RADIOGRAPH OF THE USE OF PIG’S BONE AS GRAFT MATERIAL TO FEMUR FRACTURE TREATMENT IN DOGS
on
Volume 11 No. 1: 21-27
Pebruari 2019
DOI: 10.24843/bulvet.2019.v11.i01.p04
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Peringkat 3, DJPRP Kementerian Ristekdikti No. 21/E/KPT/2018, Tanggal 9 Juli 2018
Gambaran Radiografis Penggunaan Tulang Babi Sebagai Bahan Cangkok untuk Penanganan Fraktur Femur pada Anjing
(A RADIOGRAPH OF THE USE OF PIGBONES AS A GRAFT MATERIAL FOR FEMUR FRACTURE TREATMENT IN DOGS)
Luh Made Sudimartini*, I Wayan Wirata, Anak Agung Gde Oka Dharmayudha, I Wayan Nico Fajar Gunawan, Putu Henrywaesa Sudipa
Departemen Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jl. PB Sudirman, Denpasar Bali. *Email: [email protected]
ABSTRAK
Fraktur merupakan salah satu kasus yang dapat terjadi pada hewan kesayangan terutama anjing dan kucing. Prinsip penanganan kasus fraktur yaitu melakukan reposisi dan imobilisasi pada daerah fraktur. Kerusakan tulang yang besar karena trauma dapat menghambat kesembuhan dan menyebabkan cacat tulang, sehingga diperlukan bahan cangkok tulang untuk merangsang proses penyembuhan dan untuk mengisi bagian tulang yang hilang. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gambaran radiografis penggunaan tulang babi sebagai bahan cangkok untuk penanganan kasus fraktur pada anjing. Delapan ekor anjing jantan umur tiga sampai empat bulan digunakan dalam penelitian ini, yang dibagi menjadi dua kelompok secara acak. Kelompok I berjumlah dua ekor adalah Anjing yang dipergunakan sebagai kontrol, yaitu anjing yang pada diaphysis tulang femurnya dibor dengan diameter 1 cm tanpa pemberian bahan cangkok. Kelompok II berjumlah enam ekor yang dibor seperti kelompok I dan diberi bahan cangkok. Monitoring perkembangan kesembuhan dilakukan berturut-turut pada 24 jam, minggu ke dua, ke empat dan ke delapan pasca operasi dengan pemeriksaan foto rontgent. Hasil analisis radiografis menunjukkan telah terjadi penyatuan dan mineralisasi fragmen tulang pada minggu kedelapan pasca operasi pada kelompok II dengan densitas tulang sudah tampak normal.
Kata kunci: Anjing, cangkok tulang, fraktur, gambaran radiologi, tulang babi
ABSTRACT
Fracture is one of the cases that may occur in pets, especially dogs and cats. The principle to handling the cases of fracture is repositioned and immobilized the fracture area. Severe bone damage due to trauma can inhibit healing process and cause bone defects, so that graft material is needed to stimulate the healing process and to fill in the missing bone. This research was aimed to study radiographic imaging of the use of pig bones as a graft material for fractures treatment in dogs. Eight male dogs at aged 3-4 months were used in this study and were divided into two groups randomly. Group I (control) was two dogs who their bone diaphysis femur was drilled with a diameter of 1 cm without giving graft material. Group II was six dogs who were drilled as Group I and were given a graft material. Monitoring of the recovery progress were done by Rontgent, was conducted at 24 hours, 2nd week, 4th week and 8th week post-surgery. Radiographic analysis showed that there has been a unification and mineralization of bone fragments in the 8th week post-surgery in the group II with bone density already seemed normal.
Keywords: Dogs, bone graft, fracture, radiograph, pig bones.
