengaruhi oleh berbagai penyebab yaitu kekurangan gizi akibat ektoparasit, terapi obat, keracunan atau iradiasi.

Semua anjing yang terinfeksi Anaplasma sp. maupun Ehrlichia sp. dalam penelitian ini juga mengalami trombositopenia. Kejadian trombositopenia pada semua anjing yang positif Anaplasma platys dilaporkan juga oleh Ferreira et al. (2008). Hal yang sama juga dilaporkan Ybañez et al. (2018), Piratae et al. (2019) dan Putra et al (2019), anjing yang terinfeksi Anaplasma platys disertai positif Ehrlichia       canis       mengalami

trombositopenia. Morula A.platys dapat ditemukan dalam trombosit (Sainz et al., 2015). Dagnone et al. (2003) menyatakan bahwa trombositopenia disebabkan oleh ploriferasi parasit. Trombositopenia dianggap sebagai hasil penghancuran trombosit pada darah oleh parasit yang berkembang biak selama fase awal infeksi, yang memicu mekanisme imunologis pada perjalanan infeksi berikutnya (Dyachenko et al., 2012). Mekanisme trombositopenia yang dimediasi oleh kekebalan menjadi penting pada periode trombositopenia berikutnya (Harvey et al., 1978). Fraksi trombosit yang terinfeksi agen parasit menurun dalam keadaan parasitemia secara terus menerus (French dan Harvey, 1983).

Berdasarkan pemeriksaan hematologi rutin terhadap 22 ekor anjing di Kota Denpasar yang terinfeksi Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp ditemukan status hematologi yang bervariasi dan tidak spesifik. Temuan yang paling umum pada kasus infeksi parasit tersebut adalah anemia dan trombositopenia. Trombositopenia dan anemia menjadi indikator penting yang harus diwaspadai oleh dokter hewan dalam tindakan terapi infeksi parasit darah (Sainz et al., 2015).

Pada pemeriksaan preparat hapusan darah telah ditemukan agen Anaplasma sp. dan Ehrichia sp. Gambaran kelainan eritrosit berupa poikilositosis dan krenasi juga ditemukan (Gambar 2). Sebanyak 18 dari 22 ekor anjing (81,8%) yang terinfeksi Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. menunjukkan perubahan morfologi pada sel darah. Perubahan tersebut berupa poikilositosis pada 8 ekor anjing (36,4%), krenasi pada 7 ekor anjing (31,8%), serta poikilositosis dan krenasi pada 3 ekor anjing (13,6%). Dharmawan (2002) menyatakan poikilositosis merupakan kejadian eritrosit yang memiliki bentuk beraneka ragam (bulat, langsing, persegi dan berbentuk tetesan air), sedangkan krenasi adalah kejadian eritrosit yang memiliki tepi bergerigi.

Hasil deteksi serologi dengan menggunakan test kit SNAP® 4DX® Plus (IDEXX Laboratories, Inc. USA) dapat mendeteksi seropositif Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. pada 22 ekor anjing begitupula dengan menggunakan metode pemeriksaan hapusan darah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada penelitian ini test kit SNAP® 4DX® Plus (IDEXX Laboratories, Inc. USA) memiliki sensitivitas dan spesifitas yang sama dengan metode hapusan darah.

Hasil Pemeriksaan Klinis

Hasil pemeriksaan klinis terhadap 30 ekor anjing yang terinfestasi Rhipicephalus sanguineus yang dipelihara di Kota Denpasar menunjukkan data yang bervariasi (Tabel 2). Hasil pengukuran suhu tubuh berkisar 38,0 – 39,1°C dan ≥ 39,2°C,

pemeriksaan mukosa mulut dan konjungtiva mata tampak normal hingga pucat. Status kondisi tubuh terlihat anjing mengalami lemah dan lesu, namun juga ada yang masih lincah.

