Buletin Veteriner Udayana                                                                  Volume 9 No.1: 16-21

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712                                                               Pebruari 2017

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet                                 DOI: 10.21531/bulvet.2017.9.1.16

Kualitas Daging Sapi di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Ditinjau dari

Uji pH dan Daya Ikat Air

(BEEF QUALITY IN PESANGGARAN ABBATOIR RATED FROM pH VALUE AND WATER HOLDING CAPACITY)

Satria Yanuwardani Setiawan1, IdaBagusNgurah Swacita2, I Ketut Suada2

1Praktisi Dokter Hewan di Mojokerto Jawa Timur 2Laboratorium Kesmavet Fakulas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

Jl. PB. Sudirman Denpasar Bali, Email: [email protected]

ABSTRAK

Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran merupakan tempat pemotongan hewan terbesar di Bali. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas daging sapi di RPH Pesanggaran ditinjau dari nilai pH dan daya ikat air dan hubungan di antara kedua variabel tersebut. Lima belas sampel daging sapi bagian longisimus dorsi diuji kualitasnya berdasarkan nilai pH dan daya ikat air selama waktu pengamatan mulai jam ke satu sampai ke delapan. Hasil penelitian menunjukan bahwa, kualitas daging sapi yang dihasilkan di RPH Pesanggaran memiliki pH ultimat 5,51 pada jam ke tujuh setelah pemotongan dan Daya Ikat Air dengan nilai 60,4% pada jam ke tujuh setelah pemotongan. Disimpulkan bahwa pH dan DIA daging sapi di RPH Pesanggaran menurun dari jam pertama sampai jam ke tujuh dan terdapat hubungan positif antara pH dan Daya Ikat Air daging sapi.

Kata kunci: Daging sapi, kualitas daging, nilai pH, daya ikat air.

ABSTRACT

Pesanggaran abattoir is the largest slaughterhouses in Bali. The purpose of this study was to determine the beef quality in Pesanggaran abattoirs tested from pH value and water holding capacity and the relationship between the two variables. Fifteen samples of beef taken from longisimus dorsi tested the qualities based on the pH value and water holding capacity during the process of the observation period starting at the first hour until eight. The results showed that, the quality of beef produced in Pesanggaran abattoirs has an ultimate pH 5.51 at the 7th hour after slaughter and water holding capacity with a value of 60.4% at the 7th hour after slaughter. It can be concluded that the pH and WHC of beef at Pesanggaran abattoir decreased from first hour to 7th hour and there are positive correlation between pH and WHC of beef.

Keywords: Beef, Meat quality, pH value, Water holding capacity

PENDAHULUAN

Daging merupakan salah satu komoditas utama di Indonesia, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani, permintaan akan kebutuhan daging juga akan meningkat (Harmini et al., 2011). Sonbait et al. (2008), menambahkan bahwa kebutuhan akan protein hewani asal ternak sesuai dengan standar kebutuhan gizi nasional setara dengan 6,0 gram/kapita/hari. Begitu halnya dengan peningkatan tingkat

pendapatan perkapita penduduk maka permintaan akan kebutuhan daging juga akan semakin meningkat. Disisi lain, meningkatnya pengetahuan masyarakat akan menuntut suatu produk memiliki kualitas dan mutu yang baik (Khasrad dan Ningrat, 2010).

Hal terpenting dalam pemilihan daging adalah kualitas daging, kualitas daging yang beredar di masyarakat seringkali tidak terjamin dengan baik (Priyanto et al, 2015). Kualitas daging dapat ditinjau dari dua faktor, yaitu

kualitas fisik dan kimia daging. Kualitas fisik daging antara lain nilai pH, daya ikat air, susut masak dan tekstur (Rasyad et al., 2012) sedangkan kualitas kimia daging dapat ditentukan berdasarkan perubahan komponen-komponen kimianya seperti kadar air, protein dan lemak. Pemeriksaan daging dapat menunjukkan kesehatan hewan, sehingga mengurangi risiko penyakit menular (Authority, 2013). Nilai pH daging merupakan salah satu penentu kualitas daging (Amertaningtyas, 2012). Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat dan ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu mulai dari 7,0 dan akan mencapai nilai pH (ultimate pH value) akhir sekitar 5,4-5,8. Daya ikat air merupakan salah satu indikator kualitas daging (Merthayasa et al., 2015). Daya ikat air sendiri dipengaruhi oleh pH. Daya ikat air menurun dari pH tinggi sekitar 7-10 sampai pada pH isoelektrik yaitu sekitar 5,0-5,1 (Soeparno, 2011).

