Volume 14 No. 3: 202-209

Juni 2022

DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i03.p02

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Uji Kepekaan Streptococcus spp. yang Diisolasi dari Penyakit Saluran Pernapasan Kompleks Babi terhadap Kanamycin, Streptomycin dan Doxycycline

(SENSITIVITY TEST OF STREPTOCOCCUS SPP. ISOLATED FROM PORCINE RESPIRATORY DISEASE COMPLEX AGAINST KANAMYCIN, STREPTOMYCIN AND DOXYCYCLINE)

Dwi Arso Purba1*, Ketut Tono Pasek Gelgel2, I Gusti Ketut Suarjana2 1Mahasiswa Program Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali;

2Laboratorium Mikrobiologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar Bali.

*Email: [email protected]

Abstrak

Penyakit pernapasan pada babi sering terjadi pada produksi babi modern di seluruh dunia dan sering disebut sebagai penyakit saluran pernapasan kompleks (Porcine Respiratory Disease Complex/PRDC). Penanggulangan penyakit PRDC hanya dapat dilakukan jika agen yang menginfeksi adalah bakteri. Bakteri yang paling sering diisolasi pada penyakit saluran pernapasan kompleks babi adalah Streptococcus spp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kepekaan dari Streptococcus spp. yang diisolasi dari hewan dengan gejala PRDC terhadap kanamycin, streptomycin dan doxycycline. Isolat diambil dari hasil penelitian kasus PRDC pada babi di daerah kabupaten Tabanan, Gianyar dan Badung. Isolat murni kemudian ditanam dalam agar darah (Blood Agar) dan dilakukan uji kepekaan dengan metode Kirby-Bauer terhadap masing-masing antibiotika. Bakteri dapat bersifat resisten, intermediet dan sensitif terhadap antibiotika yang diujikan. Hal ini menimbulkan munculnya pola kepekaan terhadap antibiotika sehingga kuman resisten akan menyebabkan gagalnya pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan isolat Streptococcus α hemolitik 60% peka terhadap kanamycin, 100% peka terhadap streptomycin, 40% resisten terhadap kanamycin dan 100% resisten terhadap doxycycline. Sedangkan isolat Streptococcus β hemolitik 100% peka terhadap kanamycin dan streptomycin namun 100% resisten terhadap doxycycline.

Kata Kunci: PRDC; Streptococcus spp.; Uji kepekaan

Abstract

Respiratory diseases in pigs often occur in the production of modern pigs around the world and known as Porcine Respiratory Disease Complex (PRDC). Prevention of PRDC can only be done if the infecting agent is bacteria. The bacteria that are most often isolated in complex pig duct disease are Streptococcus spp. This study was conducted to determine the sensitivity pattern of Streptococcus spp. isolated from animals with PRDC symptoms on kanamycin, streptomycin and doxycycline. Isolates were taken from the results of the PRDC case study of pig origin in Tabanan, Gianyar and Badung regencies. Pure isolates were then planted in blood agar and a sensitivity test was carried out using the Kirby-Bauer method for each antibiotic. Bacteria can be resistant, intermediate and sensitive to antibiotics tested. This gives rise to a pattern of sensitivity to antibiotics so that resistant germs will cause treatment failure. The results showed that hemolytic α Streptococcus isolates were 60% sensitive to kanamycin, 100% sensitive to streptomycin, 40% resistant to kanamycin and 100% resistant to doxycycline. While hemolytic β Streptococcus isolates were 100% sensitive to kanamycin and streptomycin but 100% were resistant to doxycycline.

Keywords: PRDC; Sensitivity test; Streptococcus spp.