Pada penelitian ini ditemukan 1 ekor anjing yang positif anaplasmosis mengalami demam (suhunya di atas 39,2°C). Kondisi demam juga ditemukan pada 3 ekor anjing yang terinfeksi Ehrlichia sp. dan pada 7 ekor anjing yang mengalami koinfeksi oleh Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. Demam merupakan salah satu tanda klinis paling umum terkait ehrlichiosis dan anaplasmosis. Demam lebih sering dilaporkan pada anjing yang terinfeksi Ehrichia canis, Ehrichia chaffeensis dan Anaplasma platys, tetapi kurang umum pada infeksi Anaplasma phagocytophilum (Nair et al., 2016). Suksawat et al. (2000) mengemukakan bahwa salah satu tanda klinis yang muncul pada anjing yang positif Ehrlichia sp. adalah deman tinggi, namun tidak semua penderita ehrlichiosis mengalami deman. Santos et al. (2009) juga melaporkan anjing yang terinfeksi A. platys dan E. canis mengalami demam tinggi.

Sebanyak 3 ekor dari 12 anjing pada penelitian ini mengalami koinfeksi Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp disertai tanda klinis berupa mukosa mulut dan konjungtiva mata yang pucat. Kondisi serupa juga telah dilaporan, dimana anjing yang positif terinfeksi Ehrlichia sp. menunjukkan tanda klinis mukosa pucat (Harrus et al., 1997a; Nakaghi et al., 2008; McClure et al., 2010). Demikian halnya pada anjing yang positif Anaplasma sp. (Harrus et al., 1997b; Cardoso et al., 2012).

Tanda klinis lainnya yang dijumpai pada penelitian ini adalah kondisi lemah/lesu. Kondisi lesu teramati masing-masing pada 1 ekor anjing yang positif terinfeksi Anaplasma sp. dan yang positif terinfeksi Ehrlichia sp.; serta pada 3 ekor anjing mengalami koinfeksi Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. Tanda klinis lesu merupakan tanda umum yang terjadi pada anjing yang terinfeksi Anaplasma sp. (Cardoso et al., 2012; Nesti et al., 2018)

dan Ehrlichia sp. (Harrus, et al 1997a; McClure, et al 2010).

Anjing yang positif terinfeksi Anaplasma sp. maupun Ehrlichia sp. pada penelitian ini ada yang tidak mengalami gejala klinis apapun. Hal ini kemungkinan anjing tersebut mengalami fase infeksi subklinis. Otranto et al. (2009) menyatakan banyak anjing yang terinfeksi oleh agen vektor parasit darah dapat mengalami ketiadaan gejala klinis (asimptomatis) selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Tidak ditunjukkannya gejala klinis pada kejadian ehrlichiosis telah dilaporkan di Malaysia (Rahman et al., 2010), Portugal (Cardoso et al., 2012) dan Thailand (Piratae et al., 2019). Hal tersebut juga dilaporkan pada kejadian anaplasmosis khususnya oleh infeksi A. platys (Dyachenko et al., 2012; Piratae et al., 2019) dan A. phagocytophilum (Scorpio et al., 2011). Menurut Tornquist (2012), antibodi E. canis dapat bertahan lama di tubuh anjing dan dapat dilihat pada infeksi yang subklinis. Kejadian infeksi subklinis ini penting untuk diperhatikan, karena anjing yang persisten terinfeksi parasit darah diduga masih dapat bertindak sebagai reservoir patogen ke inang berikutnya (French dan Harvey, 1983).

Faktor Risiko

Hasil uji chi-square untuk menentukan nilai odds ratio (OR) terhadap beberapa faktor yang kemungkinan mempengaruhi terjadinya infestasi ektoparasit dan infeksi parasit darah ditampilkan pada Tabel 3. Pada penelitian ini faktor risiko adanya hewan lain yang tinggal bersama anjing memiliki nilai odds-ratio (OR) sebesar 3.600 dan umur anjing memiliki nilai OR sebesar 2.625. Faktor risiko jenis kelamin, asal anjing, sistem pemeliharaan, dan jenis/ras anjing memiliki nilai OR berturut-turut sebesar: 1.444,  1.050, 0.833, dan

0.481.

