Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Volume 10 No. 2: 154-161

Agustus 2018

DOI: 10.24843/bulvet.2018.v10.i02.p08

Enterobacter sp. pada Sapi Bali Menurut Geografis dan Tingkat Kedewasaan serta Pola Kepekaannya Terhadap Antibiotika

(ENTEROBACTER SP. IN BALI CATTLE ACCORDING TO GEOGRAPHIC AND LEVEL OF MATURITY AND ITS SENSITIVITY PATTERNS TO ANTIBIOTICS)

I Wayan Suarnata1*, I Gusti Ketut Suarjana2, Aida Louise Tenden Rompis2

1Praktisi Dokter Hewan Kabupaten Gianyar, Bali, 2Laboratorium Mikrobiologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali.

*Email: suarnata06@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi isolat Enterobacter sp. asal usap hidung sapi bali menurut tingkat kedewasaan (pedet, dara, dewasa) dan letak geografis (dataran rendah dan tinggi). Metode isolasi dan identifikasi menurut Carter dan Cole dengan modifikasi dan kepekaanya terhadap antibiotika sulfametoksasol, ampisilin, dan oksitetrasiklin ditentukan menggunakan metode difusicakram Kirby dan Bauer. Dari 120 sampel swab hidung sapi bali berhasil diisolasi 16 (13,3%) Enterobacter sp. Pada sapi pedet ditemukan 8/120 (6,7%), dara 6/120 (5,0%), dan dewasa 2/120 (1,7%). Sementara pada dataran tinggi ditemukan 6/120 (5,0%), dan pada dataran rendah 10/120 (8,3%). Hasil uji kepekaan terhadap sulfametoksasol, 13/16 (81,2%) isolat sensitif, dan 3/16 (18,8%) isolat

intermedier. Sedangkan terhadap ampisilin 12/16 (75,0%) isolat sensitif, 1/16 (6,2%) isolat intermedier, dan 3/16 (18,8%) resisten. Sementara terhadap oksitetrasiklin 8/16 (50,0%) isolat sensitif, 4/16 (25,0%) intermedier dan 4/16 (25,0%) resisten. Enterobacter sp. cenderung lebih banyak ditemukan pada dataran rendah dibandingkan dataran tinggi dan lebih banyak diisolasi dari sapi pedet dibandingkan sapi dara dan dewasa, serta secara umum peka terhadap ketiga antibiotika yang diuji.

Kata kunci: Enterobacter sp; letak geografis; sapi bali; tingkat kedewasaan sapi; uji kepekaan

ABSTRACT

An observational study in order to determine the distribution Enterobacter spin Bali cattle at different geographical area (highland and lowland) and according to the animal maturity (calves, heifers, adult) have been undertaken. Isolation and identification of bacteria based on the method of Carter and Cole with slightly modification and the antibiotic sensitivity test were determined using the disc diffusion method by Kirby and Bauer. The Enterobacter sp. was isolated from 16 (13.3%) out of the 120 nasal swab samples,where 8 (6.7%), 6(5.0%), and 2 (1.7%) was isolated from calf, heifers, and adults, respectively. Meanwhile, 6 (5.0%) Enterobacter sp. was isolated from the highland and the remains (8.3%) from the lowland. Antibiograms showed that 13 of the 16 isolates (81.2%) weresensitive to sulfamethoxazole and the remains (18.8%) intermediate. While 12 (75.0%), 1 (6.2%), and 3 (18.8%) isolates weresensitive, intermediate, and resistant to ampicillin, respectively. To oxytetracycline 8 (50.0%) isolates were sensitive, 4 (25.0%) isolates were intermediate, and 4 (25.0%) isolates were resistant. Generally, the Enterobacter sp isolates were sensitive to all the antibiotics tested.

