ESCHERICHIA COLI ON BALI CATTLE ACCORDING TO MATURITY LEVELS IN DIFFERENT GEOGRAPHICIES AREA AND IT’S PATTERN OF ANTIBIOTICS RESISTANCE
on
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Volume 10 No. 2: 169-175
Agustus 2018
DOI: 10.24843/bulvet.2018.v10.i02.p10
Escherichia coli pada Sapi Bali Berdasarkan Tingkat Kedewasaan pada Geografis Yang Berbeda dan Pola Resistensinya terhadap Beberapa Antibiotika
(ESCHERICHIA COLI ON BALI CATTLE ACCORDING TO MATURITY LEVELS IN DIFFERENT GEOGRAPHICIES AREA AND IT’S PATTERN OF ANTIBIOTICS RESISTANCE)
I Gede Gargita1*, I Nengah Kerta Besung2, Aida Louise Tenden Rompis2
1PT Indotirta Suaka, Batam Indonesia.
2Laboratorium Mikrobiologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar-Bali
*Email: gedejeep@gmail.com
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian Cross Sectional tentang prevalensi Escherichia coli pada saluran pernapasan bagian atas sapi bali menurut tingkat kedewasaan (pedet, dara, dewasa) dan perbedaan geografis (dataran rendah dan tinggi). Metode isolasi dan identifikasi menurut Carter dan Cole dengan modifikasi dan kepekaan terhadap antibiotika sulfametoksasol, ampisilin, dan oksitetrasiklin menggunakan metode difusi cakram Kirby dan Bauer. Dari 120 sampel usap hidung sapi bali, berhasil diisolasi 14/120 (11,66%) E. coli. Berdasarkan tingkat kedewasaan, pada sapi pedet ditemukan 7/120 (5,83%), dara 3/120 (2,50%), dan dewasa 4/120 (3.33%). Berdasarkan letak geografis pada dataran rendah ditemukan sebanyak 8/120 (6,66 %) dan pada dataran tinggi ditemukan sebanyak 6/120 (5,00%). Enam dari total 14 isolat E. coli (42,85%) resisten, 3/14 (21,42%) intermedier, dan 5/14 (35,71%) sensitif terhadap sulfametoksasol. Uji terhadap ampisilin 4/14 (28,57%) resisten, 1/14 (7,14%) intermedier, dan 9/14 (64,28%) sensitif. Uji terhadap oksitetrasiklin 1/14 (7,14%) resisten, dan 13/14 (92,85%) sensitif. Sebanyak tiga isolat (21,42%) peka terhadap semua antibiotika yang diujikan dan satu isolat (7,14%) resisten terhadap semua antibiotika.
Kata kunci: antibiotika; E. coli; geografis; sapi bali; tingkat kedewasaan; usap hidung sapi bali
ABSTRACT
A Cross Sectional study to determine the prevalence of Escherichia coli on bali cattle respiratory tractbased on maturity level (calves, heifers, adult) and geographical location (highland and lowland) have been conducted. The isolation and identification of bacteria based on the method of Carter and Cole with slightly modification and antibiotic sensitivity test were performed using the disc diffusion method by Kirby and Bauer. Escherichia coli was isolated from 14 out of the 120 samples (11.66%). Based on the maturity level, was found 7/120 (5.58%), 3/120 (2.50%), and 4/120 (3.33%) from calves, heifers, and adults, respectively. Meanwhile, based on the geographical location, 8/120 (6.66%) E. coli was isolated from the highland and the remains 6/120 (5.00%) from lowland. The antibiograms showed that 6/14 (42.85%), 3/14 (21.42%), and 5/14 (35.71%) of the isolates were resistant, intermediate, and sensitive to sulfamethoxazole, respectively. Whereas 4/14 (28.57%), 1/14 (7.14%), and 9/14 (64.28%) were resistant, intermediate, and sensitive to ampicillin. One isolate (7.14%) was resistant to oxytetracycline and the remains 13/14 (92.85%) were sensitive. Three isolates (21.42%) were sensitive to all tested antibiotics and one isolate (7.14%) resistant to all antibiotics.