Faktor risiko tertinggi terjadinya infeksi Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. pada anjing yang terinfestasi R. sanguineus di Kota Denpasar adalah adanya hewan lain

yang tinggal bersama anjing. Berdasarkan analisis statistik, faktor risiko ada tidaknya hewan lain yang dipelihara bersama anjing tidak berpengaruh nyata (P>0.05), peluang 3,6 kali tersebut dinilai tidak bermakna. Pada penelitian ini, jenis hewan yang tinggal bersama anjing adalah kucing, burung, dan ayam. Tidak ada anjing yang tinggal bersama ternak maupun jenis Canidae lainnya. Menurut Vera et al. (2014) anaplasmosis akan bertahan dalam situasi lingkungan dengan keberadaan berbagai inang seperti sapi, tikus liar dan rusa. Hewan – hewan ini dapat menjadi reservoir Anaplasma spp. Fishman et al. (2004) menyatakan canidae liar yaitu serigala, rubah, koyote dapat bertindak sebagai reservoir E. canis.

Meskipun dari hasil penelitian ini tidak ditemukan faktor risiko yang memiliki makna, pemilik anjing di Kota Denpasar disarankan tetap waspada terhadap kemungkinan infeksi parasite darah, karena menurut laporan Albay et al. (2016) kucing dapat menjadi reservoir Ehrlichia canis. Studi yang dilakukan di North Carolina State University - College of Veterinary Medicine (NCSU–CVM) melaporkan adanya DNA Anaplasma platys pada kucing (Qurollo et al., 2014a).

Faktor umur anjing pada penelitian ini memiliki nilai OR sebesar 2.625, namun berdasarkan uji chi-square tidak menunjukkan perbedaan (P>0.05), sehingga tidak ada perbedaan risiko kemungkinan infeksi Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. yang terjadi baik pada anjing tua maupun anjing muda. Hasil ini bersesuaian dengan laporan beberapa peneliti yang menyatakan bahwa tidak ada kecenderungan umur untuk infeksi Anaplasma sp. Kejadian infeksi Ehrlichia sp. dapat muncul pada berbagai umur (Sainz et al., 2015; Piratae et al., 2019). Faktor risiko yang lainnya pada penelitian ini yaitu faktor jenis kelamin, asal anjing, sistem pemeliharaan dan jenis/ras anjing secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) terhadap infeksi Anaplasma sp. atau Ehrlichia sp,

sehingga nilai OR dianggap tidak bermakna.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pada pemeriksaan serologis, 73,3% menunjukkan reaksi positif terhadap Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp., tetapi semua sampel negatif terhadap Borrelia burdorgferi. Pemeriksaan hematologi memperlihatkan      status      anemia,

leukositosis, leukopenia, limfositosis, limfopenia, dan trombositopenia, adanya kelainan morfologi sel darah berupa poikilositosis dan krenasi, serta ditemukan agen Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. Infeksi Anaplasma sp., dan Ehrlichia sp. tidak berhubungan dengan faktor risiko umur, jenis/ras anjing, jenis kelamin anjing, asal anjing, adanya hewan lain yang tinggal bersama anjing, dan sistem pemeliharaan anjing.

Saran

Perlu     dilakukan    pengendalian

ektoparasit caplak pada anjing di Kota Denpasar. Kepada pemilik anjing agar waspada dan dianjurkan meningkatkan kesadarannya mengenai cara pemeliharaan hewan yang sehat. Perlu dilakukan penelitian sejenis di wilayah lain dengan parameter dan jumlah sampel yang diperbanyak.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan, Koordinator Program Studi Magister Kedokteran Hewan, serta seluruh Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas yang telah memfasilitasi penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adewoyin AS, Nwogoh B. 2014. Peripheral blood film - A review. Annals Ibadan Postgrad. Med. 12(2): 71-79.