Keywords: Enterobacter sp; geographical locations; bali cattle; the maturity level of cattle and sensitivity test

PENDAHULUAN

Sapi bali memiliki banyak keunggulan salah satunya memiliki persentase karkas yang tinggi yaitu 56,6% (Suwiti, 2008). Menurut kedewasaanya sapi digolongkan menjadi tiga kategori yaitu sapi pedet, dara dan dewasa. Pedet rentan terhadap penyakit menular karena sistem kekebalan yang belum prima, lebih aktif berkeliaran di

lingkungan kandang dan kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan di luar kandang. Sedangkan semakin dewasa, antibodi yang terbentuk akan semakin optimal sampai usia produktif (Bhaskara et al., 2012). Penyebarannya terdapat di seluruh daerah di provinsi Bali, baik pada dataran tinggi maupun dataran rendah. Dataran tinggi adalah wilayah dengan

ketinggian lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. Sedangkan, dataran rendah hanya 0-500 meter di atas permukaan laut (Kardiasih, 2004). Perbedaan tersebut berpengaruh terhadap suhu udara rata-rata harian yaitu pada dataran rendah 25,1 – 29oC (28,42oC), sementara pada dataran tinggi 18,12 - 25oC (24,89oC) (Sartono et al., 2013).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistika provinsi Bali tahun 2014, populasi sapi bali saat ini mengalami penurunan dari dua tahun sebelumnya. Pada tahun 2011 terdapat sejumlah 639.793 ekor, sedangkan data pada tahun 2013 sejumlah 478.146 ekor. Penurunan jumlah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya karena gangguan agen infeksius. Masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh hewan dapat melalui beberapa jalur diantaranya lewat mukosa (mulut, hidung, kulit, anus, mata, alat kelamin), maupun lewat darah (Arcangioli et al., 2008; Gabinaitiene, 2011).

Salah satu bakteri yang dapat diisolasi dari saluran pernapasan adalah Enterobacter sp. (Asaye et al., 2015). Hasil penelitiannya ditemukan bakteri Enterobacter sp. yang dapat diisolasi dari trakhea dan paru sapi yang terkena penyakit pneumonia. Bakteri ini merupakan bakteri flora normal pada saluran pencernaan sapi dan tergolong dalam Famili Enterobactericeae berbentuk batang, Gram negatif (Carter and Cole, 1990). Tergolong patogen oportunis, sehingga bakteri ini dapat menjadi ancaman penyakit baik pada hewan maupun manusia (Hartel et al., 2004). Infeksi Enterobacter sp. pada sapi dapat menyebabkan mastitis, abortus, (Bisping dan Amtsberg, 1988), gangguan pencernaan, dan gangguan saluran pernapasan seperti septisemia dan pneumonia ringan (Asaye et al., 2015). Selain dilaporkan pada hewan besar, infeksi Enterobacter sp. juga dilaporkan ditemukan pada rumah sakit hewan (Weese, 2008). Bakteri ini dapat dijumpai pada lingkungan kandang termasuk pada

alat-alat dan bahan pakan yang terkontaminasi feses.

Dalam penanganan infeksi bakteri Gram negatif biasanya menggunakan beberapa jenis antibiotika seperti ampisilin, oksitetrasiklin, sulfametoksasol, chepalosporin, dan penisilin (Handriana et al., 2015). Enterobacter sp. telah dilaporkan memiliki resistensi di atas 50% terhadap chepalosporin (Wilberger et al., 2012), resisten 16% terhadap antibiotika ampisilin (Brown et al., 2012), dan resisten 19% terhadap oksitetrasiklin (Singh et al., 2009), namun laporan mengenai resistensi terhadap antibiotika sulfametoksasol masih jarang dilaporkan.

Studi ini mengkaji tentang distribusi isolat Enterobacter sp. asal usap hidung sapi bali menurut tingkat kedewasaan dan letak geografis serta kepekaannya terhadap antibiotika ampisilin, oksitetrasiklin, dan sulfametoksasol.

METODE PENELITIAN

Sampel

Sampel berupa swab hidung sapi bali yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat kedewasaan yaitu pedet, dara, dan dewasa, dengan kondisi klinis sehat. Sampel diambil dari empat Kecamatan di Provinsi Bali yakni berdasarkan atas letak geografis yaitu: dataran tinggi (kecamatan Payangan dan kecamatan Kintamani); dan dataran rendah (kecamatan Denpasar Timur, dan kecamatan Mengwi).

Isolasi dan Identifikasi Bakteri Enterobacter sp.

Isolasi dan identifikasi bakteri Enterobacter sp. ini dilakukan berdasarkan Carter dan Cole (1990) dengan modifikasi. Sampel diambil dari rongga hidung secara aseptis yang selanjutnya disimpan pada cool box berisi es kemudian dibawa ke laboratorium untuk proses isolasi dan identifikasi. Isolasi dilakukan pada media selektif Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) dilanjutkan dengan identifikasi pewarnaan Gram terhadap koloni bakteri yang menunjukan ciri-ciri makroskopis

yaitu besar, mukoid berwarna coklat dengan inti tampak lebih gelap.

