Buletin Veteriner Udayana                                                                Volume 9 No.1: 106-111

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712                                                              Pebruari 2017

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet                                DOI: 10.21531/bulvet.2017.9.1.106

Gambaran Sel Darah Putih Sapi Bali yang Terinfeksi Jamur Dermatofita

Secara Alami

(PROFILE OF WHITE BLOOD CELLS IN BALI CATTLE NATURALLY INFECTED BY DERMATOPHYTOSIS)

Nirae Nirae Nurani1, Putu Ayu Sisyawati Putriningsih2, I Putu Gede Yudhi Arjentinia2

1PT Charoen Phokphand Jaya, Farm, Cikupa Tangerang

2 Laboratorium Penyakit Dalam Veteriner Universitas Udayana Jl. PB Sudirman, Denpasar Bali, Email: [email protected]

ABSTRAK

Dermatofitosis atau ringworm merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur dermatofita. Setiap agen asing yang masuk ke dalam tubuh akan direspon oleh sel-sel darah putih sebagai sel pertahanan tubuh. Informasi mengenai gambaran sel darah putih kasus dermatofitosis pada sapi bali belum banyak tersedia di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sel darah putih sapi bali yang normal dibandingkan dengan sapi bali yang positif terinfeksi jamur dermatofita. Penelitian ini menggunakan 12 sampel darah, yaitu enam sampel darah sapi bali yang normal dan enam sampel darah sapi bali yang positif terinfeksi dermatofitosis. Pengujian pertama dilakukan dengan pemeriksaan kerokan kulit dan rambut menggunakan larutan KOH 10%. Isolasi dan identifikasi jamur dermatofita menggunakan media Sabourand’s Dextrose Agar (SDA). Penghitungan dan pemeriksaan total leukosit dilakukan menggunakan Hemositometer sedangkan untuk pemeriksaan dan penghitungan differensial leukosit menggunakan pewarnaan Giemsa. Uji T-Test menunjukkan perbedaan nyata pada rata-rata total leukosit sapi bali yang positif terinfeksi dermatofitosis dibandingkan dengan sapi bali yang normal. Uji Mann-Whitney menunjukkan berbeda nyata pada monosit sapi bali yang positif terinfeksi dermatofitosis dibandingkan dengan sapi bali normal. Sapi bali yang terinfeksi jamur dermatofita mempunyai total leukosit dan monosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi bali normal.

Kata kunci: sapi bali, dermatofitosis, leukosit

ABSTRACT

Dermatophytosis is kind of disease which caused by dermatophyta fungus. White blood cell (leukocyte) will responds every strange things which entering the body as a defend cell. In Indonesia, only few information of the white blood cell (leukocyte) in the Dermatophytosis cases towards balinese cattle can be found. The purpose of the research in finding the comparasion between lukocyte of normal balinese cattle which is not infected and balinese cattle which infected by dematophyta fungus. The research are using 12 samples of blood, is abaout 6 blood’s sampel from normal balinese cattle and 6 blood’s sample of balinese cattle which is infected by dermatophyta fungus. The first attempt is checking the skin scratching and the hair with 10% of KOH liquid. Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA) is used for isolate and identified dermatophyta fungus. Calculation and checking the total of leukocyte are using hemasitometer, while Giemsa liquid are using for differential leukocyte. T-Test shows the real differences between them which in to balinese cattle which infected by dermatophytosis. The analyzes result bye the statistic data using Mann-Whitney Test is showing there is real difference to balinese cattle’s monocyte which infected by dermatofitosis. There is a normal difference between balinese cattle which is normal and infected. Balinese cattle which infected dermatophyta fungus have a total of leukocyte and monocyte are higher than normal balinese cattle.

