Volume 14 No. 2: 168-176

April 2022

DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i02.p14

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Kajian Penerapan Nomor Kontrol Veteriner pada Perusahaan Daging Olahan di Kota Denpasar

(STUDY OF THE IMPLEMENTATION OF VETERINARY CONTROL NUMBER IN MEAT PROCESSING COMPANIES IN DENPASAR CITY)

Elis Mandari1*, Mas Djoko Rudyanto2, Kadek Karang Agustina2

  • 1Praktisi Dokteran Hewan, Lombok, Nusa Tenggara Barat;

  • 2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman, Denpasar-Bali.

*Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan NKV (NomorKontrolVeteriner) pada lima perusahaanpengolahan daging di Kota Denpasar denganskalakecil, menengah, danbesar. Sebanyak lima perusahaan pengolahan daging di Kota Denpasar dilakukan kajian penerapan NKV melalui penilaian yang dipandu menggunakan kuesioner yang bersumber dari Menurut Peraturan Mentri Pertanian RI Nomor 318/KPTS/OT.140/10/2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT. Aromaduta Rasaorima, Titilestari, CV. Dwi Boga Utama dan UD. Asa Barokah Mandiri telah menerapkan proses NKV pada Level 2 yang artinya masih berhak memperoleh NKV dengan kategori baik (menuju kualifikasi ekspor). Sedangkan UD. Budi dalam penelitian ini telah menerapkan proses NKV pada Level 3 yang artinya masih berhak memperoleh NKV dengan kategori cukup. Hasil diatas menunjukkan bahwa perusahaan pengolahan daging di Denpasar perlu mengoptimalkan penerapan standar-standar NKV supaya mencapai level yang lebih baik.

Kata kunci: daging olahan; NKV (Nomor Kontrol Veteriner); perusahaan

Abstract

This study aim was to review the implementation of Veterinary Control Number (NKV) on five companies in Denpasar city on a small, medium and large scale. A total of five meat processing companies in the city of Denpasar carried out in the study of the application of NKV through guided assessments using a questionnaire sourced from the Indonesian Minister of Agriculture with Regulation Number 318/KPTS/OT.140/10/2005. The results showed that the meat processing companies, namely PT. Aromaduta Rasaorima, Titilestari, CV. Dwi Boga Utama and UD. Asa Barokah Mandiri have applied the NKV process of Level 2, which means that it still has the right to obtain NKV in good category (towards export qualifications). Whereas UD. Budi in this study has applied the NKV process of Level 3, which means that they still has the right to obtain an NKV with sufficient categories. The results above show that meat processing companies in Denpasar need to optimize the application of NKV standards in order to achieve a better level.

Keywords: company; processed meat; NKV (Veterinary Control Number)

PENDAHULUAN

Setiap individu memiliki pola konsumsi yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Seperti pada masyarakat di Kota Denpasar umumnya memiliki tingkat kesibukan yang cukup tinggi. Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran pola

makan di masyarakat.Sehingga dibutuhkan bahan-bahan pangan yang praktis, mudah untuk dimasak mudah didapat serta harga yang terjangkau seperti daging olahan yang menjadi salah satu solusi yang dipilih masyarakat (Fitriyani et al., 2016).

Selain kebutuhan daging mentah yang dapat diolah sendiri di rumah, masyarakat luas juga telah semakin sadar akan pentingnya produk olahan asal hewan yang berkualitas serta menyangkut aspek gizi dan kesehatan dalam arti produk tersebut aman, bebas dari bahaya atau agen penyakit (Rangga, 2018). Namun telah terjadi perubahan dalam permasalahan keamanan pangan asal temak, terutama setelah adanya beberapa kasus penyakit yang dianggap sebagai penyakit yang baru muncul (new emerging disease) atau muncul kembali, yang hampir semuanya dapat dikategorikan sebagai zoonosis (Murdiati dan Indrawati, 2006).Untuk mengantisipasi kemungkinan pencemaran tersebut diperlukan suatu sistem pengawasan keamanan dan mutu produk pangan hewani, sejak di peternakan hingga siap dihidangkan kepada konsumen (safe from farmto table concept) (Allard, 2002).