PENDAHULUAN

Penyakit pernapasan pada babi sering terjadi pada produksi babi modern di seluruh dunia dan sering disebut sebagai penyakit saluran pernapasan kompleks (Porcine      Respiratory      Disease

Complex/PRDC). Porcine Respiratory Disease Complex dapat disebabkan oleh beberapa beberapa patogen seperti virus, bakteri dan parasit bahkan gabungan dari ketiganya (Bochev, 2007). Penyakit PRDC bersifat kompleks dengan tanda klinis yang asimptomatis, artinya gejala klinis yang timbul memiliki kemiripan satu dengan yang lain sehingga sulit didiagnosa secara kasat mata. Kasus PRDC ini banyak diteliti dan diberitakan dalam dunia kedokteran hewan. Yeotaek et al. (2017) melakukan survey terhadap PRDC pada peternakan babi di korea mengunakan metode PCR dengan presentase 29,4%-67,3%. Pada tahun 2008 O’Sullivan et al. menganalisis tonsil dari babi yang dikoleksi dari karkas babi di rumah potong hewan Kanada dan mengisolasi patogen penyebab PRDC pada tonsil karkas tersebut. Di Indonesia kasus penyakit saluran pernapasan pada babi pernah dipublikasikan oleh Priadi et al. (2004) di propinsi Riau yang berhasil diisolasi dari paru-paru seekor babi lepas sapih berumur 10 minggu yang menderita pneumonia. Suarjana et al. (2017) juga mengidentifikasi agen penyebab PRDC pada saluran pernapasan babi di Bali.

Saluran pernapasan merupakan tempat pertumbuhan beberapa bakteri flora normal. Bakteri komensal dapat diisolasi dari saluran pernapasan babi khususnys bagian tonsil seperti Streptococcus porcinus dan Streptococcus dysgalactiae sedangkan bakteri opportunistic yang dapat diisolasi dari saluran pernapasan babi adalah      Staphylococcus      aureus,

Staphylococcus hyicus, dan Streptococcus suis (MacInnes et al., 2008). Dalam keadaan tertentu bakteri ini dapat menjadi patogen sehingga menimbulkan penyakit serius terhadap saluran pernapasan babi (Baele et al., 2001). Bakteri ini dapat

menjadi patogen karena dipicu oleh agen primer yang terlebih dahulu menginvasi saluran pernapasan sehingga bakteri ini menemukan pintu masuk untuk menginfeksi inang (Bochev, 2007). Dan salah satu bakteri penting yang paling sering dijumpai menyebabkan PRDC adalah Streptococcus.

Bakteri Streptococcus memiliki prevenlasi yang tinggi dalam kasus PRDC. Penelitian terdahulu di Kanada melaporkan sebanyak 98% dari peternakan babi positif terdeteksi Streptococcus suis (MacInnes et al., 2008). Penelitian dari O’Sullivan et al., (2011) mengatakan bahwa bakteri Streptococcus suis    paling    sering

teridentifikasi dalam kasus PRDC, dan bakteri ini telah dilaporkan sebagai patogen penting pada babi yang berpotensi zonoosis. Streptococcus menimbulkan penyakit yang serius kepada manusia seperti ketulian, meningitis, dan bahkan sampai kematian. Wabah infeksi Streptococcus spp. pada manusia pertama dilaporkan di Denmark pada tahun 1968 (Wertheim et al., 2009). Infeksi pada manusia akibat Streptococcus spp. telah menjadi masalah zoonosis yang penting dan telah dilaporkan di beberapa negara dengan produksi babi yang intensif. Lebih dari 200 kasus telah dilaporkan di seluruh dunia sebelum tahun 2005 yang sebagian besar berasal dari Eropa dan Asia (Geffner et al., 2001). Di Indonesia infeksi Streptococcus spp. pernah mewabah di Bali pada bulan Mei - Juni tahun 1994 dengan tingkat morbiditas dan mortalitas pada babi berkisar 51% dan 38% sedangkan case fatality rate mencapai 75% (Suarjana dan Widya, 2012). Berdasarkan fakta tersebut, sangatlah penting untuk mencegah patogen tersebut meluas dalam kesehatan manusia. Salah satu caranya adalah dengan mengobati babi penderita Streptococcus yang dikonsumsi agar tidak menular kepada manusia. Pengobatan yang paling efektif terhadap bakteri adalah dengan menggunakan antibiotika.