Pada pewarnaan Gram bersifat Gram negatif dan berbentuk batang. Koloni tersebut kemudian ditanam pada Nutrient Agar miring untuk dibiakkan. Identifikasi dilanjutkan dengan uji oksidase dan katalase terhadap koloni yang diduga Enterobacter sp.. Bakteri Enterobacter sp. menunjukan hasil oksidase negatif dan katalase positif (PHE, 2015). Selanjutnya dilakukan secondary test dengan menanam isolat pada media Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Sulfid Indol Motil (SIM), Simmon Citrat Agar (SCA), glukosa, laktosa dan Methyl Red Voges Proskauer (MRVP). Bakteri Enterobacter sp. bersifat motil (+), indol negatif (-), Methyle Red negatif (-), Voges Proskauer positif (+), Sitrat positif (+), glukosa dan laktosa positif (+) (Carter and Cole, 1990).

Uji Kepekaan terhadap Antibiotika Sulfametoksasol, Ampisilin, dan Oksitetrasiklin

Uji kepekaan menggunakan metode difusicakram menurut Kirby Bauer (Konemanet al., 1984). Dalam metode ini

Tabel 1. Standar Antibiotika

Jenis Obat

Resisten (mm)

Intermediet (mm)

Sensitive(mm)

Sulfametoksasol

≤10

11-15

≥16

Ampisilin

≤13

14-16

≥17

Oksitetrasiklin

≤11

12-14

≥15

Sumber: katalog oxoid 2013


Analisis Data

Data yang diperoleh berupa distribusi isolat Enterobacter sp. pada sapi bali dan pola kepekannya terhadap antibiotika dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi dan Identifikasi Enterobacter sp.

Dari 120 sampel swab hidung sapi bali diperoleh 16 isolat Enterobacter sp.. Pada Eosin Methylene Blue Agar koloni terlihat berwarna coklat dengan inti tampak lebih gelap, koloninya besar, mukoid. Pada pewarnaan Gram bersifat Gram negatif

inokulum Enterobacter sp. disesuaikan dengan standar kekeruhan Mc Farland 0,5atau setara dengan 108 CFU/ml. Hal ini diperoleh dengan cara mengkultur 4-5 koloni Enterobacter sp. ke dalam 4-5 ml boullion kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 2-5 jam. Apabila inokulum sudah sesuai dengan Mc Farland 0,5, dilakukan penananman inokulum dengan menggunakan cutton swab steril pada permukaan media Mueller-Hinton agar secara merata. Tunggu sekitar 5-15 menit sampai permukaan agar sedikit kering dengan tujuan adanya waktu peresapan bakteri terhadap media. Selanjutnya tempelkan ketiga cakram antibiotika yaitu sulfametoksasol, ampisilin, dan oksitetrasiklin ke permukaan Mueller-Hinton agar dengan jarak minimal 15 mm dari pinggiran petri dan 20 mm untuk masing-masing cakram antibiotika. Diinkubasi semalam pada suhu 35-37oC. Pengamatan dilakukan dengan menghitung diameter inhibisi pada masing-masing antibiotika dan menyesuaikannya dengan masing-masing standar yang ada. Menurut Catalog Oxoid (2013) standar beberapa antibiotika sebagai berikut.

(berwarna merah) dan berbentuk batang. Pada primary test dengan uji katalase diperoleh hasil positif yang ditandai dengan adanya gelembung gas saat ditetesi reagen yang menandakan kuman mengahasilkan enzim katalase dan oksidase negatif ditandai tanpa adanya perubahan warna. Hasil uji Indole Motility

Voges Proskauer Citrat (IMVIC) yaitu pada media SIM tidak adanya perubahan cincin merah pada permukaan media setelah ditetesi reagen kovach yang menandakan indol negatif dan adanya pergerakan kuman yang menandakan motilitas positif. Pada media SCA adanya

perubahan warna media dari hijau menjadi biru yang artinya bakteri ini memproduksi sitrat sebagai sumber karbonnya. Pada media TSIA terjadi perubahan warna pada bidang tegak dan bidang miring dari merah menjadi berwarna kuning yang menandakan biakan bakteri memfermentasi glukosa, sukrosa dan laktosa. Pada media MRVP, menghasilkan Voges-Proskauer (VP) positif ditandai adanya cincin warna merah pada permukaan media yang menandakan bakteri ini mampu memproduksi asam metil karbinoldan Methyl Red negatif dengan media tidak ada perubahan warna setelah ditetesin reagen.