Beberapa bahaya atau pencemaran biologi pada produk asal ternak dapat dicegah dengan sanitasi yang baik di sepanjang rantai pangan. Dibandingkan dengan bahaya kimia yang dapat dicegah apabila peternak atau pelaku yang terlibat dalam rantai produksi mematuhi peraturan yang berlaku dengan tidak mempergunakan bahan kimia yang dilarang, maka produk ternak yang dihasilkan akan bebas dari cemaran kimia, tidak dipengaruhi oleh sanitasi dan higienitas sepanjang rantai produksi (Murdiati, 2004).

Pangan asal ternak yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan tidak hanya menyebabkan gangguan kesehatan atau kematian tetapi juga dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan inteligensia (Irawan, 2016). Sanitasi dan sistem dari pabrik pengolahan sangat penting untuk diperhatikan karena dapat menjadi jalan kontaminasi mikroorganisme terhadap produk olahan yang nantinya akan dikonsumsi oleh masyarakat sehingga akan berdampak pula terhadap kesehatan masyarakat (Jiastuti, 2018). Saat ini perdagangan bebas telah diberlakukan secara luas maka tuntutan kualitas dan

keamanan pangan asal ternak merupakan persyaratan mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar lagi (Zulfanita et al., 2013).

Berkaitan dengan hal tersebut serta dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional, maka diperlukan beberapa kebijakan teknis yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta ketentuan-ketentuan internasional, sehingga produk-produk hewan baik pangan maupun non pangan (Moerad, 2001).

Lahirnya UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 18/2012 tentang Pangan, menjadikan tuntutan masyarakat konsumen akan peran pemerintah dalam penyediaan produk pangan hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) menjadi kian meningkat. Sebagai tindak lanjut upaya pemerintah dalam rangka penyediaan produk pangan hewani yang ASUH tersebut, mensyaratkan sarana agribisnis seperti RPH/RPU, Tempat Pemrosesan Daging (TPD), Usaha Pengimpor, Pengumpul atau penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya untuk memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan oleh peraturan perundangan Kesmavet, dengan langkah pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin terpenuhinya syarat-syarat yang telah ditetapkan. Salah satu bentuk pengawasan tersebut adalah penetapan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) pada sarana produksi produk pangan hewani yang saat ini masih ditekankan pada kegiatan usaha yang bergerak dalam penanganan daging (Suardana, 2013).

Nomor Kontrol Veteriner (NKV) merupakan registrasi atau sertifikasi kelayakan usaha dengan dasar penilaian adalah terpenuhinya persyaratan teknis yang meliputi GoodManufacturing Practices (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) juga merupakan persyaratan dasar (prerequisite) untuk dapat diterapkannya sistem jaminan keamanan dan mutu seperti Hazard Analysis Critical Control Point

(HACCP). Kepentingan pemberian NKV perlu terus dibina dalam upaya memfasilitasi perdagangan mengingat kelancaran perdagangan produk pangan hewani memerlukan suatu pengakuan atau legitimasi berupa pemberian NKV dalam bentuk sertifikat yang menerangkan pencapaian standar/persyaratan teknis berdasarkan      pada      obyektivitas,

kepercayaan dan transparansi penilaian oleh instansi atau lembaga yang berwenang (Suardana, 2013). Tujuannya adalah untuk memberikan jaminan dan perlindungan kepada masyarakat (produsen dan konsumen), serta terlaksananya tertib hukum dan tertib administrasi. Disamping itu, dapat dipermudah dan diperlancar pengawasan serta ditingkatkan daya guna, hasil guna, serta produktivitas dalam mencapai mutu sesuai setandar (Suardana dan Swacita, 2009).

Beberapa perusahaan di Kota Denpasar seperti PT. Aromaduta Rasaprima, Titilestari, CV. Dwi Boga Utama, UD. Budi, UD. Asabarokah Mandiri sudah memiliki sertifikat NKV namun, seiring berjalaanya waktu terdapat kemungkinan adanya ketidak konsistenan dari perusahaan dalam menerapkan NKV sesuai standar yang telah di tetapkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis sangat tertarikuntuk melakukan penelitian mengenai “Kajian Penerapan Nomor Kontrol Veteriner Pada Perusahaan Pengolahan     Daging     di     Kota

Denpasar”Mengingat NKV merupakan persyaratan dasar untuk kelayakan usaha bagi perusahaan yang bergerak dibidang pangan asal hewan.

