Volume 14 No. 5: 572-577

Oktober 2022

DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i05.p17

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Penggunaan Gonadorelin dalam Penanganan Keterlambatan Pubertas pada Sapi Bali

(USE OF GONADORELIN IN HANDLING DELAYED PUBERTY IN BALI CATTLE)

Anak Agung Adhitya Chandra1, I Gusti Ngurah Bagus Trilaksana2*, Tjok Gde Oka Pemayun2

¹Mahasiswa Program Studi Magister Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali;

²Laboratorium Reproduksi Veteriner Falkultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali;

*Email: agunglaksana@unud.ac.id

Abstrak

Keterlambatan pubertas merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh peternak sehingga menyebabkan keterlambatan dalam produksinya. Beberapa hormon telah digunakan dalam penanganan kasus keterlambatan pubertas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan gonadorelin dalam penanganan keterlambatan pubertas pada sapi bali. Sapi bali yang digunakan adalah sapi bali betina yang telah berumur 24 bulan atau lebih yang belum menunjukkan tanda estrus untuk pertama kali (pubertas). Sapi bali betina dibagi menjadi 2 kelompok masing masing terdiri dari 16 ekor. Kedua kelompok diberi perlakuan berupa injeksi gonadorelin dengan dosis untuk kelompok 1 (P1) 50 μg/ekor dan kelompok 2 (P2) 100 μg/ekor. Pengamatan untuk diameter folikel dilakukan dengan USG sebelum injeksi gonadorelin dan sesudah munculnya estrus. Pengamatan terhadap munculnya estrus dan intensitas estrus dilakukan 2 kali sehari yaitu pukul 06.00 - 08.00 WITA dan pukul 17.00 - 19.00 WITA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata rata diameter folikel sebelum injeksi gonadorelin untuk P1 = 4,38 mm dan P2 = 4,41 mm sedangkan saat munculnya estrus rata rata diameter folikel untuk P1 = 7,68 mm dan P2 = 10,83 mm. Rata rata waktu munculnya estrus pada P1 = 6,38 hari sedangkan P2 = 4 hari, sedangkan intensitas estrus pada P1 = 1,5 dan P2 = 2,56. Secara statistik perbedaan diameter sebelum perlakuan tidak bermakna (p>0,05) sedangkan saat estrus terjadi perbedaan yang bermakna (p<0,05) diantara kedua perlakuan. Waktu munculnya estrus dan intensitas estrus secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) diantara kedua perlakuan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian gonadorelin dapat merangsang perkembangan folikel dan menyebabkan munculnya estrus pada sapi bali betina yang mengalami keterlambatan pubertas.

Kata kunci: Diameter folikel; gonadorelin; intensitas estrus; keterlambatan pubertas; munculnya estrus;

Abstract

Delayed puberty is one of the problems faced by breeders, causing delays in production. Several hormones have been used in handling cases of delayed puberty. Purpose of this research was to determine the use of gonadorelin in dealing with delayed puberty in balinese cattle. Balinese cattle used in this reasearch are female balinese cattle age 24 month or more which havent showed any sign of the first estrus (puberty). Female balinese cattle was divided into 2 groups each consist 16 cattles. Both groups given the treatment which is gonadorelin injection dose 50 μg/cattle (P1/Group 1) and 100 μg/cattle (P2/Group 2). Observations for follicular diameter were made by ultrasound before gonadorelin injection and after the signs of estrus were showed. Observation for the estrus signs and its intensity were done twice a day which are at 06.00 – 08.00 WITA and 17.00 – 19.00 WITA. The results showed that the average follicular diameter before the gonadorelin injection were P1 = 4,38mm and P2 = 4,41mm meanwhile after the estrus showed up, the average follicular diameter became P1 = 7,68mm and P2 = 10,83mm. The average time of emergence of estrus at P1 = 6,38 days while P2 = 4 days, while the intensity of estrus at P1 = 1,5 days and P2 = 2,56 days. Statistically the difference in diameter before treatment was not significant (p> 0.05) while during estrus there was a significant difference (p <0.05)

between the two treatments. At the time of emergence of estrus and estrus intensity there were no statistically significant differences (p> 0.05) between the two treatments. For the conclusion, administration of gonadorelin can stimulate follicular development and cause the emergence of estrus in Balinese Cattle that experience delayed puberty.