Albay MK, Sevgisunar NS, Sahinduran S, Ozmen O. 2016. The first report of

Ehrlichiosis in a cat in Turkey. Ankara Üniv. Vet. Fak. Derg. 63: 329-331.

Alho AM, Lima C, Latrofa MS, Colella V, Ravagnan S, Capelli G, Otranto D. 2017. Molecular detection of vector-borne pathogens in dogs and cats from Qatar. Parasites Vectors 10(1): 1-5.

Angelou AA, Gelasakis I, Verde N, Pantchev N, Schaper R, Chandrasekar R, Papadopoulos E. 2019. Prevalence and risk factors for selected canine vector-borne disease in Greece. Parasites Vectors. 12: 283.

Atmojo SD. 2010. Identifikasi protozoa parasit darah pada anjing (Canis sp.) ras impor di Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Beall MJ, Alleman AR, Breitschwerdt EB, Cohn LA, Couto CG, Dryden MW, Guptill LC, Lazbik C, Kania SA, Lathan P, Little SE, Roy A, Sayler KA, Stillman BA, Welles EG, Wolfson W, Yabsley MJ. 2012. Seroprevalence of Erhlichia canis, Erhlichia chaffeensis, and Ehrlichia ewingii in dogs North America. Parasites Vectors. 5: 29.

Budiarto E. 2001. Biostatistika untuk Kedokteran     dan     Kesehatan

Masyarakat. Jakarta: ECG.

Cao WC, Zhao QM, Zhang PH, Yang H, Wu XM, Wen BH, Zhang XT,

Habbema JD. 2003. Prevalence of

Anaplasma phagocytophila and Borrelia burgdorferi in Ixodes persulcatus ticks from northeastern China. Am. J. Trop. Med. Hyg. 68: 547550.

Cardoso L, Mendao C, Carvalho LM. 2012. Prevalence of Dirofilaria immitis, Ehrlichia canis, Borrelia burgdorferi sensu lato, Anaplasma spp. and Leishmania infantum in apparently healthy and CVBD-suspect dogs in Portugal–a national serological study. Parasit Vectors. 5: 62.

Christopher MM. 2004. Evaluation of the blood smear. Proc. World Small Animal Veterinary Association World Congress.

https://www.vin.com/apputil/content/d efaultadv1.aspx?pId=11181&catId=30 079&id=3852159 [3 Juli 2020].

Cohn LA. 2003. Ehrlichiosis and related infections. Vet. Clin. North. Am. Small Anim. Pract. 33: 863-884.

Dagnone AS, Morais HAS, Vidotto MC, Jojima FS, Vidotto O. 2003. Ehrlichiosis        in        anemic,

thrombocytopenic or tick-infested dogs from a hospital population in South Brazil. Vet. Parasitol. 117: 285-290.

Dharmawan NS. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner Hematologi Klinik. Denpasar: Pelawa Sari.

Dyachenko V, Pantchev N, Balzer HJ, Meyersen A, Straubinger RK. 2012. First case of Anaplasma platys infection in a dog from Croatia. Parasit Vectors. 5: 49.

Dzięgiel B, Adaszek L, Carbonero A, Lyp P, Winiarczyk M, Debiak P, Winiarczyk S. 2016. Detection of canine vector-borne disease in eastern Poland by ELISA and PCR. Parasitol. Res. 115: 1039-1044.

Erawan IGMK, Sumardika IW, Pemayun IGAGP, Ardana IBK. 2017. Laporan Kasus:   Ehrlichiosis pada Anjing

Kintamani Bali. Indon. Med. Vet. 6(1): 68-74.

Erawan IGMK, Duarsa BSA, Suartha IN. 2018. Laporan Kasus: Anaplasmosis pada anjing pomeranian. Indon. Med. Vet. 7(6): 737-742.