METODE PENELITIAN

Sampel Penelitian

Materi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lima perusahaan

pengolahan daging asal hewan di Kota Denpasar yang memiliki sertifikat NKV yaitu: Perusahaan Titilestar, UD. Budi, UD. Asa Barokah, CV. Dwi Boga Utama, PT. Aromaduta Rasaprima.

Rancangan Penelitian

Metode yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode observasional. Penelitian dilakukan dengan cara pengumpulan data menggunakan kuesioner dan wawancara. Data primer diperoleh dengan survey ke lapangan dan wawancara langsung dengan manajer atau yang mewakili dari perusahaan yang bersangkutan.

Variabel Penelitian

Vriabel yang diamati pada penelitian ini antaralain: penanggung jawab kesehatan hewan dan kesehaan masyarakat veteriner, bangunan, fasilitas, sanitasi dan hiegene yang meliputi lokasi dan lingkungan, konstruksi bangunan utama, penerangan, ventilasi, saluran pembuangan, pasokan air, penanganan limbah dan kotoran, toilet, ruang ganti pakaian, fasilitas cuci tangan dan pembersihan sepatu, peralatan dan wadah, kemasan, program pengendalian, pembersihan dan disenfeksi, bahan – bahan kimia dan selanjutnya hiegene personal, bahan baku, penanganan dan pengolahan yang meliputi penerimaan, pembekuan (jika tidak melakukan proses pembekuan dapat diabaikan), pengemasan, pelabelan, penyimpanan, pengujian laoratorium.

Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Data penilaian penyimpangan NKV pada lima perusahaan daging olahan di Kota Denpasar disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Penyimpangan dalam penerapan NKV pada perusahaan pengolahan daging di Kota Denpasar

Nama Perusahaan

Penyimpangan dalam

No NKV      penerapan NKV     Kesimpulan Keterangan

MI  MY  SR  KR

PT. Aromaduta Rasaprima Titilestari

CV. Dwi Boga Utama

UD. Budi

UD. Asa Barokah Mandiri

5109030-16    0     0     1     0      Level 2       Baik

5109010-21    0     0     1     0      Level 2       Baik

5109030-24    2     2     0     1      Level 2       Baik

5109030-54    6     10    0     0      Level 3       Cukup

5109031-59    1     2     0     0      Level 2       Baik


Pembahasan

Dari hasil pengamatan penerapan standar Nomor Kontrol Veteriner di Unit Usaha Pangan Asal Hewan di Kota Denpasar terdapat beberapa temuan-temuan yang dijabarkan sebagai berikut:

Penyimpangan Minor

Terdapat penyimpangan minor berupa tidak disediakannya ruang ganti pakaian di UD. Budi, UD. Asa Barokah Mandiri dan CV. Dwi Boga Utama. Fasilitas penunjang (tempat istirahat, ruang ganti pakaian, wastafel dan toilet) haruslah memadai. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Tahun 2011 yang berkaitan dengan sarana higiene karyawan menjelaskan bahwa sebaiknya sarana higiene karyawan tersedia sesuai dengan kebutuhan, yaitu untuk menjamin kebersihan karyawan dan untuk mencegah pencemaran terhadap pangan yang dipajang. Sarana higiene karyawan terdiri dari sarana pencuci tangan dan fasilitas pengganti pakaian. Fasilitas ganti pakaian adalah ruangan yang digunakan untuk mengganti pakaian dari luar dengan pakaian kerja. Persyaratan untuk fasilitas ganti pakaian adalah sebagai berikut: (1) disesuaikan dalam jumlah cukup sesuai dengan karyawan sehingga karyawan tidak berdesak-desakan selama mengganti pakaian; (2) mudah dibersihkan; (3) mempunyai sistem ventilasi dan pencahayaan yang baik; (4) ditempatkan sedemikian rupa sehingga mencegah

pencemaran terhadap pangan yang diproduksi; (5) dilengkapi dengan tempat menyimpan /menggantungkan pakaian kerja dan tempat menyimpan/ menggantungkan pakaian luar yang terpisah satu sama lain; (6) terpisah sesuai dengan jenis kelamin.