Keywords: bali cattle, dermatophytosis, leukocyte

PENDAHULUAN

Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan salah satu jenis sapi lokal asli Indonesia yang saat ini sudah diakui oleh dunia dan merupakan hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Matsuda, 1980; Pradana et al., 2014). Daya tarik sapi bali yaitu memiliki daya tahan tubuh yang kuat dan mudah beradaptasi dengan berbagai jenis lingkungan hidup. Bandini (2004) menyatakan bahwa meskipun sapi bali merupakan salah satu jenis sapi yang memiliki daya tahan tubuh baik, namun jika sistem pemeliharaan yang tidak baik maka memudahkan sapi untuk terinfeksi berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, jamur maupun parasit.

Dermatofitosis merupakan salah satu penyakit kulit yang dapat menyerang sapi bali. Dermatofitosis lebih dikenal dengan istilah ringworm, yaitu penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur dermatofita. Jamur ini mempunyai sifat yang dapat menginvasi jaringan berkeratin seperti kulit, rambut dan kuku, baik pada manusia maupun pada hewan (Sparkes et al., 1993a; Vermount et al., 2008). Blanco dan Gracia (2008) menyatakan dermatofitosis tidak memiliki tingkat prevalensi dan tingkat kematian yang tinggi. Dermatofitosis sangat penting bukan karena keparahan proses penyakitnya namun terutama karena sifat zoonosisnya. Gejala klinis yang tampak pada infeksi dermatofitosis adalah alopesia, eritema, papula, scale, krusta, hyperpigmentasi, hyperkeratinasi, pruritus, dan yang khas dari lesi dermatofitosis adalah anular alopesia (Djaenudin dan Rachmawati, 2010).

Masuknya jamur dermatofita ke dalam tubuh akan menimbulkan respon pada hospes (Charles, 2002). Respon pertama pada agen asing di dalam tubuh dilakukan oleh sel darah putih (Dharmawan, 2002). Respon imun yang terjadi pada infeksi jamur dermatofita diperankan oleh Cell Mediated Immunity

(CMI) yang lebih spesifik terhadap jamur dermatofita dalah Delayed Type Hipersensitifity (DTH) (Sohnle, 1993; Mignon et al.,1999). Limfosit T, makrofag, dan neutrofil merupakan bagian dari Cell Mediated Immunity (CMI) yang merespon akibat infeksi jamur dermatofita (Koga et al., 2001; Mignon et al., 2008; Kartono et al., 2010).

Pemeriksaan total leukosit dan differensial leukosit digunakan untuk mengetahui kepekaan hewan, virulensi agen penyakit, lamanya proses penyakit, keparahan akibat infeksi penyakit, respon dari masing-masing hewan, dan prognosis dari suatu penyakit. Menurut Utama et al (2013) perubahan yang terjadi pada leukosit menggambarkan adanya perubahan yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit dan organisme lainnya. Sampai saat ini di Indonesia belum banyak tersedia data mengenai gambaran sel darah putih (total leukosit dan differensial leukosit) pada hewan yang terinfeksi jamur dermatofita khususnya sapi bali.

METODE PENELITIAN

Obyek penelitian

Obyek penelitian ini menggunakan enam ekor sapi bali yang normal (sehat secara klinis) dan enam sapi bali yang positif terinfeksi dermatofitosis yang ada di Pusat Pembibitan Sapi Bali, Sobangan. Sampel yang digunakan adalah kerokan kulit, rambut, dan darah sapi bali yang normal dan sapi bali yang positif terinfeksi dermatofitsosis. Jumlah sampel yang diambil sesuai dengan jumlah obyek penelitian yang digunakan.

Pemeriksaan kerokan kulit

Pemeriksaan kerokan kulit dan rambut pada hewan yang dicurigai terinfeksi jamur dermatofita menggunakan mikroskop (pembesaran 100x) ditambahkan KOH 10%. Hasil pemeriksaan terhadap kerokan kulit dan rambut sapi bali yang positif terinfeksi jamur dermatofita ditemukan adanya arthrospora. Setelah pemeriksaan kerokan