Penggunaan antibiotik berspektrum luas dari tetracyclines, pleuromutilins, lincosamides dan kombinasinya sangat efektif dalam penanganan penyakit akibat bakteri (Bochev, 2007). Di USA, chlortetracycline, tiamulin, lincomycin, dan bacitracin premix adalah antibiotik yang paling sering digunakan. Kelebihan dari antibiotik tersebut adalah kemampuannya untuk melawan agen bakteri pada infeksi paru-paru. Dari semua antibiotika yang digunakan, golongan tetracyclines dan macrolides adalah yang paling efektif dalam terapi PRDC (Timmerman et al., 2006 dan Hannan et al., 1997). Dilaporkan juga Pasteurela multocida dan Mycoplasma hyopneumoniae dan bakteri lain sensitif terhadap doxycycline (Bousquet et al., 1997) sehingga cocok untuk pencegahan infeksi yang beragam. Dibeberapa penelitian dikatakan, S. suis memiliki kepekaan yang tinggi terhadap penicillin, amocycillin, ceftiofur, florfenicol dan gentamicin (Marie et al., 2002). Antibiotika prinsipnya dapat menghambat atau membunuh bakteri namun, bakteri memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap jenis antibiotika yang digunakan. Bakteri ini dapat bersifat resisten, intermediet dan sensitif terhadap antibiotika yang berbeda. Hal ini menimbulkan munculnya pola kepekaan terhadap antbiotika sehingga kuman resisten akan menyebabkan gagalnya pengobatan. Agar berhasil perlu dilakukan uji kepekaan untuk menemukan antibiotika yang efektif.

METODE PENELITIAN

Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah isolat Streptococcus spp. dari babi penderita Porcine Respratory Disease Complex (PRDC). Isolat merupakan hasil penelitian Ni Kadek Meita Swandewi yang diambil dari kabupaten Tabanan, Badung dan Gianyar dengan jumlah 13 isolat. Isolat tersebut terdiri atas 10 Streptococcus α

hemolitik nonkoagulase dan 3 Streptococcus β hemolitik nonkoagulase.

Prosedur Penelitian

Metode yang digunakan dalam uji ini adalah metode disk diffusion test Kirby-Bauer dari NCCLS (2005), dengan cara membuat suspensi bakteri langsung (direct colony suspension). Kekeruhan suspensi uji distandarisasi sesuai dengan standar McFarland 0,5 yang setara dengan konsentrasi bakteri (1-2) x 108 CFU/ml (NCCLS, 2005). Kemudian diameter zona hambat diukur dengan menggunakan mistar dan dicatat pola kepekaannya.

Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian observasional. Data yang diperoleh dinyatakan secara deskriptif kualitatif dengan mengukur zona hambat untuk mengetahui adanya kepekaan terhadap bahan antibiotik yang teridiri atas kanamycin, streptomycin dan doxycycline yang kemudian ditampilkan dalam tabel presentase.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Uji Kepekaan Isolat Streptococcus α Hemolitik Nonkoagulase Terhadap Kanamycin,     Streptomycin,     dan

Doxycycline

Isolat yang digunakan untuk uji kepekaan adalah isolat yang memiliki ciriciri berbentuk bulat, tersusun rantai pendek dan panjang, serta berwarna ungu kebiruan pada pewarnaan Gram. Isolat tersebut telah melalui Uji Primer dan Uji Biokimia bakteri dan diketahui bahwa spesies dari Streptococcus yang diuji memiliki sifat seperti Streptococcus uberis. Hasil uji kepekaan isolat Streptococcus α hemolitik dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa pola kepekaan yang ditunjukkan dari 10 isolat adalah 60% peka terhadap kanamycin, 100% peka terhadap streptomycin,  40% resisten terhadap

kanamycin dan 100% resisten terhadap doxycycline.

Uji Kepekaan Isolat Streptococcus β Hemolitik nonkoagulase terhadap kanamycin,      streptomycin,      dan

doxycycline

Isolat yang digunakan untuk uji kepekaan memiliki morfologi yang sama dengan Streptococcus namun pada media blood agar bakteri tersebut mampu menghemolisa darah dengan sempurna. Isolat tersebut telah melalui Uji Primer dan Uji Biokimia bakteri dan diketahui bahwa spesies dari Streptococcus yang diuji memiliki sifat seperti Streptococcus porcinus. Hasil uji kepekaan isolat Streptococcus β hemolitik dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa pola kepekaan yang ditunjukkan dari tiga isolat adalah 100% peka terhadap kanamycin dan streptomycin namun 100% resisten terhadap doxycycline.