Tidak dilakukannya pemeriksaan kualitas air di CV. Dwi Boga Utama dan UD. Budi termasuk dalam penyimpangan minor. Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.492/MENKES/PER/IV/2010 air yang memenuhi persyaratan fisik adalah air yang tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, tidak keruh dan suhu sebaiknya dibawah suhu udara. Kualitas air sangat erat hubungannya dengan jumlah bakteri coliform yang terkandung didalamnya. Semakin banyak jumlah bakteri coliform yang terdapat didalam air maka semakin rendah pula kualitas air tersebut begitu pula sebaliknya. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010, Total coliform per 100 ml sampel air minum adalah 0.

Penyimpangan minor lainnya di UD. Budi seperti debu yang berlebihan dan tumpukan sampah di area parkir serta tirai udara atau (air curtain) yang terdapat di depan pintu masuk ruang produksi ada namun tidak efektif karena dibiarkan terbuka. Sedangkan menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Tahun 2011

akses keluar sebaiknya dilindungi agar tidak menjadi jalan masuknya hama. Jika jendela dan daun pintu dibuka untuk tujuan ventilasi atau lainnya, bagian yang terbuka sebaiknya terlindung dari masuknya hama, dengan cara seperti berikut: (1) menggunakan kasa dengan ukuran 16 mesh (pada 25 mm (1 inchi)); (2) dirancang dengan tepat dan dipasang tirai aliran udara (air curtains), atau cara lainnya yang efektif. Pintu tirai dari bahan PVC (Polivinil Clorida)berfungsi untuk menghindari binatang pengerat masuk kedalam ruang produksi. Dalam Permenkes Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011, pintu ruang tempat pengolahan makanan seharusnya dilengkapi peralatan anti serangga atau lalat, seperti kassa, tirai, pintu rangkap, dan lain-lain. Tidak terdapat pula tempat pencucian spatu boots. Tempat cuci kaki berada di ruang sebelum masuk ruang ganti dan ruang sebelum masuk ruang produksi. Sedangkan bak pembilas sepatu dilengkapi dengan campuran air dengan chlorin 100 ppm (Bimantara dan Triastuti, 2018). Selain itu UD. Budi tidak memiliki program pembersihan dan disenfeksi, sehingga memungkinkan terkontaminasi oleh bakteri patogen. Upaya sanitasi ditujukan untuk membunuh bakteri patogen. Sanitasi merupakan tindakan pembersihan (cleaning) dan desinfeksi untuk membunuh kuman (Aditya, 2011).

Penyimpangan Mayor

Penyimpangan mayor seperti tidak ada flapon terdapat di UD. Budi. Hal ini tidak sesuai dengan pedoman GMP Nomor: 75/M-IND/PER/7/2010, langit-langit seharusnya terbuat dari bahan yang tidak mudah terkelupas atau terkikis, mudah dibersihkan dan tidak mudah retak. Toilet di UD. Budi juga tidak terpelihara dengan baik. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Kanduri dan Eckhardt (2002), pembersihan toilet dilakukan setiap hari dan pastikan ketersediaan air, tisu, dan sabun diisi ulang untuk kebutuhan hari berikutnya.

Sarana higine karyawan diperlukan untuk mencegah kontaminasi terhadap bahan pangan. Fasilitas cuci tangan

terdapat didekat toilet sebelum masuk ke ruang produksi. Tempat cuci tangan yang ada di ruangan sebelum proses dilengkapi dengan sabun cair, chlorin30 ppm (Bimantara dan Triastuti, 2018). Hal ini berbeda dengan yang terdapat di UD. Budi yaitu fasilitas cuci tangan seperti sabun dan tisue atau alat pengering tangan tidak tersedia.