PENDAHULUAN
Fraktur merupakan salah satu kasus yang dapat terjadi pada hewan kesayangan terutama anjing dan kucing. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Pada saat patah tulang terjadi kerusakan substansia dari jaringan lunak, periosteum terpisah dari tulang, perdarahan ekstensif dan laserasi serta kerusakan muskular (Piermattei et al., 2006). Kerusakan tulang yang parah akibat trauma, dimana banyak fragmen patahan
tidak bisa dipertahankan sehingga dapat menghambat kesembuhan tulang. Selain itu, kesembuhan yang terhambat (delayed union) atau komplikasi kegagalan kesembuhan (nonunion) setelah operasi juga menjadi penyebab kerusakan tulang. Secara umum, fraktur sederhana mudah ditangani dengan cara memfiksasi fragmen patahan tulang menggunakan pin intrameduller maupun eksternal fiksator. Namun, pada fraktur multiple, patahan tulang kecil amat sulit untuk disatukan kembali, baik menggunakan pin maupun eksternal fiksator, sehingga dalam kasus ini diperlukan metode khusus, yaitu pencangkokan tulang (bone grafting) untuk merangsang proses penyembuhan dan untuk mengisi bagian tulang yang hilang (Finkemeier, 2002). Pencangkokan tulang didefinisikan sebagai teknik operasi untuk mengganti tulang yang hilang menggunakan material bahan cangkok tulang. Cangkok tulang dilakukan terutama untuk : (1) Meningkatkan bagian tulang yang hilang akibat kesembuhan fraktur dengan menstimulasi pembentukan callus. (2) Mengisi kesenjangan kesinambungan tulang dengan mengisi bagian kortek yang hilang akibat fraktur dan menstimulasi serta meningkatkan pembentukan callus. (3) Menggantikan bagian kortek yang hilang akibat fraktur atau penghilangan dengan sengaja bagian tulang akibat tumor tulang dan (4) Mengisi bagian yang hilang dari tulang setelah eksisi kista atau tumor tulang (Piermattei et al., 2006).
Bahan yang digunakan sebagai sumber bahan cangkokan dapat dibagi menjadi tiga yaitu : (1) Autograft atau autogenus graft : Cangkok tulang yang ditransplantasikan secara langsung dari satu daerah kerangka individu ke dalam nya atau tulangnya sendiri. Autograft lebih banyak digunakan pada kebanyakan kasus karena aman dan resiko penularan penyakit sangat rendah dan histokompatibilitas (Finkemeier, 2002). (2) Allograft: cangkok tulang yang berasal dari donor (hewan lain satu spesies). Tulang Allografts didistribusikan melalui bank jaringan regional (Greenwald,
2008); (3) Xenograft : cangkokan tulang yang berasal dari individu dan spesies berbeda. Mempunyai kemampuan osteogenic paling kecil dibanding autograft dan allograft. Bahan cangkok tulang yang ideal harus memiliki potensi untuk mempertahankan sel tetap hidup, tidak menimbulkan reaksi imunologi, mudah didapat, dan memberi kekuatan sekeliling tulang, serta tidak menyebarkan penyakit. Salah satu sumber bahan cangkok yang sering digunakan pada manusia berasal dari tulang babi (Nannmark and Sennerby, 2008; Orsini et al., 2006). Alasan penggunaan tulang babi karena secara makrostruktur, mikrostruktur, komposisi dan proses remodeling tulang sangat mirip dengan tulang manusia (Pearce et al., 2007). Dari hasil penelitian terkini, penggunaan bahan cangkok asal tulang babi memberikan hasil paling baik dalam bedah rekonstruksi tulang pada manusia. Keberhasilan penggunaan bahan cangkok asal tulang babi ini menjadi inspirasi untuk diterapkan di dunia kedokteran hewan dalam penanganan kasus bedah orthopedik pada hewan kesayangan terutama anjing. Penggunaan bahan cangkok tulang yang berasal dari spesies lain (bone xenograft) memiliki kelemahan seperti dapat menimbulkan reaksi imunologi pada resipien tetapi kelebihannya diketahui memiliki sifat osteoinduksi dan osteokonduksi. Sifat osteokonduksi bahan cangkok berperan sebagai pengisi celah fragmen fraktur dan kerangka untuk memacu pertumbuhan jaringan tulang baru yang biasanya diletakkan pada jaringan resipien. Sedangkan daya osteoinduksi berkaitan dengan kemampuan bahan cangkok untuk mengadakan regenerasi struktur jaringan yang hilang dan menghasilkan tulang baru melalui stimulasi growth factors. Pada kasus fraktur, salah satu indikator keberhasilan pengobatan dapat dilihat melalui pembentukan kalus, fusi antarsegmen dan tingkat densitas tulang dengan foto rontgen (Bigham et al., 2009). Rontgen juga digunakan dalam menilai struktur tulang trabecular dan
densitas mineral tulang (Xu et al., 2015). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran radiografis
penggunaan bahan cangkok asal tulang babi dalam penanganan fraktur pada anjing.
