Prevalensi Toxocara vitulorum Pada Induk Dan Anak Sapi Bali Di Wilayah Bali Timur
on
Buletin Veteriner Udayana
ISSN : 2085-2495
Volume 5 No. 1 : 1-6
Pebruari 2013
Prevalensi Toxocara vitulorum Pada Induk Dan Anak Sapi Bali Di Wilayah Bali Timur
(THE PREVALENCE OF TOXOCARA VITULORUM ON BALI COW AND CALF IN EASTERN AREA OF BALI)
Agustina, K.K., A.A.G.O. Dharmayudha dan IW. Wirata
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi infeksi cacing Toxocara vitulorum pada induk dan anak sapi bali di wilayah Bali Timur. Sebanyak 720 sampel feses sapi bali yang terdiri dari 360 sampel feses induk sapi bali dan 360 sampel feses anakan (pedet) sapi bali telah diperiksa menggunakan metode pengapungan. Hasil pemeriksaan secara keseluruhan menunjukkan prevalensi T. vitulorum pada sapi bali di wilayah Bali timur sebesar 39,4 %. Dari 360 induk sapi bali terdapat 153 (42,5%) sampel yang positif terinfeksi T. vitulorum. Sedangkan dari pemeriksaan 360 sampel feses pedet sapi bali, terdeteksi sebanyak 131 (36,4%) sampel pedet yang terinfeksi T.vitulorum.
Kata kunci: Sapi bali, Toxocara vitulorum
ABSTRACT
This research aim was to find out the prevalence of T. vitulorum on bali cow and calf in Eastern area of Bali. 720 fecal samples were collected, they were 360 samples of bali cow and 360 samples of bali calf. All of them have checked by floating techniques. The result occurred prevalence of T. vitulorum on Bali cattle in Eastern area of Bali was 39,4%. There were 153 (42,5%) samples from 360 bali cows were infected by T. vitulorum, and 131 (36,4%) samples from 360 bali calf were infected by T. vitulorum.
Keywords: Bali cow, bali calf and Toxocara vitulorum
PENDAHULUAN
Pendapatan dan pengetahuan masyarakat Indonesia yang semakin meningkat berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan sumber makanan khususnya protein hewani. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein yang penting disamping daging ayam dan babi (Yasin dan Indarsih. 1988).
Peningkatan mutu peternakan sapi bali terus diupayakan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Tujuannya adalah mencapai swasembada daging sapi sebagai tulang punggung ketahanan pangan hewani nasional (Hadi, 2011).
Namun dalam aplikasinya dilapangan, beternak sapi bali tidaklah
semudah yang direncanakan oleh pemerintah. Ada beberapa kendala yang dialami oleh peternak dalam beternak sapi bali, diantaranya permasalahan pakan dan nutrisi, pencegahan dan pemberantasan penyakit serta penanggulangan limbah (Deptan, 2001). Penyakit yang sering diabaikan oleh peternak adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit cacing. Dari segi perhitungan ekonomi, penyakit pada sapi yang diakibatkan oleh parasit cacing mengakibatkan kerugian yang sangat tinggi bagi peternak. Infeksi cacing pada saluran pencernaan sapi mengakibatkan gangguan pencernaan sapi dan terjadi kompetisi dalam penyerapan nutrisi makanan sehingga pertumbuhan sapi akan terhambat (BPTP
NTB, 2011). Terlebih jika cacing tersebut bersifat zoonosis, selain kerugian ekonomi yang ditimbulkan juga kesehatan mereka terancam (Medicastore 2011).
Penyakit parasit yang menyerang sapi bali dan bersifat zoonosis salah satunya adalah yang disebabkan oleh infeksi cacing T. vitulorum. Cacing ini menyerang sapi disegala umur, dapat menular melalui kontak makanan maupun melalui plasenta induk yang menulari fetus sapi dalam kandungan (Estuningsih, 2005; Levine, 1994). Stadium dewasa cacing T. vitulorum banyak dijumpai pada anak sapi (pedet). Akibat dari penyakit cacingan (toxocariasis), sangat menekan produktivitas ternak, berarti menjadi beban ekonomi bagi peternak secara
berkepanjangan jika tidak dilakukan
pengendalian. Pedet yang menderita
toksokariasis, akan kehilangan bobot badan sebesar 16 kg pada umur 12 minggu dibanding pedet yang bebas cacingan (Soulsby, 1982).
