VALUES OF MEAN CORPUSCULAR HEMOGLOBIN CONCENTRATION, MEAN CORPUSCULAR VOLUME AND MEAN CORPUSCULAR HEMOGLOBIN IN BALI CATTLE BASED ON ORGANIC MAINTAIN
on
Buletin Veteriner Udayana Volume 13 No. 1: 39-45
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Pebruari 2021
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2021.v13.i01.p07
Terakreditasi Nasional Peringkat 3, DJPRP Kementerian Ristekdikti
No. 21/E/KPT/2018, Tanggal 9 Juli 2018
Nilai Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration, Mean Corpuscular Volume dan Mean Corpuscular Hemoglobin Darah Sapi Bali yang Dipelihara Berbasis Organik
(VALUES OF MEAN CORPUSCULAR HEMOGLOBIN CONCENTRATION, MEAN CORPUSCULAR VOLUME AND MEAN CORPUSCULAR HEMOGLOBIN IN BALI CATTLE BASED ON ORGANIC MAINTAIN)
I Gede Agus Eva Prawira Adinata1*, Ni Ketut Suwiti2, Anak Agung Sagung Kendran3 1Mahasiswa Program Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali; 2Laboratorium Histologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali; 3Laboratorium Diagnosa Klinik, Patologi Klinik, dan Radiologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. Raya Sesetan Gg. Markisa No. 6, Denpasar, Bali.
*Email: [email protected]
Abstrak
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui nilai hematologi MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration), MCV (Mean Corpuscular Volume) dan MCH (Mean Corpuscular Haemoglobin) darah sapi bali yang dipelihara berbasis organik. Sistem pemeliharaan berbasis organik adalah manajemen pemberian pakan yang berasal dari lingkungan serta tidak menggunakan pestisida atau zat kimia lainnya. Nilai MCV, MCH dan MCHC darah sapi bali diukur dengan Veterinary hematology analyzer. Hasil penelitian menunjukan, nilai dari MCHC sebesar 39,17%/dl, MCV sebesar 48,44 fl dan nilai dari MCH sebesar 18,69pg. Dapat disimpulkan rerata nilai tersebut masih dalam batas normal nilai indeks eritrosit sapi pada umumnya.
Kata kunci: Sapi bali; pemeliharaan berbasis organic; MCHC; MCV; MCH.
Abstract
Research has been done to find out the hematological value of MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration), MCV (Mean Corpuscular Volume), and MCH (Mean Corpuscular Haemoglobin) of Bali cattle with organic-based maintenance. An organic-based maintenance system is the management of feeding that comes from the environment and does not use pesticides or other chemicals. The method used by checking the value of MCV, MCH, and MCHC bali cattle blood is measured using a Veterinary hematology analyzer. The result showed that the value of MCHC was 39,71%dl, the value of MCV was 44,48 fl, and the MCH’s value was 18,69pg. It can be concluded that the average value is still within the normal range based on the index value of cattle’s erythrocytes in general.
Keywords: Bali cattle; organic breeding; MCHC; MCV; MCH
PENDAHULUAN
Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi lokal Indonesia yang berasal dari Bali yang sekarang telah menyebar hampir ke seluruh penjuru Indonesia bahkan sampai luar negeri seperti Malaysia, Filipina, dan Australia (Oka, 2010). Sapi Bali memiliki keunggulan dibandingkan dengan sapi lainnya antara lain mempunyai angka
pertumbuhan yang cepat, adaptasi dengan lingkungan yang baik, dan penampilan reproduksi yang baik. Sapi Bali merupakan sapi yang paling banyak dipelihara pada peternakan kecil karena fertilitasnya baik dan angka kematian yang rendah (Purwantara et al., 2012).
Pemeliharaan sapi bali konvensional pada umumnya dipelihara secara ekstensif,
sehingga berdampak pada penurunan produktifiitas ternak. Pakan yang dikonsumsi hanya mengandalkan rumput lapangan saja sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan nutrisi. Sistem pemeliharaan secara intensif merupakan sistem pemeliharaan ternak, dimana sistem perkandangan dan sistem pemberian pakan sudah dibuat secara khusus (Williamson dan Payne, 1993), dan pakan tersebut tentunya dapat berpengaruh terhadap kesehatan.
