Volume 13 No. 1: 21-26

Pebruari 2021

DOI: 10.24843/bulvet.2021.v13.i01.p04

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Peringkat 3, DJPRP Kementerian Ristekdikti No. 21/E/KPT/2018, Tanggal 9 Juli 2018

Analisis Kesehatan dan Kualitas Daging Babi Berdasarkan Mata Rantai Peredarannya

(HEALTH AND QUALITY ANALYSIS OF PORK BASED ON DISTRIBUTION CHAINS)

Ida Bagus Ngurah Swacita1*, I Ketut Suada1, Agung Denlira Sitepu2, Agnes Tasia2 1Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali. 2Dokter Hewan Praktisi di Kota Denpasar, Bali.

*Email: [email protected]

Abstrak

WHO menyatakan bahwa, sekitar 75% penyakit-penyakit baru yang menyerang manusia dalam dua dasa warsa terakhir disebabkan oleh patogen-patogen yang berasal dari hewan atau produk hewan, sehingga produk pangan asal hewan (daging) berpotensi berbahaya kepada konsumen. Oleh sebab itu aspek kesehatan dan keamanan pangan asal hewan (daging) perlu mendapat perhatian khusus. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kesehatan dan kualitas daging babi dari tempat produksi sampai mata rantai peredarannya yaitu kios daging atau pasar). Penelitian ini menggunakan metode eksploratif kualitatif yaitu menganalisis kesehatan daging babi secara inspeksi, palpasi dan insisi serta kualitas daging babi diperiksa secara subjektif meliputi uji warna, aroma, konsistensi, dan tekstur, serta uji objektif meliputi uji Daya Ikat Air, Kadar Air, pH, dan awal pembusukan. Sampel penelitian diambil dari tempat produksi (rumah pemotongan hewan Pesanggaran dan Dharmasaba) dan kios daging di Pasar Badung dan Pasar Kereneng), dengan total sampel penelitian sebanyak 100 sampel. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daging babi dari tempat produksi sampai tempat peredarannya, kesehatannya baik (tidak ditemukan kelainan). Demikian pula, daging babi dari tempat produksi (RPH Pesanggaran maupun Dharmasaba) sampai di tempat peredarannya yaitu kios pasar Badung dan kios pasar Kereneng, kualitasnya sesuai dengan standar. Dapat disimpulkan bahwa kesehatan dan kualitas daging babi dari tempat produksi sampai mata rantai peredarannya masih baik, sehingga dapat direkomendasi sehat, aman dan layak untuk dikonsumsi.

Kata kunci: kesehatan dan kualitas daging babi; mata rantai peredarannya

Abstract

WHO states that about 75% of new diseases affecting humans in the last two decades are caused by pathogens derived from animals or animal products, so that food products of animal origin (meat) are potentially harmful to consumers. Therefore, the health and food safety aspects of animal origin (meat) need special attention. This research aimed to analyze the health and quality of pork from the abattoir/pig slaughterhouse to its circulation chain (meat stall/market). This research used a qualitative explorative method that is analyzing pig's health by inspection, palpation, and incision and the quality of pork is subjectively examined include color, aroma, consistency, and texture test, and objective test includes the test of Water Holding Capacity, Water Content, pH, and early decay. The research sample was taken from Pesanggaran and Dharmasaba abattoir and its distribution place (meat stall in Badung and Kereneng market), with 100 samples. The data of the research were analyzed qualitative descriptively. The results showed that pork from the production site to its distribution, good health. Similarly, pork from the production site (Pesanggaran abattoir and Dharmasaba) to the distribution (Badung and Kereneng market) is good. It can be concluded that pork's health and quality from production place until its distribution chains is still good, so it can be recommended healthy, safe, and feasible to be consumed.