Selain itu metode pembersihan dan disenfeksi tidak efektif begitu juga dengan pelatihan karyawan dalam hal sanitasi dan higine tidak cukup. Sedangkan menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Tahun 2011 Fasilitas baik bangunan dan peralatannya sebaiknya dijaga kebersihannya untuk mencegah pencemaran dan berkembangbiaknya hama. Untuk tiap bagian atau departemen perlu mempunyai program dan jadwal pembersihan yang dipantau pelaksanaannya. Jadwal ini hendaknya diketahui oleh karyawan di bagian tersebut dan dilaksanakan setiap hari, (2) karyawan sebaiknya mengetahui dan menguasai cara membersihkan ruangan maupun peralatan serta menggunakan bahan kimia pencuci dengan benar, (3) petugas pembersih sebaiknya menggunakan disinfektan dan deterjen yang sesuai, dengan jumlah dan konsentrasi yang benar. Bahan-bahan tersebut sebaiknya tersedia dalam jumlah yang cukup dan disimpan di tempat yang terpisah dan bersih.

UD. Budi dan CV. Dwi Boga utama tidak memiliki program tertulis dalam pengendalian serangga dan rodensia serta program pengendalian serangga/rodensia dan binatang pengganggu lainnya di lingkungan unit usaha tidak efektif. Hal ini terbukti pada Insect killer yang tidak berfungsi di UD. Budi. McSwane,et al (2000) menyatakan bahwa elemen kunci dari program pengendalian serangga dan binatang pengerat adalah pencegahan. Terdapat tiga tahapan pencegahan dan pengendalian serangga dan pengerat, antara lain: 1) mencegah jalur masuk dari serangga dan binatang pengerat tersebut, 2)

menghilangkan makanan, air, dan area yang dapat digunakan sebagai tempat persembunyian serangga dan binatang pengerat tersebut, 3) mengimplementasikan program manajement serangga dan binatang pengerat secara terintegrasi untuk mengendalikan serangga dan binatang pengerat yang memasuki area pengolahan.

Ditemukan juga penyimpangan di UD. Asa Barokah Mandiri berupa saluran pembuangan tidak tertutup (girll) dan fasilitas pembuangan sampah/kotoran dalam ruang produksi tidak tertutup, sedangkan di UD. Budi tidak memiliki pembuangan sampah di dalam ruang produksi. Hal tersebut tidak sesuai dengan persyaratan seperti dinyatakan Winarno dan Surono (2004), bahwa bagian-bagian selokan yang ke luar melalui dinding ruangan pengolahan harus dilengkapi dengan alat pelindung, misalnya jeruji besi yang dapat diangkat sehingga mempermudah pembersihan dan mencegah masuknya tikus dan binatang lain ke dalam ruangan pengolahan. Penyimpangan ini memungkinkan terjadi kontaminasi terhadap produk. Soeparno (2005) menyatakan kontaminasi permukaan karkas/daging terjadi sejak saat penyembelihan ternak sampai daging dikonsumsi.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.03.1.23.12.11.10569 Tahun 2011 Tentang Pedoman Cara Ritel Pangan Yang Baik menjelaskan bahwa sampah dan buangan sarana ritel sebaiknya ditangani sedemikian rupa sehingga menjamin kebersihan lingkungan, tidak menimbulkan bau, dan tidak mengakibatkan pencemaran terhadap pangan yang disimpan. Tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani sampah dan buangan sarana ritel adalah: (1) Sampah dan bahan buangan dikumpulkan di tempat khusus yang tertutup dan segera dibuang/diolah sehingga tidak menumpuk, mengundang hama dan mencemari lingkungan, (2) sistem pembuangan dan penanganan limbah cukup baik untuk menghindari pencemaran terhadap pangan,

(3) sistem saluran pembuangan air diusahakan berjalan lancar untuk mencegah terjadinya genangan air yang merupakan sumber hama.

Penyimpangan Serius

Temuan serius ditemukan pada PT. Aromaduta Rasaprima dan Perusahaan Titilestari ditemukan penyimpangan berupa tidak adanya dokter hewan penanggung jawab kesehatan masyarakat veteriner. Sedangkan menurut Peraturan Mentri Pertanian                      Nomor.

381/Kpts/OT.140/10/2005 pada BAB III mengenai persyaratan untuk memperoleh NKV yaitu harus memiliki tenaga kerja teknis dan atau penanggung jawab teknis yang mempunyai keahlian/keterampilan dibidang kesehatan masyarakat veteriner. Lebih lanjut pada BAB I (Ketentuan Umum Pasal 1) dijelaskan bahwa pengawas Kesmavet adalah dokter hewan atau tenaga paramedik pemerintah yang telah mengikuti pelatihan dan memiliki sertifikat pengawas Kesmavet serta ditunjuk oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota yang selanjutnya memiliki wewenang     untuk     melaksanakan

pengawasan Kesmavet. Dokter hewan penanggung jawab Kesmavet adalah dokter hewan yang diserahi tugas sebagai penanggung jawab keamanan dan mutu di unit usaha pangan asal hewan termasuk pemeriksaan antemortem dan postmortem di RPH/RPU.

