EIMERIA AUBURNENSIS AND EIMERIA BOVIS OF PROTOZOA GASTROINTESTINAL INFECTED ON FEMALE BALI CATTLE IN NUSA PENIDA
on
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Volume 9 No.1: 112-116
Pebruari 2017
DOI: 10.21531/bulvet.2017.9.1.112
Protozoa Gastrointestinal: Eimeria Auburnensis dan Eimeria Bovis Menginfeksi Sapi Bali Betina Di Nusa Penida
(EIMERIA AUBURNENSIS AND EIMERIA BOVIS OF PROTOZOA GASTROINTESTINAL INFECTED ON FEMALE BALI CATTLE IN NUSA PENIDA)
Anak Agung Sagung Indraswari1, Ni Ketut Suwiti2, Ida Ayu Pasti Apsari3
-
1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
-
2Laboratorium Histologi Veteriner, 3Laboratorium Parasitologi Veteriner Universitas Udayana. Jl. PB. Sudirman Denpasar Bali, Email: [email protected]
ABSTRAK
Infeksi protozoa gastrointestinal masih menjadi faktor yang mengganggu kesehatan sapi bali dan menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak. Sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida ditetapkan sebagai sapi bali murni. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan mengidentifikasi jenis protozoa gastrointestinal di Nusa Penida. Sampel berupa feses diambil dari 100 ekor sapi bali betina, diperiksa dengan metode mengikuti teknik Zajac and Conboy (2012). Identifikasi dilakukan berdasarkan morfologi dan morfometri. Sedangkan prevalensinya ditentukan dengan jumlah sampel terinfeksi dibagi dengan jumlah sampel yang diperiksa dan dikalikan seratus persen. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi protozoa gastrointestinal yang menginfeksi sapi bali betina di Nusa Penida sebesar 12% dengan dua jenis protozoa yaitu Eimeria auburnensis dan Eimeria bovis.
Kata kunci: sapi bali, Nusa Penida, Eimeria auburnensis, Eimeria bovis
ABSTRACT
Gastrointestinal protozoal infections still be factors which affect health bali cattle and causing economic losses for farmers. Bali cattle reared in Nusa Penida designated as pure. Therefore, this study aimed to determine the prevalence and identify the type of gastrointestinal protozoa in Nusa Penida. A sample of faeces were taken from 100 cows bali female, checked using Zajac and Conboy method (2012). The identification is based on morphology and morphometry. While the prevalence is determined by the way, the number of infected samples divided by the number of samples examined and multiplied by one hundred percent. Results showed the prevalence of gastrointestinal protozoa that infects of Bali cattle female at Nusa Penida is twenty percent, with two types of protozoa infection is Eimeria auburnensis and Eimeria bovis.
Keywords: Bali cattle, Nusa Penida, Eimeria auburnensis , Eimeria bovis
PENDAHULUAN
Nusa Penida sebuah kepulauan yang termasuk wilayah Kabupaten Klungkung, dan telah ditetapkan sebagai wilayah pembibitan dan pemurnian sapi bali. Sapi bali yang terpelihara di Nusa Penida terbebas dari beberapa penyakit strategis seperti Jembrana dan Septicemia Epizootica (SE), demikian juga dengan daya tahan dan adaptasinya lebih baik dibandingkan dengan sapi bali yang dipelihara di wilayah lainnya, dapat hidup
dan tumbuh dengan pakan yang seadanya, karena kondisi lahan yang dikatagorikan lahan kritis (Patmawati et al., 2013; Siswanto et al., 2013).
Sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida lebih difokuskan untuk pembibitan, bibit sapi bali yang dimaksud adalah sapi bali betina. Sapi bali betina yang baik memiliki kriteria fenotipik dan kualitas, dapat dilihat dari bentuk tubuh dan ukurannya yang bagus dan sehat. Untuk mencapai kualitas tersebut saat ini masih
mengalami kendala karena terbatasnya sumber air, selain dapat meningkatkan infeksi parasit.
Cara pemeliharaan sapi bali di Nusa Penida, sangat memungkinkan timbulnya infeksi parasit, keadaan kandang yang becek dan kotor, disebabkan oleh feses bercampur dengan urin. Keadaan yang kotor tersebut sangat memungkinkan bagi hidupnya parasit (Soulsby, 1982). Infeksi parasit akan mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan terutama pada ternak muda (Nofyan et al., 2010).