Saat ini sudah ada peternakan yang cara pemeliharaannya berbasis organik yaitu yang berada di desa Bulian Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng, yang dimiliki oleh bapak Wayan Kantra. Sumber pakannya berasal dari rumput liar yang berada di perkebunan buah naga. Perkebunan tersebut tidak menggunakan bahan peptisida atau bahan kimia lainnya sehingga rumput yang tumbuh disana berbasis organik. Untuk meningkatkan kecukupan nutrisi ternak juga diberikan pakan tambahan seperti pakan hasil fermentasi (silase), hijauan yang dikeringkan (hay), air, garam dan molasess. Pakan tambahan tersebut diambil dari limbah pertanian organik tanpa adanya zat kimia. Kecukupan nutrisi sangat diperlukan dalam proses fisiologis ternak sehingga jika kekurangan dapat menyebabkan kelainan proses fisiologis ternak khususnya pada komponen darah ternak. Sapi yang di pelihara secara organik dalam hal ini dengan asupan pakan dari bahan-bahan organik menunjukkan tingkat kesehatan yang cukup tinggi dibandingkan dengan pemeliharaan sapi secara konvensional. Sehingga peternakan sapi bali yang dimiliki oleh bapak Wayan Kantra diyakini memiliki kesehatan yang baik.
Kesehatan merupakan unsur penting dalam pemeliharaan sapi bali, dan salah satu indikatornya dapat dinilai dari pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah merupakan salah satu bagian penting dalam proses diagnosa suatu penyakit. Beberapa
komponen darah dapat digunakan sebagai indikator yang baik untuk status kecukupan nutrisi.
Dari uraian diatas perlu dilakukan pengamatan terhadap hematologi sapi bali, sehingga dapat diketahui gambaran darah secara akurat khususnya pada indeks eritrosit yang merupakan keterangan nilai mengenai rata-rata ukuran eritrosit dan banyaknya hemoglobin pereritrosit.
METODE PENELITIAN
Sampel Penelitian
Sepuluh sampel darah (whole blood) sapi bali diambil dari peternakan Bapak I Wayan Kantra Desa Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Diukur dengan menggunakan veterinary hematology analyzer Pengambilan sampel dilakukan dengan cara yaitu sapi direstrain agar tidak melawan saat dilakukan pengambilan darah. Tampon yang
berisikan alkohol diusapkan ke leher sapi kemudian darah diambil melalui vena jugularis dengan menggunakan venoject yang ditampung dengan tube yang berisikan antikoagulan. Diberikan kode 1 sampai 10 pada tabung dan dimasukan ke dalam cool box yang sudah berisiksan es batu.
Pemeriksaan Sampel
Pemeriksaan hematologi darah akan menggunakan veterinary hematology analyzer, dengan cara: alat veterinary hematology analyzer dinyalakan kemudian background terlebih dahulu, ini berfungsi untuk menetralkan agar data yang akan kita dapat lebih akurat. Sampel dihomogenkan selama ± 5 menit dengan roller mixer. Klik Ikon New Sampel, kemudian klik next sampel, kemudian masukkan identitas yang meliputi data sampel dan nama hewan yang akan diperiksa darahnya (sapi), klik tombol OK. Tutup tabung sampel dibuka dan kemudian tabung diletakkan dibawah kapiler sampel (sampling nozzle) sampai ujung kapiler menyentuh dasar tabung. Tombol counting ditekan, sehingga kapiler
sampel akan menyedot sampel sampai kapiler sampel akan tertarik kedalam instrument dan sampel secara otomatis akan diproses oleh alat ini.