Faizal MD, Haryanto A, Tjahajati I. 2019. Diagnosis       and       molecular

characterization of Anaplasma platys in dog patients in Yogyakarta area, Indonesia. Indon. J. Biotechnol. 24(1): 43-50.

Faria JLM, Dagnone AS, Munhoz TD, João CF, Pereira WAB, Machado RZ,

Tinucci-Costa M. 2010. Ehrlichiacanis morulae and DNA detection in whole blood and spleen aspiration samples. Rev. Bras. Parasitol. Vet. Jaboticabal. 19(2): 98-102.

Ferreira RF, Cerqueira AMF, Pereira AM, Ferreira MS, Almosny NRP. 2008.

Hematologic parameters in polymerase chain reaction-positive and -negative dogs for Anaplasma platys presenting platelet inclusion body. Int. J. Appl. Res. Vet. Med. 6(3).

Fishman Z, Gonen L, Harrus S, Strauss-Ayali D, King R, Baneth G. 2004. A serosurvey of Hepatozoon canis and Ehrlichia canis antibodies in wild red foxes (Vulpes vulpes) from Israel. Vet. Parasitol. 119(1): 21–26.

French TW, Harvey JW. 1983. Serologic diagnosis of infectious cyclic thrombocytopenia in dogs using an indirect fluorescent antibody test. Am. J. Vet. Res. 44: 2407–2411.

Fukunuga M, Hamase A, Okada K, Inoue H, Tsuruta Y, Miyamoto K, Nakao M. 1996. Characterization of spirochetes isolated from ticks (Ixodes tanuki, Ixodes turdus and Ixodes columnae) and comparison of the sequences with those of Borrelia burgdorferi sensu lato strains. Appl. Environ. Microbiol. 62: 2338-2344.

Gaunt S, Beall M, Stillman B, Lorentzen L, Diniz P, Chandrashekar R, Breitschwerdt EB. 2010. Experimental infection and co-infection of dogs with Anaplasma platys and Ehrlichia anis: hematologic, serologic and molecular findings. Parasit Vectors. 3(1): 33.

Gökmen TG, Günaydın E, Turut N, Akın B, Koç O, Ütük AE. 2019. A Serosurvey on some canine vector-borne zoonoses (Anaplasma  spp., Ehrlichia spp.,

Borrelia burgdorferi, Dirofilaria immitis and Leishmania spp.) in Osmaniye. Atatürk Üniversitesi Vet. Bil. Derg. 14(2): 151-158.

Gray JS. 1998. The ecology of ticks transmitting Lyme borreliosis. Exp. Appl. Acarol. 22: 249–258.

Hadi UK, Soviana S, Pratomo IRC. 2016. Prevalence of ticks and tick-borne diseases in Indonesian dogs. J. Vet. Sci. Technol. 7(3): 1-7.

Harrus S, Warner T, Bark H. 1997a. Canine monocytic ehrlichiosis - an update.

Comp. Con. Ed. Pract. Vet. 19: 431444.

Harrus S, Aroch I, Lavy E, Bark H. 1997b. Clinical manifestations of infectious canine cyclic thrombocytopenia. Vet. Rec. 141: 247-250.

Harvey JW, Simpson CF, Gaskin JM. 1978. Cyclic thrombocytopenia induced by a Rickettsia-like agent in dogs. J. Infect. Dis. 137: 182-188.

Inokuma H, Raoult D, Brouqui P. 2000. Detection of Ehrlichia platys DNA in brown dog ticks (Rhipicephalus sanguineus) in Okinawa Island, Japan. J. Clin. Microbiol. 38: 4219-4221.

Kaewmongkol G, Lukkana N, Yangtara S, Kaewmongkol S, Thengchaisri N, Sirinarumitr T, Fenwick SG. 2017.

Association of Ehrlichia canis, Hemotropic Mycoplasma spp. and Anaplasma platys and severe anemia in dogs in Thailand. Vet. Microbiol. 201: 195-200.