METODE PENELITIAN
Pembuatan bahan cangkok
Pembuatan bahan cangkok asal tulang kortek babi meliputi proses demineralisasi. Proses pembuatan bahan cangkok demineralisasi meliputi tulang dibersihkan dari sisa-sisa otot dan jaringan lemak menggunakan scalpel, kemudian tulang dipotong dengan ukuran 1 x 1 cm. Potongan tulang dicuci menggunakan aquades dan selanjutnya dengan Nacl 0.9%. Potongan tulang yang sudah bersih kemudian direndam selama 12 jam menggunakan chloroform-methanol (rasio 1:1) untuk menghilangkan lemak (defatting) dan protein (deproteinizing). Potongan tulang direndam dalam HCl 4% selama 2 minggu pada suhu ruangan dan larutan HCl diganti setiap 48 jam. Demineralisasi yang sempurna ditandai dengan konsistensi tulang menjadi lunak dan translucent (transparan), kemudian potongan dicuci menggunakan aquades sampai bersih dan dilanjutkan pencucian menggunakan alkohol 70%, kemudian di masukkan dan disimpan dalam tabung yang berisi alkohol 70% sampai diaplikasikan.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan delapan ekor anjing jantan lokal dengan umur 3-4 bulan dengan berat badan 4-5 kg. Anjing diadaptasikan terlebih dahulu selama dua minggu, ditempatkan pada kandang individu. Selama adaptasi lingkungan, semua anjing diberikan antihelmintik (Caniferm) dan divaksinasi menggunakan DHPPi2 (EURICAN 4). Pakan yang diberikan yaitu pakan komersial (merk Canine Selection) dan air minum ad libitum. Anjing kemudian dibagi menjadi 2 kelompok secara acak. Anjing kelompok I berjumlah dua ekor adalah anjing yang dipergunakan sebagai kontrol, yaitu anjing
pada diafisis tulang femurnya dibor dengan diameter 1 cm tanpa pemberian bahan cangkok. Anjing kelompok II berjumlah enam ekor adalah anjing yang pada diafisis tulang femurnya dibor dengan diameter 1 cm dan diberi bahan cangkok yang didemineralisasi. Selanjutnya monitoring perkembangan kesembuhan dilakukan berturut-turut pada 24 jam, minggu ke-2, ke-4 dan ke-8 pasca operasi dengan dilakukan pemeriksaan foto rontgen. Salah satu indikator keberhasilan penggunaan bahan cangkok dapat dilihat melalui pembentukan kalus, fusi antar segmen dan tingkat densitas tulang dengan foto rontgen (Bigham et al., 2009).