Keywords: antibiotics; bali cattle; E. coli; geographical; level of maturity; nasal swabs
PENDAHULUAN
Penyakit pada saluran pernapasan merupakan masalah terhadap kesehatan sapi muda sampai sapi dewasa (Arcangioli et al., 2008; Gabinaitiene et al., 2011).
Penyakit saluran pernapasan disebabkan banyak faktor, antara lain interaksi antara mikroorganisme infeksius dan faktor predisposisi antara sistem pertahanan inang, lingkungan, dan stres (Hartel et al., 2004; Suminarto, 2004). Seker et al. (2009)
mengamati 100 ekor sapi perah (70 sehat dan 30 dengan gangguan pernapasan) mendapatkan 220 isolat bakteri dari swab cavum nasal, 102 isolat dari sapi sehat dan 118 isolat dari sapi sakit dan 8,6% merupakan isolat E. coli asal sapi sehat sedangkan pada sapi sakit ditemukan 10% isolat E. coli. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Ouchriah et al. (2015) menggunakan 31 sampel rongga hidung dan 93 sampel paru sapi muda yang berumur dibawah 2 tahun, berhasil mengisolasi 292 isolat bakteri, dan teridentifikasi 31,95% E. coli diisolasi dari kasus pneumonia. Ouchriah et al. (2015) berpendapat bahwa E. coli merupakan salah satu bakteri berperan penting dalam infeksi dini dalam kasus pneumonia pada sapi.
Pada penyakit infeksi saluran pernapasan isolasi bakteri melalui swab hidung bisa menjadi prediksi dari bakteri patogen dalam paru-paru selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan kerentanan terhadap antibiotika (DeRosa et al., 2000). Berdasarkan panduan pengobatan ternak sapi potong di Asia Tenggara yang dipublikasi oleh Meat and Livestock Australia Limitied ada beberapa antibiotika yang sering dipergunakan dalam peternakan sapi seperti golongan sulfa, trimethoprim, dan oksitetrasiklin. Menurut penelitian Ouchriah et al. (2015) uji resistensi 93 isolat E. coli dari rongga hidung dan paru sapi 44,1% resisten terhadap ampisilin, 30,4% resisten terhadap kolistin, 26,6% resisten terhadap amoksilin, 15,5% resisten terhadap tikarsilin, 14,7% resisten terhadap sefotaksin, dan 10% resistensi terhadap sefositin.
Pola resistensi E. coli dari saluran pernapasan sapi bali belum pernah dilaporkan dan sebagian besar uji kepekaan bakteri E. coli berasal dari saluran pencernaan sapi bali. Penelitian yang dilakukan oleh Mustika et al. (2015) uji kepekaan isolat E. coli O157:H7 dari sampel feses sapi bali di kabupaten Badung 80% resisten terhadap ampisilin dan 20% resisten terhadap sulfametoksasol dan
streptomisin. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang keberadaan E. coli pada saluran pernapasan sapi bali serta kepekaan bakteri terhadap antibiotika sulfametoksasol, ampisilin, dan oksitetrasiklin.
MATERI DAN METODE
Sampel berupa usap hidung sapi bali dikumpulkan menggunakan metode multi stage yaitu data dikelompokkan berdasarkan dataran tinggi dan dataran rendah, kemudian pada masing-masing dataran dikelompokkan kembali berdasarkan tingkat kedewasaan sapi bali yaitu pedet, dara, dan dewasa. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara aseptis, usap hidung sapi dimasukkan ke dalam tabung eppendorf steril, dan diberi label. Sampel dibawa ke laboratorium menggunakan cool box berisi es untuk menjaga sampel agar tidak rusak selama perjalanan. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 120 sampel.