Kawabata H, Masuzawa T, Yanagihara Y. 1993. Genomic analysis of Borrelia japonica sp. nov. isolated from Ixodes ovatus in Japan. Microbiol. Immunol. 37: 843-848.

Kim CM, Kim MS, Park MS, Park JH, Chae JS.  2003. Identification of

Ehrlichia chaffeensis, Anaplasma phagocytophilum, and A. bovis in Haemaphysalis longicornis and Ixodes persulcatus Ticks from Korea. Vector Borne Zoonotic Dis. 3: 17-26.

Kirkwood BR, Sterne JAC. 2004. Essential Medical Statistics, 2nd edn. Oxford: Wiley-Blackwell.

Kurtenbach K, Peacey M, Rijpkema SG, Hoodless AN, Nuttall PA, Randolph SE. 1998. Differential transmission of the genospecies of Borrelia burgdorferi sensu lato by game birds and small rodents in England. Appl. Environ. Microbiol. 64: 1169–1174.

Lau SF, Dolah RN, Mohammed K,

Watanabe M, Rani AP. 2017. Canine vector borne diseases of zoonotic concern in three dog shelters in Peninsular Malaysia: The importance of

preventive measures. Trop. Biomed. 34(1): 72-79.

McClure JC, Crothers ML, Schaefer JJ, Stanley PD, Needham GR, Ewing SA, Stich RW. 2010. Efficacy of a Doxycycline Treatment Regimen Initiated During Three Different Phases of     Experimental     Ehrlichiosis.

Antimicrob. Agents.    Chemother.

54(12): 5012–5020.

Movilla R, García C, Siebert S, Roura X. 2016.     Countywide    serological

evaluation of canine prevalence for Anaplasma spp., Borrelia burgdorferi (sensu lato), Dirofilaria immitis and Ehrlichia canis in Mexico. Parasites Vectors. 9: 421.

Mrljak V, Kules J, Mihaljevic Z, Torti M, Gotic J, Crnogaj M, Zivicnjak T, Mayer I, Bhide M, Rafaj RB. 2017. Prevalence and Geographic Distribution of Vector-Borne Pathogens in Apparently Healthy Dogs in Croatia. Vector-borne and Zoonotic Dis. 17(6).

Nair ADS, Cheng C, Ganta CK, Sanderson MW, Alleman AR, Munderloh UG, Ganta RR.   2016. Comparative

Experimental Infection Study in Dogs with Ehrlichia canis, E.chaffeensis, Anaplasma        platys        and

A.phagocytophilum. PLoS One. 11(2): e0148239.

Nakaghi ACH, Machado RZ, Costa MT, André MR, Baldani CD. 2008. Canine Ehrlichiosis: clinical, hematological, serological and molecular aspects. Ciência Rural. 38: 766-770.

Nesti DR, Baidowi A, Ariyanti F, Tjahajati I. 2018. Deteksi Penyakit Zoonosis Ehrlichiosis pada Pasien Anjing di Klinik Hewan Jogja. J. Nas. Teknol. Terapan. 2(2): 191-197.

Otranto D, Dantas-Torres F, Breitschwerdt EB. 2009. Managing canine vector-borne diseases of zoonotic concern: part one. Trends Parasitol. 25: 157-163.

Perille AL, Matus RE.  1991. Canine

ehrlichiosis in six dogs with persistently increased antibody titers. J. Vet. Intern. Med. 5(3):195–198.

Petrucelli JV, Bermúdez S. 2017. Clinical and Serological Evidence of Canine Anaplasmosis and Ehrlichiosis in Urban and Rural Panama. An. Clin. Cytol. Pathol. 3(1): 1050.

Piratae S, Senawong P, Chalermchat P, Harnarsa W, Sae-Chue B. 2019. Molecular evidence of Ehrlichia canis and Anaplasma platys and the association of infections with hematological responses in naturally infected dogs in Kalasin, Thailand, Vet. World. 12(1): 131-135.