Prevalensi toksokariasis pada sapi di Malang telah dilaporkan oleh Trisunuwati et al., (1991) sebesar 76%, sedangkan di Surabaya pada anak sapi umur kurang dari 2 bulan prevalensinya adalah 68,2%, pada umur 2-4 bulan sebesar 51,4% dan umur kurang dari 6 bulan mencapai 43,4% (Koesdarto et al., 1999). Studi terakhir pada tahun 2008 menyebutkan prevalensi cacing T. vitulorum pada pedet di Kabupaten Pasuruan cukup tinggi yaitu 21,33% (Susanto, 2008). Sedangkan data prevalensi infeksi cacing T. vitulorum pada sapi dewasa maupun pedet di Bali belum dilaporkan.
Permasalahan yang sering dihadapi dari toxocariasis adalah sulitnya diagnosis penyakit tersebut sedini mungkin. Hal ini disebabkan karena larva kedua (L2) Toxocara yang berada di dalam tubuh hospes paratenik dan hospes transpor seperti cacing tanah, kecoa, ayam, anak kambing dan khususnya manusia tidak pernah berkembang menjadi larva tiga (L3) (Starke et al, 1996). Dalam tubuh induk semang larva tidak dapat berkembang menjadi cacing dewasa dan tetap tinggal di jaringan sebagai L2 dorman, Sehingga tidak dapat dilakukan
pemeriksaan secara konvensional dengan cara menemukan telur cacing di dalam feses untuk menetapkan diagnosis (Uga et al, 1990)
Kejadian infeksi kecacingan pada manusia cukup tinggi khususnya pada masyarakat yang beternak dengan pola peternakan tradisional dimana peternak kontak langsung dengan sapi dan kotorannya. Penyakit yang ditimbulkan pada manusia adalah Visceral larva migrans (Medicastore, 2011).
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini dipergunakan sampel berupa feses (tinja) sapi bali induk dan anakan (pedet). Sampel diambil di tiga Kabupaten yang terdapat di wilayah Bali timur yaitu Kabupaten Bangli, Klungkung dan Karangasem. Pada masing-masing Kabupaten ditentukan 2 Kecamatan sebagai lokasi sampling, dan tiap-tiap sampel kecamatan ditentukan 2 Desa sampling. Tiap Desa sampling ditentukan 2 Dusun sampling dengan cara diundi. Pada masing-masing Dusun sampling diambil 15 sampel feses induk sapi bali dan 15 sampel feses anak sapi. Sehingga total sampel yang diperiksa sebanyak 720 sampel feses sapi bali yang terdiri dari 360 sampel feses induk sapi dan 360 sampel feses anak sapi. Sampel feses diambil segera setelah defekasi (feses segar) kemudian dimasukkan kedalam tabung pembawa sampel yang disimpan pada suhu 5-70C dalam boks pendingin, sampel segera dibawa ke laboratorium untuk diperiksa.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pemeriksaan feses dengan teknik pengapungan. Feses dimasukkan ke dalam gelas plastik lalu ditambahkan dengan air dengan perbandingan 1 : 10. Feses dan air diaduk sampai rata kemudian disaring, hasil saringan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus selanjutnya disentrifus selama 3 menit dengan kecepatan 1500 rpm, proses diulangi sampai jernih. Setelah jernih supernatan dibuang hingga sisa sedikit, tambahkan larutan sukrosa 20 % sampai
penuh dari mulut tabung lalu diaduk dengan spatula, kemudian disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 3 menit. Kemudian tambahkan sukrosa 20% sedikit demi sedikit memakai pipet pasteur melalui dinding tabung sampai permukaan cembung, lalu letakkan kaca penutup pada permukaan tabung selama 5 menit, kaca penutupnya diangkat dan diletakkan di atas gelas obyek dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali (Levine, 1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Telah dilaksanakan pemeriksaan terhadap 720 sampel feses sapi bali yang diambil dari tiga Kabupaten di wilayah Bali Timur yaitu Kabupaten Bangli, Klungkung, dan Karangasem yang terdiri dari 360 sampel feses induk sapi bali dan 360 sampel feses pedet sapi bali. Dari 360 sampel feses induk sapi bali yang diperiksa terdapat sebanyak 153 (42,5%) sampel terdeteksi adanya telur cacing T. vitulorum. Sedangkan dari 360 sampel feses pedet sapi bali yang diperiksa terdeteksi sebanyak 131 (36,4%) sampel positif terinfeksi cacing T. vitulorum. Sebaran kasus kecacingan oleh T. vitulorum pada induk dan pedet sapi bali dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 1. Prevalensi T. vitulorum di Wilayah Bali Timur