Teknik Operasi
Sebelum operasi dilakukan, anjing dipuasakan selama 12 jam, selanjutnya disuntikan premedikasi atropine sulfat (0,04 mg/Kg BB) secara subkutan. Lima belas menit kemudian anjing dianestesi menggunakan kombinasi ketamin (10 mg / Kg BB) dan xylazin HCL (2 mg / Kg BB) secara intramuskuler. Anjing diposisikan rebah lateral kanan pada meja operasi, kemudian rambut di daerah femur kiri dicukur hingga bersih setelah itu kulit diolesi dengan alkohol 70% dan larutan iodine povidone. Duk/kain draping yang steril dipasang untuk menutup area operasi termasuk tubuh anjing kecuali pada daerah kepala. Irisan kulit dilakukan pada sepanjang craniolateral tulang yang segaris dari trochanter mayor ke patella, demikian juga untuk jaringan subkutannya. Kulit dan jaringan subkutan diretraksi, facia lata diiris pada sepanjang tepi kranial muskulus biceps femuris. Setelah fasia diiris maka akan tampak septum muskulus. Muskulus biceps femuris ditarik ke kaudal dan muskulus vastus lateralis ditarik ke kranial sehingga akan tampak bagian permukaan tulang femur. Penarikan ini dilakukan perlahan-lahan untuk menghindari terjadinya perobekan pada muskulus. Dengan menggunakan mesin bor tulang (boor low speed), tulang femur dilubangi sampai pada bagian medula dengan
diameter 1 cm sebagai tempat pemasangan bahan cangkok. Setelah itu muskulus dijahit dengan menggunakan vicryl ukuran 000 dan kulit dengan menggunakan benang silk.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan secara radiologis pada 24 jam pasca operasi pada semua kelompok kontrol dan perlakuan menunjukkan belum terlihat adanya kalus
yang terbentuk disekitar fragmen tulang yang hilang maupun yang diganti dengan bahan cangkok. Kalus belum terbentuk karena 24 jam pasca operasi merupakan fase inflamasi, yang dimulai segera setelah terjadi gangguan pada tulang dan jaringan lunak disekitarnya (Harwood et al., 2010). Peradangan yang muncul puncaknya terjadi dalam 48 jam dan menghilang hampir sepenuhnya dalam 1 minggu setelah terjadi fraktur.

Gambar 1. Radiografis tulang femur anjing kelompok kontrol (Kiri) dan perlakuan (kanan) pada 24 jam pascaoperasi memperlihatkan adanya gambaran radiolusen pada tulang diafisis femur dengan diameter 1 cm. Belum terbentuknya pita kalus.

Gambar 2. Radiografis tulang femur anjing kelompok kontrol (kiri) dan Perlakuan (kanan) pada 2 minggu pasca operasi memperlihatkan adanya gambaran radiolusen pada tulang diafisis femur dengan diameter 1 cm. Mulai terbentuknya pita kalus tipis pada sekitar/tepi tulang yang dibor (fragmen yang hilang).


Gambar 3. Radiografi tulang femur anjing kelompok kontrol (Kiri) pada 4 minggu pascaoperasi memperlihatkan adanya gambaran radiolusen pada tulang diafisis femur dgn diameter 1 cm. Sudah terbentuknya pita kalus yang lebih tebal dengan gambar terlihat lebih radiopak pada semua individu. Sedangkan pada kelompok perlakuan (kanan), tulang sudah kembali seperti semula (normal).


Gambar 4. Radiografi tulang femur kiri kelompok kontrol (kiri) pada minggu kedelapan pasca operasi memperlihatkan fragmen tulang yang hilang (tanda panah) sudah hampir menyatu, ukuran kalus mengecil dan hampir menyerupai tulang normal. Sedangkan pada kelompok perlakuan (kanan) bahan cangkok sudah menyatu dengan tulang femur (tanda panah).
Hasil pengamatan secara radiologis pada minggu kedua pasca operasi pada semua kelompok telah terbentuk kalus. Terbentuknya kalus pada pemeriksaan radiologi merupakan indikasi pertama terjadinya penyembuhan fraktur (Harwood et al., 2010), dan mineralisasi akan terlihat pada minggu ke 1-3, diawali dengan mineralisasi yang minimal kemudian menyatu membentuk bony callus, dan secara cepat trabekular akan berkembang
menjadi callus yang lebih teratur (Graham, 2007). Pada saat terjadinya proses mineralisasi, bagian ujung tulang akan secara bertahap membentuk amplop di dalam kalus dan unit fraktur (Harwood et al., 2010). Produksi kalus dibutuhkan pada proses kesembuhan tulang untuk menghubungkan fragmen tulang yang rusak/patah.
Hasil pengamatan secara radiologis pada minggu keempat pasca operasi pada
semua kelompok memperlihatkan hanya kelompok kontrol yang belum tertutup kalus secara sempurna. Adanya gap antar fragmen dapat menghambat suplai darah pada lokasi fraktur sehingga pembentukan kalus juga terhambat. Pada kelompok II yang diberi bahan cangkok terlihat adanya kalus yang lebih kompak dengan gambaran yang lebih radiopak. Hal ini disebabkan karena bahan cangkok sudah mengalami degradasi namun belum sempurna, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Puricelli et al. (2010), dimana demineralized bone graft mampu terdegradasi dengan baik mulai 30-60 hari pasca implantasi, namun belum terjadi mineralisasi dari tulang rawan (Plata et al., 2002).