Distribusi Enterobacter sp. Menurut Tingkat Kedewasaan dan Letak Geografis

Distribusi Enterobacter sp. Menurut tingkat kedewasaan dan letak geografis dapat dilihat pada Tabel 2.

Dari 120 sampel swab hidung sapi bali berhasil diisolasi Enterobacter sp. sebanyak 16/120 (13,3%). Hal ini menunjukkan sapi bali perlunya kewaspadaan terhadap adanya Enterobacter sp. yang berada ali terinfeksi Enterobacter sp. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitiannya Asaye

et al. (2015) yang berhasil mengisolasi Enterobacter sp. 4/93 (4,3%) dari paru-paru dan 3/57 (5,3%) dari trakea sapi yang menderita pneumonia. Wilberger et al. (2012) melaporkan kejadian infeksi nosokomial pada rumah sakit hewan di Oregon akibat infeksi Enterobacter sp. dan berpeluang sebagai penyakit zoonosis.

Menurut tingkat kedewasaanya infeksi Enteribacter sp tertinggi terdapat pada sapi pedet 8/120 (6,7%), diikuti sapi dara 6/120 (5,0%), dan terendah pada sapi dewasa 2/120 (1,7%). Kejadian paling tinggi pada pedet karena sapi pedet aktif berkeliaran di lingkungan kandang sehingga banyak kontak langsung dengan feses induk, jika dibandingkan sapi dara atau dewasa yang sudah di restrain. Pada sapi dara dan dewasa sudah terbentuk antibodi yang lebih optimal dan memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi. Disamping itu juga, bakteri Enterobacter sp. merupakan bakteri pencemaran dan sebagai flora normal saluran pencernaan hewan dan manusia. Hal tersebut menyebabkan bakteri ini banyak terdapat di lingkungan kandang baik pada feses, pakan, dan benda lainnya, sehingga sering kontak langsung dengan ternak pedet karena belum ter-restrain (Aranggo et al., 2007).

Tabel 2. Distribusi Enterobacter sp. Menurut Tingkat Kedewasaan dan Letak Geografis.

Tingkat

Kedewasaan

Letak Geografis

Jumlah

Dataran Tinggi

Dataran Rendah

Pedet

3/120 (2,5%)

5/120 (4,2%)

8/120 (6,7%)

Dara

2/120 (1,7%)

4/120 (3,3%)

6/120 (5,0%)

Dewasa

1/120 (0,8%)

1/120 (0,8%)

2/120 (1,7%)

Jumlah

6/120 (5,0%)

10/120 (8,3%)

Menurut letak geografis, isolat Enterobacter sp. lebih banyak pada dataran rendah 10/120 (8,3%) dibandingkan dengan dataran tinggi 6/120 (5,0%). Hal ini menunjukkan bahwa letak geografis yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah isolat Enterobacter sp. asal swab hidung sapi bali. Disamping itu juga adanya perbedaan distribusi jumlah isolat pada masing-masing dataran disebabkan oleh faktor lingkungan seperti kondisi kandang yang

berbeda dan manajemen pemeliharaan yang mengakibatkan ternak lebih mudah terkontaminasi. Pada sapi kondisi lingkungan dan cuaca berpengaruh terhadap gangguan fungsi fisiologi dan penurunan imunitas (Mader et al., 2006; Sari et al., 2016 ).

Kepekaan Enterobacter sp. Antibiotika

Hasil uji kepekaan 16 isolat bakteri Enterobacter sp. terhadap sulfametoksasol,

ampisilin, dan oksitetrasiklin dapat dilihat pada Tabel 3.

Secara umum Enterobacter sp. yang diisolasi dari swab hidung sapi bali sensitif terhadap ketiga jenis antibiotika yang digunakan, meskipun beberapa isolat resisten terhadap antibiotika ampisilin dan oksitetrasiklin.            Sulfametoksasol

merupakan senyawa sulfonamide yang bersifat bakteriostatik. Dari hasil uji kepekaan kuman Enterobacter sp. terhadap sulfametoksasol menunjukkan bahwa

bakteri ini peka terhadap antibiotika sulfametoksasol meskipun presentase intermediernya sudah mencapai 18,8%, namun masih dikatagorikan sensitif dengan presentase 81,2%. Sulfametoksasol merupakan antibiotik yang sering digunakan untuk pengobatan bakteri enterik yang bekerja dengan cara menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat (Singh et al., 2009).