Anaisis Data
Hasil pemeriksaan darah lengkap dianalisis oleh alat tersebut dan hasilnya tercetak secara langsung. Data berupa nilai hematologi dianalisis dengan deskriptif kuantitatif dan juga menggunakan analisis statistika dasar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil pemeriksaan Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) sapi bali yang dipelihara berbasis organik di Peternakan Bapak I Wayan Kantra Desa Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng menggunakan alat veterinary hematology analyzer dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai MCV, MCHC dan MCH Sapi Bali yang Dipelihara Berbasis Organik.
No Sampel |
MCV (fl) |
MCHC (%/dl) |
MCH (pg) |
Sp 1 |
42,7 |
40,7 |
17,3 |
Sp 2 |
51,8 |
38,9 |
17,8 |
Sp 3 |
53,1 |
38,9 |
20,5 |
Sp 4 |
54,3 |
39,5 |
21,5 |
Sp 5 |
54,6 |
39,3 |
21,4 |
Sp 6 |
46,7 |
36,6 |
17,1 |
Sp 7 |
45,2 |
39,5 |
17,9 |
Sp 8 |
49,5 |
37,1 |
18,3 |
Sp 9 |
43,8 |
40,5 |
17,8 |
Sp 10 |
42,7 |
40,7 |
17,3 |
Rata-rata |
48,44 |
39,17 |
18,69 |
Standart Deviasi |
4,8000 |
1,4032 |
1,7407 |
Rata-rata Coles (1980) |
46,7 |
32,9 |
15,3 |
Rata-rata Siswanto (2011) |
56,2 |
29,8 |
16,7 |
Gambar 1. Hasil Nilai MCHC, MCH, dan MCV Sapi Bali yang Dipelihara Berbasis Organik.
Gambar 1. Menunjukan nilai MCHC bervariasi sehingga pada grafik garis nilai MCHC tidak konstan, sedangkan pada nilai
MCH dan nilai MCV dari keseluruhan sampel nilainya tidak jauh berbeda.
Pembahasan
Nilai MCV (Mean Corpuscular Volume) pada sapi bali yang dipelihara berbasis organik memiliki nilai rata-rata yakni 48,44 fl. Nilai tersebut masih dalam nilai normal. Nilai normal MCV pada sapi yaitu 40,0 sampai dengan 60,0 fl (Jain, 1986). Nilai MCV normal bararti ukuran eritrosit yang diperiksa adalah normal. Pada sapi bali yang dipelihara berbasis organik nilai MCV memiliki rata-rata lebih rendah dibandingkan nilai MCV pada sapi bali yang berada di rumah potong hewan Pesanggaran dengan nilai rata-rata 56.2fl (Siswanto, 2011). Sedangkan pada nilai MCV sapi (Bos Taurus) dengan nilai rata-rata 46.7fl (Coles, 1980) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata sapi bali yang dipelihara berbasis organik.
Pada hasil pemeriksaan nilai MCV sapi bali berbasis organik yang tertinggi mencapai 54,6fl yang ditunjukan pada sampel no 5, tingginya nilai MCV pada sapi nomor 5 disebabkan oleh faktor stres saat pengambilan sampel. Stres akut atau stressor adalah stres jangka pendek yang berlangsung beberapa menit hingga jam, ditandai dengan meningkatnya respon fisiologis, dan berangsur menurun setelah stressor hilang. Stres dapat mempengaruhi seluruh sistem di dalam tubuh termasuk komponen darah dan penurunan sistem imun (Mahardika, 2016). Nilai MCV terendah adalah 42,7fl yang ditunjukan pada sampel nomor 10 dan 1, rendahnya nilai MCV pada sampel nomor 10 dan 1 kemungkinan disebabkan oleh rendahnya daya cerna terhadap nutrisi dalam pakan yang diberikan.