Keywords: Delayed puberty; emergence of estrus; estrus intensitity; follicular diameter; gonadorelin;

PENDAHULUAN

Kebutuhan protein hewani bagi manusia semakin meningkat seiring pertambahan populasi penduduk di Indonesia setiap tahunnya (Agustina et al., 2017). Kondisi peternakan sapi potong saat ini masih mengalami kekurangan pasokan sapi lokal karena lambatnya laju populasi sapi potong, khususnya sapi bali dimana merupakan sumber protein hewani yang sangat penting bagi masyarakat. Sapi bali adalah sapi potong lokal yang sangat ideal ditinjau dari aspek produksi daging, karena memiliki angka fertilitas yang tinggi (rata-rata 83%), serta memiliki kadar lemak yang rendah, dan juga memiliki daya adaptasi yang cukup baik terhadap lingkungan yang baru (Laksmi et al., 2019). Sapi bali juga memiliki kekurangan yang menjadi kendala utama dalam perkembangbiakannya seperti ada beberapa penyakit yang dapat menyebabkan kurang optimalnya fungsi sistem reproduksi, salah satunya anestrus postpartum (Guntoro, 2002; Besung et al., 2019).

Budiyanto et al. (2016) menyatakan bahwa dari hasil pemeriksaan sapi bali yang dipelihara di areal sawit menunjukkan 56,8 % mengalami gangguan reproduksi, yang berdampak pada kerugian ekonomi bagi peternak. Dampak ekonomi disebabkan oleh kecilnya angka kelahiran, tingginya biaya produksi, biaya kesehatan dan pengafkiran ternak / culling ternak. Beberapa hal yang dapat digunakan sebagai indikator kurang optimalnya fungsi reproduksi sapi bali, yaitu keterlambatan pubertas (delayed puberty) (Budiyanto et al., 2016).

Keterlambatan pubertas merupakan suatu keadaan dimana sapi belum mengalami dewasa kelamin (belum pernah estrus) walaupun umurnya sudah mencapai

lebih dari 2 tahun, yang ditandai tidak adanya aktivitas ovarium ketika dilakukan palpasi per rektal. Idealnya sapi Bali mencapai pubertas pada usia 18 – 24 bulan, dan beranak pertama kali pada usia 30 sampai 38 bulan (Budiyanto et al., 2016). Keterlambatan pubertas pada seekor betina dipengaruhi oleh faktor genetik, nutrisi dan manajemen pemeliharaan. Memperbaiki nutrisi adalah faktor penting yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan efisisensi reproduksi. Kurangnya asupan nutrisi akan mempengaruhi senyawa metabolisme dan hormon seperti insulin dan insulin-like growth factor-I. Hormon tersebut selanjutnya mempengaruhi hipotalamus dan hipofisis sehingga energi tubuh akan menekan pelepasan Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH).

Penundaan aktivitas ovarium melalui penghambatan sekresi GnRH di hipotalamus merupakan mekanisme utama sehingga mengurangi pelepasan pulsatil dari FSH dan LH di hipofisa anterior, yang diperlukan untuk pertumbuhan folikel (Schillo, 1992). Kondisi itu akan menyebabkan penurunan fungsi ovarium atau hipofungsi ovarium yang bersifat reversible. Pemberian GnRH dapat meningkatkan sekresi FSH dan LH di pituitari, yang akan menstimulasi perkembangan folikel dan ovulasi serta pembentukan korpus luteum (Pemayun, 2010). Penyuntikan GnRH pada sapi potong dilaporkan akan dapat merangsang aktivitas ovarium pada kasus anestrus postpartum karena hipofungsi ovarium (Hafez, 2000). Penyuntikan GnRH pada sapi potong juga dilaporkan dapat menginduksi pelepasan FSH dan LH (Yavas and Walton, 2003). Tolihere (1997) menyatakan bahwa penyuntikan hormon GnRH dapat memperbaiki aktivitas ovarium dalam penanganan kasus

keterlambatan pubertas, hipofungsi ovarium, memperpendek anestrus postpartum dan meningkatkan performa reproduksi pada sapi. Pemberian gonadorelin diharapkan dapat mengatasi kejadian keterlambatan pubertas pada sapi bali.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari dua kelompok perlakuan. Sapi yang dijadikan sebagai penelitian adalah 32 ekor sapi bali betina yang dipelihara di kelompok tani ternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Sapi bali betina yang mengalami keterlambatan pubertas dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok I (16 ekor) penanganan dengan injeksi gonadorelin dosis 50 µg/im/ekor, dan kelompok II (16 ekor) penanganan dengan injeksi gonadorelin dosis 100 µg/im/ekor. Gonadorelin yang digunakan adalah gonadorelin dalam bentuk asetat dengan nama dagang Gonasyl® (Syva, distributor Kalbe Farma).