Menurut Wenno (2015), salah satu RPH yang menerapkan pemotongan ternak dengan baik di Provinsi Bali khususnya di Kota Denpasar adalah RPH Pesanggaran. Namun belum diketahui bagaimana kualitas daging yang dihasilkan yang ditinjau dari pH dan daya ikat air.

METODE PENELITIAN

Materi Penelitian

Sampel yang digunakan adalah daging sapi jantan bagian longisimus dorsi sebanyak 15 sampel dengan berat masing-masing 100 gram. Sampel tersebut diperoleh dari 15 sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran, satu sampel setiap harinya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (split time) dengan peubah bebas waktu pengujian yaitu pada jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 setelah penyembelihan. Variabel yang diuji adalah pH dan daya ikat air daging.

Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan dengan menimbang sampel daging sapi seberat 10 gram kemudian digerus dengan menggunakan mortar, selajutnya ditambahkan akuades 10 ml setelah itu diukur pH-nya menggunakan pH meter. Prosedur ini dilakukan sebanyak 8 kali yaitu pada jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 setelah pemotongan setiap harinya dan dilakukan selama 15 hari.

Pengukuran daya ikat air

Pengukuran daya ikat air dilakukan dengan metode Hamm (press methods). Sampel daging sapi seberat 0,3gram diletakkan di atas kertas saring setelah itu dipres di antara dua plat kaca dengan beban 35kg selama 10 menit. Prosedur ini dilakukan sebanyak 8 kali yaitu pada jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 setelah pemotongan setiap harinya dan dilakukan selama 15 hari.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan SPSS untuk mengetahui pengaruh kelompok dan waktu pengujian terhadap nilai pH dan daya ikat air daging sapi. Dilanjutkan dengan uji Post Hock untuk mengetahui pengaruh waktu pengujian terhadap nilai pH dan daya ikat air. Hubungan antara waktu pengujian dengan pH dan daya ikat air, dianalisis dengan korelasi regresi (Sampurna dan Nindhia, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian pH sampel daging dari 15 ekor sapi yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pesanggaran Kota Denpasar diperoleh rataan penurunan nilai pH pada jam pertama sampai jam ke delapan yaitu 6,53, 6,34, 6,18, 6,04, 5,90, 5,68, 5,51, dan 5,63. Sedangkan pengujian terhadap daya ikat air diperoleh rataan penurunan mulai jam pertama sampai jam ke delapan yaitu 81%, 77,6%, 75,67%, 71,8%, 69,47%, 65,4%, 60,4%, dan 64,2%. Hasil analisis ragam terhadap

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet penurunan nilai pH daging sapi di RPH Pesanggaran menunjukkan bahwa waktu pengambilan sampel berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap penurunan nilai pH yang dihasilkan atau terdapat variasi harian yang nyata selama penelitian ini. Variasi harian yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai hal diantaranya adalah terdapat perbedaan tingkat stres dari sapi yang dipotong setiap harinya. Sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran tidak berasal dari satu tempat saja melainkan dari berbagai tempat dan jarak angkut setiap hewan juga berbeda di antara satu dengan yang lainnya. Cuaca juga mempengaruhi perbedaan tingkat stres hewan yang diistirahatkan di RPH Pesanggaran, sebagaimana halnya cuaca di daerah Denpasar pada beberapa waktu terakhir ini mengalami perubahan yang cukup signifikan dimana panas di waktu siang hari dan hujan pada saat malam hari yang tidak menentu.

Nilai pH memiliki perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) di antara waktu pengujiannya mulai dari jam pertama sampai dengan jam ke delapan. Hal ini dikarenakan habisnya cadangan glikogen dalam daging secara bertahap selama pengujian sehingga akan menurunkan pH daging secara bertahap pada saat dilakukan pengukuran nilai pH daging. Glikogen dalam daging tersebut mengalami glikolisis secara anaerob yang menghasilkan asam laktat secara bertahap yang akan menyebabkan pH daging semakin menurun. Nilai pH daging yang rendah dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada daging (Besung et al., 2013). Setelah cadangan glikogen dalam daging habis, maka tidak ada lagi glikogen yang dipecah menjadi asam laktat. Kondisi ini akan menyebabkan pH daging secara berangsur naik dikarenakan dalam daging terjadi proses autolisis dan dekomposisi protein oleh mikroba yang terdapat pada daging tersebut. Hasil analisis ragam penurunan daya ikat air (DIA) yang diperoleh dari daging sapi di RPH Pesanggaran menunjukkan bahwa waktu

pengambilan sampel berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap daya ikat air atau terdapat variasi harian yang nyata dalam penelitian ini. Variasi harian DIA juga disebabkan oleh perbedaan tingkat stres sapi yang disebabkan oleh perbedaan asal sapi, jarak angkut dan perbedaan cuaca setiap harinya. Faktor tersebut akan mempengaruhi nila pH setiap harinya dan pada akhirnya nilai pH yang dihasilkan setiap harinya akan mempengaruhi nilai daya ikat air daging. Selain itu DIA juga dipengaruhi oleh umur sapi yang berbeda setiap harinya