Tingginya nilai MCV atau makrositik biasanya berhubungan dengan anemia regeneratif karena volume sel retikulosit lebih tinggi dibandingkan dengan volume eritrosit dewasa, dengan demikian beberapa sel makrositik hadir untuk meningkatkan nilai MCV di atas interval normal. Makrositik anemia dilaporkan terjadi pada pedet jantan yang mengalami congenital dyserythropoiesis; beberapa eritrosit berinti
terdapat di dalam darah tetapi jumlah retikulosit hanya mengalami peningkatan sedikit pada pedet tersebut (Meyer dan Harvey 2004). Makrositik ditemukan pada keadaan: peningkatan aktivitas sumsung tulang sebagai kelanjutan perdarahan, hemolisis dan juga akibat defisiensi faktor hemopietik, seperti kekurangan B12 dan asam folat. MCV turun atau nilainya dibawah normal disebut mikrositik, yaitu bentuk eritrosit lebih kecil dari normalnya. Mikrositik ditemukan pada keadaan anemia akibat defisiensi Fe pada penyakit cacing kronis atau akibat terganggunya penyerapan Fe, dan defisiensi Cu (Gandasoebrata R, 2013).
Tinggi dan rendahnya nilai MCV pada sapi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu nutrisi dalam pakan seperti zat besi, Cu, asam amino, vitamin B9 dan vitamin B12 yang merupakan komponen penting yang mempengaruhi jumlah dan bentuk eritrosit (Swenson, 1993). Difisiensi vitamin pada ternak ruminansia menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan eritrosit (Muridi, 2011). Volume eritrosit sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, Faktor-faktor
lingkungan dengan berfluktuasi tinggi, baik yang bersifat harian maupun musiman ditemukan kondisi yang ekstrim. Perubahan kualitas lingkungan seperti perubahan iklim, polusi kimia dan fluktuasi pencemaran alam menyebabkan hewan menjadi stres dan lemah sehingga berpengaruh terhadap perubahan fisiologi darahnya (Omonona and Ekpenko, 2011).
Nilai MCV pada sapi di atas umur tiga bulan cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai MCV sapi dibawah umur 3 bulan (Mohri et al. 2007), sehingga nilai MCV cenderung lebih rendah pada sapi dewasa dibandingkan dengan sapi muda.
Pada pemeriksaan nilai MCHC pada sapi bali yang dipelihara berbasis organik memiliki nilai rata-rata yakni 39,17%/dl. Nilai rata-rata tersebut masih dalam kisaran nilai normal. Nilai normal MCHC pada sapi
yaitu 30.0 sampai dengan 40,0 %/dl (Lumsden et al. 1980). Terjadi kenaikan atau penurunan ukuran rata-rata eritrosit yang disertai kenaikan atau penurunan rata-rata hemoglobin. Namun MCHC-nya masih dalam batas-batas normal. Pada hasil pemeriksaan nilai MCHC sapi bali berbasis organik yang tertinggi mencapai 40,7%/dl yang ditunjukan pada sampel nomer 10 dan 1, tingginya nilai MCHC pada sapi nomor 10 dan 1 mungkin disebabkan oleh faktor stres yang dimana kan meningkatkan kadar hemoglobin apabila sapi dalam keadaan stress, hal ini disebabkan karena dilepaskannya ketakolamin (epineprin/neropineprin) akibatnya tekanan darah meningkat dan disertai kontraksi dari limpa (Suwandi, 2002). Dan untuk nilai terendah adalah 36,6%/dl yang ditunjukan pada sampel nomer 6.
Sapi bali yang dipelihara berbasis organik memiliki nilai rata-rata yakni 39,17%/dl lebih tinggi dibandingkan sampel sapi bali yang berada dirumah potong hewan Pesanggaran yang memiliki rata- rata nilai MCHC 29,8%/dl (Siswanto, 2011). Pada nilai MCHC pada sapi (Bos Taurus) dengan memiliki nilai rata-rata 32.9%/dl (Coles, 1980) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata sapi bali yang dipelihara berbasis organik.
Pada pemeriksaan nilai MCH pada sapi bali yang dipelihara berbasis organik memiliki nilai rata-rata yakni 18,69 pg. Nilai rata-rata tersebut masih dalam nilai normal. Nilai normal MCH pada sapi yaitu 14.0 pg sampai dengan 20.0 pg. (Lumsden et al. 1980). Sapi bali yang dipelihara berbasis organik memiliki nilai rata-rata lebih tinggi dibandingkan sampel sapi bali yang berada dirumah potong hewan dimana memiliki rata-rata nilai MCH 16.7pg (Siswanto, 2011), dan pada nilai MCH pada sapi (Bos Taurus) yang memiliki nilai rata-rata 15.3 pg (Coles, 1980) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata sapi bali yang dipelihara berbasis organik.