Isolasi dan identifikasi
Isolasi dan identifikasi dilakukan menurut metode Carter and Cole (1984) dengan modifikasi. Spesimen berupa usap hidung sapi bali, dioleskan pada media Eosine Methylen Blue Agar (EMBA) lalu diratakan dengan menggunakan osse dan diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 37°C selama 24 jam. Koloni yang tumbuh setelah inkubasi selama 24 jam dilanjutkan ke identifikasi dengan melihat perbedaan warna koloni yang tumbuh, uji katalase, oksidasi, dan pewarnaan gram. selanjutnya dilakukan uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA) (Merck), Sulfid Indole Motility (SIM) (Merck), Simon Citrat Agar (SCA) (Merck), dan Methyl Red Voges Proskauer (MR-VP) (Merck), setelah bakteri teridentifikasi dengan baik, dilakukan penyimpanan sementara pada Nutrient Agar miring.
Uji kepekaan
Uji kepekaan terhadap berbagai antibiotika dilakukan secara difusi cakram menurut metode Kirby-Bauer. Sebanyak
satu atau dua koloni bakteri dari usap hidung sapi bali yang telah ditanam pada media EMBA diinokulasi ke dalam 2 ml perbenihan cair, kemudian perbenihan tersebut diinkubasi pada suhu 37°C selama 1-2 jam hingga terlihat kekeruhan. Kekeruhan yang tampak disesuaikan dengan standar kekeruhan Mac Farland 0,5 yang setara dengan kandungan kuman 1x108 CFU/ml (Coloni Forming Unit). Kemudian suspensi kuman diusap secara merata dengan cotton swab steril pada seluruh permukaan media Mueller Hinton Agar (MHA) (Merck). Kertas cakram yang mengandung antibiotika ditempelkan dengan menggunakan pinset steril pada permukaan media tersebut, jarak antara kertas cakram dengan kertas cakram lain 2 cm dan 2 cm dari tepi cawan. Kemudian diinkubasikan dalam inkubator dengan suhu 37°C selama 18-24 jam. Luas daerah hambat pertumbuhan kuman (mm) pada
masing-masing kertas cakram diukur menggunakan mistar dan hasilnya dicatat.
Analisis data
Persentase isolat E. coli berdasarkan tingkat kedewasaan (pedet, dara, dan dewasa) dan geografis (dataran tinggi dan dataran rendah) dianalisis secara deskriptif. Pola kepekaan terhadap antibiotika berupa diameter zona hambat (satuan mm) dibandingkan dengan standar kepekaan Oxoid tahun 2013, selanjutnya ditabulasikan ke dalam persentase resisten, intermedier, dan sensitif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil isolasi bakteri E. coli dari usap hidung sapi bali teridentifikasi 14 sampel (11,66%). Pada Tabel 1 dapat dilihat distribusi isolat E. coli berdasarkan perbedaan geografis dan tingkat kedewasaan.
Tabel 1. Distribusi (%) isolat E. coli berdasarkan tingkat kedewasaan dan perbedaan geografis
Tingkat Kedewasaan |
Geografis Total Isolat Dataran Tinggi Dataran Rendah |
Pedet Dara Dewasa Total Isolat |
2/120 (1,66%) 5/120 (4,16%) 7/120 (5,83 %) 1/120 (0,83 %) 2/120 (1,66%) 3/120 (2,50 %) 3/120 (2,50%) 1/120 (0,83 %) 4/120 (3.33%) 6/120 (5,00%) 8/120 (6,66 %) 14/120 (11,66%) |
Tabel 2. Kepekaan isolat E. coli dari usap hidung sapi bali terhadap antibiotika Sulfametoksasol, Ampisilin, dan Oksitetrasiklin
Jenis Antibiotika |
Antibiogram Total Resisten Intermedier Sensistif Isolat |
Sulfametoksasol Ampisilin Oksitetrasiklin |
6/14 (42,85%) 3/14(21,42%) 5/14(35,71%) 14 (100%) 4/14(28,57%) 1/14(7,14%) 9/14(64,28%) 14 (100%) 1/14(7,14%) 0 (0,00%) 13/14(92,85%) 14 (100%) |
Tabel 3. Pola Resistensi isolat Escherichia coli dari usap hidung sapi bali terhadap antibiotika Sulfametoksasol, Ampisilin, dan Oksitetrasiklin.