Keywords: health and quality of pork; distribution chain

PENDAHULUAN

Pengetahuan masyarakat tentang daging yang sehat dan berkualitas serta aman untuk dikonsumsi masih rendah. Umumnya masyarakat tidak tahu apakah daging yang dikonsumsi berasal dari proses penyediaan daging yang terjamin kesehatan dan keamanannya (Agustina et al., 2017). Banyak dari mereka berfikir hanya mendapatkan daging yang murah tanpa berfikir apakah daging yang dibelinya aman. Salah satu syarat dalam penyediaan bahan pangan asal hewan di Indonesia adalah bahan pangan itu harus aman, sehat, dan utuh. Daging yang aman artinya tidak mengandung penyakit, residu bahan kimia seperti pestisida, antibiotik dan lain-lain, serta unsur yang dapat menyebabkan penyakit dan menggangu kesehatan manusia. Sehat artinya mengandung zat-zat yang berguna dan seimbang bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh, sedangkan utuh artinya tidak ditambah atau dikurangi bahan lainnya atau dipalsukan (Suardana dan Swacita, 2009). Selain itu, pengetahuan para penjual daging juga masih rendah. Untuk itu peran dokter hewan maupun petugas RPH untuk melakukan pemeriksaan dan pengawasan kualitas daging sebelum sampai ketangan konsumen sangat diperlukan untuk menjamin konsumen mendapatkan daging yang berkualitas baik danbebas dari ancaman penularan penyakit (meatborne disease).

Menurut WHO (2005), sekitar 75% penyakit-penyakit baru yang menyerang manusia dalam dua dasa warsa terakhir disebabkan oleh patogen-patogen yang berasal dari hewan atau produk hewan, sehingga pangan asal hewan berpotensi menularkan penyakit yang berbahaya kepada konsumen. Oleh sebab itu aspek kesehatan dan keamanan pangan asal hewan perlu mendapat perhatian khusus. Ada beberapa penyakit yang dapat ditularkan lewat daging (meat borne disease) yang dianggap berbahaya untuk kesehatan manusia antara lain Fascioliasis

(Farghaly et al., 2009; Gajewska et at., 2005; Mas-Coma et al.,2005; Mendes et al., 2005; Pilet et al., 2010; Sripa et al., 2010), Sistiserkosis (Dharmawan et al., 2012; Swacita et al.,2015a, 2015b), dan Toxoplasmosis (Damriyasa et al., 2000; Damriyasa et al., 2001; Tenter et al., 2000).

Daging yang beredar di pasaran harus memenuhi syarat kesehatan dan keamanan (Direktorat Kesmavet,2005). Oleh karena itu, dalam mata rantai peredaran daging harus mendapat pemeriksaan dan pengawasan yang ketat mulai dari tempat pemotongan (RPH) sampai ke tempat penjualan (pasar/kios daging).

Pada kenyataannya, dalam matarantai peredaran daging mulai dari tempat produksi sampai ke pasar, tidak selalu mendapat pemeriksaan dan pengawasan dari dinas terkait. Hal ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan dan sumber daya manusia, sehingga daging yang diproduksi di tempat pemotongan (RPH) dan yang dijual ke pasar (kios daging) kemungkinan tidak sehat dan membahayakan konsumen (Direktorat Kesmavet, 2005).

Mayoritas penduduk Pulau Bali mengkonsumsi daging babi, dan tempat produksi daging babi terbesar di Kota Denpasar adalah Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pesanggaran dan Tempat Pemotongan Babi (TPB) Dharmasaba. Dua pasar tradisional terbesar di Kota Denpasar yang paling banyak menjual daging babi adalah Pasar Badung dan Pasar Kereneng, Denpasar. Untuk melindungi masyarakat dari penularan penyakit dengan perantaraan makan daging (meatborne disease) maka perlu dilakukan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kesehatan dan kualitas daging babi berdasarkan mata rantai peredarannya.