Pada hasil pemeriksaan nilai MCH sapi bali berbasis organik yang tertinggi mencapai 21,5pg yang ditunjukan pada
sampel nomor 4, tingginya nilai MCH pada sapi nomor 4 disebabkan oleh faktor stres yang dialami sapi nomor 4 tersebut. Dan untuk nilai terendah adalah 17,3pg yang ditunjukan pada sampel nomor 1 dan 10, rendahnya nilai MCH pada sampel nomor 1 dan 10 kemungkinan disebabkan oleh rendahnya daya cerna terhadap nutrisi dalam pakan yang diberikan.
Tinggi dan rendahnya nilai MCHC dan MCH pada setiap hewan berbeda-beda antara satu sama lain. Perbedaan konsentrasi hemoglobin dalam setiap eritrosit (MCHC) dan banyaknya hemoglobin pada rata-rata eritrosit (MCH) ini dipengaruhi oleh jumlah zat besi di dalam tubuh. Zat besi dalam bentuk Fe2+ yang terdapat pada pusat heme akan mengikat atom oksigen. Pada hewan normal, kadar hemoglobin berhubungan dengan jumlah eritrosit (Swenson, 1993).
Temperatur lingkungan pada sistem pemeliharaan yang terletak didataran tinggi menyebabkan laju aliran darah dalam tubuh tersebut lebih cepat membawa cairan tubuh sampai di permukaan yang selanjutnya dilepaskan ke lingkungan, sehingga kadar hemoglobin mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan fungsi dari kadar hemoglobin dalam eritrosit adalah sebagai pembawa oksigen ke dalam sel tubuh ternak, alat transportasi zat nutrisi ke seluruh tubuh, serta menjaga keseimbangan asam basa cairan tubuh (Sonjaya, 2012). Sistem perkandangannya yang terbuka juga berpengaruh terhadap kadar hemoglobin. Kondisi kandang yang terbuka sepanjang hari menyebabkan hewan mendapatkan oksigen yang cukup sehingga kadar hemoglobin meningkat dan berpengaruh terhadap konsentrasi rata-rata hemoglobin dalam eritrosit (MCHC) dan jumlah hemoglobin pada rata-rata eritrosit (MCH). Menurut Weiss dan Wardrop (2010) kadar hemoglobin dipengaruhi oleh kadar oksigen dan jumlah eritrosit sehingga ada kecenderungan jika jumlah eritrosit rendah, maka kadar hemoglobin akan rendah dan jika oksigen dalam darah tinggi, maka tubuh terangsang meningkatkan produksi
eritrosit dan hemoglobin. Hemolisis in vivo atau in vitro diduga dapat menyebabkan tingginya nilai MCHC. Hal ini karena sejumlah sel eritrosit yang lisis akan melepaskan hemoglobin ke dalam cairan darah, sedangkan pada penghitungan nilai MCHC, hemoglobin diasumsikan berada di dalam eritosit (Meyer dan Harvey 2004).
Faktor berikutnya adalah umur hasil penelitian memperlihatkan bahwa nilai MCHC pada sapi perah umur dibawah dua belas bulan berkisar antara 36,06 –39,98 g/dl memilii kisaran yang lebih tinggi dengan kelompok umur di atas dua bulan yang berkisar antara 31,7 - 40,4 g/dl (Mohri et al. 2007). Sedangkan pada nilai MCH pada sapi perah umur dibawah tiga bulan berkisar antara 18,41 – 21,21 pg memiliki kisaran lebih tinggi dibandingkan sapi diumur diatas tiga bulan yakni 14,1-20,1 (Mohri et al. 2007). Hasil penelitian ini memperlihatkan nilai MCH sapi di bawah umur tiga bulan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai MCH sapi diatas umur tiga bulan.