Pola Kepekaan |
Antibiotika |
Jumlah Isolat |
Kepekaan Penuh |
SF(S), AMP (S), OT (S) |
3 (21,42%) |
Resistensi Tunggal |
SF(R), AMP (S), OT (S) |
6 (42,85%) |
SF(S), AMP (R), OT (S) |
2 (14,28) | |
Resistensi Ganda |
SF(R), AMP(R), OT (S) |
2(14,28%) |
Resistensi Penuh |
SF(R), AMP (R), OT(R) |
1(7,14%) |
Total Isolat |
14 (100%) |
Keterangan: SF: Sulfametoksasol, AMP: Ampisilin, OT: Oksitetrasiklin, (S): Sensitif, (R): Resisten.
Sebanyak 14 sampel yang teridentifikasi E. coli dilakukan uji kepekaan untuk memperoleh gambaran pola kepekaan dan pola resistensi terhadap antibiotika sulfametoksasol, ampisilin, dan oksitetrasiklin. Pada Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat hasil pola kepekaan dan pola resistensi isolat E. coli.
Isolasi dan identifikasi Escherichia coli
Persentase ditemukan bakteri E. coli pada saluran pernapasan sapi bali tidak terlalu tinggi yaitu sebesar 11,66%, dibandingkan dari saluran pencernaan diperoleh sebesar 50% (Suardana et al., 2016). Hasil ini mendekati dengan penelitian yang dilakukan oleh Seker et al. (2009) identifikasi 200 sampel dari cavum nasal sapi perah sakit dan sehat di Turkey. Pada sapi sehat persentase bakteri E. coli sebesar 8,6% dan pada sapi sakit persentase sebesar 10,0%. Persentase ditemukan bakteri E. coli akan lebih banyak ketika isolasi dari organ paru-paru, seperti penelitian yang dilakukan oleh Ouchriah et al. (2015) isolasi dari rongga hidung dan paru sapi di Rumah Potong Hewan Algeria teridentifikasi sebesar 31,95% bakteri E. coli. Omer et al. (2012) melakukan identifikasi bakteri pada saluran pernapasan domba, dalam penelitian tersebut ditemukan sebanyak 14,3% isolat E. coli, terdapatnya bakteri E. coli pada saluran napas dapat terjadi karena terhirupnya partikel partikel debu di kandang yang terkontaminasi oleh feses serta cemaran feses pada tempat makan dan minum. Ada beberapa variabel yang berperan penting dalam masuknya bakteri E. coli ke tubuh yaitu sistem pemeliharaan, sumber air minum, kebersihan kandang, dan kebersihan sapi (Suminarto, 2004).
Distribusi isolat Escherichia coli
Menurut tingkat kedewasaan jumlah isolat E. coli lebih banyak ditemukan pada sapi muda (pedet) daripada sapi dara dan dewasa. Hasil penelitian ini mirip dengan penelitian Damayanti et al. (2015) dikatakan sapi muda lebih berisiko 1,18 kali
lebih banyak terinfeksi E. coli O157:H7 dibandingkan sapi dewasa. Ditinjau dari sistem pemeliharaan sapi muda masih dilepas berkeliaran di sekitar kandang, sehingga akan lebih berisiko untuk terkontaminasi kotoran sapi. Menurut penelitian Damayanti et al. (2015) sapi yang kotor berisiko 3,22 kali lebih besar terkontaminasi bakteri E. coli dibandingkan sapi yang bersih.
Jumlah ditemukan isolat E. coli di dataran rendah persentasenya cenderung lebih tinggi dibandingkan pada dataran tinggi. Serupa dengan hasil penelitian Damayanti et al. (2015) tentang faktor risiko penyebab infeksi E. coli di kabupaten Badung, sapi yang dipelihara pada dataran rendah memiliki risiko 1,16 kali lebih besar ditemukan E. coli O157:H7 dibandingkan sapi yang dipelihara pada dataran tinggi. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Pradnya et al. (2016) melakukan pengamatan terhadap rata-rata total bakteri pada sapi bali yang dipelihara didataran rendah dan dataran tinggi. Diperoleh rata-rata total bakteri pada dataran rendah lebih tinggi dibandingkan pada dataran tinggi. Ini terjadi karena pada dataran rendah suhu akan lebih hangat sekitar 27,2°C, kadar oksigen lebih banyak, curah hujan lebih sedikit antara 880-1550 mm pertahun dan iklim lebih kering. Pengaruh lingkungan akan berakibat terhadap ketersedian dan kualitas pakan, serta pertumbuhan bakteri E. coli memerlukan suhu optimum antara 20°C sampai 40°C. Menurut Pratiwi. (2008) pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi beberapa faktor seperti suhu, pH, dan oksigen.