Tabel 3. Antibiogram isolat Enterobacter sp. yang diisolasi dari swab hidung sapi bali terhadap Sulfametoksasol, Ampisilin, dan Oksitetrasiklin.

Jenis

Antibiotik

Antibiogram

Total Isolat

Resisten

Intermedier

Sensitif

Sulfametoksasol

0 (0,0%)

3 (18,8%)

13 (81,2%)

16

Ampisilin

3 (18,8%)

1 (6,2%)

12 (75,0%)

16

Oksitetrasiklin

4 (25,0%)

4(25,0%)

8(50,0%)

16

Pada pengujian dengan antibiotika ampisilin menunjukkan bahwa bakteri ini resisten dengan presentase 18,8%, intermedier 6,2%, dan sensitif sebesar 75,0%. Sebaliknya Ojo (2012) mendapatkan dari 184 isolat (104 Escherichia coli, 44 Klebsiella spp, 20 Salmonella spp. and 16 Enterobacter aerogenes) yang diisolasinya dari ayam kampung di Nigeria 89.7% resisten terhadap ampisilin. Hal tersebut terjadi karena pada ayam cendrung penggunaan antibiotika yang terlalu sering sehingga menyebabkan tingkat resistensi yang lebih tinggi jika dibandingkan pada sapi.

Mekanisme kerja ampisilin yaitu menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara menghambat pembentukan mukopeptida, karena sintesis dinding sel terganggu maka bakteri tersebut tidak mampu mengatasi perbedaan tekanan osmosa di luar dan di dalam sel yang mengakibatkan bakteri mati (Suharsa et al., 2015). Resistensi pada ampisilin disebabkan oleh ekspresi gen, yaitu gen pengkode betalaktamase yang berlokasi pada kromosom bakteri Gram negatif. Gen ini mengkode enzim betalaktamase yang menginaktivasi cincin betalaktam ampisilin

dengan cara menghidrolisis cincin betalaktam tersebut, sehingga menjadi resisten terhadap ampisilin (Suharsa et al., 2015).

Kepekaan Enterobacter sp terhadap oksitetrasiklin:resisten sebesar 31,2%, intermedier 18,8%, dan sensitif sebanyak 50,0%. Sementara Singh et al. (2009) memperoleh 19,0% Enterobacter sp resisten terhadap oksitetrasiklin. Oksitetrasiklin bersifat bakteriostatik dengan cara mengikat unit ribosom sel kuman hingga mencegah terbentuknya amino-asetil-RNA (Singh et al., 2009). Hal tersebut menandakan bahwa semakin sering digunakannya antibiotika yang sama dengan dosis yang kurang tepat dapat menambah daya resisten bakteri terhadap antibiotika. Dengan demikian penggunaan antibiotik dengan kandungan ampisilin dan oksiterasiklin untuk pengobatan penyakit akibat infeksi Enterobacter sp. disarankan untuk dikurangi karena sudah memiliki tingkat resistensi lebih besar dari 15,0%. Namun penggunaan obat dengan kandungan antibiotika sulfametoksasol masih sangat disarankan karena memliki sensitifitas sebesar 81,2% sehingga efektif

untuk pengobatan penyakit pada ternak akibat infeksi bakteri Enterobacter sp.

Pola Resistensi Antibiotik Isolat

Enterobacter sp. Asal Sapi Bali

Pada Tabel 4. dapat dilihat dari 16 isolat Enterobacter sp. yang diuji kepekaannya ditemukan enam (6) pola resistensi antibiotika. Sebanyak 6/16 (37,5%) isolat

menunjukkan resistensi penuh, 5/16 (31,2%) isolat resistensi tunggal terhadap oksitetrasiklin, 1/16 (6, 2%) isolat resistensi tunggal terhadap ampisilin, 2/16 (12,5%) isolat resistensi tunggal terhadap sulfametoksasol. Sementara resistensi ganda sebanyak 1/16 (6,2%) isolat, dan resistensi penuh 1/16 (6,2%) isolat.