Tinggi dan rendahnya nilai indeks eritrosit juga disebabkan oleh keadaan fisiologis hewan. Keadaan fisiologis sapi dapat ditentukan berdasarkan profil darahnya, yaitu jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Adanya perbedaan jumlah eritrosit, kemungkinan disebabkan oleh banyak faktor diantaranya pakan, umur, pola pemeliharaan, temperatur lingkungan, ketinggian dan faktor iklim lainnya (Siswanto, 2011).
Dengan dilakukannya penelitian sapi bali organik yang berada di desa Bulian Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng, yang dimiliki oleh bapak Wayan Kantra sudah mencukupi asupan nutrisi ternak sapi bali. Indikator nya dapat diketahui dari indeks eritrosit yang masih dalam rentang nilai normal.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Nilai Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration, Mean Corpuscular Volume, dan
Mean Corpuscular Haemoglobin sapi bali yang dipelihara berbasis organic berturut-turut sebesar: 39,17 %/dl, 48,44 fl dan 18,69 pg.
Saran
Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui system imunitas sapi bali yang diberikan pakan organik.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana serta Bapak I Wayan Kantra pemilik peternakan sapi bali organik yang telah memfasilitasi penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Coles EH. 1980. Veterinary Clinical
Pathology 3rd Ed. WP Sanders CA Philadelphia, London, Toronto.
Darmadja SDND. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam Ekosistem Pertanian di Bali. Bandung: Universitas Padjadjaran
Frandson RD. 1992. Anatomi Dan Fisiologi
Ternak. Edisi Ke-4. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Gandasoebrata R. 2013. Penuntun
Laboratorium Klinis. Edisi 15. Dian Rakyat. Jakarta.
Jain NC. 1986. Schalni’s Veterinery hematology 4th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia.
Mahardika AA. 2016. Pengaruh stres akutterhadap jumlah neutrofil darah -studi eksperimental pada tikus putih jantan galur wistar. Vet. Med. 4(3):187-192.
Moran JB. 1978. Growth and carcass development of Indonesian beef breeds.
Proc. Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan. Bogor. Mohri M, Sharifi K, Eidi S. 2007.
Hematologi and serum biochemistry ofholstein dairi calve: ages related changes and comparison with
bloodcomposition in adult. Res. Vet. Sci. 80:30-39.
Meyer DJ. Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and Diagnosis. Philadelphia: Saunders.
Muridi Q, Ahmad NP. 2011. Studi manajemen pemberian pakan pada ternak sapi potong di kelompok tani ternak mekar sari desa tambak rigadung kecamatan Tikung kabupaten
Lamongan. J. Ternak, 02(1): 21-23.
Lumsden JH, Mullen K, Rowe R. 1980. Hematology and biochemistry reference values for female holstein cattle. J. Can. Comp. Med. 44: 24-31.
Omonona A.O, Ekpenko V. 2011. Haematology and prevalence of blood parasites of the common frog (Rana temporaria) in the tropical environment. J. Vet. Med. Anim. Health. 3(2):14-20.
Pane I. 1990. Upaya peningkatan mutu genetik sapi Bali di P3 Bali. Proc.
Seminar Nasional Sapi Bali. Bali, 20-22 September 1990
Siswanto. 2011. Gambaran sel darah merah sapi bali (studi rumah potong). Buletin Veteriner Udayana. 3(2): 99-105.
Sonjaya H. 2012. Dasar Fisiologi Ternak. IPB Press. Bogor.
Swenson MJ. 1984. Duke’s Physiology of Domestic Animals. 10th Ed. Cornell
University Press, Ithaca and London. Pp. 128
Suwandi. 2002. Manfaat pemeriksaan gambaran darah umum pada ternak ruminansia. temu teknis fungsional non peneliti. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Weiss DJ, Wardrop JK. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology 6th Ed.
Blackwell Publishing, Iowa
Williamson G, Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
45
Discussion and feedback