kulit dan rambut mendapatkan hasil positif terinfeksi dermatofitosis dilanjutkan dengan isolasi dan identifikasi jamur dermatofita. Isolasi dan identifikasi menggunakan media Sabauraund’s Dextrose Agar (SDA) yang diinkubasikan pada suhu 25-310C. Pertumbuhan koloni jamur diamati selama dua sampai tujuh hari (Ainsworth, 1986; Al-Doory, 1980). Identifikasi terhadap pertumbuhan jamur dermatofita dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan secara makroskopis dilakukan dengan melihat perubahan yang tampak pada media Sabauraund’s Dextrose Agar (SDA). Identifikasi makroskopis untuk mengetahui lama waktu terjadinya pertumbuhan (dari awal penanaman sampel pada media SDA sampai tumbuh koloni) yang meliputi morfologi, warna, bentuk, tekstur, dan permukaan bawah koloni. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan terhadap kultur jamur yang teramati positif menggunakan Lactophenol Cotton Blue (LPCB) (Kotik dan Corne, 2006).

Pemeriksaan darah

Pemeriksaan sampel darah untuk mengetahui total leukosit dilakukan dengan menggunakan pengenceran larutan Turk dan untuk pemeriksaan differensial leukosit menggunakan zat pewarna Giemsa. Pemeriksaan sampel dilakukan di Balai Besar Veteriner, Bali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan kerokan kulit dan rambut terhadap enam sapi bali yang terinfeksi jamur dermatofita ditemukan arthrospora. Dilanjutkan isolasi dan identifikasi jamur dengan media Sabauraund’s Dextrose Agar (SDA), dapat ditemukan makrokonidia dan hifa jamur dermatofita. Pemeriksaan total leukosit dan differensial leukosit terhadap enam sapi bali yang normal (SB1) dan enam sapi yang positif terinfeksi dermatofitosis (SB2) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (Tabel 1 dan Tabel 2).

Tabel 1. Total leukosit sapi bali normal (SB1) dan sapi bali yang positif terinfeksi dermatofitosis (SB2)

Total Leukosit

Sapi bali

Rata-rata ( µL)

Std. Dev ( µL)

Rujukan (/µL) (Dharmawan, 2002)

SBI

6.975a

114,5

4.000-12.000

SB2

8.643b

1174

4.000-12.000

Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral terhadap organisme asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis, leukosit dapat meninggalkan kapiler darah dengan menerobos sel-sel endotel (Zukesti, 2003; Siswanto, 2011). Pada Tabel 1 diperlihatkan bahwa perbandingan jumlah rata-rata total leukosit sapi bali yang normal (SB1) dan sapi bali yang positif terinfeksi dermatofitosis (SB2) adalah berbeda nyata (P<0,05). Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata total leukosit pada sapi bali normal (SB1) yaitu 6.975/µL dan pada sapi bali yang positif terinfeksi dermatofitosis (SB2) adalah 8.643/µL. Hasil tersebut menunjukkan bahwa rata-rata total leukosit pada sapi bali yang positif terinfeksi dermatofitosis lebih tinggi daripada sapi bali normal. Menurut Dharmawan (2002) total leukosit normal sapi berkisar antara 4.000-12.000/µL.

Peningkatan total leukosit merupakan respon fisiologis untuk melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme (Wisesa et al., 2012). Peningkatan total leukosit juga dapat terjadi pada hewan yang stres akibat fisik maupun sebagai induksi dari penyakit, infeksi umum, infeksi lokal, keracunan, tumor, dan trauma (Leijht et al., 1986). Menurut Hughes dan Wickramasingle (1995) sapi merupakan hewan yang memiliki respon rendah terhadap penyakit dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam peredaran darah.

Monosit merupakan sel makrofag yang belum matang dan mempunyai sedikit kemampuan untuk melawan agen-agen penyebab infeksi. Namun saat monosit masuk ke jaringan, ukuran sel

dapat membesar sampai 5 kali lipat dan di dalam sitoplasmanya berkembang begitu banyak lisosom dan mitokondria dan disebut makrofag yang sangat mampu menyerang agen penyakit (Guyton dan Hall, 1997; Besung, 2009).