Tabel 4. Pola resistensi antibiotik Enterobacter sp. yang diisolasi dari swab hidung sapi bali.

Pola Resistensi                                      Jumlah sampel

Kepekaan penuh

SM (S), AMP (S), OT (S)

SM (S), AMP (S), OT (R)

6 (37,5%)

5 (31,2%)

Resistensi tunggal

SM (S), AMP (R), OT (S)

SM (R), AMP (S), OT (S)

1 (6, 2%)

2 (12,5%)

Resistensi ganda

SM (S), AMP (R), OT (R)

1 (6,2%)

Resistensi penuh

Total

SM (R), AMP (R), OT (R)

1 (6,2%)

16 (100,0%)

Pola-pola tersebut menandakan gambaran tingkat resistensi isolat terhadap antibiotika. Kepekaan penuh merupakan isolat sensitif terhadap sulfametoksasol, ampisilin, dan oksitetrasiklin. Sementara resistensi tunggal merupakan isolat bersifat resisten terhadap salah satu antibiotika yang digunakan. Resisten ganda adalah isolat hanya sensitif terhadap satu jenis dari tiga jenis antibiotika yang digunakan. Sedangkan resistensi penuh artinya kuman menunjukan sifat resisten terhadap ketiga jenis antibiotika. Dari data tersebut menandakan isolat Enterobacter sp. asal swab hidung sapi bali umumnya sensitif terhadap ketiga jenis antibiotika yang diuji. Resistensi adalah suatu keadaan kepekaan kuman terhadap obat menurun atau tidak ada. Menurut Levy dan Marshall (2004); Yenny dan Herwana (2007) bahwa keadaan peningkatan resistensi kuman terjadi karena kekurangan sistem sintetik pada sel kuman, kuman dilindungi oleh selaput sel yang dapat mencegah pengaruh obat, kuman menghasilkan enzim yang dapat merusak obat yang aktif. Pola resistensi kuman terhadap obat mungkin karena faktor genetik atau non genetik. Sifat genetik dapat menyebabkan suatu kuman sejak semula tidak peka (resisten) terhadap pengaruh antibiotika, yang dikenal sebagai

sifat resistensi alamiah. Kuman yang semula bersifat peka terhadap suatu antibiotika dapat berubah sifat genetiknya menjadi tidak peka disebabkan karena kuman memperoleh elemen genetik yang membawakan sifat resistensi (Suharsa et al., 2015).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sebanyak 13,3% sapi bali terinfeksi Enterobacter sp.. Hasil tertinggi terdapat pada pedet 6,7%, dara 5,0%, dan pada dewasa 1,7%. Infeksi Enterobacter sp pada dataran rendah 8,3% dan pada dataran tinggi 5,0%. Enterobacter sp. yang diisolasi dari swab hidung sapi bali secara umum sensitif terhadap ketiga jenis antibiotik yang digunakan.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang Enterobacter sp. pada sapi yang berpotensi zoonosis. Penggunaan antibiotik harus sesuai aturan dan takaran yang tepat dan uji kepekaan dilakukan secara periodik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih di sampaikan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dan Kepala

Laboratorium Mikrobiologi Veteriner yang telah memfasilitasi penelitian ini serta pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penelitian dan penulisan artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aranggo CJ, Hernandez CR, Suarez GF, Martinez MJJ, Aguilar RF, Jaramillo ML, Trigo J. 2007. Prevalence of Mannheimia haemolytica isolated from bovine nasal exudates and associated factorindairy farmsinthe North-Central of Mexico. J. Anim. Vet. 6: 404-409.

Asaye M, Biyazen H, Bezie M. 2015.

Isolation and characterization of respiratory tract bacterial species from domestic animals with pneumonic lungs from elphora abattoir, ethiopia. International J. Microbiol. Res. 6(1): 13-19.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2014. Geografi          dan         Iklim.

http://www.bali.bps.go.id. (Diakses Pada 5 Januari 2016).

Bhaskara IBM, Budiasa IK, Tono K. 2012. Uji kepekaan Escherichia coli sebagai penyebab kolibasilosis pada babi muda terhadap antibiotika oksitetrasiklin, streptomisin,      kanamisin      dan

gentamisin. Bul. Vet. Udayana. 1(2): 186-201.