Penentuan Keterlambatan Pubertas

Penentuan keterlambatan pubertas dilakukan dengan cara melakukan wawancara pada petani untuk mengetahui apakah sudah pernah menunjukkan tanda tanda estrus yang pertama. Penentuan umur dilakukan dengan pemeriksaan gigi sapi Bila sapi telah berumur 24 bulan atau lebih dan belum pernah menunjukkan tanda tanda estrus selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap warna dan kebengkakan vulva yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan per rektal untuk meraba kondisi ovarium. Pemeriksaan aktivitas ovarium dilakukan dengan ultrasonografi menggunakan real-time transrectal (KX 5200, KAIXIN) untuk melihat gambaran ovarium serta adanya aktivitas ovarium.

Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara statistik dan diuji menggunakan uji t-test. Pengujian statistik dilakukan menggunakan program SPSS 25.0 for windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Rata rata diameter perlakuan sebelum dan sesudah penyuntikan gonadorelin, waktu munculnya estrus dan intensitas estrus disajikan pada tabel 1 berikut ini. Sementara pengamatan terhadap intensitas estrus dilakukan secara visual pada alat kelamin luarnya. Hasil pengamatan intensitas estrus ditampilkan pada gambar 1 dan 2.

Analisis secara statistik dan pengujian dengan menggunakan t-test, menunjukkan bahwa diameter folikel sebelum dilakukan pemberian gonadorelin tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) diantara kedua kelompok. Diameter folikel setelah pemberian Gonadorelin tampak berbeda secara bermakna (p<0,05) diantara kedua kelompok. Waktu munculnya estrus nampak terjadi perbedaan, namun secara statistik perbedaannya tidak bermakna (p>0,05) diantara kedua perlakuan. Intensitas estrus yang ditunjukkan oleh kedua perlakuan juga secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05) walaupun nampak intensitas estrus pada kelompok perlakuan 2 yang diberi gonadorelin 100 µg lebih jelas dibandingkan kelompok perlakuan 1 yang diberi gonadorelin 50 µg.

Pembahasan

Aktivitas ovarium setelah melahirkan merupakan hal yang sangat penting harus diperhatikan untuk bisa meningkatkan perfoman reproduksi. Berkembang dan berfungsinya organ reproduksi setelah melahirkan tergantung dari kadar LH dan FSH dari hipofisa anterior yang dikontrol oleh GnRH yang diskresikan oleh

hypothalamus dan selain itu status pakan setelah melahirkan sangat berpengaruh terhadap sekresi hormon gonadotropin (Bauer-Donton et al., 1995).

Pada penelitian ini, pemberian gonadorelin 50 µg/ekor dan 100 µg/ekor intra muskular pada kasus keterlambatan pubertas pada sapi bali menyebabkan terjadinya peningkatan perkembangan folikel. Rata-rata ukuran diameter folikel ovarium sapi bali yang mengalami keterlambatan pubertas pada penelitian ini adalah 4.38 - 4.41 mm. Setelah pemberian gonadorelin dosis 50 µg/ekor menyebabkan peningkatan ukuran rata-rata diameter folikel 7.68 mm sedangkan pada pemberian gonadorelin dosis 100 µg/ekor menyebabkan peningkatan ukuran rata-rata diameter folikel 10.83 mm. Dengan demikian pemberian gonadorelin menyebabkan terjadinya peningkatan ukuran diameter folikel secara bertahap sampai munculnya estrus pada sapi bali yang mengalami keterlambatan pubertas.

Pengaruh penyuntikan hormon gonadorelin terhadap timbulnya estrus pada sapi yang mengalami keterlambatan pubertas menunjukkan bahwa kelompok sapi yang diinduksi gonadorelin 50 µg/ekor menyebabkan munculnya estrus rata-rata 6.38 hari setelah pemberian. Sedangkan pada kelompok sapi yang diinduksi gonadorelin 100 µg/ekor menyebabkan munculnya estrus rata-rata 4 hari setelah pemberian. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Pemayun (2009), pemberian GnRH sekali dengan dosis 500 µg/ml (lebih tnggi) pada sapi perah dapat menginduksi munculnya estrus rata-rata 7,17 ± 3,24 hari dengan kisaran hari 5-10 hari. Panjang pendeknya waktu munculnya estrus sangat dipengaruhi oleh peningkatan perkembangan folikel dimana faktor nutrisi sangat berperan penting dalam metabolisme dan sintesis hormon.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa sapi dengan keterlambatan pubertas yang diberikan injeksi gonadorelin 50 µg/ekor menunjukkan intensitas estrus rata-rata 1.5 sedangkan sapi yang diberikan injeksi