Lokasi |
Jumlah sampel |
Induk sapi bali |
Pedet sapi bali | ||
Positif |
Negatif |
Positif |
Negatif | ||
Bangli : | |||||
Kubu |
120 |
21 |
39 |
16 |
44 |
Susut Klungkung : |
120 |
(35%) 22 (36,7%) |
38 |
(26,7%) 19 (31,7%) |
41 |
Dawan |
120 |
19 |
41 |
22 |
38 |
Banjarang kan Karangasem : |
120 |
(31,7%) 26 (43,3%) |
34 |
(36,7%) 20 (33,3%) |
40 |
Bebandem |
120 |
27 |
33 |
23 |
37 |
Kubu |
120 |
(45%) 38 (63,3%) |
22 |
(38,3%) 31 (51,7%) |
29 |
Jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, prevalensi toksokariasis pada induk maupun pedet sapi bali di Bali relatif lebih rendah dimana prevalensi toksokariasis pada sapi dan kerbau di Malang telah dilaporkan oleh Trisunuwati, et al. (1991) sebesar 76%, sedangkan di Surabaya pada anak sapi umur kurang dari 2 bulan prevalensinya adalah 68,2%, pada umur 2-4 bulan sebesar 51,4% dan umur kurang dari 6 bulan mencapai 43,4% (Koesdarto et al ., 1999) . Kejadian toksokariasis pada anak kerbau di Kabupaten Subang Jawa Barat telah dilaporkan oleh Carmichael dan Martindah (1996). Mereka melaporkan bahwa 14 dari 21 sampel feses dari anak kerbau umur 21-62 hari ditemukan telur T. vitulorum 100 epg-104 .000 epg. Penemuan telur T. vitulorum yang lebih dari 100.000 EPG bisa merupakan suatu faktor penyebab kematian anak-anak kerbau maupun anak-anak sapi (Carmichael dan Martindah, 1996). Akan tetapi berdasarkan laporan dari Robert (1990) penemuan T. vitulorum 20.000 epg dapat digolongkan infeksi berat dan diduga sudah merupakan indikator dari patogenesitas cacing tersebut. Beruah et al. (1980) menemukan kasus toksokariasis dengan jumlah telur T. vitulorum 2.70016.000 epg telah menyebabkan diare dan dehidrasi ringan. Sedangkan jumlah telur 31 .000-66 .000 epg sudah kelihatan toksemia. Prevalensi toksokariasis akibat infeksi T. vitulorum pada pedet di Nigeria adalah 61,491,1% (Sackey et al., 2003), dan di Vietnam 8% dari 74 pedet umur 1-2 bulan ditemukan telur cacing T. vitulorum dalam fesesnya (Holland et al., 2000). Beberapa literatur menyebutkan bahwa infeksi paten Toxocara pada umumnya terjadi pada hewan-hewan yang masih muda dan sangat jarang ditemukan pada hewan-hewan dewasa (Estuningsih, 2005). Namun data tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian ini dimana prevalensi T. vitulorum cukup tinggi yaitu 42,5%.
Gambar 1. Perbandingan prevalensi T. vitulorum pada induk dan pedet sapi bali
Dari Gambar. 1 diatas dapat dilihat perbandingan prevalensi T.vitulorum pada induk dan pedet sapi bali di wilayah Bali timur, dimana tingkat prevalensi T.vitulorum pada induk lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat prevalensi T.vitulorum pada pedet sapi bali. Gambaran ini menunjukkan induk sapi merupakan suber penularan bagi pedet, pedet terinfeksi secara oral maupun tranplasental. Tingginya prevalensi T.vitulorum pada induk sapi bali memungkinkan terjadinya kontaminasi lingkungan disekitarnya, akibat yang ditimbilkan adalah pakan yang tersedia akan terkontaminasi telur T. vitulorum yang dapat termakan oleh pedetnya. Cara penularan lain yang memungkinkan adalah infeksi secara vertikal melalui cara transplasental. Larva T.vitulorum yang dorman di jaringan uterus induk sapi, ketika sapi tersebut bunting maka larva akan dapat masuk ketubuh janin dan berkembang dalam saluran pencernaan pedet untuk menjadi cacing dewasa (Kilpatrick, 1992).
Masyarakat di Wilayah Bali Timur khususnya peternak sapi bali kurang memperhatikan personal hygiene dan sanitasi lingkungan tempat dimana mereka beraktivitas sehari-hari. Dengan tingginya prevalensi penyakit toksokariasis yang menyerang sapi bali diwilayahnya, dimana sapi-sapi mereka dipelihara menyatu dengan wilayah pemukiman penduduk, maka dapat diduga lingkungan mereka telah
terkontaminasi. Sehingga peluang manusia tertular dan terjangkit visceral larva migrans cukup besar.