Pembahasan

Menurut data EMEA (2003) kanamycin merupakan     antibiotika     golongan

aminoglikosida yang memiliki spektrum kerja yang luas terhadap agen bakteri. Berdasarkan hasil yang   didapatkan

kanamycin bekerja cukup baik terhadap bakteri Streptococcus α hemolitik dengan nilai 60% sensitif, kemudian terhadap bakteri Streptococcus β hemolitik bekerja sangat baik dengan nilai 100%. Samsuri dan Utama (2001) pernah melakukan penelitian terhadap bakteri Streptococcus equi subspp. zooepidemicus asal babi dan menemukan hasil sensitif terhadap kanamycin (86,7%), intermedier (10%) dan resisten (3,3%). (Kotra et al., 2000).

Tabel 1. Pola kepekaan Streptococcus α hemolitik terhadap antibiotik

No

Kode

Diameter Zona Hambat Antibiotika

Kanamycin (30mcg)

Streptomycin (10mcg)

Doxycycline (30mcg)

1

B1

18 (S)

18 (S)

7 (R)

2

B2

20 (S)

18 (S)

7 (R)

3

B5

20 (S)

18 (S)

7 (R)

4

B6

20 (S)

18 (S)

7 (R)

5

T1

7 (R)

18 (S)

7 (R)

6

T7

7 (R)

18 (S)

7 (R)

7

T8

7 (R)

18 (S)

7 (R)

8

G9

18 (S)

18 (S)

7 (R)

9

G10

7 (R)

18 (S)

7 (R)

10

G11

20 (S)

18 (S)

7 (R)

R

40 %

0

100 %

S

60 %

100 %

0

Keterangan: S (Susceptible/Sensitif), R (Resesisten)


Tabel 2 Pola kepekaan Streptococcus β hemolitik terhadap antibiotik

Diameter Zona Hambat Antibiotika

No

Kode

Kanamycin (30mcg)

Streptomycin (10mcg)

Doxycycline (30mcg)

1

T3

25 (S)

18 (S)

8 (R)

2

T9

25 (S)

20 (S)

8 (R)

3

T11

25 (S)

25 (S)

9 (R)

R

0

0

100 %

S

100 %

100 %

0

Keterangan: S (Susceptible/Sensitif), R (Resesisten)


Hal tersebut mendukung hasil uji penulis bahwa, kanamycin mampu bekerja dengan baik terhadap bakteri Streptococcus asal babi. Kanamycin bekerja dengan berikatan terhadap empat nukleotida dari protein subunit 16S rRNA dan satu asam amino protein S12. Hal ini menyebabkan terganggunya situs decoding dari nukleotida. Kemudian terjadi kesalahan kompleks inisiasi sehingga menyebabkan kesalahan membaca dari mRNA. Kesalahan ini menyebabkan terbentuknya polipeptida yang nonfungsional atau toksik dan pecahnya polisom menjadi monosom yang fungsional (Kotra et al., 2000).

Streptomycin merupakan golongan aminoglikosida yang lebih banyak bekerja pada bakteri Gram negatif dan beberapa bakteri positif tertentu. Streptomycin yang tidak mengalami cross-resistence terhadap aminoglikosida jenis lain (EMEA, 2013). Streptomycin banyak digunakan dalam penanganan kasus bakteri Mycobaterium penyebab tuberkulosis dan beberapa bakteri gram negatif. Pada uji kepekaan bakteri Streptococcus α dan β hemolitik menunjukkan hasil sensitif (100%) terhadap antibiotika Streptomycin. Syarif et al., (2013) mengatakan hal yang sama dalam bukunya, bahwa Streptomycin aktif terhadap Enterococcus dan Streptococcus tetapi efek klinisnya hanya dapat dicapai apabila digabung dengan penisilin. Selain itu Pratiwi et al, (1999) juga melakukan uji kepekaan Streptomycin terhadap beberapa jenis Streptococcus dengan hasil bahwa Streptomycin dapat digunakan untuk mengendalikan infeksi Streptococcus spp. namun dengan hasil yang kurang baik. Fakta lain yang mendukung bahwa Streptococcus equi subspes zooepidemicus memiliki kepekaan sebesar 75% sensitif terhadap streptomycin yang diujikan. Karena bakteri yang digunakan masih satu genus, maka hal ini dapat digunakan sebagai pendukung hasil penelitian penulis bahwa streptomycin dapat membunuh bakteri Streptococcus dengan hasil yang bervariasi. Kepekaan yang cukup tinggi