Tabel 2. Differensial

leukosit

sapi bali

normal (SB1) dan sapi bali yang positif terinfeksi jamur dermatofita (SB2)

Kode Sapi

Rujukan

Parameter

(%)

yang

SB1

SB2

Daniel

Diteliti

(%)

(%)

et al., (2009)

Neutrofil

20,3233,08

17,83

35,17

15-45

Eosinofil

2,964.04

-0,337,33

2-20

Basofil

-0,230,57

-0,181,35

0-2

Limfosit

59,02

70,98

52,45

69,75

45-75

Monosit

-0,626,07

3,18

13,82

2-7

Pada Tabel 2 memperlihatkan rata-rata monosit pada sapi bali yang positif terinfeksi dermatofitosis (SB2) dengan monosit sapi bali normal (SB1) menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Hasil statistik menunjukkan rata-rata monosit pada sapi bali yang positif terinfeksi dermatofitosis (SB2) sebesar 8,5% dan monosit sapi bali normal (SB1) sebesar 4,7%. Peningkatan rata-rata monosit pada sapi bali yang positif terinfeksi dermatofitosis (SB2) diindikasikan sebagai monositosis.

Menurut Jain (1986) peningkatan terhadap monosit disebabkan oleh respon imun sekunder sehingga jumlah monosit didalam darah ditingkatkan untuk segera masuk ke dalam jaringan dan sebagai respon terhadap adanya agen penyakit, jumlah produksi dan pelepasan monosit ditingkatkan dari sumsum tulang ke dalam darah.

Pertahanan utama dalam membasmi infeksi jamur deramtofita adalah CMI, yaitu T cell-mediated DTH. Delayed Type

Hipersensitivity (DTH) yang berasal dari CMI dan sel makrofag (Sonhle, 1993; Mignon et al., 1999; Daniel et al., 2009). Makrofag berasal dari monosit ada pada sirkulasi darah, yang menjadi dewasa dan terdiferensiasi kemudian bermigrasi ke jaringan. Makrofag mampu bermigrasi hingga keluar sistem vaskuler dengan melintasi membaran sel dari pembuluh kapiler memasuki area antara sel yang sedang diincar oleh patogen. Fungsi dari makrofag adalah berperan utama dalam proses fagositosis (Sridianti, 2012). Makrofag memiliki peranan penting pada infeksi dermatofitosis.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sapi bali yang terinfeksi jamur dermatofita mempunyai total leukosit dan monosit yang tinggi dibandingkan dengan sapi bali normal.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggolongkan setiap tahapan fase infeksi agar mendapatkan data yang lebih spesifik atau melakukan penelitian dengan infeksi buatan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih utamanya kepada Pusat Pembibitan Sapi Bali, Sobangan, Balai Besar Veteriner Bali, serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

AL-Doory Y. 1980. Laboratory Medical Mycology.       4th       Published

Simutaneously. Canada.

Ainsworth GC. 1986. Introduction to the History Of Medical and Veterinary Mycology. Cambridge University Press. Cambridge, London, New York, New Rochelle, Melbourne, Sydney. 228p.

Bandini Y. 2004. Sapi Bali. Penebar Suadaya. Jakarta.

Besung INK. 2009. Pegagan (Centella asiatica) sebagai alternatif peneguhan penyakit infeksi pada ternak. Bul Vet Udayana 1(2): 99-105.

Blanco JL, Gracia ME. 2008. Immune response to fungal infections. Vet Immunol Immunopathol 125: 47-70.

Charles AJ. 2002. Immunobiology, Chapter 11: Failures of Host Defense Mechanisms. (Diakses pada 15 Maret 2010).

Daniela C, Rapuntean Gh, Nicodim FIT, George N, Ioan M, Iulia P, dan Romana-Maria O. 2009. Evaluation of the cellular non-specific defense effectors in cattle ringworm vaccination. Bull Univ Agric Sci Vet Med Cluj-Napoca, Vet Med 66 (1): 266-272.