Putra WG, Widyastuti SK, Batan IW. 2019. Laporan Kasus: Anaplasmosis dan Ehrlichiosis pada Anjing Kampung di Denpasar, Bali. Indon. Med. Vet. 8(4): 502-512.

Qurollo BA, Balakrishnan N, Cannon CZ, Maggi RG, Breitschwerdt EB. 2014. Co-infection with Anaplasma platys, Bartonella henselae, Bartonella koehlerae      and      ‘Candidatus

Mycoplasma haemominutum’ in a cat diagnosed with splenic plasmacytosis and multiple myeloma. J. Feline Med. Surg. 16(8): 713–20.

Rahman WA, Ning CH, Chandrawathani P. 2010. Prevalence of canine ehrlichiosis in Perak State, Peninsular Malaysia. Trop. Biomed. 27: 13-18.

Sainz A, Tesouro MA, Amusategui I, Rodriguez F, Mazzucchelli F, Rodriguez M. 2000. Prospective comparative study of 3 treatment protocols using doxycycline or imidocarb dipropionate in dogs with naturally occurring ehrlichiosis. J. Vet Intern. Med. 14(2): 134–139.

Sainz A, Roura X, Miró G, Estrada-Peña A, Kohn B, Harrus S, Solano-Gallego L. 2015. Guideline for veterinary practitioners on canine ehrlichiosis and anaplasmosis in Europe. Parasites Vectors. 8:75.

Santos AS, Alexandre N, Sousa R, Nuncio MS, Bacellar F, Dumler JS. 2009. Serological and molecular survey of Anaplasma species infection in dogs

with suspected tickbornedisease in Portugal. Vet. Rec. 164(6): 168-171.

Scorpio DG, Dumler JS, Barat NC, Cook JA,   Barat CE, Stillman BA,

DeBisceglie KC, Beall MJ, Chandrashekar R. 2011. Comparative strain analysis of Anaplasma phagocytophilum infection and clinical outcomes in a canine model of granulocytic anaplasmosis. Vector Borne Zoonotic Dis. 11: 223–229.

Shaw SE, Day  MJ,   Birtles RJ,

Breitschwerdt EB. 2001. Tick-borne

diseases of dogs. Trends Parasitol. 17, 74-80.

Suksawat J, Hegarty BC, Breitschwerdt EB. 2000. Seroprevalence of Ehrlichia canis, Ehrlichia equi, and Ehrlichia risticii in sick dogs from North Carolina and Virginia. J. Vet. Intern. Med. 14: 50-55.

Sunita IN. 2017. Prevalensi, Intensitas dan Faktor Risiko Kejadian Ektoparasit pada Anjing di Kota Denpasar (Tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Thrusfield M. 2007. Veterinary Epidemiology Third Edition. Blackwell Publishing.

Tornquist SJ. 2012. The Merck Veterinary Manual for Veterinary Professionals. Diagnostic Procedures for the Private Practice Laboratory Merck Sharp & Dohme Corp. Merck & Co Inc., Whitehouse Station, USA.

Uesaka K, Maezawa M, Inokuma H. 2015. Serological survey of Borrelia infection of dogs in Sapporo, Japan, where Borrelia garinii infection was previously detected. J. Vet. Medi. Sci. 15: 0392.

Vera CP, Kapiainen S, Junnikkala S, Aaltonen K, Spillmann T, Vapalahti O. 2014. Survey of selected tick-borne diseases in dogs in Finland. Parasites Vectors. 7: 285.

Waner T, Harrus S, Bark H, Avidar Y, Keysary A. 1997. Characterization of the subclinical phase of canine ehrlichiosis in experimentally infected beagle dog. Vet. Parasitol. 69: 307-317.