terhadap streptomycin mungkin disebabkan karena kemampuan streptomycin untuk berikatan dengan rRNA 16S dari subunit 30S pada ribosom, dan mengganggu pengikatan formil-metionil-tRNA ke subunit 30S. Hal ini menyebabkan kesalahan pembacaan kodon, penghambatan sintesis protein dan akhirnya kematian pada sel mikroba (Sharma et al., 2007). Golongan aminoglikosida dikenal bersifat ototoksik dan nefrotoksi, hal tersebut menyebabkan antibiotik ini kurang populer dibandingkan dengan golongan lain. Kemungkinan bakteri belum mengalami mutasi terhadap Streptomycin sehingga pada penilitian didapatkan hasil yang sangat baik.

Kepekaan suatu galur mikroba terhadap aminoglikosid mudah berubah, biasanya menurun setelah terjadi kontak terhadap golongan aminoglikosid (Syarif et al., 2013). Maka dari itu penggunaan antibiotika golongan aminoglikosida secara terus menerus akan menyebabkan kanamycin tidak akan mampu lagi membunuh bakteri yang menginfeksi. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan kanamycin mengalami resistensi adalah terjadinya mutasi yang mengakibatkan perubahan deret protein ribosom dimana kanamycin terikat. Resistensi golongan aminoglikosida meningkat disebabkan mutasi dari gen rrs yang mengkode 16S rRNA kemudian menghalangi perlekatan aminoglikosida. Kelanjutan dari mutasi dapat terjadi modifikasi secara enzimatis AG binding site oleh methyltransferase ribosom 16S RNA (RMTases). RMTases berkontribusi terhadap resistensi dengan memetilasi nukleotida di situs pengikatan AG dari 16S rRNA (situs-A) menggunakan S-adenosyl-L methionine (SAM) sebagai cosubstrate. Faktor selanjutnya adalah menurunnya uptake kanamycin oleh sel dan/atau menurunnya permeabilitas sel terhadap antibiotika. Untuk mencapai target bakteri, antibiotik harus melintasi dinding sel bakteri. Pada bakteri, amplop sel terdiri dari

membran seluler bagian dalam, diikuti oleh periplasma      yang      mengandung

peptidoglikan, dan akhirnya lapisan ganda fosfolipid kedua, yaitu membran luar. Dinding sel berlapis-lapis ini bertindak sebagai penghalang dan menyediakan mekanisme resistensi bawaan terhadap AG untuk bakteri. Modifikasi dinding sel dapat menyebabkan bakteri menjadi lebih permeabel (Tsodikova dan Labby, 2016; Syarif et al., 2013).

Antibiotik tetrasiklin terkenal dengan aktivitas spektrumnya yang luas, mencakup berbagai bakteri Gram-positif dan negatif, Spirochetes, bakteri intraseluler obligat, serta parasit protozoa. Doxycycline merupakan antibiotik yang tergolong aman dan memiliki aktifitas antimikrobial yang kuat (Bosquet et al., 1997). Doxycycline merupakan antibiotika golongan tetrasiklin yang mudah mengalami resisten. Terjadinya resistensi terhadap antibiotik jenis doxycycline mungkin disebabkan karna penggunaannya yang sangat luas. Sehingga bakteri yang sering terpapar oleh golongan tetrasiklin menyebabkan terjadinya resistensi terhadap antibiotika tersebut. Tiga mekanisme umum resistensi golongan tetrasiklin adalah pompa eflux, perlindungan ribosom, dan inaktivasi enzimatik obat tetrasiklin. Saat ini ada 12 gen pelindung ribosom yang telah dilaporkan (Thaker et al.,   2010).