Pola kepekaan dan pola resistensi
Uji kepekaan 14 isolat Escherichia coli dari usap hidung sapi bali terhadap antibiotika sulfametoksasol, ampisilin, dan oksitetrasiklin, menunjukkan adanya resistensi bakteri E. coli terhadap beberapa antibiotika. Terjadi resistensi silang (multidrug resistant) terhadap antibiotika yang diujikan. Menurut Gallard et al. (2001) bahwa beberapa serotipe bakteri E. coli
telah mengalami resistensi silang terhadap berbagai jenis antibiotika.
Uji terhadap sulfametoksasol enam isolat (42,85%) resisten, tiga isolat (21,42%) intermedier, dan lima isolat (35,71%) sensitif. Resistensi
sulfametoksasol pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Mustika et al. (2015) yaitu bakteri E. coli pada sapi di Kecamatan Kuta Selatan, diperoleh 20% resisten terhadap sulfametoksasol. Resistensi bakteri terhadap sulfametoksasol terjadi karena antibiotika golongan sulfonamida cukup sering digunakan dalam pengobatan penyakit agen bakterial pada sapi. Pengunaan antibiotika yang terlalu sering berpotensi menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibiotika, akibat terjadinya transfer materi genetik bakteri yang resisten ke bakteri yang masih peka terhadap (Mark, 2007).
Hasil pengujian terhadap antibiotika ampisilin empat isolat (28,57%) resisten, satu isolat (7,14%) intermedier, dan sembilan isolat (64,28%) sensitif. Tingkat sensitifitas isolat E. coli terhadap ampisilin di atas 50%, penelitian mengenai resistensi bakteri E. coli isolasi dari hidung dan paru di Algeria diperoleh data uji resistensi E. coli terhadap antibiotika ampisilin yaitu sebesar 55,9% sensitif (Ouchriah et al., 2015). Ampisilin merupakan antibiotika yang mempunyai aktivitas luas, bekerja dengan menghambat pertumbuhan bakteri yaitu dengan merusak dinding sel bakteri. Menurut Ashnagar et al. (2007), ampisilin baik digunakan untuk pengobatan infeksi pada telinga, sinus dan infeksi saluran kencing. Antibiotika ampisilin kurang efektif bila digunakan pada ayam pedaging. Penelitian Galuh et al. (2016) tentang uji sensitivitas isolat E. coli dari ayam pedaging yang terkena koliseptikemia, 100% resisten terhadap ampisilin.
Pengujian terhadap antibiotika oksitetrasiklin satu isolat (7,14%) resisten dan 13 isolat (92,85%) sensitif. Kajian kepekaan kuman E. coli dari usap hidung pada sapi bali di Bali belum ada. Kajian
pada babi menunjukkan perbedaan yang signifikan (Bhaskara et al., 2012), uji
kepekaan bakteri E. coli pada babi yang terkena kolibasilosis didapatkan hasil 100% resisten terhadap oksitetrasiklin.
Penggunaan antibiotika oksitetrasiklin pada peternakan babi di Bali secara intensif cenderung lebih banyak dibandingkan penggunaannya pada peternakan sapi. Hal ini menyebabkan sensitifitas isolat E. coli dari sapi masih baik terhadap oksitetrasiklin. Penggunaan oksitetrasiklin pada peternakan menurut Andrew. (2016) baik untuk pengobatan penyakit saluran pernapasan pada sapi yang disebabkan oleh agen bakterial.