Djaenudin G, Rachmawati S. 2010. Kapang dermatofita Trichopyton verrucosum penyebab penyakit ringworm pada sapi. Balai Besar Veteriner. Bogor. pp: 1-11.

Dharmawan NS. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner Hematologi Klinik. Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran. Bali.

Guyton, Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Penerjemah Irawati Setiawan. Jakarta:EGC.

Hughes NC, Wickramasinghe SN. 1995. Catatan Kuliah Hematologi Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Jain LC dan Musc AH. 1986. Schalm’s Veterinary Hematology. Lea & Fibiger. Philadelphia. pp: 450-500.

Kartono A, Rosidah, Arif A. 2010. Solusi numerik model dinamik perlakuan immunotherapy pada infeksi HIV-1. Berkala Fisika 13(1): 1-10.

Koga TH, Duan K, Urabe, Furue M. 2001. Immunohoistochemical detection of interferon-gamma producing cells in dermatophytosis. Eur J Dermatol 11(2): 105-107.

Kotik T, Corne M. 2006. Clinical and histopathhological evaluation of

terbinafine treatments in cats experimentally infected with Microsporum canis. Acta Vet 75: 541547.

Leijht PCJ, Furh V, Zweet TLV. 1986. In Vitro Determination of Phgocyte and Intracellular Killing by Polymorphonuclear and Intracellular Phagocyte. In Weir DM. Ed Cellular Immunology, Blackwell Scientific Publication. London. pp: 1-46.

Meyer DJ, Harvey JH. 2004. Veterinary Laboratory medicine: Interpretation and diagnosi. 3rd Ed. Saunders.

Mignon BR, Leclipteux T, Focant CH, Nikkels AJ, Pierard GE, Losson BJ. 1999. Humoral and cellular immune respone to a crude exoantigen and purified keratinase of microsporum canis in experimentally infected guinea pigs. Med Mycol 37: 123-129.

Mignon BR, Leclipteux T, Focant CH, Nikkels AJ, Pierard GE, Losson BJ. 2008. Humoral and cellular immune respone to a crude exoantigen and purified keratinase of microsporum canis in experimentally infected guinea pigs. Med Mycol 37: 200-205.

Matrsuda Y, Namikawa T, Kondo, Martojo H. 1980. A study on karyotypes of the bali cattle. The origin and phylogeny of Indonesia native lives stock. 29-33.

Pradana IMYW, Sampurna IP, Suatha IK. 2014. Pertumbuhan dimensi tinggi tubuh pedet sapi bali. Bul Vet Udayana 6(1): 81-85.

Siswanto. 2011. Gambarab sel darah merah sapi bali (Studi Rumah Potong). Bul Vet Udayana 3(2): 99105.

Sohnle PG. 1993. Dermatophytosis In: Murphy, Friedman JW, Bendinello H. Editor Fungal Infection and Immune Respone. New York: Plenum. New York. pp: 27-47.

Sparkes AHG, Jones TJ, Shaw SE, Wright AI, Stokes CR. 1993. Epidemiologi dan diagnostic feature of canine and feline dermatophytosis in united

kingdom from 1956 to 1991. Vet Rec pp: 135-142.

Utama IH, Kendra AAS, Widyastuti SK, Virginia P, Sene SM, Kusuma WD, Arisdani BY. 2013. Hitungan differensial dan kelainan sel darah sapi bali. J Vet 14(4): 462-466.

Vermount S, Tabart J, Baldo A, Mathy, Losson B,  Mignan B. 2008.

Pathogenesis   of dermatophytosis.

Mycopathologia 54: 299-308.

Wisesa AANGD, Pemayun TGO, Mahardika IGNK. 2012. Analisis sekuens D-Loop DNA mitokondria sapi bali dan banteng dibandingkan dengan bangsa sapi lain di dunia. Indon Med Vet 1(2): 281-192.

Zukesti E. 2003. Peranan leukosit sebagai anti inflamasi alergik dalam tubuh. USU Library (Diakses pada 20 juni 2015).

111