Mekanisme resistensi akibat pompa eflux terjadi ketika diproduksinya pompa protein yang akan mengeluarkan obat dari dalam sel bakteri. Protein ini dikode dalam plasmid dan dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri lain melalui proses transduksi atau konjugasi. Resistensi terhadap satu jenis tetrasiklin biasanya disertai resistensi terhadap semua tetrasiklin lainnya (Syarif et al., 2013). Resisten yang tinggi dari Streptococcus terhadap tetracycline telah banyak dilaporkan di seluruh dunia mencapai >90% (Palmieri et al., 2001). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang didapatkan, bahwa Streptococcus α dan β

hemolitik 100% resisten terhadap doxycycline.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan     penelitian     telah

dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa bakteri Streptococcus α hemolitik yang diujikan sensitif (60%) dan resisten (40%) terhadap     kanamycin,     sedangkan

Streptococcus β hemolitik sensitif (100%) terhadap kanamycin. Bakteri Streptococcus α hemolitik dan Streptococcus β hemolitik yang diujikan sensitif (100%) terhadap streptomycin. Serta bakteri Streptococcus α hemolitik dan Streptococcus β hemolitik yang diujikan resisten (100%) terhadap doxycycline.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut menggunakan sampel yang lebih banyak dari berbagai wilayah untuk mengetahui pola resistensi yang lebih akurat. Penggunakan antibiotika yang lebih baru juga sebaiknya dipertimbangkan sebagai salah satu informasi penting bagi praktisi, sehingga pemilihan antibiotika yang tepat dapat diberikan dan mampu mengatasi penyakit PRDC.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Drh. I Nengah Kerta Besung, M.Si selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Drh. Ketut Tono PG., M.Kes. dan Drh. I Gusti Ketut Suarjana, M.P. yang telah bersedia membimbing penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Baele M, Chiers K, Devriese LA, Smith HE, Wisselink HJ, Vaneechoutte M, Haesebrouck F. 2001. The Gram positive tonsillar and nasal flora of piglets before and after weaning. J. Appl. Microbiol. 91: 997–1003.

Bochev I. 2007. Porcine respiratory disease complex (PRDC):  A review. I.

Etiology, epidemiology, clinical forms and pathoanatomical features. Bulg. J. Vet. Med. 3: 131-146.

Bousquet E, Morvan H, Aitken I, Morgan JH. 1997. Comparative in vitro activity of doxycycline and oxytetracycline against porcine respiratory pathogens. Vet. Rec. 141: 37-40.

Christina S. 2012. Streptococcus dysgalactiae: A Practical Summary for Controlling Mastitis. Virginia State University.

Dutkiewicz J, Sroka J, Zając V, Wasiński, B, Cisak E, Sawczyn A, Kloc A, dan Wójcik-Fatla A. 2017. Streptococcus suis: a re-emerging pathogen associated with occupational exposure to pigs or pork products. Part I – Epidemiology. An. Argic. Environ. Med. 24: 638-695.

EMEA. 2003. Committee for Veterinary Medicinal Product Kanamycin. The European Agency for the Evaluation of Medicinal Product    Veterinary

Medicines and Inspection.

Geffner SDE, Moreno MR, Campillo AMS, Pardo SFJ, Gómez GA, Martínez-Lozano     MD.     2001.

Streptococcus suis meningitis. An. Med. Intern. 18: 317–318.

Hannan PC, Windsor HM, Ripley PH. 1997. In vitro susceptibilities of recent field isolates of Mycoplasma hyopneumoniae and Mycoplasma hyosynoviae to valnemulin (Econor®), tiamutin and enrofloxacin and the in vitro development of resistance to certain antimicrobial agents in Mycoplasma hyopneumoniae. Res. Vet. Sci. 63: 157-160.