Infeksi parasit internal masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan ternak dan berdampak kerugian ekonomi yang besar. Faktor tersebut tidak terlepas dari segitiga epidemiologi yaitu host, agen, dan lingkungan. Salah satu infeksi parasit adalah protozoa gastrointestinal yang hidup pada saluran pencernaan dan berdampak sangat buruk bagi kesehatan sapi bali. Hal ini disebabkan protozoa gastrointestinal menginfeksi saluran pencernaan sehingga mengalami penurunan dalam penyerapan nutrisi, dan menyebabkan keterlambatan pertumbuhan sehingga kualitas sapi bali menurun (Rahmi et al., 2010; Astiti et al., 2011). Penyakit protozoa pada sapi dikenal dengan coccidiosis dan penyebabnya adalah coccidia. Penelitian tentang coccidia sudah dilakukan pada sapi bali di beberapa daerah di Bali, namun belum pernah dilakukan identifikasi tentang spesies coccidia yang ditemukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui infeksi protozoa gastrointestinal dan mengidentifikasinya serta membedakan kejadiannya pantara sapi bali yang dikandangkan dengan kandang koloni dan individu.
METODE PENELITIAN
Sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan 100 sampel feses sapi bali betina, diambil dari 60 ekor feses sapi bali yang dipelihara dengan cara dikandangkan dan 40 ekor
dari fese sapi bali yang tidak dikandangkan. Selanjutnya sampel dimasukkan dalam kalium bikromat 2,5%.
Metode Penelitian
Pemeriksaan feses dengan metode konsentrasi pengapungan dengan gula sheater. Cara kerjanya mengikuti teknik Zajac and Conboy (2012 dengan cara sebagai berikut : feses sebesar biji kemiri atau kurang lebih seberat 3 gram dimasukkan ke dalam gelas beker dan ditambahkan air 30 ml sehingga konsentrasinya 10%, kemudian diaduk sampai homogen. Selanjutnya disaring untuk menyingkirkan bagian yang berukuran besar, kemudian hasilnya ditampung dengan gelas beker yang lain. Filtrat dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge sampai ¾ volume tabung atau skala 10. Sentrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm selama 2-3 menit. Tabung sentrifuge dikeluarkan, supernatannya dibuang sehingga tersisa endapan. Ditambahkan larutan pengapung sampai ¾ volume tabung atau skala 10, diaduk atau dikocok sampai sedimennya homogen. Suspensi ini disentrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm selama 2-3 menit. Tabung sentrifuge secara hati-hati dikeluarkan dari dalam sentrifugator dan selanjutnya ditaruh pada rak tabung reaksi dengan posisi tegak lurus. Selanjutnya cairan pengapung ditambahkan secara perlahan dengan cara meneteskannya menggunakan pipet Pasteur sampai permukaan cairan cembung. Ditunggu selama 1-2 menit dengan tujuan memberikan kesempatan parasit untuk mengapung ke permukaan. Gelas penutup diambil, kemudian disentuhkan pada permukaan cairan yang cembung dan setelah itu ditempelkan di atas gelas obyek. Pemeriksaan dilakukan dengan mikroskop pembesaran obyektif 40X dan identifikasi berdasarkan morfologi dan morfometri (Levine, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seratus sampel feses sapi bali betina yang diambil dari sapi bali yang dipelihara
dengan cara dikandangkan koloni dan individu (konvensional), di Nusa Penida, didapatkan prevalensi seperti tersaji pada Gambar 1.
Gambar 1 Prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal sapi bali betina di Nusa Penida
Jenis protozoa diidentifikasi berdasarkan morfologi, disajikan pada Gambar 2 dan 3 dan
morfometri/ukurannya disajikan pada Tabel 1.
Gambar 2 Eimeria auburnensis
Keterangan: A. Berbentuk ovoid, agak rata pada ujung yang kecil, dinding licin, micropyle (1), lapisan luar dinding ookista (2), lapisan dalam ookista (3). B. Ukuran diameter 37,962 x 28,869 µm
Gambar 3 Eimeria bovis
Keterangan: A. Berbentuk ovoid, dinding berlapis dua, lapisan luar tidak berwarna (1), lapisan dalam kuning kecoklatan(2), micropyle (3). B. Ukuran diameter 29,370 x 19,558 µm
Jenis protozoa gastrointestinal pada sapi bali diidentifikasi berdasarkan ukuran seperti yang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Identifikasi Protozoa Gastrointestinal Sapi Bali Betina di Nusa Penida
Ukuran Diameter |
Teridentifikasi | |
Panjang |
Lebar |
Eimeria |
37,962 µm |
28,869 µm |
auburnensis |
29,370 µm |
19,558 µm |
Eimeria bovis |
Prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada sapi bali betina yang ada di Nusa Penida adalah 12%. Sapi bali yang terinfeksi protozoa, beberapa memiliki feses yang agak encer. Hal ini disebabkan infeksi protozoa dapat menimbulkan gejala diare (Urquhart, 1996; Zajac dan Conboy, 2012).