Adanya beberapa isolat yang resisten terhadap lebih dari satu antibiotika menandakan terjadi resistensi silang bakteri E. coli. Menurut penelitian Mustika et al. (2015) isolat E. coli dari sampel feses sapi bali di Kuta Selatan resisten terhadap antibiotika penisilin, sulfametoksasol, dan streptomisin. Tingkat resistensi bakteri E. coli dari usap hidung sapi bali terhadap antibiotika yang diujikan dapat dikatakan masih rendah. Hal ini dikarenakan peternakan sapi khususnya di Bali masih beternak secara tradisional (Amin et al., 2015), pemberian pakan dengan tambahan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan tidak sebanyak pada peternakan ayam pedaging. Tindakan medis menggunakan antibiotika pada pengobatan kasus penyakit pada sapi juga tidak seintensif pada unggas. Sehingga bakteri isolat E. coli masih sensitif terhahadap sejumlah antibiotika yang dipergunakan dalam peternakan sapi potong.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ditemukan sebanyak 11,66 % isolat E. coli dari usap hidung yang distribusinya pada pedet sebanyak 5,83 % dari sapi pedet, sapi dara 2,50 %, dan sapi dewasa 3.33%. Isolat E. coli dari dataran rendah (6,66%) lebih tinggi dibandingkan dengan di dataran rendah (5,00%). Kepekaan terhadap
sulfametoksasol 42,85% resisten, 21,42% intermedier, dan 35,71% sensitif, terhadap ampisilin 28,57% resisten, 7,14% intermedier, dan 64,28% sensitif dan terhadap oksitetrasiklin 7,14% resisten, dan 92,85% sensitif. Sebanyak tiga isolat (21,42%) peka terhadap semua antibiotika yang diujikan dan hanya satu isolat (7,14%) resisten terhadap semua antibiotika.
Saran
Peternak agar lebih memperhatikan kesehatan dan kebersihan ternak, karena beberapa bakteri oportunistik seperti E. coli dapat ditemukan pada saluran pernapasan sapi bali, yang berpotensi menimbulkan penyakit gangguan sistem pernapasan. Penggunaan antibiotika ampisilin dan oksitetrasiklin masih layak karena daya efektifitasnya masih tinggi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kepada kelompok ternak dan SIMANTRI di kabupaten Badung, Denpasar, Gianyar, dan Bangli, serta staf dosen Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Atas bantuan dan bimbingannya dalam pengambilan sampel dan proses isolasi, identifikasi, dan uji kepekaan bakteri di laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA
Amin AIL, Agustina KK, Suardana IW. 2015. Risk factor of Escherichia coli o157:h7 infection on bali cattle in Petang, Badung, Bali. Indon. Med. Vet. 4(3): 213-227.
Andrew C, McAllister A. 2016. Antimicrobial Usage and Resistance in Beef Production. J. Anim. Sci.
Biotechnol. 7(68): 5-6.
Arcangioli MA, Duet A, Meyer, Dernburg A, Bezille P, Poumarat F, LeGrand D.
2008. The role of Mycoplasma bovis in bovine respiratory disease outbreaks in veal calf feedlots. Vet. J. 177: 89-93.
Ashnagar A, Naseri NG. 2007. Analysis of Three Penicilin Antibiotics (Ampicilin, Amoxicilin and Cloxacilin) of Several
Iranian Pharmaceutical Companies by HPLC. e-J. Chem. 4(4): 537.
Bhaskara IBM, Budiasa IK, Tono K. 2012. Uji Kepekaan Escherichia coli Sebagai Penyebab Kolibasilosis Pada Babi Muda Terhadap Antibiotikaa
Oksitetrasiklin, Streptomisin,
Kanamisin dan Gentamisin. Indon. Med. Vet. 1(2): 186-201.
Carter, G.R., and J.R Cole.1984.Diagnostic Procedures In Veterinary Bacteriology and Mycology. 4th Ed. Academic
Press.Inc.
Damayanti E, Sukada IM, Suardana IW. 2015. Faktor Resiko Infeksi Escherichia coli O157:H7 pada Ternak Sapi Bali di Abiansemal, Badung, Bali. Indon. Med. Vet. 4(4): 279-287.