METODE PENELITIAN

Sampel

Sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah daging babi yang diproduksi di RPH Pesanggaran, Denpasar dan Tempat Pemotongan Babi (TPB)

Dharmasaba dan tempat peredarannya yaitu kios daging di Pasar Badung dan pasar Kereneng, Denpasar. Sampel daging babi yang digunakan berasal dari otot paha (musculus femoralis) masing-masing seberat ± 500 gram setiap ekornya. Bahan kimia yang digunakan untuk penelitian ini antara lain ether, alkohol 96%, dan HCl 30%.

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini mengunakan metode survai eksploratif kualitatif menggunakan dua kelompok tempat produksi daging babi (Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pesanggaran dan Tempat Pemotongan Babi (TPB) Dharmasaba) dan dua kelompok tempat peredaran daging babi (kios daging di Pasar Badung dan Pasar Kereneng, Denpasar). Pada setiaptempat produksi maupun tempat peredarannya diambil masing-masing lima sampel. Penelitian kesehatan dan kualitas daging babi diulang sebanyak 5 kali, sehingga total sampel yang diuji sebanyak 2x2x5x5 = 100 sampel.

Metode Pemeriksaan

Daging babi asal RPH Pesanggaran, TPB Dharmasaba, Pasar Badung, dan Pasar Kereneng Denpasar diuji kesehatannya secara: inspeksi, palpasi, dan incici. Sedangkan pengujian kualitas daging babi dilakukan secara subjektif dan objektif. Pengujian secara subjektif dilakukan oleh 10 orang panelis yang telah memenuhi syarat meliputi uji warna, aroma, konsistensi, dan tekstur daging. Pengujian secara objektif dilakukan dengan bantuan alat-alat laboratoris sesuai dengan metode baku (Soeparno, 2009; Suardana dan Swacita, 2009), meliputi uji daya ikat air, kadar air daging, pH, dan uji awal pembusukan.

Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif kualitatif, dan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pemeriksaan kesehatan daging babi yang diambil dari RPH Pesanggaran, TPB Dharmasaba, kios daging di Pasar Badung dan Pasar Kereneng dilakukan secara inspeksi, palpasai, dan incici. Hasilnya terlihat berwarna merah coklat muda, tidak ditemukan benda asing seperti bulu, pecahan tulang, rambut, atau larva cacing pada daging babi tersebut.

Konsistensi daging babi terasa lembut karena tidak mengandung jaringan ikat. Sedangkan penilaian secara incici pada limfoglandula atau kelenjar pertahanan pada daging babi tersebut, seperti Lgl. Praescapularis, Lgl. Praefemoralis, Lgl. Inguinalis superficialis, menunjukkan limfoglandulanya terlihat normal berwarna kuning kecoklatan, tidak ditemukan adanya peradangan ataupun perdarahan pada limfoglandula yang diperiksa.

Pemeriksaan kualitas daging babi dilakukan secara subjektif dan uji objektif. Pada uji subjektif daging babi yang dipotong di RPH Pesanggaran, Denpasar; TPB Dharmasaba, Kios daging Pasar Badung dan Pasar Kereneng dilakukan oleh 10 orang panelis, dan hasilnya tersaji pada tabel di bawah ini.

Kualitas daging babi produksi RPH Pesanggaran yang diperiksa secara subjektif oleh 10 orang panelis menunjukkan rataan skor warnanya 2,92 (coklat kemerahan), rataan skor aroma/bau 1,92 (bau darah), rataan skor konsistensi 2,88 (lembut) dan rataan skor teksturnya 2 (halus) (Tabel 1). Kondisi daging babi seperti ini sesuai dengan standar yakni kualitasnya masih baik. Menurut Suardana dan Swacita (2009), daging babi yang sehat memiliki warna lebih pucat dari daging sapi (coklat muda kemerahan sampai cokelat kemerahan) dengan aroma khas (darah segar). Konsistensi daging babi terasa lembut sampai sedikit kenyal dengan tekstur halus karena sangat sedikit mengandung jaringan ikat.