Hasil pengamatan identifikasi protozoa gastrointestinal sapi bali betina di Nusa Penida, ditemukan dua jenis protozoa yaitu Eimeria auburnensis dan Eimeria bovis, dan hanya ditemukan pada sapi bali betina yang dikandangkan. Berdasarkan morfometri didapat ukuran Eimeria 37,962 x 28,869 µm dan 29,370 x 19,558 µm. Menurut Levine (1995) ukuran ookista antara 32-46 x 19-30 µm terindentifikasi Eimeria auburnensis dan ukuran ookista antara 23-24 x 17-23 µm terindentifikasi Eimeria bovis.
Adanya infeksi protozoa ini disebabkan, pemeliharan sapi bali di Nusa Penida masih bersifat konvensional, walaupun sudah dikandangkan. Bibit sapi bali di Nusa Penida yang dikandangkan, namun kebersihan kandang di sekitar sapi bali tersebut sangat buruk seperti feses yang terjatuh tidak dibersihkan hingga menumpuk, begitu juga urin yang tersebar dimana-mana. Kondisi ini memudahkan ookista yang ada pada feses dapat bersporulasi dengan baik. Ookista setelah di luar tubuh induk semangnya akan mengalami sporulasi. Adanya oksigen, suhu, kelembaban, dan kurangnya kontak langsung dengan radiasi sinar ultraviolet (UV), mendukung kelangsungan hidup
ookista dan bersporulasi (Soulsby, 1982; Purwanta et al., 2009)
Spesies eimeria yang sering ditemukan pada sapi ada yang bersifat patogen, kurang patogen, dan tidak patogen. Berdasarkan morfometri didapat spesies Eimeria auburnensis dan Eimeria bovis. Eimieria auburnensis merupakan spesies coccidia yang termasuk kurang patogen. Spesies ini jarang menimbulkan gejala klinis. Eimeria bovis adalah salah satu dari dua coccidia sapi yang paling patogen. Gejalanya ditandai dengan diare atau disentri, tenesmus, dan temperatur badan naik dan sering diikuti dengan kematian. Perubahan patologis yang paling hebat terjadi di dalam sekum, kolon, dan 0,3 m terminal ileum, dan disebabkan oleh gamont-gamont. Mula-mula mukosa mengalami pembendungan bersifat oedem dan menebal, disertai dengan petekhiae atau perdarahan-perdarahan difus. Kemudian mukosa rusak dan terkelupas. Kerusakan juga dapat terjadi pada submukosa. Sapi bali di Nusa Penida yang terinfeksi protozoa gastrointestinal ini tidak menunjukkan gejala klinis. Infeksi protozoa gastrointestinal pada sapi bali hingga menunjukkan gejala klinis tergantung pada jumlah spesies yang menginfeksi walaupun spesies yang menginfeksi bersifat patogen jika hanya terdapat satu spesies tidak menunjukkan gejala klinis tersebut ( Levine, 1995).
Protozoa gastrointestinal yang menginfeksi sapi bali betina di Nusa Penida adalah Eimeria aurbunensis dan Eimeria bovis. Cara penularan melalui tertelannya ookista bersama dengan makanan yang terkontaminasi ookista yang telah bersporulasi. Makanan terkontaminasi oleh ookista yang berasal dari feses yang menumpuk. Ookista berspora dapat bertahan untuk waktu yang lama di bawah kondisi lingkungan yang menguntungkan. Bahkan menurut Purwanta et al. (2009) kebanyakan ookista berspora tahan terhadap lingkungan ekstrim dan infektif untuk host berikutnya yang menelannya. Parasit Eimeia sp
merupakan parasit gastrointestinal dari kelompok protozoa penyebab penyakit coccidiosis. Pada sapi ditandai dengan gejala klinis yang khas yaitu diare berdarah (Siswanto et al., 2013).