gonadorelin 100 µg/ekor menunjukkan menunjukkan intensitas estrus rata-rata 2.56. Intensitas estrus dipengaruhi oleh ukuran folikel dan kadar estrogen yang diproduksi oleh folikel.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian gonadorelin   mampu

meningkatkan   perkembangan   folikel,

mempercepat munculnya estrus dan meningkatkan intensitas estrus pada sapi bali betina yang mengalami keterlambatan pubertas. Dosis gonadorelin yang terbaik adalah 100 μg/ekor secara intra muskular.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pemberian gonadorelin pada sapi bali betina yang mengalami keterlambatan pubertas dengan Body Condition Score (BCS) yang berbeda.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pusat Kesehatan Hewan Sobangan Kecamatan Mengwi Badung atas dukungannya dalam memfasilitasi penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina KK, Cahya IMRD, Widyantara GM, Swacita IBN, Dharmayudha AAGO, Rudyanto MD. 2017. Nilai gizi dan kualitas fisik daging sapi bali berdasarkan jenis kelamin dan umur. Bul. Vet. Udayana. 9(2): 156-163.

Bauer-Donton AC, Weiss J, Jameson. 1995. Roles of estrogen, progesteron and Ngr. In the control of pituitary Ngr. Receptor gene expression at the time of the preovulotary gonadotropin surges. J. Endrocinol. 136: 1014-1019.

Besung INK, Watiniasih NL, Mahardika GNK, Agustina KK, Suwiti NK. 2019.

Mineral levels of Bali cattle (Bos javanicus) from different types of land in Bali, Nusa Penida, and Sumbawa

Islands (Indonesia). Biodiversitas. 20(10): 2931-2936.

Budiyanto A, Thopianong TC, Triguntoro, Dewi HK. 2016. Gangguan reproduksi sapi bali pada pola pemeliharaan semi intensif di daerah sistem integrasi sapi kelapa sawit. Acta Vet. Indon. 4(1): 1418.

Guntoro S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius. Yogyakarta.

Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animal. 7th Ed. Lippncott Williams & Wilkins. Maryland. USA.

Laksmi DNDI, Trilaksana IGNB, Darmanta RJ, Darwan M, Bebas IW, Agustina KK. 2019. Correlation between body condition score and hormone level of Bali cattle with postpartum anestrus. Indian J. Anim. Res. 53(12): 1599-1603.

Pemayun TGO. 2009. Induksi estrus dengan pmsg dan gnrh pada sapi perah

anestrus postpartum. Bul. Vet. Udayana. 1(2): 83-87.

Pemayun TGO. 2010. Kadar progesteron akibat pemberian pmsg dan gnrh pada sapi perah yang mengalami anestrus postpartum. Bul. Vet. Udayana. 2(2): 85-91.

Schillo KK. 1992. Effects dietary energyon control of luteinizing hormone secretion in cattlr and sheep. J. Anim. Sci. 70: 1271-1282.

Toelihere MR. 1997. Peran Bioteknologi reproduksi dalam pembinaan produksi peternakan di Indonesia. Makalah disampaikan pada pertemuan teknis dan koordinasi Produksi Peternakan Nasional. Cisarua, 4-6 Agustus 1997.

Yavas Y, Walton J. 2003. Postpartum acyclicity in suckled beef cows:  A

review Theriogenol. 54(1): 25-55.

Tabel 1. Diameter folikel sebelum dan sesudah pemberian Gonadorelin, waktu munculnya estrus dan intensitas estrus

Diameter        Diameter        Muncul

e a ua      sebelum (mm)    Sesudah (mm)    Estrus (hari)

Intensitas Estrus

Gonadorelin         4.38a             7.68a            6.38a

50 µgram

Gonadorelin         4.41a             10.83b             4a

100 µgram

1.5a

2.56a

Huruf superskrip yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05)

Gambar 1. Gambar ultrasonografi diameter folikel sebelum dan sesudah perlakuan


Gambar 2. a. Intensitas estrus 1, b. Intensitas estrus 2, c. Intensitas estrus 3.

577