Kotra LP, Jalal H, Shahriar M. 2000. Aminoglycosides:   perspectives on

mechanisms of action and resistance and strategies to counter resistance. Antimicrobial      Agents      and

Chemotherapy      3249–32560066-

4804/00/$04.0010.

Marie J, Morvan H, Berthelot-Hérault F, Sanders-Kempf     PI,     Gautier-

Bouchardon AV, Jouy E, Kobisch M. 2002. Antimicrobial susceptibility of

Streptococcus suis isolated from swine in France and from humans in different countries between 1996 and 2000. J. Antimicrob. Chem. 50: 201-209.

MacInnes JI, Gottschalk M, Lone AG, Metcalf DS, Ojha S, Rosendal T, Watson SB, Friendship RM. 2008. Prevalence     of     Actinobacillus

pleuropneumoniae, Actinobacillus suis, Haemophilus parasuis, Pasteurella multocida, and Streptococcus suis in representative Ontario swine herds. Can. J. Vet. Res. 72(3): 242-248.

[NCCLS] National Committee for Clinical Laboratory Standards. 2012. Manual of antimicrobial susceptibility  testing.

USA: Am. Soc. Microbiol. Pp. 1-241.

O’Sullivan T, Friendship R, Blackwell T, Pearl D, McEwen B, Carman S, Slavić D, Dewey C. 2011. Microbiological identification and analysis of swine tonsils collected from carcasses at slaughter. Can. J. Vet. Res. 75: 106-111.

Palmieri C, Varaldo PE, Facinelli B. 2011. Streptococcus suis, an emerging drugresistant animal and human pathogen. Front. Microbiol. 2: 1-6.

Pratiwi S, Rahim A, Mirawati T, Ikaningsih S, Ariyani K, Hutabarat T, Suharto R, Sardjito, Subandrio A. 1999. Laporan tahunan hasil uji resistensi bakteri terhadap     berbagai     antibiotika.

Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Priadi A, Natalia L, Poernomo S. 2004. Penyakit Glasser’s pada babi di Pulau Batam, Propinsi Riau. JITV. 9(4): 266271.

Samsuri, Utama IH. 2001. Kepekaan Streptococcus equi sub spp. zooepidemicus terhadap antimikroba kanamisin, streptomisin, ceftriakson, dan danofloksasin. J. Vet. 2(4): 111115.

Sharma D, Cukras AR, Roger EJ, Southworth DR, Green R. 2007. Mutational analysis of S12 protein and implications for the accuracy of

decoding by the ribosome. J. Mol. Biol. 374(4): 1065-1076.

Soedarmanto I, Pasaribu F, Wibawan IWT, Lämmler C. 1996. Identification and molecular     characterization     of

serological group C streptococci isolated from diseased pigs and monkeys in Indonesia. J. Clin. Microbiol. 34(9): 2201-2204.

Suarjana IGK, Widya A. 2012. Karakterisasi molekuler dan uji patogenesitas Streptococcus patogen isolat asal Bali. Bul. Vet. Udayana. 4(1): 1-8.

Suarjana IGK, Besung INK, Tono KPG. 2017. Detection of haemophilus parasuis from the respiratory tract of pigs. J. Vet. Animal Sci. 1(1): 11-14.

Syarif A, Purwantyastuti A, Suharti KS, Bahroelim B, Sulistia GG. 2013. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

Timmerman T, Dewulf J, Catry B, Feyen B, Opsomer G, de Kruif A, Maes D. 2006. Quantification and evaluation of antimicrobial-drug use in group treatments for fattening pigs in Belgium. Prev. Vet. Med. 74: 251–263.

Tsodikova SG, Labby KJ. 2016. Mechanisms of resistance to aminoglycoside antibiotics: overview and perspectives. Med. Chem. Comm. 7(1): 11-27.

Wertheim HFL, Nghia HDT, Taylor W, Schultsz C. 2009. Streptococcus suis: an emerging human pathogen. Clin. Infect. Dis. 48(5): 617-25.

Yeotaek C, Changin Oh, Kunkyu L, Ki-hyun C. 2017. Survey of porcine respiratory disease complex-associated pathogens among commercial pig farms in Korea via oral fluid method. Vet. Sci. 18(3): 283-289.

209