Penelitian yang dilakukan di Desa Woso Kecamatan Bungku Barat Kabupaten Morowali terhadap 20 sampel sapi bali, didapatkan 2 ekor sapi bali terinfeksi dengan prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal adalah 10% teridentifikasi Eimeria sp (Widnyana 2013). Sapi bali yang ada di Gerokgak, Buleleng, Bali terindentifikasi protozoa gastrointestinal jenis Eimeria sp (Kertawirawan, 2013). Prevalensi terbanyak yang terinfeksi Eimeria sp ditemukan pada sapi bali dengan kebersihan lingkungan yang rendah (Kertawirawan, 2013). Oleh karena itu faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya infeksi protozoa gastrointestinal adalah kebersihan lingkungan kandang dan sapi bali tersebut. Di Nigeria prevalensi parasit gastrointestinal tertinggi adalah coccidia dibandingkan parasit gastrointestinal (Juliet et al. 2013 dan Ibukun & Oludunsin, 2015). Tingkat infeksi protozoa gastrointestinal meningkat dapat disebabkan oleh kebersihan kandang yang rendah dan dapat mendorong penyebaran penyakit (Adejinmi dan Osayomi, 2010)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sapi bali betina di Nusa Penida terinfeksi protozoa gastrointestinal sebanyak 12% yang terdiri dari Eimeria auburnensis dan Eimeria bovis.
Saran
Sapi bali yang dikandangkan sebaiknya rutin dibersihkan dari kotoran feses dan urin dan pakan yang diberikan pada sapi bali perlu dijaga agar tidak memungkinkan parasit lain dapat menginfeksi sapi bali.
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Laboratorium Parasitologi FKH Unud, Laboratorium Histologi FKH Unud dan semua pihak yang turut membantu dalam proses penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adejinmi JO, Osayomi JO. 2010. Prevalence of intestinal protozoan parasites of dogs in Ibadan, South Western Nigeria. Journal of Animal & Plant Sciences, 7(2): 783-788
Astiti LGS, Panjaitan T, Prisdiminggo. 2011. Identifikasi Parasit Internal Pada Sapi Bali di Wilayah Dampingan Sarjana Membangun Desa di Kabupaten Bima. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Ibukun AV, Oludunsin FO. 2015. Prevalence of Intestinal Helminths and Protozoa Parasites of Ruminants in Minna, North Central, Nigeria. IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science (IOSR-JAVS), 8(11): 62-67
Juliet NO, Oliver NO, Oliver OO, Cosmas UA. 2013. Comparative study of intestinal helminths and protozoa of cattle and goats in Abakaliki metropolis of Ebonyi State, Nigeria. Adv. Appl. Sci. Res., 4(2): 223-227.
Kertawirawan IPA. 2013. Pengaruh Tingkat Sanitas dan Sistem Manajemen Perkandangan Dalam Menekan Angka Kasus Koksidiosis Pada Pedet Sapi Bal(Studi Kasus di Desa Musi Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng). Widyariset,
16(2): 287–292.
Levine ND. 1995. Buku Pelajaran Protozoology Veteriner. Yogyakarta : Gajah Mada University.
Nofyan E, Mustaka K, Indah R. 2010. Identitas Jenis Telur Cacing Parasit Usus Pada Ternak Sapi (Bos sp) dan
Kerbau (Bubalus sp) Di Rumah Potong Hewan Palembang. Jurnal Penelitian Sains, 10:06-11
Patmawati NW, Trinayani NN, Siswanto M, Wandia IN, Puja IK. 2013. Seleksi Awal Pejantan Sapi Bali Berbasis Uji Performans. Jurnal Ilmu dan
Kesehatan Hewan, 1(1) : 29-33
Purwanta, Nuraeni,, Hutauruk JD,
Setiawaty S. 2009. Identifikasi Cacing Saluran Pencernaan (Gastrointestinal) Pada Sapi Bali Melalui Pemeriksaan Tinja di Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem, 5(1): 10-21
Rahmi E, Hanafiah M, Sutriana A, Hambal M, Wajidi F. 2010. Insidensi Nematoda Gastrointestinal dan Protozoa pada Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) Liar di Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Weh Sabang. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 13(6): 286-291
Siswanto M, Patmawati NW, Trinayani NN, Wandia IN, Puja IK. 2013. Penampilan Reproduksi Sapi Bali pada Peternakan Intensif di Instalasi Pembibitan Pulukan. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, 1(1): 11-15.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. 7th ed.
Philadelphia, London. Bailliere
Tindall.
Urquhart GM, Amour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 1996. Veterinary Parasitologi. 2nd Ed. The English Language Book The Faculty of Veterinary Medicine The University of Glasgow Scotland.
Widnyana IGNP. 2013. Prevalensi Infeksi Parasit Cacing Pada Saluran Pencernaan Sapi Bali dan Sapi Rambon di Desa Wosu Kecamatan Bungku Barat kabupaten Morowali. Jurnal AgroPet, 10(2): 39-46
Zajac, A. M., Gary, A. C. 2012.Veterinary Clinical Parasitology. 8th ed. John Wiley & Sons, Inc. UK.
116
Discussion and feedback