Hasil pengamatan radiologis minggu kedelapan pasca operasi pada kelompok kontrol dan perlakuan memperlihatkan penyatuan fragmen tulang kembali ke bentuk normal, masa kalus yang terbentuk sudah mengalami mineralisasi dan terjadi proses penyerapan oleh tubuh, hal ini terlihat pada tulang yang sudah terlihat normal. Kesembuhan fraktur yang sempurna ditandai dengan perbaikan sirkulasi darah di daerah patahan yang akan memperlancar pembentukan kalus dan mineralisasi kalus sehingga akan terlihat radiopaque pada gambaran foto rontgen, kalus yang terbentuk diharapkan kokoh dan cukup stabil untuk menjembatani kedua fragmen tulang dan menjaga stabilitas temporer dari tulang.
SIMPULAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa bahan cangkok asal tulang babi dapat dipergunakan sebagai bahan cangkok alternatif yang efektif untuk penanganan kasus fraktur pada anjing.
Saran
Penelitian yang lebih mendalam dengan waktu pengamatan yang lebih lama tentang mekanisme seluler dan molekuler dari kesembuhan fraktur yang memerlukan
bahan cangkok yang sama untuk kedua kalinya perlu dilakukan untuk mengetahui adanya respon imunologis.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada LPPM Universitas Udayana yang telah memberikan pendanaan melalui Hibah Unggulan Program Studi Tahun 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Bigham AS, Dehghani SN, Shafiei Z, Nezhad ST. 2009. Experimental bone defect healing with xenogenic demineralized bone matrix and bovine fetal. Growth plate as a new xenograft: radiological, histopathological and biomechanical evaluation. Cell Tissue Bank. 10:33–41.
Finkemeier CG. 2002. Bone Grafting and Bone Graft substitutes. J. Bone. Joint. Surg. Am. 84: 454-464.
Graham J P. 2007. When to Panic About That Fracture Repair. 79th Western Veterinary Conferences.
Greenwald AS, Bodes SD, Goldberg. 2008. Bone-Graft Substitutes: Fact, fictions and applications. 75th Annual Meeting American Academy of Orthopaedic Surgeons. March 5-9, 2008. San
Francisco, California.
Harwood PJ, Newman JB, Michael ALR. 2010. An update fracture healing and nonunion. Orthopedics and Trauma. 24:1.
Nannmark U, Sennerby L. 2008. The bone tissue responses to prehydrated and collagenated corticocancellous porcine bone grafts: a study in rabbit maxillary defects. Clin. Impl. Dent. Rel. Res. 10: 264-270.
Orsini G, Scarano A, Piatelli M, Piccirilli M, Caputi S, Piattelli A. 2006. Histologic and ultrastructural analysis of the regenerated bone in maxillary sinus augmentation using a porcine bone derived biomaterial. J. Periodontol. 77:1984-1990.
Pearce IA, Richards RG, Milz S, Schneider E, Pearce SG. 2007. Animal model for implant biomaterial research in bone: A review. Eur.Cells Materials. 13: 1-10.
Piermattei D, Flo G, DeCamp C. 2006. Handbook of Small Animal Orthopedics and fracture Repair. Fourth edition. Saunders Elsevier. St. Louis Missouri. 63146.
Plata DV, Scheyer ET, Mellonig JT. 2002. Clinical comparison of an enamel matrix derivative used alone or in combination with a bovinederived xenograft for treatment of periodontal
osseus defect in humans. J. Periodontol. 73: 433-40.
Puricelli E, Corsetti A, Ponzoni D, Martins GL, Leite GM, Santos LA. 2010. Characterization of bone repair in rat femur after treatment with calcium phosphate cement and autogenus bone graft. J. Head. Face. Med. 6:10.
Xu W, Spilker G, Weinand C. 2015. Methodological consideration of various intraosseus and heterotopic bone grafts implantation in animal models. J. Tissue Sci. Eng. 6(3): 1-8.
27
Discussion and feedback