Bisping W, Amtsberg G. 1988. Colour atlas for the diagnosis of bacterial pathogens in animals. Paul Parey Scientific Publishares. Berlin And Hamburg.

Brown AN, Smith K, Samuels TA, Jiangrui L, Obare SO, Scotta ME. 2012. Nanoparticles functionalized with ampicillin destroy multiple-antibioticresistant isolates of Pseudomonas aeruginosa     and     Enterobacter

aerogenes and methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Appl. Environ. Microbiol. 78(8): 2768-2774.

Carter GR, ColeJr JR. 1990. Diagnostic procedures in veterinary bacteriology and mycology. 5th Ed. Academic Press, Inc Harcourt Brace Jovanovich, Publishers.

Gabinaitiene A, Siugzdaite J, Zilinskas H, Siugzda R, Petkevicius S. 2011. Mycoplasma    bovisand    bacterial

pathogens in the bovine respiratory tract. Vet. Medicina. 56(1): 28–34.

Handriana IKJ, Suarjana GK, Tono K. 2015. Pola kepekaan Escherichia coli yang diisolasi dari feses burung kicau penderita diare terhadap antibiotik sulfametoksazol, ampisilin, dan oksitetrasiklin. Bul. Vet. Udayana. 7(2): 157-160.

Hartel H, Nikunen S, Neuvonen E, Tanskanen R, Kivela S, Aho P, Soveri T, Saloniem H. 2004. Viraland bacterial pathogens in bovine respiratory disease in      Finland.      Actaveterinaria

Scandinavica, 45: 193-200.

Kardiasih S. 2004. Performans sapi bali berdasarkan ketinggian tempat di daerah transmigrasi Bengkulu: Performans Pertumbuhan. J. Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesi. 6(1): 50-56.

Koneman, E.W., Allen, S.D., Dowell, V.R. dan Sommers, H.M. 1983. Color atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology. 2nd Ed, J.B. Lippincott Company. Philadelphia.

Levy SB, Marshall B. 2004. Antibacterial resistance     worldwide:     causes,

challenges and responses. Nat. Med. Supp. 10(12): 122-129.

Mader TL, Davis MS, Brown-Brandl TM. 2006.     Environmental     factors

influencing heat stressin feedlot cattle. J. Anim. Sci. 84: 712-719.

Ojo OE, Ogunyinka OG, Agbaje M, Okubuye JO, Kehinde OO, Oyekunle MA. 2012. Enterobacteriaceae isolated from free-range chickens in Abeokuta, Nigeria. Veterinarski. Arhiv. 82(6): 577-589.

Publi Health England  (PHE).  2015.

Identification of Enterobacteriaceae. UK Standards For Microbiology Investigations (Smis).

Sari SRPW, Suartha IN, Batan IW. 2016. Status praesen pedet sapi bali. Bul. Vet. Udayana. 8(1): 36-43.

Sartono IM, Treman IW, Suditha IN. 2013. Pemetaan     persebaran     lahan

perkebunan sistem tumpang sari beda umur di Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli. Jurusan Pendidikan Geografi Undiksha, Jalan Udayana Kampus Temgah Undiksha.

Singh AK, Rathore G, Singh V, Mani I, Mishra SK, Mishra BN, Verma OP.

2009. Bacterial resistance to oxytetracycline in different life stages of Indian freshwater carp aquaculture system. Int. J. Microbiol. Res. 1(1): 2534.

Suharsa IWA, Suarjana IGK, Tono K. 2015. Pola kepekaan Escherichia coli yang diisolasi dari feses broiler penderita       diare       terhadap

sulfametoksazol, ampisilin dan

oksitetrasiklin. Bul. Vet. Udayana. 7(2): 101-106.

Suwiti NK. 2008. Identifikasi daging sapi bali dengan metode histologi. Majalah Ilmiah Peternakan. 11(1): 0853-8999.

Weese JS. 2008. Investigation of Enterobacter cloacae infections at a small animal veterinary teaching hospital, Vet. Microbiol. 130(3-4): 426428.

Wilberger MS, Anthony KE, Sasha R, McClain M, Luiz EB. 2012. Betalactam antibiotic resistance among Enterobacter spp. Isolated from Infection in Animals. Adv. Microbiol. 2: 129-137.

Yenny, Herwana E. 2007. Resistensi dari bakteri enterik: aspek global terhadap antimikroba. Universa Medicina. 26(1): 46-56.

161