Ybañez RHD, Ybañez AP, Arnado LLA, Belarmino LMP, Malingin  KGF,

Cabilete PBC, Amores ZRO, Talle MG, Liu M, Xuan X. 2018. Detection of

Ehrlichia, Anaplasma, and Babesia spp. in dogs in Cebu, Philippines. Vet. World. 11(1): 14-19.

26.7%

73.3%

■ Positif Anaplasma sp dan Ehrlichia sp ■ Negatif


Gambar 1. Hasil pemeriksaan serologi terhadap 30 ekor anjing yang terinfestasi caplak di Kota Denpasar menggunakan tes kit SNAP® 4DX® Plus.

Tabel 1. Status eritrosit, leukosit, dan trombosit darah anjing yang terinfestasi caplak di Kota

Denpasar.

No.

Status Hematologi

Anjing yang Positif 1

Anjing yang Negatif 2

Jumlah

%

Jumlah

%

1.

Eritrosit

-  Anemia

22

100

8

100

2.

Leukosit

-  Leukosit normal

13

59,1

5

62,5

- Leukositosis

4

18,2

3

37,5

- Leukopenia

5

22,7

0

0

-  Limfosit normal

13

59,1

3

37,5

- Limfositosis

6

27,3

4

50,0

- Limfositopenia

3

13,6

1

12,5

3.

Trombosit

- Trombositopenia

22

100

6

75

-  Trombosit normal

0

0

2

25

1 Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. (n = 22)

2 Anaplasma sp., Borrelia burgdorferi, dan Ehrlichia sp. (n = 8)

Gambar 2. Gambaran eritrosit anjing yang terinfestasi caplak di Kota Denpasar: a) Ehrlichia sp. pada anjing kode DS1; b) poikilositosis; c) Ehrlichia sp. pada anjing kode DS2; d) Anaplasma sp. pada anjing kode DS2; e) Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. pada anjing kode DS3; f) Krenasi; g) Ehrlichia sp. pada anjing kode DS4; h) Poikilositosis dan krenasi. (1000x)

Tabel 2. Status klinis pada anjing yang terinfeksi caplak di Kota Denpasar.

No.

Status Tanda Klinis

Anjing yang Positif*

Anjing yang Negatif**

22

(%)

8

%

1.

Suhu (°C)

38,0 – 39,1

11

50.0

8

100

≥ 39,2

11

50.0

0

0.0

2.

Warna mukosa mulut dan konjungtiva mata

Normal

20

90.9

7

87.5

Pucat

2

9.1

1

12.5

3.

Status kondisi tubuh

Lemah, lesu

4

18.2

1

12.5

Masih lincah

18

81.8

7

87.5

* Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp.

** Anaplasma sp., Borrelia burgdorferi, dan Ehrlichia sp.

Tabel 3. Nilai odds-ratio (OR) faktor umur, jenis/ras, jenis kelamin, asal, adanya hewan lain yang tinggal bersama, dan sistem pemeliharaan pada anjing yang terinfeksi Anaplasma sp. dan Ehrlichia sp. di Kota Denpasar.

Faktor Risiko

Positif

Negatif

P

OR

N

%

N

%

Umur anjing:

Muda ≤ 12 bulan

6

27,3

1

12,5

0.398

2.625

Tua > 12 bulan

16

72,7

7

87,5

Jenis/ras anjing:

Lokal / campuran

13

59,1

6

75,0

0.424

0.481

Ras

9

40,9

2

25,0

Jenis kelamin anjing:

Jantan

13

59,1

4

50

0.657

1.444

Betina

9

40,9

4

50

Asal anjing:

Dipelihara dari kecil

14

63,6

5

62,5

0.954

1.050

Didatangkan/pungut Hewan lain yang tinggal bersama anjing:

8

36,4

3

37,5

Ada

12

54,6

2

25,0

0.151

3.600

Tidak ada

10

45,4

6

75,0

Sistem Pemeliharaan:

Diikat/dikandangkan

10

45,4

4

50,0

0.825

0.833

Diliarkan

12

54,6

4

50,0

571