Sedangkan kualitas daging babi yang diuji secara objektif menunjukkan rataan daya ikat air 77,96%, rataan kadar air 72,70%,

rataan nilai pH 5,79 dan uji awal pembusukan hasilnya negatif (Tabel 1).

Tabel 1. Rataan Skor Uji Subjektif dan Objektif Daging Babi di Tempat Produksi

Kualitas Daging Babi

RPH Pesanggran

TPB Dharmasaba

Uji Subjektif

Warna daging babi

2,92(cokelat kemerahan)

2,48 (cokelat sampai cokelat kemerahan)

Aroma/bau

1,92 (bau darah segar)

1,78 (bau darah segar)

Konsistensi

2,88 (lembut)

2,86 (lembut)

Tekstur

2 (halus)

2 (halus)

Uji Objektif

Daya ikat air (%)

77,96

75,83

Kadar air (%)

72,70

72,65

Nilai pH

5,79

5,88

Awal pembusukan

Negatif

Negatif

Keterangan: Warna daging babi: skor 4 (cokelat merah cerah), skor 3 (cokelat kemerahan), skor 2 (cokelat), skor 1 (cokelat muda); Bau daging babi: skor 2 (bau darah segar), skor 1 (bau lainnya); Konsistensi: skor 3 (lembut), skor 2 (lembek), skor 1 (berair); Tekstur daging babi: skor 2 (halus), skor 1 (kasar). (Sumber: Suardana dan Swacita, 2009).

Tabel 2. Rataan Skor uji Subjektif dan Objektif Daging Babi di Tempat Peredarannya

Kualitas Daging Babi

Pasar Badung

Pasar Kereneng

Uji Subjektif

Warna daging babi

2,41 (cokelat sampai cokelat kemerahan)

2,54 (cokelat kemerahan)

Aroma/bau

1,91 (bau darah segar)

1,92 (bau darah segar)

Konsistensi

2,86 (lembut)

2,9 (lembut)

Tekstur

2 (halus)

2 (halus)

Uji Objektif

Daya ikat air (%)

80,61

73,84

Kadar air (%)

75,92

74,62

Nilai pH

5,56

5,68

Awal pembusukan

Negatif

Negatif

Pembahasan

Menurut Soeparno (2009), hasil uji objektif untuk daging babi yang sehat memiliki kadar air ± 75%, daya ikat air di atas 75%, pH 5.5-5,8 dan uji awal pembusukan negatif. Kisaran kadar air pada daging secara umum berkisar dari 65%-80% tergantung dari umur hewan. Semakin muda umur hewan kadar airnya semakin tinggi. Uji daya ikat air menunjukkan bahwa semakin baik/segar daging tersebut, maka daya ikatnya semakin tinggi, sebaliknya untuk daging yang mulai rusak daya ikat airnya semakin

menurun. Nilai pH daging babi berkisar dari 5,5 – 5,8, semakin tinggi pH daging menunjukkan daging semakin jelek. Nilai pH daging babi ini diperoleh 5,8. Hal ini menunjukkan masih dalam batas normal, cuma sudah mulai mengindikasikan adanya peningkatan, mungkin karena proses autolisis atau mulai terkontaminasi mikroba. Akan tetapi pada uji awal pembusukan menunjukkan hasilnya masih negatif.

Secara keseluruhan, kesehatan dan kualitas daging babi produksi RPH Pesanggaran masih baik, layak dan aman

untuk dikonsumsi. Produksi daging babi di Tempat Pemotongan Babi Dharmasaba kondisi kesehatan dan kualitasnya tidak jauh berbeda dengan RPH Pesanggaran yaitu uji subyektifnya menunjukkan rataan skor warna 2,48 (cokelat kemerahan), rataan skor aroma/bau 1,78 (bau darah), rataan skor konsistensi 2,86 (lembut), dan rataan skor teksturnya 2 (lembut) (Tabel 1). Demikian pula untuk uji objektifnya menunjukkan rataan daya ikat air 75,83%, rataan kadar air 72,65%, rataan nilai pH 5,88 dan uji awal pembusukan negatif (Tabel 1). Kalau dibandingkan dengan kualitas daging babi dari RPH Pesanggaran, kualitas produksi daging babi dari TPB Dharmasaba sedikit lebih jelek, namun masihsesuai dengan standar sehingga layak dan aman untuk dikonsumsi.