Nilai daya ikat air memiliki perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) di antara waktu pengujiannya mulai dari jam pertama sampai dengan jam ke delapan. Daya ikat air (DIA) yang mengalami penurunan secara bertahap mengikuti penurunan nilai pH daging yang disebabkan pemecahan glikogen menjadi asam laktat sampai dengan pH isoelektrik pada daging tersebut. Nilai pH pada setiap waktu pengujian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hubungan antara Waktu Pengujian dengan Penurunan Nilai pH

Waktu pengujian (Jam)

Rataan ± St Dev

1

6.53±0.04a

2

6.34±0.05b

3

6.19±0.05c

4

6.04±0.05d

5

5.90±0.04e

6

5.68±0.05f

7

5.50±0.01g

8

5.63±0.04h

Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa terjadi penurunan nilai pH yang signifikan dari jam pertama sampai dengan jam ke tujuh, hal ini dikarenakan terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat yang akan menurunkan nilai pH daging. Pada jam ke tujuh sampai jam ke delapan terjadi kenaikan nilai pH yang signifikan, hal ini dikarenakan cadangan glikogen dalam daging telah habis sehingga tidak ada lagi yang dipecah menjadi asam laktat dan pada kondisi tersebut, di dalam daging

mulai terjadi proses autolisis dan proses dekomposisi daging oleh mikroba. Nilai DIA pada setiap waktu pengujian ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hubungan antara Waktu Pengujian dengan Penurunan Daya Ikat

Air (%)

Waktu pengujian

Rataan ± St Dev

(Jam)

1

81.00±1.46a

2

77.60±2.02b

3

75.66±1.71c

4

71.80±1.89d

5

69.46±2.39e

6

65.40±1.75f

7

60.40±1.05g

8

64.20±1.75h

Berdasarkan hasil

analisis hubungan

daya ikat air dengan

waktu pengujian,

menunjukkan bahwa terdapat penurunan DIA yang signifikan dari jam pertama sampai jam ke tujuh, hal ini dikarenakan adanya penurunan nilai pH menuju titik isoelektrik yang berakibat menurunnya nilai DIA. Pada jam ke tujuh sampai jam ke delapan terjadi kenaikan DIA yang signifikan, hal ini dikarenakan adanya kenaikan nilai pH yang menyebabkan adanya surplus muatan dan mengakibatkan tolak menolak antar miofilamen yang memberikan ruang untuk air sehingga DIA meningkat. Nilai DIA pada jam ke enam dan jam ke delapan tidak berbeda nyata, hal ini dikarenakan nilai DIA kembali naik setelah jam ke tujuh karena adanya surplus muatan akibat kembali naiknya nilai pH.

Berdasarkan hasil analisis korelasi-regresi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang sangat nyata (P<0,01) antara waktu pengujian dengan nilai pH dengan koefisien korelasi (R) sebesar 0,981, dan persamaan garis regresi Y = 6,553 - 0,051 x2 + 0,005 x3.

Gambar 1. Hubungan Nilai pH Daging Sapi dengan Waktu Pengujian

Pada Gambar 1 terlihat penurunan pH daging sapi mulai dari jam pertama sampai dengan jam ke tujuh dan kemudian kembali naik pada jam ke tujuh sampai jam ke delapan. Apabila dibandingkan dengan penurunan pH normal atau pH daging sapi dry firm and dark (DFD) maka gambaran pH daging sapi di RPH Pesanggaran sudah dapat dikatakan normal dalam arti sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran sudah dilakukan dengan baik. Nilai pH yang cenderung masih di atas pH normal pada saat rigor mortis sudah terbentuk, dianggap mengalami dark cutting beef (DCB) dengan batasan 5,8-6,2 sebagai DCB sedang dan lebih dari 6,2 sebagai DCB berat (Abustam dan Ali, 2016).