Penularan cacing Toxocara pada manusia dapat melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh telur infektif atau larva yang terdapat pada jaringan, terutama apabila cara pemasakan organ atau jaringan tersebut kurang sempurna (Ito et al., 1986), tetapi sumber infeksi yang utama adalah tanah yang terkontaminasi oleh telur infektif (Radman et al., 2000). Anak-anak memiliki potensi yang lebih besar untuk terinfeksi Toxocara karena kebiasaan bermain mereka dan kecenderungan untuk memasukkan tangan ke dalam mulut, terutama anak-anak yang memiliki sifat geophagia (Tolan, 2007).
Adanya larva T. vitulorum yang di dalam susu sapi juga diindikasi dapat menyebabkan visceral larval migrans apabila susu tersebut dikonsumsi oleh anak-anak tanpa proses pasteurisasi sebelumnya (Banerjee et al. 1983; Kusnoto, 2005). Kejadian toksokariasis pada manusia di Indonesia pernah dilaporkan oleh Chomel et al. (1993). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada tahun 1989 di Bali, mereka melaporkan bahwa hasil pemeriksaan serum darah dari 190 orang anak yang berumur 123 tahun, sebanyak 120 orang anak (63,2%) dinyatakan positif memiliki antibodi Toxocara dan 20% diantaranya memberikan reaksi positif kuat. Akan tetapi belum ada laporan adanya cacing T. vitulorum dewasa pada usus manusia, jadi sepertinya bahwa larva T. vitulorum dalam air susu sapi yang diminum manusia tidak dapat berkembang menjadi cacing dewasa.
Apabila telur infektif yang mengandung larva stadium kedua (L2) tertelan manusia, maka telur akan menetas dan mengeluarkan larva kedalam usus halus, kemudian terjadi penetrasi larva pada mukosa dan kemudian terbawa sirkulasi darah menuju ke hati melalui sistem portal. Sebagian larva tinggal di dalam hati dan menyebabkan pembentukan granuloma, yang lain terbawa ke paru-paru dan masuk dalam sistem sirkulasi dan terbawa ke berbagai
organ tubuh. Larva menembus pembuluh darah dan bermigrasi menuju jaringan sekitarnya (Kilpatrick, 1992). Larva yang tidak kembali ke usus halus tidak mengalami perkembangan lebih lanjut sehingga tetap tinggal di jaringan yang disebut larva dorman. Telur infektif yang mengandung L2 dan cacing dewasa T. vitulorum dapat dikenali oleh sistem imun tubuh hospes sehingga dapat memicu terbentuknya antibodi (Starke et al., 1996 dikutip oleh
Kusnoto 2003).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian ini dapat ditarik simpulan bahwa prevalensi T.vitulorum pada sapi bali di wilayah Bali timur secara keseluruhan adalah 39,4%. Dimana prevalensi T. vitulorum pada induk sapi bali sebesar 42,5% sedangkan prevalensi pedet sapi bali sebesar 36,4%.
Saran
Peternak hendaknya memperhatikan status kesehatan ternaknya dengan rutin memberikan obat cacing serta waspada akan ancaman penyakit zoonosis dengan menjaga sanitasi lingkungan dan personal hygiene.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya ditujukan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Indonesia melalui dana DIPA Universitas Udayana yang telah mendanai penelitian ini. Petugas dinas peternakan setempat dan peternak sapi bali yang membantu dalam pengambilan sampel.
DAFTAR PUSTAKA
Banerjee, D.P., A.K.B. Roy and P.K. Sanyal. 1983 . Public health significance of Neoascaris vitulorum larvae in buffalo milk samples. J. Parasitol. 69 : 1124.
Baruah, P.K., R.P. Singh and M.K. Ball
1980. Treatment tirals and correction
of electrolyte imbalance caused by Neoascaris vitulorum in bufallo calvet. Indian Vet. J. 4 : 76-78.
BPTP NTB. 2011. 15 Jenis Cacing
ditemukan pada Sapi Bali di Kabupaten Bima.
http://epetani.deptan.go.id/budidaya/ (23-11-2011)
Carmichael, I.H. and E. Mmartindah. 1996. Mortalities of Buffalo (Bubalus Bubalis) Calves As A Possible Source of Loss to Indonesia Draught Power. Bull. IPKHI 5(2) : 29-31.