Dengan tidak dimilikinya dokter hewan penanggung jawab Kesmavet pada kedua perusahaan tersebut diatas, pengawasan akan kualitas produknya bisa berdampak kepada kesehatan masyarakat. Peran dokter hewan sebagai quality control dan penanggung jawab atas adanya kemungkinan agen zoonosis pada produk olahan daging yang dihasilkan tidak ada yang menjamin (Kahn, 2006).

Penyimpangan Kritis

Penyimpangan kritis ditemukan pada CV. Dwi Boga Utama berupa tidak adanya pemisah fisik antara ruang pengolahan produk halal dan non halal. Tidak hanya itu

alat dan mesin yang digunakan untuk memperoduksi daging olahan halal dan non halal adalah sama. Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.03.1.23.12.11.10569 Tahun 2011 mengenai penyimpanan pangan mengandung babi harus disimpan terpisah dalam tempat khusus yang jauh dari kemungkinan mengkontaminasi pangan yang tidak mengandung babi/pangan halal, alat-alat yang digunakan untuk menyiapkan atau menangani produk dari babi tidak boleh bercampur dengan alat-alat yang digunakan untuk produk selain babi (Prabowo dan Rahman, 2016).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perusahaan pengolahan daging yaitu PT. Aromaduta Rasaorima, Titilestari, CV. Dwi Boga Utama dan UD. Asa Barokah Mandiri yang dikaji dalam penelitian ini menerapkan proses NKV pada Level II yang artinya berhak memperoleh NKV dengan kategori baik (menuju kualifikasi ekspor). Sedangkan UD. Budi dalam penelitian ini menerapkan proses NKV pada Level III yang artinya berhak memperoleh NKV dengan kategori cukup.

Saran

Kelima perusahaan sebaiknya memperbaiki penerapan NKV sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan kembali mengenai penerapan NKV baik skala industri kecil, menengah, ataupun besar untuk menjamin tertibnya peraturan yang telah dibuat serta keamanan pangan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada Titilestari, UD. Budi, UD. Asa Barokah, CV. Dwi Boga Utama, PT. Aromaduta Rasaprima.

DAFTAR PUSTAKA

Aditya T. 2011. Efektivitas desinfektan kombinasi glutaraldehid dan poli dimetil amonium klorida terhadap total bakteri pada kandang ayam petelur. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.

Allard DG. 2002. The 'farm to plate' approach to food safety - Everyone's business. Can. J. Infect. Dis. 13(3): 185190.

Bimantara PA, Triastuti J. 2018. Penerapan good manufacturing practices (GMP) pada pabrik pembekuan cumi-cumi (Loligo Vulgaris) di PT. Starfood Lamongan, Jawa Timur. J. Marine Coastal Sci. 7(3): 111-119.

Darminto, Bahri S. 1996. Mad cow dan penyakit sejenis lainnya pada hewan dan manusia. J. Litbang Pertanian. 15(4): 81-89.

Djaafar TF, Rahayu ES, Rahayu S. 2006. Cemaran mikroba pada susu dan produk unggas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. http://peternakan.litbang.deptan.go.id.

Fitriyani, Nurwati N, Humaedi S. 2016. 8 peran ibu yang bekerja dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak. Prosiding KS: Riset & PKM. 3(1): 5257.

Forrest 1975. Principle of Meat Science, W.H. Freman and Co. San Fransisco.

Fraenkel JR, Wallen NE. 1990. How to Design and Evaluate Research in Education. New York, NY: Mc. GrawHill Publishing Company.

Hanif KM. 2011. Strategi pemasaran bakso daging di Pt Kepurun Pawana Indonesia Kabupaten Klaten. Skiripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta.

Irawan DWP. 2016. Pangan sehat, aman, bergizi, berimbang, beragam dan halal. Penerbit Forum Ilmiah Kesehatan, Ponorogo. Pp: 1-55.