Nilai pH daging yang normal akan menurun dari 6,5 sampai pH ultimat yaitu 5,5 (Subagyo et al., 2015). Sedangkan pH daging yang mengalami DFD, penurunan nilai pH daging hanya sedikit, hal ini dikarenakan cadangan glikogen otot sudah habis sebelum pemotongan. Berdasarkan hasil analisis korelasi-regresi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang sangat nyata (P<0,01) antara waktu pengujian dengan DIA dengan koefisien korelasi (R) sebesar 0,951, dan persamaan garis regresi Y= 81,775 – 0,972 x2+ 0,085 x3

Gambar 2. Hubungan Daya Ikat Air Daging Sapi dengan Waktu Pengujian

Gambar 3. Hubungan Nilai pH dan DIA Daging Sapi terhadap Waktu Pengujian

Daya ikat Aair daging sapi di RPH Pesanggaran mengalami penurunan dari jam pertama mulai pengujian sampai dengan jam ketujuh, kemudian kembali naik pada jam kedelapan. Penurunan nilai DIA ini dikarenakan penurunan nilai pH mulai dari pH tinggi sampai dengan mencapai pH titik isoelektrik. Terdapat korelasi posistif yang sangat nyata (P<0,01) antara nilai pH dan daya ikat air terhadap waktu pengujian dengan koefisien korelasi (R) sebesar 0.981 dan persamaan garis regresi Y= -176,866 + 62,901 x - 3,584 x2.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Nilai pH dan daya ikat air daging sapi di RPH Pesanggaran sampai pengujian jam ke delapan memiliki kualitas baik dan terdapat hubungan positif antara pH dan

daya ikat air daging sapi terhadap waktu pengujian.

Saran

Perlu dilakukan pengujian nilai pH dan daya ikat air daging sapi pada jam yang lebih lama dan variabel kualitas daging lainnya untuk mengetahui kualitas daging sapi produksi RPH Pesanggaran secara utuh..

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Kepala UPT Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran Denpasar yang telah memberikan fasilitas untuk tempat penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Abustam E, Ali HM. 2016. Peningkatan sifat fungsional daging sapi bali (M.

Longisismus dorsi) melalui penambahan asap cair pascamerta dan waktu rigor. Bul Vet Udayana 8(1): 93-98

Amertaningtyas D. 2012. Kualitas daging sapi segar di pasar tradisional Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. J Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak 7(1): 42-47.

Authority EFS. (2013). Scientific opinion on monitoring procedures at slaughterhouses for bovines. EFSA Panel on Animal Health and Welfare (AHAW). Italy EFSA J 11(12): 3460.

Besung INK, Wulandari NMDA, Swacita IBN. 2013. Pengaruh rempah-rempah dan lama penyimpanan daging babi terhadap angka lempeng total bakteri. Bul Vet Udayana 6(1): 29-34

Harmini, Asmarantaka RW, Atmakusuma

J. 2011. Model dinamis sistem ketersediaan daging sapi nasional. J Ekonomi Pembangunan 12(1): 128146.

Khasrad, Ningrat RWS. 2010. Improving carcass quality of indigenous cattle of West Sumatera fed local feed

resources. Pakistan. J of Nutrition 9(8): 822-826.

Methayasa JD, Suada IK, Agustina KK. 2015. Daya Ikat Air, pH, warna, bau dan tekstur daging sapi bali dan daging wagyu. Ind Med Veterinus 4(1): 16-24.

Priyanto R, Fuah AM, Aditia EL, Baihaqi M, Ismail M. 2015. Peningkatan produksi dan kualitas daging sapi lokal melalui penggemukan berbasis serealia pada taraf energi yang berbeda. J Ilmu Pertanian Indonesia 20(2): 108-114.

Rasyad NVB, Rosyidi D, Widati AS. 2012. Pengaruh lama pemanggangan dalam microwave terhadap kualitas fisik steak daging ayam. J Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak 7(1): 6-11.

Sampurna, IP, dan Nindhia TS. 2008. Analisis Data dengan SPSS dalam Rancangan Penelitian. Udayana University Press.

Sonbait LY, Monim H, Woran D. 2008. Preferensi konsumen terhadap produk olahan daging sapi di Kota Sorong. J Ilmu Peternakan 3(1): 87- 93.

Soeparno. 2011. Ilmu dan Nutrisi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Subagyo WC, Suwiti NK, Suarsana IN. 2015. Karakteristik protein daging sapi bali dan wagyu setelah direbus. Bul Vet Udayana 7(1): 17-25.

Wenno CRF, Swacita IBN, Suada IK. 2015. Penerapan animal welfare pada proses pemotongan sapi bali di rumah pemotongan hewan pesanggaran. Ind Med Veterinus 4(3):   238-248.

21