DeRosa DC, Mechor GD, Staats JJ,
Chengappa MM and Shyock TR. 2000. Comprasion of Pasteurella sp. Simultaneously Isolated From Nasaal and Trastracheal Swab From Cattle With Clinical Signs of Bovine Respirator Disease. J. Clin. Microbiol. 38: 327-332.
Gabinaitiene A, Siudzdaite J, Zalinskas H, Siugzda R, Petkevficus S. 2011. Mycoplasma bovis and bakterial pathogens in the bovine respirator tract. Vet. Med. 56(1): 28-34.
Gallard JC, Hyatt DR, Crupper SS and Acheson DW. 2001. Prevalence
Antibiotic Suscepbility and Diversity of E. coli O157:H7 Isolates From a Longitudinal Study of Beef Cattle Feedlots. J. Appl. Environt. Microbiol. (67): 1619-1627.
Galuh Y, Suarjana IG K, Tono PG K. 2017. Sensitivitas Isolat Escherichia coli Patogen dari Organ Ayam Pedaging Terinfeksi Koliseptikemia Terhadap Oksitetrasiklin, Ampisilin dan
Sulfametoksazol. Bul. Vet. Udayana. 9(1): 60-66.
Hartel H, Nikunen S, Neuvonen E, Tanskanen R, Kivela SL, Aho P, Soveri T, Saloniem H. 2004. Viral and Bakterial Phathogens in Bovine
Respiratory Disease in Finland. Acta Vet. Scandinavica. (45): 193-200.
Mark AT, Peter MB, David MC, Ronald NJ, Timothy R W. 2007. Global Emergence of Trimethoprim/
Sulfamethoxazole Resistance in Stenotrophomonas maltophila
Mediated by Acquisition of sul Genes. Emerg. Infect. Dis. 13(4): 559-565.
Mustika OC, Pinatih KJP, Suardana IW. 2015. Uji Kepekaan Escherichia coli O157:H7 Feses Sapi di Kecamatan Kuta Selatan Badung Bali Terhadap Antibiotika. Indon. Med. Vet. 4(4): 342350.
Omer A, Berhanu A, Chanie M, Fentahun T. 2012. Isolation and Identification of Aerobic Bacterial from in
Nasopharyngeal Passageways of Apparently Healthy and Clinically Sick Sheep at Gondar University Veterinary Clinic. American-Eurasian J. Sci. Res.7(6): 232-237.
Ouchriah Y, Heleili N, Mamache B, Ayachi A, Kassah AL. 2015. Antimicrobial Sensitivity of Bacterial Strains Isolated From Newborn Calves in the Abattoir of Batna (Algeria). Int. J. Livestock Res. 5(2): 32-39.
Pradnya ID A, Besung IN K, Sampurna IP. 2016. Jumlah Non Coliform dan Total
Bakteri Pada Sapi Bali di DataranTinggi dan Dataran Rendah di Bali Pasca Pemberian Mineral. Bul. Vet. Udayana. 8(1): 52-58.
Pratiwi, S. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Gelora Aksara Pratama. Jakarta.
Reuben R C and Owuna G. 2013. Antimicrobial Resistance Patterns of Escherichia coli O157:H7 From Nigerian Fermented Milk Samples in Nasarawa State, Nigeria. Int. J. Pharm. Sci. Inv. 2(3): 38-44.
Seker E , Kuyucuoglu Y, Konak S. 2009. Bacterial Examinations in the Nasal Cavity of Apparently Healthy and Unhealthy Holstein Cattle. J. Anim. Vet. Adv. 8(11): 2355-2359.
Suardana IW, Juniari P, Besung IN K. 2016. Isolasi dan Identifikasi Escherichia coli O157:H7 pada Feses Sapi di Kecamatan Petang, Kabupaten Badung-Bali. Bul. Vet.Udayana. 8(1): 30-35.
Suminarto B. 2004. Epidemiologi Verocytotoxigenic Esherichia coli (VTEC) Pada Sapi Perah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta: Kajian Tingkat Ternak. J. Sain. Vet. 22(2): 27-32.
175
Discussion and feedback