Chomel, B.B., R. Kasten, C. Adams, D. Lambillotte, J. Theis, R. Goldsmith, J. Koss, C. Chioino, D.P.Widjana and P. Sutisna. 1993 . Serosurvey of some major zoonotic infections in children and teenagers in Bali, Indonesia . Southeast Asian J . Trop . Med . Public Health 24(2) : 321-326 .
Deptan. 2001. Beberapa Penyakit Pada Ternak Ruminansia “Pencegahan dan Pengobatannya”. Departemen
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. NTB
Estuningsih, S.E. 2005. Toxocariasis Pada Hewan dan Bahayanya Pada Manusia. Warta Zoa, Vol. 15 No: 3 P. 136-142
Gillespie, S.H. 1988. The epidemiolgy of Toxocara canis. Parasitol . Today 4 :180-182 .
Hadi, PU. 2011. Kebijakan dan Strategi Pemasaran Ternak dan Daging Sapi Bali untuk Menjaga Kesejahteraan Peternak. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Semiloka Nasional PKSB Universitas Udayana, Denpasar.
Holland, W.G., T.T. Luong, L.A. Nguyen, T.T . Do and J. Vercruysee. 2000. The epidemiology of nematode and fluke infections in cattle in the Red River Delta in Vietnam. Vet. Parasitol. 93 : 141-147.
Ito, K. K. Sakai, T. Okajima, K. Quichi, A. Funikoshi, J. Nishimura, H. Ibayashi, and M. Tsuji. 1986. Three cases of
visceral larva migran due to ingestion of raw chicken or cow liver. Nibon Naikagaku Zassi. 75: 759-766.
Kilpatrick, M.E. 1992. Toxocariasis. In; Tropical Medicine. 7th ed. London: W. B. Saunders Company; pp. 761-4.
Koesdarto, S., S. Uga, Machfudz, S.S. Mumpuni, Kusnoto and H. Puspitawati. 1999. The prevalence of Toxocara vitulorum in dairy cows in Surabaya . Proc . Seminar on Infectious Diseases in The Tropics . TDC Airlangga University, Surabaya . P. 46-49
Kusnoto. 2003. Isolasi dan Karakterisasi Protein Immunologi Larva Stadium II Toxocara cati Isolat Lokal. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga. Hal.3: 11-13:14.
Kusnoto, 2005. Prevalensi Toxocariasis pada Kucing Liar di Surabaya Melalui Bedah Saluran Pencernaan . Media Kedokteran Hewan 21(1) : 7-11
Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner.
Diterjemahkan oleh Prof. Dr. Gatut Ashadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Medicastore. 2011. Toxocariasis. Infeksi dan
Penyakit Menular.
http://medicastore.com/penyakit/220/ Toksokariasis.html (26-12-2011)
Roberts, J.A. 1990. The egg production of Toxocara vitulorum in Asian buffalo (Bubalus bubalis). Vet. Parasitol. 37 : 113-120.
Sackey, A.K., B.J.B.D. George and M. Sale. 2003. Observation on the age at initial infection of Zebu calves by Toxocara vitulorum in Northern Nigeria. Trop. Vet . 21 : 124-128
Soulsby, E.J.L. 1982. Helminth, Artropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th Ed. Bailliere Tindall, London
Starke, W.A., R.Z. Machado., G.H. Bechara and M.C. Zocoller. 1996. Skin Hypersensitivity Test in Buffaloes Parasitizes with Toxocara vitulorum. Vet Parasitol; 63(3-4): 283-90.
Susanto, A. 2008. Prevalensi Infeksi Cacing Toxocara Vitulorum Pada Anak Sapi Perah dan Anak Sapi Potong di Kabupaten Pasuruan. Undergraduate Theses of Airlangga University. Surabaya.
Tolan, R. W. 2007. Toxocariasis. http://www.emedicine.com/ped/topic 2270.htm
Trisunuwati, P., T. Cornelissen and Nasich. 1991 . A parasitological study on the impact of Nematodes on the production of livestock in the limestone area of South Malang. Interdiciplinary Res. J. Landbouw Agric. Univ. Wageningen. The Netherlands.
Uga, S., T. Matsumura, K. Fujisawa, K. Okubo, N. Kataoka and K. Kondo. 1990. Incidence of Seropositivity to Human Toxocariasis in Hyogo Prefecture, Japan and its Possible Role in Ophthalmic Disease. Jpn. J. Parasitol. 39(5): 500-502.
Yasin, S dan Indarsih, B. 1988. Seluk Beluk Peternakan Sebuah Bunga Rampai. Anugrah Karya. Jakarta
6
Discussion and feedback