Jiastuti T. 2018. Higiene sanitasi pengelolaan makanan dan keberadaan bakteri pada makanan jadi di RSUD Dr

Harjono Ponorogo. J. Kes. Ling. 10(1): 13–24.

Kahn LH. 2006. Confronting zoonoses, linking human and veterinary medicine. Emerg. Infect. Dis. 12(4): 556–561.

Kanduri L, Eckhardt RA. 2002. Food Safety In Shrimp Processing: A Handbook for Shrimp Processors, Importers, Exporters and Retailers. Fishing news Books. United Kingdom.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia                  Nomor

492/MENKES/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, Jakarta:    Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia

McSwane et al. 2000. Essentials of Food Safety and Sanitation, Prentice Hall, New Jersey.

Moerad. 2001. Kebijakan Teknis Kesehatan Masyarakat Veteriner Dalam Mendukung Ekspor Produk Peternakan.     Seminar Nasional

Teknologi Peternakan. Pp 48-54.

Murdiati TB,  Bahri  S. 1991. Pola

penggunaan    antibiotika    dalam

peternakan  ayam  di  jawa barat,

kemungkinan   hubungan   dengan

masalah residu. Proc. Kongres Ilmiah ke- 8 ISFI, Jakarta.

Murdiati TB. 2004. Advance and management ofchemicals use in farm practices. Proc. of 4`h Asian Food and Nutrition Safety. ILSI, IPB dan FAO. Bali,2 -5 March 2004. Pp. 87-97.

Murdiati, Indrawati. 2006. Zoonosisi yang ditularkan melalui pangan. Wartazoa. 16(1): 14-20.

Nasaruddin M, Utama SP, Andani A. 2015. Nilai tambah pengolahan daging sapi menjadi bakso pada usaha al-hasanah di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan. Agrisep.14(1): 85-96.

Noor SM, Darminto, Hardjoutomo S. 2001. Kasus anthrax pada manusia dan hewan di Bogor pada awal tahun 2001. Wartazoa. 11(2): 4-14.

Pearson AM, Dutson TR. 1986. Meat and Poultry Microbiology, Advances in meat Research, Michigan, New York.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381/Kpts/OT.140/10/2005.      2005.

Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.03.1.23.12.11.10569 Tahun 2011 Tentang Pedoman Cara Ritel Pangan Yang Baik.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia                       No.

1096/Menkes/PER/VI/2011     .2011.

Tentang Hygiene Sanitasi Jasaboga. Kementeri Kesehatan. Jakarta

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492/ MENKES/ PER/ IV/ 2010 tentang peryaratan kualitas air minum.

Prabowo S, Rahman AA. 2016. Sertifikasi halal sektor industri pengolahan hasil pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 34(1): 57-70.

Putro S. 1999. Percemaran Dioksin Pada Daging Ayam di Belgia. Laporan Atase pertanian Indonesia di Belgia.

Rangga A. 2018. Potret Penjaminan Keamanan Dan Mutu Pangan Di Provinsi Lampung Dan Kaitannya Dengan Kondisi Stunting Serta Alternatif Solusi Di Bidang Keamanan Dan Mutu Pangan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 11: 120-123.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging,     Fakultas     Peternakan

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Suardana IW. 2013. Peranan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) Sebagai Persyaratan Dasar Untuk Produksi Pangan Hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH). Disampaikan pada     Pelatihan     Peningkatan

Ketrampilan Auditor NKV Tingkat Nasional.

Suardana IW, Swacita IBN. 2009. Higiene Makanan. Kajian Teori dan Prinsip Dasar. Cetakan pertama. Udayana University Press.

Siagian A. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan       dan       Sumber

Pencemarannya.Fakultas   Kesehatan

Masyarakat.                  USU.

http://www.library.usu.ac.id.

Undang-Undang No. 7 . 1996. Tentang

Pangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18. 2009. Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Winarno FG, Surono. 2002. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan. M-Brio Press. Bogor

Zulfanita, Arifin HD, Priyono. 2013. Keamanan dan pengamanan pangan produk daging sapi bermutu dan halal di Indonesia. Surya Agritama. 2(1): 63-75.

176