Kesehatan dan kualitas daging babi yang dijual di kios Pasar Badung yang diuji secara subjektif menunjukkan rataan warnanya 2,41 (cokelat sampai cokelat kemerahan), rataan skor aroma/baunya 1,91 (bau darah segar), rataan skor konsistensinya 2,86 (lembut), dan rataan teksturnya 2 (halus) (Tabel 2). Sedangkan untuk uji objektifnya menunjukkan rataan daya ikat air 80,61%, rataan kadar air 75,92%, rataan nilai pH 5,56 dan rataan uji awal pembusukan negatif (Tabel 2). Kondisi kesehatan dan kualitas daging babi yang dipasarkan di kios daging Pasar Badung masih baik, layak dan aman dikonsumsi. Sedangkan kesehatan dan kualitas daging babi yang dijual di kios daging Pasar kereneng dari uji subjektif menunjukkan rataan skor warna dagingnya 2,54 (cokelat kemerahan), rataan skor aroma/bau 1,92 (bau darah), rataan skor konsistensi 2,9 (lembut, dan rataan teksturnya 2 (halus) (Tabel 2). Sedangkan kualitas daging babi yangdiuji secara objektif menunjukkan rataan daya ikat air 73,84%, rataan kadar air 74,62%, rataan nilai pH 5,68, dan rataan uji awal pembusukan negatif (Tabel 2). Kondisi daging babi yang dijual di kedua kios daging ini masih dalam batas baik. Jika dibandingkan antar kedua pasar ini, hampir

sama, cuma kesegaran daging yang dijual di kios pasar Badung lebih baik. Hal ini kemungkinan karena asal daging babi ini dari produksi RPH Pesanggaran yang letaknya dari pasar relatif lebih dekat daripada produksi TPB Dharmasaba. Namun secara keseluruhan, daging babi di kedua pasar ini masih baik, layak dan aman untuk dikonsumsi.

Kapasitas mengikat air didefinisikan sebagai kemampuan dari daging untuk mengikat atau menahan air selama mendapat tekanan dari luar, seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan atau pengepresan (Forrest et al., 1975). Banyak faktor yang mempengaruhi daya ikat air daging, diantaranya pH, bangsa, pembentukan aktomiosin (rigormortis), temperatur dan kelembaban, pelayuan karkas, tipe daging dan lokasi otot, fungsi otot, umur, pakan dan lemak intramuskuler (Soeparno, 2009). Menurut Suardana dan Swacita (2009), perbedaan nilai daya mengikat air daging dipengaruhi oleh kandungan protein daging. Kandungan protein daging yang tinggi akan diikuti dengan semakin tingginya daya mengikat air. Kapasitas mengikat air merupakan faktor mutu yang penting karena berpengaruh langsung terhadap keadaan fisik daging seperti keempukan, warna, tekstur, juiceness, serta pengerutan daging (Forrest et al. 1975).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa kesehatan dan kualitas daging babi dari tempat produksi (RPH dan TPB) sampai tempat peredarannya masih baik, sehingga aman dan layak untuk dikonsumsi.

Saran

Untuk menjaga kesehatan dan kualitas daging babi, maka disarankan untuk melakukan pemeriksaan dan pengawasan secara rutin guna mencegah beredarannya daging babi yang tidak layak konsumsi dan membahayakan kesehatan konsumen.

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala RPH Pesanggaran dan TPB Dharmasaba, pedagang di kios Pasar Kereneng dan Pasar Badung yang telah mengijinkan penulis mengambil sampel untuk penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina KK, Cahya IMRD, Widyantara GM, Swacita IBN, Dharmayudha AAGO, Rudyanto MJ. 2017. Nilai gizi dan kualitas fisik daging sapi bali berdasarkan jenis kelamin dan umur. Buletin Vet. Udayana. 9(2): 156-163.

Damriyasa IM, Bauer C Nockler K, Tenter AM, Sahner H. 2000. Survey on zoonotic parasite infection s in pigs in southern Bali, Indonesia. Proc.19 Kongr. DTSCH GesParasitol, Stutgart.

Damriyasa IM, Edelhofer R, Volmer R, Bauer C, Sahner H. 2001. Curreent seroprevalence of Toxoplasma gondii infection in sows in two region of Germany. Proc.  18th Intern Conf

WAAVP, Stressa/Italy. Abstract A2p. Pp. 1-8.

Dharmawan NS, Swastika K, Putra IM, Wandra T, Sutisna P, Okamoto M, Ito A. 2012. Present situation and problem of cysticercosis in animal in Bali and Papua. J. Vet. 13(2): 154-162.

Direktorat Kesmavet. 2005. Pedoman Teknis Pemeriksaan Ante-mortem dan Post-mortem di Rumah Pemotongan Hewan.Ditjen     Bina     Produksi

Peternakan, Deptan, Jakarta Pp: 1-16.

Farghaly AM, Nada SM, Eman WA, Mattar MA, Mohammed SM, Sharaf EM, Gamal RM. 2009. Role of fast-elisa and westernblotting in diagnosis of human fascilosis using crude adult worm and excretory-secretory fasciola antigen. Parasitol. United J. 2(1): 55-65.

Forrest JC, Aberle EB, Hedrick HB, Judge MD, Merkel RA. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co. San Fransisco.

Gajewska    A,    Smaga-Kozlowska,

Wiesniewski M. 2005. Phatological changes of liver in infection of fasciola hepatica. Wiad. Parasitol. 51(2): 11523.

Mas-Coma S, Bargues MD, Valero MA. 2005. Fasciolosis and other plant-borne trematode zoonosis. Int. J. Parasitol. 35: 1255-1265

Mendes EA, Vasconcelos AC, Lima WS. 2005. Histophatology of fasciola hepatica infection in marinos unguiculatus. Rev. Patol. Trop. 4(1): 55-62.

Pilet BD, Pouillon FM, Parizel B.2010. Fasciola hepatica infection in 65-year-old women. Radiol. Case. 4(4): 13-19.

Soeparno. 2009. Ilmu dan teknologi daging. 4thEd. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sripa B, Kaewkes S, Intapan PM, Maleewong W, Brindly PJ. 2010. Food borne trematodoasis in southeast asia: epidemiology, pathology, clinical manifestation a control. Adv. Parasitol. 72: 305-350.

Suardana IW, Swacita IBN. 2009. Higiene makanan. Udayana Uneversity Press, Denpasar.

Swacita IBN, Damriyasa IM, Dharmawan NS, Astawa NM, Apsari IAP, Tenaya IWM. 2015a. Respons imun mecit yang diimunisasi dengan Cysticercus cellulosae. J. Vet. 16(2): 181-186.

Swacita IBN, Damriyasa IM, Dharmawan NS, Astawa NM, Apsari IAP, Oka IBM, Tenaya IWM. 2015b. Produksi dan karakterisasi antibodi monoklonal anti-Cysticercus cellulosae. J. Vet. 16(3): 325-333.

Tenter AM, Heckeroth AR, Weiss IM. 2000. Toxoplasma gondii: from Animal to Humans. Int. J. Parasitol. 30: 121758.

WHO. 2005. Zoonosis and Veterinay Public                        Health.

http://www.who.int/zoonosis. Diakses tanggal 6 April 2006.

26